Sunday, December 25, 2016

Bobroknya Keislaman Kita

DUNIA HAWA - Gejolak yang diprakarsai oleh orang Islam akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan, setidaknya bagi saya. Akal sehat seakan tidak lagi diperlukan. Semua taklid dan mengikuti ulama-ulama layar kaca yang dianggap betul-betul valid menerjemahkan ajaran Rasulullah SAW.


Ajakan dari penggerak aksi 212 untuk memajukan perekonomian umat dengan membangun koperasi 212 dan minimarket 212 disambut dengan baik oleh sebagian umat. Sebuah ide yang cukup baik, walaupun sumbangsihnya untuk bangsa masih perlu dipertanyakan. Seperti yang sudah saya tuliskan pada tulisan sebelumnya.

Bisikan-bisikan untuk tidak berbelanja di minimarket seperti Indomaret dan Alfamart mulai berhembus. Sebelumnya, bisikan untuk melakukan rush money (memindahkan seluruh tabungan dari bank konvensional ke bank syariah) cukup berhasil, walaupun tidak memiliki dampak yang masif terhadap perekonomian (seperti yang direncanakan).

Bisikan-bisikan semacam ini cukup ganjil, mengatasnamakan agama dengan motif yang murni ekonomi. Ajakan untuk berbelanja di minimarket 212 sebenarnya hal yang wajar, tapi ketika ada himbauan untuk tidak berbelanja di minimarket lain dengan mengatasnamakan agama, ini jelas salah. Sebuah sikap pengecut yang lahir dari ketakutan untuk bersaing.

Belum selesai panasnya atmosfer politik karena pilkada DKI, yang disusul Aksi Bela Islam yang (sepertinya) memecahkan rekor aksi massa terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, lalu dijejali lagi dengan fatwa MUI tentang haramnya mengenakan atribut Natal bagi orang Islam. Belum lagi media sosial yang dapat mendorong informasi bagai halilintar, melaju cepat menyebar bagai virus.

Sayangnya, informasi yang menyebar lebih sering adalah berita-berita hoax yang saat ini sedang naik daun. Dan, yang lebih disayangkan lagi, banyak dari kita yang menelan mentah-mentah informasi bohong itu. Memberikan makanan pada otak dengan informasi sampah. Sudah tolol jadi tambah tolol. Dungu kuadrat.

Islam Sontoloyo


Seandainya saya adalah Ahok, bisa dipastikan bahwa saya akan dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama karena menulis sub-bab berjudul “Islam Sontoloyo”. Saya yakin, 100%. Untunglah saya bukan Ahok, bahkan tidak terkenal sama sekali.

Tapi, judul semacam ini bukan saja pernah menjadi sub-bab, bahkan terma “Islam Sontoloyo” pernah dilemparkan oleh founding father kita, Sukarno pada mereka yang beragama dengan pikiran sempit. Menurut Bung Karno, orang semacam itu menghambat kemajuan bangsa, memicu konflik, dan juga kemunduran bagi Islam itu sendiri.

Ada lima ciri Islam sontoloyo menurut Bung Karno. Pertama, royal mencap kafir seseorang. Kedua, taklid buta. Ketiga, mengutamakan fikih. Keempat, tak melek sejarah. Kelima, berpedoman pada hadits lemah.

Bung Karno menuliskan hal ini pada tahun 1936, delapan puluh tahun yang lalu! Tapi, sepertinya saat ini kebanyakan kita masih menganut Islam Sontoloyo. Tak heran jika bangsa ini jalan di tempat, konflik terjadi di mana-mana, dan Islam sendiri pun tidak maju.

Saya kutip tulisannya yang terkandung dalam surat Ende tahun 1936:

Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata!

Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini?

Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya?

Banyak yang menganggap Bung Karno sebagai presiden kejawen yang tak mengerti Islam. Maklum, kebanyakan kita adalah Islam sontoloyo yang buta sejarah. Padahal dari tulisan-tulisan Bung Karno, terlihat pemahamannya yang progresif atas Islam. Berikut kutipannya lagi dari tulisannya: 

Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat?

Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam.

Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.

Tulisan Bung Karno 80 tahun silam masih relevan hingga hari ini. Artinya, sedikit sekali kemajuan yang dihasilkan umat Islam selama 80 tahun. Kebanyakan kita masih sontoloyo! Tak heran jika umat Islam sekarang sibuk mengurusi ucapan keceplosan non Muslim, atribut non Muslim, ucapan hari raya umat agama lain, dan berbagai masalah sepele lainnya. Benar-benar sontoloyo! Sampai kapan kita bergelut dengan masalah-masalah sepele ini?

Di luar sana, negara maju sedang berlomba merancang teknologi agar manusia bisa berangkat ke Mars pada tahun 2030 nanti. Oh, sebagian kita masih ada yang percaya bahwa bumi datar. Jadi, semua kemajuan sains tentang antariksa adalah rekayasa! Begitu kata mereka. Ketinggalan peradaban yang jauh, sangat sangat jauh!

Tentang Ulama Busuk


Saya seringkali berpikir, apa yang salah dari umat Islam? Mengapa konflik internal yang terjadi tidak kunjung usai? Sunni-Syiah masih saja terus berperang, padahal kehancuran sudah terjadi di mana-mana. Tetap saja belum ada rencana gencatan senjata dan melakukan resolusi demi kemajuan bersama.

Apakah benar pendapat para orientalis, yang mengatakan bahwa tabiat orang Arab memang gemar berperang? Sehingga bangsa non-Arab tidak hanya mengimpor ajaran agama Islam, tapi juga tabiat-tabiat buruk orang Arab.

Saat ini banyak dari kita mengenakan gamis, berjenggot panjang, menyemprot wewangian khas Arab, menghitamkan dahi, dan lain sebagainya. Dikatakan bahwa ini semua adalah usaha untuk meniru Rasulullah SAW, berislam dengan kaffah. Tapi, selain itu kita juga gemar marah, mencaci, melaknat, menipu, menyebar fitnah, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya.

Kita melakukan hal-hal tercela itu atas dasar agama. Merasa seolah-olah kita adalah pasukan Tuhan yang melawan iblis. Mari kita bertanya pada diri sendiri, sebenarnya siapa yang kita tiru? Rasulullah SAW? Sahabat? Atau malah Abu Jahal dan Abu Lahab? Toh, Abu Jahal dan Abu Lahab juga berpakaian seperti Rasulullah SAW dan sahabat. Saya condong pada opsi terakhir.

Sebagai awam dalam beragama, kita perlu untuk belajar dari para ulama. Tapi, ulama seperti apa? Jangan sampai kita mengikuti ulama busuk yang justru tidak membawa kita pada ketenangan spiritual. Agama sudah pasti dapat mengantarkan kita pada pribadi yang lebih baik. Lebih sabar, lebih tenang, lebih bermanfaat, dan banyak lagi kelebihan yang ditawarkan agama.

Tapi, dewasa ini kita melihat tren yang terbalik. Orang beragama justru menjadi bersumbu pendek, temperamental, bahkan tak sedikit yang ogah menggunakan nalarnya. Ya, kita beragama secara sontoloyo!

Banyak dari kita yang sontoloyo, sebenarnya tidak menafsirkan atau belajar agama dari sumber langsung. Kita belajar melalui ulama, sebab hanya sedikit dari kita yang memahami bahasa Arab. Modal awal untuk mempelajari Islam dari sumber aslinya, Al-Quran dan Hadits.

Al Ghazali, salah satu ulama terbesar dalam peradaban Islam, menulis di awal kitab Ihya’ Ulum al-Din tentang keprihatinannya ketika ilmu-ilmu agama terancam padam. Penyebabnya adalah banyak ulama yang seharusnya menjadi pewaris Nabi, justru gagal mengemban misi tersebut.

Al Ghazali menyebut ulama tersebut sebagai ulama su’ (busuk) dan ada tiga ciri dari ulama tersebut. Pertama, menjadikan keulamaannya sebagai komoditas untuk mendapatkan harta duniawi. Ya, tidak sulit untuk mencari ciri pertama ini. Jika kita tidak menutup mata, mudah sekali hal ini untuk ditemukan. Kedua, menghamba pada penguasa yang zalim.

Ciri kedua ini agak sulit ditemukan, karena kezaliman penguasa sangat relatif tergantung sudut pandang kita. Tapi, saya kira, ulama yang terlalu sering mencampuri urusan politik dengan mengatasnamakan agama adalah indikasi dari ciri kedua ini.

Ketiga, mudah mengobral fatwa, demi kepentingan politik atau duniawi. Ulama sejati akan sangat berhati-hati dalam mengumbar fatwa. Dulu, salaf, para sahabat nabi, tabiin, tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru berharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

Mari lagi-lagi kita bertanya pada diri sendiri, ulama seperti apa yang kita ikuti? Jika kita mengikuti ulama busuk, tak heran jika kita terus-menerus sontoloyo. Keras kepada orang lain, tapi terhadap diri sendiri justru lembek.

Di Mana Keislaman Kita?


Tren yang berkembang saat ini menandakan bahwa kita sebenarnya jauh dari nilai-nilai keislaman. Kita hanya mengambil identitasnya saja. Mengambil asap dan abu keislaman, bukan mengambil api dan intisari dari ajaran Islam. Tak heran kita sibuk dengan permasalahan identitas seperti atribut, penganut agama lain, hingga hari raya agama lain.

Dalam kajian psikologi sosial, manusia mengidentifikasikan kelompok sebagai identitas in-group dan out-group. Seseorang yang memiliki tingkat identitas sosial yang tinggi, akan menganggap kelompok in-group-nya sebagai kelompok kerabat dan kelompok out-group sebagai ancaman.

Identitas sosial adalah hal yang alamiah. Diturunkan secara genetik dari nenek moyang kita. Kerabat yang paling dekat dengan manusia, kera menunjukkan fenomena ini, mereka akan membela kelompok in-group nya terhadap ancaman kelompok out-group.

Saya kira, sangat primitif jika kita masih meneruskan tradisi semacam itu. Kelebihan manusia dibanding makhluk lain adalah kemampuannya merekayasa alam. Jika kita terus-menerus mengikuti hukum alam, apa kita layak disebut sebagai khalifah di muka bumi?

Jika kita bersikeras membela sesuatu karena faktor identitas sosial, benarkah kita membela Islam? Ataukah kita membela ego dalam diri kita? Kita mudah tersulut emosi, mudah menyebarkan berita hoax, mudah menyalahkan orang lain, mudah mencaci orang-orang yang tidak sepemikiran dengan kita. Benarkah ini ajaran Islam?

Padahal, banyak sekali ajaran Islam yang mendorong tumbuhnya akhlak mulia. Sebut saja, cerita Rasulullah SAW yang sangat populer, ketika beliau menjenguk tetangganya yang setiap hari melempar kotoran ke rumahnya. Rasulullah datang ke rumahnya untuk mendoakan kesehatannya.

Belum lagi kisahnya tentang perjanjian Hudaibiyah, perjanjian antara umat Muslim di Madinah dengan suku Quraisy di Makkah. Sekilas, perjanjian ini sangat merugikan umat Islam. Bahkan, Sayyidina Umar sempat kecewa dan berkata, “Mengapa kita menyetujui agama kita direndahkan?” hingga akhirnya kekecewaan Sayyidina Umar ditenangkan oleh Sayyidina Abu Bakar.

Banyak sekali sebenarnya kisah-kisah yang mengedepankan akhlak luhur. Tapi, kita semua memang tak memperhatikan cerita-cerita semacam itu. Kita lebih mengedepankan kisah-kisah pertempuran (yang sebenarnya jumlahnya lebih sedikit) yang sesuai dengan ego kita. Seperti kata Nietzsche: “Terkadang manusia memang tidak ingin mendengar kebenaran, karena mereka tidak ingin ilusinya dihancurkan.”

Kita larut dengan ilusi kita. Oleh sebab itulah berita-berita simpang siur sangat cepat menyebar ketika sesuai dengan ilusi kita. Sedangkan, berita kebenaran kita singkirkan karena tidak sesuai dengan ilusi kita. Di manakah keislaman kita? Apakah kita mengikuti ajaran Islam atau ilusi kita tentang Islam? Wallahu A’lam.

Salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

@muhammad fadhel


Apakah Kita Butuh Fatwa Mengucapkan Selamat Natal?

DUNIA HAWA - Apakah kita butuh fatwa untuk bisa sekadar menyampaikan ‘selamat hari natal, kawan’? Seperti halnya haruskah kita berkalang kabut dalam debat hanya sekadar untuk bisa percaya diri merayakan maulid nabi bahwa itu benar?


Bung, ini sudah abad ke-21! Perdebatan-perdebatan klasik teologi sudah jauh kita lewati dengan pencapaian yang lebih dalam dan luas. Sudah cukup menyuguhkan banyak cara pandang. Bahkan jauh sebelum abad masehi, filsafat-filsafat tentang alam, manusia dan Tuhan sudah dibincangkan dalam suatu pencapaian universal atasnya.

Lantas tidakkah bisa kita sedikit saja belajar dari sejarah, untuk menubuhkan setitik saja keberanian untuk menuntun diri dalam bertindak? Termasuk dalam hal sekadar memutuskan apakah kita boleh mengucapkan selamat natal?

Bagaimana mungkin Anda dan kita semua, dan bahkan banyak di antara kita yang sudah menyandang status mahasiswa, gelar sarjana,bahkan beberapa sudah magister, tapi masih saja bergelut dalam kebimbangan, ketakutan akidah, hanya dengan ungkapan sukacita menyampaikan selamat natal? (Ini untuk mendudukan perkara, bahwa kegaduhan-kegaduhan tidak produktif ini justru dipelopori oleh mereka-mereka yang berpendidikan).

Betapa terlalu kerdilnya suatu intelektualitas, dan betapa naifnya suatu kebebasan yang dibiarkan terpenjara oleh penafisran sempit agama yang justru datang dari orang lain. Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak Anda kenal kapabilitasnya sekalipun, mengkampanyekan haram mengucapkan natal, bisa membuat Anda ikut ketakutan?

Saat akal manusia sudah berkembang, apakah kita masih terus bergantung dengan otoritas seperti itu? Apalagi sekadar untuk perkara-perkara super sederhana seperti ‘boleh tidaknya mengucapkan natal’?

Bahkan untuk pertanyaan yang lebih dalam lagi, kenapa kenabian misalnya, kita mengakui ada akhirnya? Kenapa Tuhan tidak menurunkan nabi secara terus menerus? Bukankah kebimbangan yang mendera umat hari ini adalah prasyarat materil dari (seyogianya) turunnya nabi? Kalau toh, kita percaya bahwa hanya nabilah yang paling sah dalam dan sebagai satu-satunya otoritas yang bisa mendiktekan kebenaran?

Kenapa? Karena satu hal menurut saya, bahwa manusia sudah sampai pada perkembangan akal yang signifikan,yang memungkinkan untuk bisa mencerna sendiri kebenaran-kebenaran langit.

Di tengah hiruk-pikuknya fatwa natal, kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah kita butuh otoritas yang mendikte kita tentang apa yang benar dan salah secara teologis sekadar untuk bisa mengucapkan ‘selamat hari natal’? Apakah akal kita belum bisa dengan percaya diri untuk menunjukkan jalan atau membuat kita percaya diri akan keputusan-keputusan sendiri tentang yang mana benar dan salah untuk urusan-urusan teologis sederhana semacam ini?

Bahkan sejak era Yunani dengan kebudayaan helenismenya sampai sekarang, hampir tidak ada sama sekali aliran-aliran pengetahuan yang disebut otoritarianisme pengetahuan. Para filosof-fiosof memperkenalkan tata cara memperkenalkan kebenaran dengan merujuk pada rasionalisme dan pengolahan pencarian diri, sama sekali tidak menganjurkan kita untuk tergantung pada otoritas.

Kalau kita melacak jejak perkembangan pengetahuan saat ini berakar dari tradisi Yunani tersebut, Entah, manipulasi pengetahuan apa yang membuat kita justru menempatkan otoritarianisme sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang valid dalam konteks ini?

Kembali ke pertanyaan awal. Apakah kita butuh fatwa sekadar untuk bisa (atau tidak bisa) mengucapkan ‘selamat natal’? Bagi saya, tidak. Bahkan bagi saya yang terlahir muslim, tak perlu mengutip anjuran firman Tuhan (Surah Al-Maryam ayat 33) untuk melegitimasi diri saya untuk bisa mengucapkan natal. Sebab, kebaikan adalah kebaikan, tanpa perlu ragu, tanpa perlu mengafirmasinya dengan ayat suci.

Sebab apa yang penting dari keber-agama-an manusia adalah kehidupan sosial itu sendiri. Kita berharap bahwa agama benar-benar bisa menubuhkan suatu kesalehan sosial yang nyata. Apa yang paling penting saat ini secara sosial bukanlah berbicara tentang benar-salah dalam perspektif hitam-putih. Apa yang paling penting secara sosial adalah sikap saling menghormati dan saling menerima perspektif-perspektif yang berbeda-beda itu.

Apa lagi, toh, perbedaan yang dimaksud hanyalah perbedaan dalam ranah yang abstrak. Beberapa di antaranya hanyalah perbedaan dalam menafsir sejarah. Dan kalau yang abstrak dan yang sifatnya penafsiran historis itu ingin diperdebatkan, maka sampai kiamat pun takkan selesei.

Apakah akidah Anda akan berubah hanya dengan mengucapkan ‘selamat natal’? Saya kira tidak. Selama Anda dan kita semua masih waras untuk berbuat demi kemanusiaan. Maka selama itu pula tidak akan ada perubahan akidah. Sebab agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Kecuali kalau agama justru membuat kita berambisi untuk membunuh atau menindas, barulah bisa dikata bahwa kita telah mengalami pendangkalan akidah.

Agama hanyalah salah satu jalan untuk mendekati kemanusiaan. Beragama adalah ber-manusia itu sendiri. Dan ber-manusia adalah bersosial itu sendiri. Seperti kata Aristoteles, “Tanpa masyarakat di sekeliling kita, kita bukanlah manusia sejati.” Pertanyaannya, ada berapa banyak di antara kita yang memilih beragama, tapi lupa ber-manusia?

Saat ini, apa yang paling penting, adalah bahwa kita membutuhkan koreksi internal masing-masing, di agama masing-masing. Untuk mewujudkan suatu penafsiran agama yang universal, harmonis secara sosial.

Kita membutuhkan suatu dekonstruksi pemaknaan akan kebenaran-kebenaran esklusif agama menjadi kebenaran-kebenaran inklusif. Kita membutuhkan dekonstruksi kebenaran-kebenaran abstrak agama menjadi kebenaran-kebenaran konkret.

Kita membutuhkan dekonstruksi kebenaran-kebenaran langit agama menjadi kebenaran-kebenaran bumi. Kita membutuhkan dekonstruksi atas segala bentuk kebenaran-kebenaran idealistik agama menjadi kebenaran sosial. Kebenaran agama haruslah menjadi kebenaran sosial itu sendiri.

Konsekuensinya adalah bahwa kita harus beranjak dari penafsiran agama yang berorientasi masa lalu, menuju persepektif penafsiran agama yang berorientasi masa depan untuk kehidupan manusia. Penafsiran-penafisran agama yang kaku atas agama masing-masing, yang hanya berpotensi memecah-belah, dan mengotak-kotakkan manusia, sama-sama harus kita enyahkan.

Bahkan menurut saya penafsiran kebenaran agama seperti itu seharusnya sudah lewat di beberapa abad yang lampau. Konsepsi apa yang paling penting saat ini dalam beragama adalah konsepsi yang mendahulukan kebaikan daripada sekadar (tafsir) ‘kebenaran’.

Toh, bahwa tingkat religiutas manusia juga tidak ditentukan oleh seberapa kompleks penfasiran kita terhadap agama, tapi lebih dilihat dari seberapa bermanfaat kita terhadap kehidupan manusia. Dan ‘agama untuk manusia’, bukan ‘agama untuk tuhan’, saya yakin bahwa inilah konsepsi-konspesi keberagamaan yang menanti kita ke depannya .

Teringat kata Karen Amstrong, bahwa masa depan Tuhan (baca: agama) saat ini dipertaruhkan. Sejarah agama-agama dunia adalah sejarah timbul tenggelam dalam fase hukum sosial yang menjadi hakim. Ada banyak agama atau kepercayaan yang perlahan-lahan hilang, seiring dengan munculnya paham-paham baru yang lebih mampu mengakomodir perkembangan pikiran dan tuntutan-tuntutan kedamaian sosial manusia itu sendiri.

Agama (atau penafsiran agama) masa depan yang menanti adalah agama yang benar-benar bisa memberi kesegaran, bisa bertaruh dalam upaya untuk menciptakan harmoni sosial yang inklusif.

Agama (atau penafsiran agama) yang pengap, yang hanya bisa mengotak-kotakkan manusia, yang hanya terus berbicara dalam perspektif tradisional sektarian esklusif (kafir, haram, bid’ah, dan sesat) adalah penafsiran agama yang tidak akan berumur panjang. Sebab kita terus berhadapan dengan sistem sosial yang baru, sistem sosial yang terus berkembang, termasuk dalam hal kecerdasan sosial manusia.

Apa yang membuat penafsiran agama yang kaku itu bertahan hingga kini, tak lain karena ia berhasil mereproduksi ketakutan-ketakutan psiko-teologis secara massif, yang ditujukan kepada orang-orang yang terlalu rapuh untuk mengaktualkan akalnya.

Itu bukti, setidaknya sampai perdebatan “haram tidaknya mengucapkan selamat natal” masih terus ada dan bergulir dari tahun ke tahun, bukti bahwa kita dan masyarakat kita berada dalam belenggu keterbelakangan akal (dan mungkin mental) yang terus mengkhawatirkan.

@muhammad rusian


I Wish You a Merry Christmas from the Bottom of My Heart

DUNIA HAWA - Saya baru 10 tahun menjadi seorang Katolik. Sejak kecil saya bersekolah di sekolah Kristen, walaupun keluarga saya dulunya penganut Kong Hu Chu. Jadi saya sudah terbiasa dengan beragam perbedaan dalam iman, terutama banyak sahabat karib saya waktu kuliah adalah penganut iman Islam.


Buat saya pribadi, makna Natal selalu merupakan kegembiraan atas kelahiran Bayi Yesus di dunia ini. Tuhan yang menjadi manusia. Jadi saya selalu bergembira dan bersyukur di moment Natal salah satunya untuk memperingati hari kelahiran Bayi Yesus.

Ketika dulu di sekolah minggu, saat Natal saya selalu mendapat hadiah peralatan sekolah dari Gereja, dari Bayi Yesus yang berulang tahun. Padahal dalam budaya kita bila kita berulang tahun, maka kita yang mendapatkan hadiah bukan malah memberi hadiah. Natal juga begitu menyenangkan badi saya, karena Natal juga berarti baju baru untuk ke gereja di hari Natal.

Ketika saya remaja, Natal selalu ditekankan kepada kelahiran Bayi Yesus di dalam palungan, karena semua penginapan di Bethlehem penuh. Kesederhaan selalu ditekankan gereja saya dalam merayakan Natal. Mengutamakan persiapan hati kita menyambut kelahiran Bayi Yesus itu lebih penting.

Saya masih ingat bila ada acara tukar tukar kado selalu diberi batasan maksimal, misalnya harga kado tidak boleh lebih dari Rp5.000,- (ini sekitar tahun 1991). Masa remaja ini saya berkenalan dengan makna Natal yang lebih religi, menyiapkan hati, bukan membeli baju baru.

Ketika saya kuliah di Australia, penduduk setempat selalu menganggap kami yang tidak pulang di libur Natal dan Tahun Baru, merupakan bagian dari keluarga mereka. Saya beserta beberapa teman yang memang tidak pulang ke Indonesia selama liburan Natal dan tahun baru; diundang ke acara makan malam Natal keluarga mereka.

Tidak ada acara tukar menukar kado, akan tetapi acara makan malam beserta seluruh keluarga dadakan di sana. Makna Natal buat saya adalah kebersamaan dengan keluarga terbentuk sejak itu. Tidak ada lagi baju baru maupun tukar tukar kado.

Yang menarik ketika saya bekerja di Singapura. Hampir semua rekan kerja saya bukan umat Kristiani (ada yang Hindu, Buddha, Muslim, dan ada yang tidak beragama), akan tetapi mereka semua sangat semangat menghadapi Natal. Moment Natal buat mereka adalah moment memberi bukan menerima.

Ternyata bagi mereka, walaupun mereka bukan Kristiani, akan tetapi Natal merupakan budaya mereka, karena menggunakan momen Natal untuk memberi kepada siapapun yang mereka sayangi, keluarga dan teman.

Memang tidak ada tukar tukar kado, akan tetapi masing masing kami, menyiapkan hadiah spesial buat setiap orang di kantor sebagai kejutan. Saat itu saya mendapatkan makna baru untuk moment Natal, yaitu waktunya memberi, bukan alasan religi, akan tetapi lebih ke aspek kemanusiaan.

Dalam iman Katolik (yang saya tahu), selalu diajarkan bahwa ketika kita berbuat baik kepada siapa pun yang membutuhkan, kita tidak perlu menyatakan diri sebagai seorang Katolik. Kita berbuat baik kepada sesama manusia, sebagai ungkapan syukur kita kepada kebaikan Tuhan. Dalam iman Katolik, masalah iman merupakan hubungan yang sangat khusus antara manusia dan Tuhan saja, tidak ada manusia lain yang berhak mencampuri masalah iman.

Perjalanan iman setiap manusia itu pasti berbeda-beda, sehingga ketika kita bertemu di jalan yang sama, maupun di jalan yang berbeda; maka kita wajib menghargai dan tidak berhak ikut campur masalah keimanan, karena itu adalah bagian Tuhan.

Buat saya, saya juga paham bahwa setiap umat Kristiani dan setiap umat Katolik memaknai Natal yang beragam. Buat saya tidak ada yang salah. Tidak ada yang lebih superior, atau lebih religi dari yang lain juga. Buat saya, perjalanan iman setiap manusia berbeda beda, sehingga makna Natal yang didapat juga berbeda beda.

Namun, yang penting adalah bahwa Natal merupakan momen yang menggembirakan karena merupakan perayaan hari kelahiran Bayi Yesus. Perayaan ultah manusia aja sangat menggembirakan, apalagi yang ultah Bayi Yesus.

Natal merupakan momen perjalanan iman Bunda Maria dan Santo Yusuf yang lebih memilih penyerahan kepada kehendak Tuhan daripada kehendaknya masing masing. Natal merupakn bukti perjalanan iman Bunda Maria dan Santo Yusuf yang rela mengalami kelahiran Putra pertamanya di kandang binatang pada musim dingin sendirian.

Natal merupakan bukti cinta Yesus kepada semua umat manusia, yang rela turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia di dunia. Bukti teladan bagaimana seorang anak yang taat kepada orang tuanya, dan menggantikan Santo Yusuf menjadi kepala keluarga sebagi tukang kayu sampai usia 30 tahun, setelah Santo Yusuf meninggal dunia.

Natal buat saya juga bermakna sebagai momen berkumpulnya dengan keluarga (yang saya dapat ketika saya kuliah di Australia) dan Natal buat saya juga bermakna sebagai momen yang memberikan kegembiraan kepada keluarga dan sahabat (yang saya dapat waktu di Singapura).

Makna Natal yang saya dapat selama hidup saya yang tidak muda lagi ini selalu mengajarkan saya menjadi manusia yang lebih baik yang selalu positif. Sampai akhirnya saya melihat makna Natal di 2016, di negara saya sendiri yang dipakai sebagai alat untuk menyebar kebencian, intoleransi dan ketakutan. Saya sempat sakit hati dan tersinggung.

Namun, akhirnya saya memilih untuk tidak memasukkan hal negatif ini dalam makna Natal untuk diri saya yang bisa membuat saya menjadi manusia lebih baik untuk Tuhan, keluarga dan sesama manusia yang lain. Sehari sebelum Natal 2016, saya memutuskan untuk memaknai Natal 2016 buat saya untuk selalu bersuka cita di dalam Tuhan, dan berbuat terbaik untuk sesama manusia apa pun agama mereka.

Melalui tulisan ini, I wish you a Merry Christmas from the bottom of my heart.

@christina liem


Dialog dengan Tuhan soal Natal

DUNIA HAWA - Saat ini ada banyak pendapat yang simpang siur mengenai masalah Natal. Setiap tahun selalu saja muncul masalah dan perdebatan yang terus berulang. Fatwa dan sweeping yang sama selalu muncul di momen akhir tahun. Oleh karena itu aku mencoba melakukan “dialog imajiner dengan Tuhan” dan bertanya langsung kepadaNya mengenai masalah yang selalu diributkan oleh sebagian orang selama ini. Berikut ini adalah dialog imajiner yang saya lakukan dengan Tuhan mengenai masalah Natal :


Saya : Tuhan bolehkah saya bertanya kepadaMu tentang masalah Natal? Benarkah dosa dan haram hukumnya jika saya mengucapkan Selamat Merayakan Natal kepada saudara saya yang beragama Nasrani?

Tuhan : Aku tidak menyuruh ataupun melarangmu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Aku sudah memberimu alat yang bisa kamu gunakan untuk memutuskan mana yang baik dan tidak baik untukmu yang berupa akal dan hati nuranimu. Bukan tugasKu untuk memutuskan segala sesuatu dalam hidupmu tapi kamulah yang harus melakukannya untuk dirimu sendiri. Aku hanyalah mengamati bagaimana kamu tumbuh dan berkembang dengan kecerdasan dan kesadaranmu sendiri. 

Selama sesuatu itu tidak merugikan dirimu, orang lain, makhluk lain dan alam semesta maka hal itu boleh kamu lakukan. Dan jika sesuatu itu membawa kebaikan bagi dirimu, orang lain, makhluk lain dan alam semesta maka hendaklah engkau melakukan hal itu. Jika kamu merasa mengucapkan hal itu merugikanmu dan orang lain maka jangan kamu lakukan. Tapi jika kamu merasa bahwa dengan melakukan hal itu membawa kebaikan bagi dirimu, orang lain dan hubunganmu dengan sesama maka hal itu boleh bahkan baik jika dilakukan. Aku tidak memutuskan apa yang harus kamu lakukan. Sesungguhnya tiap jiwa itu sendirilah yang harus memutuskan apa yang terbaik bagi pertumbuhan jiwanya sesuai dengan cara dan kecepatan perkembangannya masing-masing.

Saya : Tapi Tuhan, saya mendengar dan membaca bahwa sejarah perayaan Natal 25 Desember sebenarnya adalah hari peringatan bagi para dewa-dewa kaum Pagan jaman dulu. Bagaimana pendapatMu mengenai hal itu? Bukankah itu adalah sesuatu yang bid’ah, sesat dan menistakanMu?

Tuhan : Aku berada di luar dimensi ruang dan waktu. Aku tidak berwujud dan tidak bernama. Setiap insan boleh menyebut nama-Ku dengan sebutan apa saja dan sesungguhnya seluruh alam semesta ini adalah cerminan dari wujudKu yang Maha Besar dan meliputi segalanya. Tapi manusia hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Manusia adalah makhluk fana yang belum bisa terbebas dari bentuk dan nama. Jadi apakah adil dan pantas jika Aku menuntut manusia untuk “mengetahui apa yang tidak mungkin diketahuinya dan melakukan apa yang tidak mungkin dilakukannya?” 

Aku tidak pernah menuntut manusia agar selalu benar dan menjadi sempurna. Manusia belajar dari jatuh bangunnya kehidupan, penderitaan dan kesalahannya sendiri. Dan justru itulah yang kelak akan mendewasakannya sehingga dengan demikian penderitaan dan kesalahan sesungguhnya adalah sesuatu yang baik bagi mereka. Dalam kehidupan ini manusia belajar menemukan jalannya melalui cara meraba dalam gelap. Tidak ada satupun orang yang mengetahui semua jawabannya. Tapi meskipun manusia melakukan kesalahan sebesar apapun Aku akan tetap senantiasa mencintai dan mengasihinya.

Biarlah setiap manusia berusaha mengenaliKu dan mendekatiKu dengan caranya masing-masing. Semua itu baik bagi pertumbuhan kesadaran dan jiwanya. Aku menerima dan menghargai semua jalan yang digunakan oleh manusia untuk mencapai-Ku. Aku tidak peduli dengan kesalahan kecil yang dibuat oleh manusia saat dia belajar untuk mengenali dan memahamiKu. Aku lebih peduli dengan niat dan hasratnya yang tulus untuk mau belajar memahamiKu. 

Aku adalah Maha Agung dan Maha Mulia jadi tidak ada satupun makhluk ciptaanKu di seluruh dimensi alam semesta tak berbatas ini yang bisa menistakanKu. Jadi apa yang kau katakan tadi sesungguhnya sama sekali tidak pernah menjadi masalah bagiKu. Apakah menurutmu Aku memiliki ego, perasaan dan tingkah laku yang sama seperti manusia fana? Jika engkau menganggapKu demikian maka sungguh engkau sama sekali belum mengenaliKu.

Saya : Terima kasih Tuhan. Ternyata semua perkiraanku selama ini tentang Engkau adalah salah. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal dalam hatiku dan selama ini selalu menjadi bahan perdebatan di kalanganku. Maaf Tuhan, tapi mohon Engkau jangan marah dan tersinggung dengan pertanyaanku ini. Dari dulu saya sungguh ingin bertanya, apakah benar Yesus Kristus itu adalah Anak-Mu?

Tuhan : Aku adalah Maha Roh. Semua roh dan jiwa berasal dariKu. Setiap insan adalah anak-anak Ku. Begitu juga engkau adalah anak-Ku. Aku mengasihimu lebih daripada orang tuamu mengasihimu. Aku mengasihimu secara murni dan tanpa syarat, melalui berbagai jaman, melewati siklus kelahiran dan kematian, menembusi seluruh dimensi ruang dan waktu. Jadi apakah tidak boleh jika Aku memanggilmu juga sebagai anak-Ku yang Kukasihi? Tidak maukah engkau Aku sebut sebagai anakKu? 

Saya : Tentu saja aku mau Tuhan. Terima kasih. Aku mengasihiMu.
Tuhan : Aku juga mengasihimu AnakKu. Damai sejahtera semoga selalu bersamamu.

Dan “dialog imajiner”ku dengan Tuhanpun berakhir. Sebagai penutup, kepada seluruh sahabat FB-ku yang sedang merayakan Natal, ijinkanlah saya dengan setulus hati untuk mengucapkan:

“ SELAMAT HARI RAYA NATAL DAN TAHUN BARU 2017 “

Semoga damai dan terang Natal senantiasa membawa berkat dan kebaikan bagi kita semua. Damai di hati, damai di bumi. Amin.....

Wassalam

@muhammad zazuli


Ahok dan Tragedi Suriah

DUNIA HAWA - Pasti Anda heran dengan judul postingan ini, apa hubungannya antara Ahok dengan kasus Suriah? Ternyata yang ingin menjatuhkan Ahok juga adalah pihak yang membantu Amerika dan Israel untuk membuat rusuh di Suriah. Lho kok bisa?


Kita tahu bahwa Arab Saudi dan Turki adalah sekutu Amerika Serikat dan Israel dalam kasus konflik kemanusiaan Suriah. Nah para pendukung Arab Saudi dan Turki di Indonesia ini kebetulan juga anti Ahok. Kelompok ini juga turut membantu propaganda Amerika-Israel dalam konflik Suriah dengan slogan Save Aleppo, anti Bashar Asaad, anti Syiah dan sebagainya. Mereka juga menggalang dana yang katanya akan digunakan untuk membantu para warga sipil yang menjadi korban di Suriah. Tapi bukti terbaru menunjukkan bahwa ternyata bantuan tersebut tidak pernah sampai ke tangan rakyat Suriah, melainkan justru kepada para kelompok teroris yang telah menimbulkan malapetaka di Suriah. 

Setelah kelompok teroris Jaysh Al-Islam kabur dari Aleppo, para warga sipil Aleppo menemukan gudang logistik berupa makanan dan minuman yang dikirim dari Indonesia dan ditinggalkan oleh kelompok tersebut. Dari dus atau kotak yang terlihat, logistik untuk para teroris itu berasal dari IHR (Indonesian Humanitarian Relief). Setelah dilacak ternyata IHR ini dipimpin oleh ustad Bachtiar Nasir yang juga adalah gurunya Teuku Wisnu sekaligus dedengkot GNPF-MUI dan tokoh dibalik aksi 411 dan 212 yang bertujuan untuk menyingkirkan Ahok dari jagad politik Indonesia.

Selama ini mereka telah membodohi rakyat Indonesia dengan segudang provokasi, tangisan buaya, foto-foto palsu dan laporan-laporan propaganda, berhasil memikat jutaan rakyat tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga kiriman logistik tersebut bisa leluasa keluar-masuk melewati negara-negara yang dilaluinya dan berakhir jatuh di tangan kelompok sadis dan psikopat tersebut.

Dalam situs resmi IHR pimpinan Bachtiar Nasir ini tertulis “IHR berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan secara berkala dan berkesinambungan sebagai bentuk peran aktif masyarakat Indonesia dalam upaya penanggulangan problem kemanusiaan global.” Ketua Umum IHR, Bachtiar Nasir mengatakan lembaganya akan mengirimkan bantuan sebesar 100 ribu dollar bagi pengungsi Suriah yang berada di Turki. 

Namun fakta menunjukkan bahwa bantuan itu justru diterima oleh para teroris dan bukannya sampai kepada para pengungsi Suriah. IHR juga bekerjasama dengan “Sinergi Foundation” yang selalu menggunakan kata-kata mujahidin bagi kelompok pemberontak Suriah, artinya mereka satu visi dengan kelompok-kelompok itu dan mensupport gerakan mereka. Jadi wajar saja kalau bantuan-bantuan itu sampainya justru ke tangan para teroris.

Dengan demikian kita tidak usah heran jika para pendukung ISIS ternyata juga adalah orang-orang yang anti Ahok di negeri ini. Ayo geber dan gencet terus politik di seluruh dunia pake isu SARA.... pasti kelar idup loe semuwaaa.....

Salam Waras


@muhammad zazuli


Saatnya Para Maling Berpesta

DUNIA HAWA - Sudahlah pokoknya yang namanya Ahok itu harus dihukum, dipenjara, dilengserkan dari
pencalonannya sebagai Gubernur bahkan kalo perlu dibunuh atau diusir ke luar negeri. Lihatlah betapa banyaknya duit rakyat yang bisa kita nikmati bersama jika Ahok bisa hengkang dari posisinya sebagai Gubernur. Baru dua bulan dipaksa cuti saja sekarang duit rakyat sebesar 70,19 triliun sudah terbayang di depan mata. Menunggu untuk dinikmati bersama para kolega dan juga keluarga.


Sudah ada duit 143 miliar buat urusan surat menyurat. Juga ada duit 579 juta buat bikin kolam ikan. Buat supir dan urusan pulang pergi malah ada dana 4,3 milyar yang bisa dimark up semau kita. Buat catering dan cemilan juga sudah disiapkan duit sebanyak 11 milyar. Buat beli sapu ijuk, serbet dan pel sudah disiapin anggaran sebesar 2,3 milyar. Buat beli bengsin sama solar ada anggaran sebesar 3,7 milyar. Buat beli obat sakit kepala dan obat mules juga masih ada 1,4 milyar. Pokoknya anggaran ini bisa kita buat semau kita. Yang penting ada laporannya. Mau duitnya dibawa lari kemana mah gue peduli setan.

Pokoknya yang namanya pemimpin kafir haram hukumnya dipilih. Yang wajib itu ya pemimpin yang sealiran sama kita biar bisa kita ajak kerjasama dan hepi-hepi bareng. Tau sama tau lah pokoknya. Yang penting gue seneng kamu juga seneng. Ngapain susah-susah mikirin rakyat, toh mereka juga sudah terbiasa hidup susah. Pokoknya gencet terus si Ahok pake isu SARA sampe dia ga bisa berkutik lagi. Toh duit rakyat sebanyak trilyunan juga sayang kalo disia-siakan.

Ayo kobarkan terus aksi perlawanan demi bela kepentingan kita. Teruslah teriak sekencang-kencangnya sampe Ahok terpental kembali ke negeri Cina, biar kita bisa berpesta pora bersama-sama. Gue mah gitu orangnya. Komporin terus pake gosip kecap nomer satu yang penting gue yang dapat untungnya. Buat kalian mah nanti cukup nasi bungkus saja.... 

Gue orang pinter kan?

Salam Telolet

@muhammad zazuli


Islam dan Nasrani adalah Bersaudara

DUNIA HAWA - Hari ini seluruh umat Nasrani sedunia merayakan hari kelahiran Yesus Kristus (meskipun penetapan tanggal tersebut hingga kini masih menjadi bahan perdebatan). Diperkirakan nama asli beliau adalah Yeshua dalam bahasa Ibrani dan disebut sebagai Yesus dalam bahasa Latin serta Isa dalam bahasa Arab. Dalam agama Islam, Isa termasuk salah satu dari Ulul Azmi yaitu sebuah gelar khusus bagi golongan nabi pilihan Allah. Banyak juga ayat dalam Al Quran dan Al Hadist yang menunjukkan keutamaan Isa di antaranya adalah :


“ Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya: 91)

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat daripada-Nya, namanya Al-Masih ‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Al-Imran 3:45)

“Setiap anak Adam yang baru lahir disentuh oleh setan… kecuali Maryam dan anaknya.” (Shahih Bukhari 1493)

Jadi berdasar dalil di atas maka kedudukan Nabi Isa sangat istimewa karena beliau diciptakan dari firman dan ruh Allah, terkemuka di dunia dan akhirat serta terlahir tanpa disentuh oleh setan. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW juga mengungkapkan kecintaan beliau kepada Isa alaihissalam sebagai berikut :

“Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ahadits al-Anbiya’. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Fadha’il)

Begitu juga para pengikut Isa dipuji di dalam Al Quran sebagaimana berikut : “Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang mukmin ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". (QS Al Maidah: 82)

Jadi agama Islam dan Nasrani menurut hadist dan ayat di atas sebenarnya adalah bersaudara. Dalam Al Quran juga ada ayat yang berbunyi : ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin, barang siapa yang beriman diantara mereka itu kepada Allah (Tuhan) dan hari akhir (kiamat dan kematian) serta berbuat kebajikan maka untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya dan tak ada ketakutan atas mereka dan tiada mereka berduka cita”. (Al-Baqarah : 62)

Isa / Yesus maupun Nabi Muhammad juga mengajarkan hal yang sama yaitu Cinta Kasih kepada sesama umat manusia sebagaimana tertulis : “Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai terhadap dirimu sendiri.” (HR Bukhari) dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39)

Jadi jika hadist dan Al Quran yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam saja menunjukkan kedekatan antara pengikut Isa dan pengikut Muhammad, mengapa kok sepertinya prasangka, kebencian dan permusuhan di antara mereka sepertinya tak kunjung berakhir. Perang Salib yang terjadi di antara pengikut keduanya bahkan bisa berlangsung sampai ratusan tahun (1097 – 1272). Sebenarnya yang salah ini siapa? Mungkinkah orang-orang yang belum tuntas belajar agama tapi sudah keburu mengajarkan dan disebut sebagai guru agama turut memiliki andil dalam kesalahan ini?

Sungguh kebetulan karena Natal kali ini jatuh di bulan yang sama dengan perayaan Maulid Nabi, hanya berbeda beberapa hari saja. Hal ini sekaligus mengingatkan kita bahwa sesungguhnya umat muslim dan umat Nasrani itu adalah bersaudara. Dalam kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan :

 SELAMAT MAULID NABI 1438 H
 SELAMAT HARI NATAL 2016 M 

Semoga para pengikut dari dua sosok agung yang kelahirannya kita peringati di bulan yang sama ini bisa selalu rukun, damai dan hidup berdampingan secara harmonis. Lupakan saja para setan pengganggu yang selalu ingin menebarkan api kebencian, memecah belah dan mengadu domba kita. 

Salam Persaudaraan

@ muhammad zazuli


“Om Telolet Om” Meresistensi Politik Dalam Negeri

DUNIA HAWA - Berawal dari keisengan beberapa anak kecil di pinggir jalan utama di daerah Jepara -Jawa Tengah, menuliskan kalimat “om telolet om” di permukaan karton besar yang kemudian dibentangkang ke muka jalan.


Karton besar itu dihadapkan ke setiap bus yang lalu lalang di jalan tersebut. Diharapkan menarik empati setiap supir bus agar menekan klakson serta berkumandang lah suatu lafal transkultur berbunyi “om telolet om”.

Padahal secara logis-empirik, tidak mungkin suara klakson yang terbangun berdasarkan nada-nada diatonis dan melodis mampu merepresentasikan kalimat “telolet” secara eksplisit seperti apa yang sedang ramai dibicarakan.

Minimnya kajian ilmu di pengajian, “om telolet om” dikritisi


Dalam suhu politik tanah air yang saat ini sedang tinggi-tingginya, ditambah lagi gelombang radikalisme yang sedang marak. Berupaya keras menentang sistem demokrasi dengan jargon islamisme anti komunis dan intervensi asing-aseng. “Om telolet om” pun masuk dalam kajian ilmu di pengajian-pengajian mereka.

Mulai dari cinaisme dan Ahok, komunisme dan Jokowi, sekarang yudaisme dan “om telolet om”. Entah cara berpikir model apa yang mereka instal dalam batok kepalanya, “om telolet om” terstigma mejadi virus ideologi yudaism dan hinduism.

“Om”, dalam bahasa Indonesia adalah panggilan lazim untuk seorang laki-laki saudara ayah atau saudara ibu atau seorang laki-laki yang sebaya dengan ayah dan ibu.
 “telolet” adalah nada kongkrit yang distimuli oleh anak-anak kecil bila mendengar suara klakson bus(sesuai konteks).

Lalu apa yang aneh?

Euforia transkultur menggerus dendam publik


“om telolet om” yang terlanjur mendunia, saat ini semakin menjadi bahan cuitan di berbagai media sosial. Banyak distrik cyber yang mulai dijangkiti virus “om telolet om”, termasuk para buzzer politik.
 Bayangkan betapa sedihnya hati Raja kuda beserta seluruh pasukannya? Setelah susah payah menciptakan gerakan politik berbasis komunitarianisme lintas agama dan keyakinan. Lintas suku dan etnik. Lintas intelektual dan telektual hanya untuk melokalisir dendam publik kepada si Petahana, semuanya terancam punah oleh euforia “om telolet om”.

Mangkanya jangan heran bila Cagub titik-titik hanya merespon sekedarnya dan tidak mau turut meramaikan isu itu dengan membuat video “om telolet om”. Karena baginya itu tidak penting. Bisa dibilang, ketidak terlibatan Cagub titik-titik dalan fenomena ini adalah satu-satunya sikap bijak dia selama pra kontestasi.

Politik latah “om telolet om”

Cagub sekelas Ahok pun foto dengan memamerkan kertas bertuliskan “om telolet om”. Dari segi politik, langkah Ahok adalah reaksi logis, sebagai pemanfaatan mind set masyarakat untuk tidak fokus pada statusnya sebagai terdakwa kasus penistaan agama.

Yang aneh, Anies Baswedan. Mantan mentri pendidikan walaupun hanya sesaat saja lalu terkibas tirani reshuffle. Ia bukan hanya foto dengan kertas, tapi membuat video jenaka bertema “om telolet om”. Anies lupa bahwa sikapnya turut menggembosi kebencian publik pada lawan politiknya.

Dari kaca mata politik, “minta maaf Nies, lo blunder”. Harusnya ikuti sikap Cagub titik-titik. Tapi tak apa. Politik latah, meski tidak menguntungkan di sisi satunya, akan memberikan dampak positif di sisi lain. Minimal warga Jakarta jadi tahu bahwa Anies bisa berbahasa slank ala preman Tanah Abang. 

Harga MUI hanya sebatas “om telolet om”


Ingat pernyataan MUI menyikapi bom molotop yang menghilangkan nyawa adik kita Intan Olivia? MUI melalui lidah perwakilannya yang saya enggan menyebutkan namanya, menyatakan bahwa kejadian yang menimpa Intan Olivia adalah pengalihun isu Ahok.

Adapun pada fenomena “Om telolet om”, MUI tidak bergeming. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah kematian seorang bayi layak dianggap pengalihan Isu? dan fenomena transkultur yang saat ini mendunia tidak dianggap pengalihan isu?

Saya melihat, upaya pendangkalan akidah yang dituduhkan pada frasa “om telolet om” memang benar dan korban pertamanya adalah MUI. Ahok harus bersyukur, karena yang menjadi rejeki dia adalah: lawan politiknya orang-orang bodoh dan berhati bengis.

Saya menunggu ulama-ulama MUI membuat video jenaka seperti yang Anies dan Sandi lalukan, agar dunia pun melihat bahwa krisis akal sehat dalam politik kita tidak semata-mata karena urusan agama dan ras.

Dan Dunia juga melihat bahwa kejumudan yang dirawat dalam majelis fatwa bernama “MUI” hanya sebagai metode self healing untuk menghibur diri dan semuanya terselesaikan hanya karena satu “ide jalanan” berbunyi. “OM TELOLET OM!”.

Begitulah kura-kura


@habib acin muhdor


Perbandingan Tak Sehat Hanya Dinikmati Orang Sakit

DUNIA HAWA - Beberapa media sumbu pendek dengan bangganya menyebar opini yang sama sekali tidak berbasis akal sehat. Berita hoax jadi konsumsi harian kaum cuti nalar, tulisan-tulisan propaganda disebar ke segala arah dengan alasan untuk menyampaikan kebenaran.


“Bela Islam”

“Cinta Agama”

“Jihad Cyber”

“Pelindung Kitab Suci”

“Penebar Ajaran Tauhid”

“Pro Khilafah”

“Hajar komunis”

“Basmi Cina”

Itu beberapa tema yang selalu diramaikan oleh mereka. Para pembaca Dunia Hawa yang budiman. Saya dapat pastikan bahwa mereka tidak akan berbicara di luar dari tema-tema itu, karena ulama-ulama mereka tidak punya pengetahuan lain di luar dari tema-tema yang saya sebutkan di atas.

Banyak dari kaum muslimin terjebak pada frasa “Bela Islam”, seakan-akan itu merupakan sebuah konsep praktis yang bisa dilakukan tanpa syarat. Sehingga muncul kelompok manusia yang semula akrab dengan tempat pelacuran, club malam, bar, tempat karoke++, pijit ++, tiba-tiba berubah jadi “Penuntut Kehormatan Islam”.

Saya menilai, ini sebuah reaksi logis. Awalnya. Mungkin karena sudah terlalu jauh dari ritual dan spritual keislaman serta berjarak dengan kajian-kajian ilmu Islam, sehingga mereka merasa bahwa blunder lips Ahok adalah satu-satunya kesempatan untuk mendeklarasikan keIslaman mereka. Awalnya.

Tapi makin kesini, kebodohan demi kebodohan bertebaran, propaganda Bela Islam berubah jadi beraneka macam, dari mulai; Demo, aksi doa, mentuntut Ahok dipenjara, mengancam revolusi, menyebar berita fitnah kepada Jokowi dan terakhir melakukan agresi-agresi verbal kepada ulama-ulama senior NU yang notabene jauh lebih berjasa di Negara ini ketimbang ustad-ustad hypertensi junjungan mereka.

Ada yang aneh. Orang waras tak perlu banyak meneliti untuk membaca gelagat aneh yang sedang menimpa Negeri ini.

Perlu diketahui bahwa “Bela Islam” bukanlah konsep pembangkangan kepada konstitusi. “Bela Islam” juga bukan selogan tanpa rasionalitas. “Bela Islam” adalah puncak kesadaran tertentu untuk menerapkan keIslaman dalam diri kita, serta menjadi cahaya di tengah-tengah kegelapan.

Dengan itu klaim “Bela Islam” tidak akan sempurna tanpa dua hal; Ilmu dan kerendahan hati. Mohon dicatat! Tanpa ilmu dan kerendahan hati, klaim “Bela Islam” hanya akan menjadi ide bengis yang melegalkan praktik ngomong jorok dan aksi jilat ludah sendiri di hadapan publik.

Mungkin beberapa di antara pembaca juga sudah mengetahui aksi-aksi lain jilat ludah sendiri yang mereka lakukan di hadapan publik. Saya tak mungkin paparkan semuanya. Yang terpenting adalah kita memahami bahwa apa yang mereka lakukan tidak berlandaskan ilmu dan kerendahan hati.

Sebelum menutup ulasan ini, sesuai judul dan image artikel. Saya jujur dari hati yang paling dalam, saya mengakui bahwa ada sisi-sisi tententu, sesuai yang saya baca dalam sejarah Nabi, memang ada persamaan antara Aa’ Gym dengan Abu Bakar R.A, Rizieq Sihab dengan Umar Bin Khatab R.A dan Yusuf Mansur dengan Usman Bin Affan R.A. Tentunya bukan sekedar cara berpakaian dan cara bicara. Tapi yang lebih detail dari itu.

Yang saya tidak habis pikir adalah Ali bin Abi Thalib disamakan dengan Bachtiar Nasir, karena yang saya amati, persamaan Bachtiar Nasir dengan Ali Bin Abi Thalib hanya dari gender, lainnya tidak ada.

Saya review sedikit tentang sejarah Ali Bin Abi Thalib, beliau adalah sahabat sekaligus sepupu tercinta Nabi Muhammad yang dinikahkan dengan Anak perempuan kesayangan Nabi. Nabi menyebut Ali adalah pintu ilmunya. Bukan hanya itu, Ali Bin Abi Thalib adalah panglima di 72 ekpedisi peperangan dan menang. Ali Bin Abi Thalib adalah martir suci yang mengambil sisi-sisi sulit untuk perjuangan risalah Agama Islam.

Sedangkan Bachtiar Nasir? Yang katanya sepintar Ali, dengan bangganya memimpin demo dan berkoar-koar tentang pentingnya Negara berasaskan Khilafah di Negeri yang majemuk. Seorang Ustad yang memimpin GNPF-MUI ini tidak punya pemahaman sosial, tidak paham bahwa legitimasi kesucian wahyu harus disesuaikan dengan kontrak sosial yang berlaku. Bila Islam memang seperti apa yang dia sampaikan, tentu tak mungkin bisa bertahan sampai saat ini. Atau kemungkinan terburuknya lagi, Islam memang tidak pernah lahir ke muka bumi.

Tentu tidak seperti itu, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah Islam yang ramai menakutkan di media-media kita. Tenang saja! Islam yang tidak pernah lahir adalah Islam yang dipahami oleh UBN dkk.

Jadi sangat mundur peradaban berpikir umat Islam bila menerima perbandingan kotor yang menyamakan antara Ali Bin Abi Thalib yang begitu mulia dengan UBN yang tidak memahami relasi antara kesucian wahyu dengan kontrak sosial.

Wahai saudara-sadaraku, bukalah hati dan pikiran kalian. Kalian yang tinggal di desa, ketahuilah! bahwa desa adalah tempat bagi lalu-lalang tubuh, sedangkan hati dan pikiran kalian adalah tempat terbentangnya alam semesta.

Untuk saudara-saudaraku yang tinggal di kota, ingatlah! bahwa kota merupakan konstruksi ide yang terwujud dari sehatnya akal pikiran. Bukan sarang kedunguan untuk merawat tumpukan dendam.

Begitulah kura-kura.


@habib acin muhdor


Selamat Hari Natal Saudara Nasrani ku

Admin DUNIA HAWA Mengucapkan :


"led Mîlâd Sa'îdah, wa Sanah Jadîdah. Kullu 'Âm wa Antum bi-Khayr. Âmîn"

Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga sepanjang tahun Anda selalu dikaruniai kebaikan. Amin

Salam NKRI.



@dh