Thursday, December 22, 2016

Natal Mengubah Kehidupan

DUNIA HAWA - Dalam sebuah film diceritakan seorang anak manusia yang ketika masih bayi ditinggalkan oleh orang tuanya di hutan. Anak ini kemudian diasuh oleh seekor beruang sampai ia dewasa. Pada suatu hari, suatu rombongan ekspedisi melewati hutan itu dan berjumpa dengan orang tadi.


Rombongan itu berusaha untuk menyapa dia dan menanyakan informasi, tetapi orang itu tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa manusia. Sebaliknya, ia mengeluarkan suara seperti suara beruang dan gerakan tubuhnya pun seperti gerakan beruang.

Cerita ini menerangkan suatu hal kepada kita, bahwa sifat, cara hidup, dan kelakuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pergaulannya. Kita bersifat dan berbuat seperti manusia karena kita bergaul dengan manusia setiap hari sejak lahir hingga saat ini.

Begitu besarnya pengaruh pergaulan atas diri seseorang, sehingga lingkungan pergaulan biasanya menjadi salah satu pertimbangan untuk kita untuk memilih tempat tinggal, untuk memlih sekolah bagi anak-anak kita, untuk memilih pekerjaan dan bidang usaha lain.

Banyak contoh nyata bagaimana anak yang baik berubah menjadi brutal setelah bergaul di dalam lingkungan yang brutal, dan orang yang jujur berubah menjadi tidak jujur setelah bekerja dalam linkungan yang tidak jujur. Akan tetapi di pihak lain, kehadiran seseorang di dalam suatu lingkungan pergaulan juga bisa mempengaruhi lingkungan itu. Contoh orang yang dapat mempengaruhi lingkungan adalah Romo Mangun.

Ia sengaja bergaul dengan para pemulung, tukang jambret, gelandangan yang tinggal di kolong jembatan. Mereka terbiasa dengan cara hidup sembarangan dan jorok. Tetapi Romo tersebut tidak berubah menjadi seperti mereka. Sebaliknya kehadiran Romo Mangun di sana telah mengubah cara hidup orang-orang itu.

Mereka lebih tahu tentang kebersihan, lebih tekun bekerja dan lebih jujur. Jadi, kita bisa dipengaruhi oleh pergaulan kita, tetapi bisa juga kita mempengaruhi pergaulan kita.

Sebenarnya setiap orang pada umumnya mempunyai lebih dari satu lingkungan pergaulan. Kita punya lingkungan pergaulan di tempat kerja, di sekolah, lingkugan keluarga, lingkungan masyarakat sekitar dan lain lain yang mempegaruhi kita atau yang mau kita pengaruhi, itu tergantung kita sejauh mana kita dipengaruhi dan mempengaruhi.

Sebagai orang yang memiliki kepercayaan, sebenarnya kita memiliki suatu lingkungan pergaulan yang sangat penting, yang dapat mempengaruhi kita dengan pengaruh-pengaruh yang baik yaitu pergaulan dengan Allah.

Di bulan Desember ini umat Kristiani merayakan hari Natal yang setiap tahun tidak lupa dirayakan. Perayaan-perayaan dilakukan untuk menyambut hari kelahiran Juru selamat yang membawa bangsa-bangsa keluar dari penderitaan dan membawa perubahan yang radikal.

Saya merasa terkesan pada waktu saya merayakan Natal, menurut saya sangat sederhana yang acaranya dirancang dengan baik, pesan perayaan Natal tersebut bagaimana kita bisa menjaga hubungan dengan Allah, dalam pengertian saya, bagaimana kita menjaga pergaulan dengan Allah dan pergaulan dengan sesama, saya diingatkan untuk mendedikasikan hidup sehari-hari di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar.

Mengingat permasalahan bangsa ini yang begitu banyak dan kompleks mulai dari masalah korupsi, pengangguran, kemiskinan, bencana alam, bencana alam yang melanda Krisis kerukunan umat beragama, gempa, dan terorisme yang mengakibatkan banyak korban jiwa yang membuat negeri ini menjerit bahkan masyarakat seakan-akan putus asa untuk bisa menikmati hidup.

Gambaran ini seharusnya membuat kita sadar akan apa yang terjadi dan cerminan bagi kita untuk lebih menjaga pergaulan dengan Tuhan bahkan ciptaannya.

Natal bagi saya seharusnya membawa perubahan seperti yang dilakukan Romo pada cerita di atas, bukan kemewahan atau kemegahan. Natal seharusnya mengingatkan kita kepada kesederhanaan serta fungsi kita sebagai garam dan terang dunia. Artinya, seharusnya kita mempengaruhi lingkungan pergaulan kita dengan pengaruh Injil. Tetapi kita tidak dapat menjalankan fungsi itu, jika kita tidak cukup kuat.

Pada kenyataannya, banyak orang Kristen yang jangankan menjadi garam dan terang, bahkan ikut menggelapkan dunia dan menambah pahit kehidupan di dunia ini. Kalau orang-orang lain bertengkar, kita pun turut meramaikan arena pertengkaran dunia itu dengan pertengkaran di antara kita sendiri. Kalau orang lain hanya sibuk dengan dirinya sendiri, gereja juga terlalu sibuk dengan kepentingan-kepentingan sendiri.

Kita tahu banyak teori tentang kasih, pengampunan, pengorbanan dan sebagainya, tetapi di dalam menghadapi masalah-masalah intern kita sendiri sebagai anggota gereja, teori itu sering tidak bisa di pakai. Sebaliknya kita lebih sering dipengaruhi oleh cara-cara yang egois, sombong, dan berperasaan.

Lingkungan yang seperti itulah yang banyak kita temui di dalam dunia, khususnya negeri ini. Ini membuat kita bukan hanya tidak bisa menjadi berkat, tetapi juga tidak bisa menikmati berkat Tuhan.

Begitu kuatnya pengaruh lingkungan pergaulan terhadap diri kita, sehingga untuk menyelamatkan hidup kita dari pengaruh yang buruk itu amatlah sulit, tidak cukup apabila kita hanya mengetahui teori tentang sifat-sifat Allah saja. Kita perlu mengalaminya sendiri dengan lebih banyak bergaul dengan Allah. Supaya kita lebih dipengaruhi oleh Dia daripada dunia. Dalam perayaan Natal ini mari kita lebih bergaul kepada Allah dan melakukan perubahan yang nyata.

@benni sinaga


Hari Ibu, Hari Penebusan Dosa

DUNIA HAWA - Satu ketika, Abdullah ibnuz Zubair tengah dikepung oleh al-Hajjaj yang kuat lagi bengis, konon di dalam hatinya tak dapat ditemukan sedikit pun rasa kasihan. Saat itu Abdullah ibnuz Zubair juga dikhianati beberapa prajuritnya yang memilih mundur karena takutnya pada pasukan al-Hajjaj.


Di saat yang bersamaan, Abdullah ibnuz Zubair diberikan tawaran oleh Bani Umayah yaitu bagian dunia dengan syarat ia bersedia meletakkan senjata dan bersedia membaiat Abdul Malik bin Marwan sebagai pimpinan umat Islam.

Kemudian Abdullah ibnuz Zubair menghampiri ibu tercintanya yang saat itu telah renta juga buta. Asma’ berusia sekitar 100 tahun saat itu. Abdullah ibnuz Zubair datang untuk meminta nasihat dari ibundanya menyoal hal tersebut.

Kemudian, Asma’ mengatakan dengan tegas pada anak laki-laki yang begitu ia kasihi sejak kecilnya: 

Ini adalah urusanmu dan kamu tentunya lebih paham. Jika kamu memang yakin berpijak di atas kebenaran dan kamu telah mengambil keputusan untuk membelanya, maka bersabarlah seperti para sahabatmu yang telah terbunuh demi membela dirimu. Dan jika sebelumnya kamu melakukan hal ini dengan tujuan mendapatkan dunia, maka kamu adalah sejelek-jelek hamba, kamu berarti telah binasa seperti halnya kamu juga telah membinasakan para pengikutmu.
Lalu Abdullah ibnuz Zubair menjawab, “Saya yakin pasti akan terbunuh.”

Asma’ binti Abu Bakar melanjutkan, “Itu lebih baik bagimu daripada kamu menyerah kepada para pengikut Bani Umayah sehingga mereka bisa mempermainkan kepalamu.”

“Saya tidak takut jika mereka membunuhku, akan tetapi yang saya takutkan adalah jika nantinya setelah saya mati, mereka mencincang jasadku,” jawab Abdullah ibnuz Zubair lagi.

Sang ibu berkata kemudian, “Kambing yang telah disembelih tidak akan merasa sakit ketika dikuliti.”

Nasihat Asma’ r.a. telah berhasil menyulut semangat Abdullah ibnuz Zubair. Ia akhirnya bertekad untuk menghadapi pasukan lawan, meski ia yakin akan mati. Kemudian ia memeluk Asma’ r.a. Ketika dirasakannya keras tubuh si anak, Asma’ bertanya, “Apa ini wahai putraku?”

Abdullah ibnuz Zubair menjawab, “Ini adalah baju besi.”

“Ini bukanlah pakaian yang dikenakan oleh orang yang menginginkan mati syahid,” kata Asma’ kemudian.

Detik berikutnya, Abdullah ibnuz Zubair menanggalkan pakaian besinya. Seraya meminta agar sang Ibu tidak bersedih. Lantas dibalas oleh Asma’ r.a., “Ibu akan bersedih jika kamu mati dalam kebatilan.

Kemudian pergilah sosok pahlawan itu tanpa pakaian besinya setelah meminta doa restu dari ibunya. Pahlawan gagah kebanggan Asma’ binti Abu Bakar yang dulu kerap bermain serta diasuh oleh Rasulullah saw. itu akhirnya meninggal di tangan al-Hajjaj. Ia telah kekal dalam syahidnya, ia telah kekal dalam nikmat-Nya.

Kisah Abdullah bin Zubair dengan Asma’ binti Abu Bakar r.a. tersebut selalu berhasil menggugah hati saya. Bagaimana seorang ibu mengorbankan perasaannya sendiri demi si anak agar dapat mati syahid.

Tepat pagi ini, banyak sekali bertaburan tulisan-tulisan menyoal Hari Ibu. Mulai dari puisi-puisi tentang Ibu, sampai tulisan-tulisan peringatan bahwa peringatan Hari Ibu bukanlah kebudayaan Islam, dan langsung dibalas bahwa merayakan Hari Ibu tidak dilarang di dalam Islam.

Seperti yang dikatakan Vino dalam Film Malaikat Tanpa Sayap,
“Manusia hidup dalam sekat-sekat. Saat sekat-sekat itu dihilangkan, kita kebingungan.”

Begitulah, kita hidup dalam sekat, pengkotakkan. Hari Ibu, Hari Buruh, Hari Ayah, Hari Ini Itu dan lain sebagainya. Sejujurnya, saya sedikit setuju dengan opini bahwa diangkatnya suatu kejadian menjadi hari nasional adalah sebuah ‘penebusan dosa’ bahwa kita tidak bisa selalu mengistimewakan kejadian tersebut di setiap hari.

Saya bukanlah tipikal anak yang romantis pada ibunya. Meski ibu saya kerap kali mengucapkan, “I love you,” sambil menatap saya, saya akan selalu membalasnya dengan memalingkan wajah ke sisi lain. Entah bagaimana, namun sepertinya saya cukup pemalu untuk itu.

Bagi saya pribadi, ibu adalah orang pertama yang akan mendengarkan racauan kita tentang teman menyebalkan di sekolah tanpa menginterupsi, pun tanpa mengatakan tindakan kita itu benar/salah.

Ibu adalah pesulap yang berhasil menemukan kaos kaki kita yang terselip pada suatu tempat di mana sebetulnya kita sudah mencari tepat di tempat itu. Ibu adalah cinta pertama yang kerap kita khianati di usia-usia remaja kita, dan akan terus memberikan kita kesempatan sebanyak-banyaknya untuk kembali ke pelukannya, seberapa pun perihnya ia tersakiti.

Ia adalah seseorang yang tidak akan pernah berhenti peka. Ia selalu memeluk kita di saat-saat tersulit, mengatakan, “Menangislah, Nak. Ibu tahu ini berat, melelahkan. Namun percayalah, meski segalanya tidak baik-baik saja, Ibu akan tetap bersamamu.” Dan, ya semuanya memang tidak baik-baik saja, namun pelukan Ibu terkadang membuat saya ingin tetap tidak baik-baik saja.

Allah telah memberikan keistimewaan yang berlipat-lipat kepada ibu, jadi sebetulnya ibu tak lagi membutuhkan penyanjungan Hari Ibu dinasionalkan. Siapa lagi yang membutuhkan itu jika telah diangkat derajatnya oleh Allah, Tuhan Semesta Alam?

Barangkali, Hari Ibu dibuat justru untuk kita, para anak. Agar di kesibukan yang tak kenal waktu itu, kita tetap sekali saja ingat bahwa ibu akan selalu duduk di meja makan dengan kening berkerut, kaki bergoyang tak tenang, menantikan kabar apakah anak-anaknya sudah makan atau belum, apakah anak-anaknya terlindungi dari dinginnya suhu akhir tahun, apakah anak-anaknya masih dapat berjalan di belahan bumi ini dan tetap menjadi manusia yang selalu dapat menghargai orang lain? Atau tidak...

Ingatkah kita saat dulu pulang dalam keadaan basah kuyup karena malas menunggu terlalu lama di sekolah, atau sekadar ingin bermain hujan saja, dan ibu pun merepeti kita dengan berjuta omelan dan tawa di sela-selanya?

Seiring waktu merangkak naik, dan kini ketika kita pulang larut malam dalam keadaan basah kuyup, ia tak lagi duduk di bangkunya yang biasa, melainkan mengintip sedikit saja dari jendela kamarnya, memastikan bahwa kita sampai dengan selamat dan berpikir, “Anakku sudah besar. Ia bisa mandi dan keramas sendiri.”

Sembari mengeringkan rambut dan meminum susu hangat yang dulu sering kali dibuatkan ibu, kita pun terhanyut dalam benak, “Susu ini tak seenak buatan Ibu. Hangat suhu rumah tak pernah sehangat omelan Ibu saat aku masih kecil dulu.”

Dan sebelum terlelap, kita pun menyempatkan diri untuk menengoknya yang tengah lelap di kamar. Mengecupnya perlahan, sembari berdoa kepada Tuhan, “Kasihi ia, ya Tuhan...”

Dan pada akhirnya, Ibu akan tetap bersujud di sajadahnya yang beraroma khas. Berdoa sembari menitikan air mata. Meratap sembari merapal. Memohonkan ampunan atas dosa-dosa yang bahkan tidak lahir dari tangannya, melainkan dari anak-anaknya. Selain berusaha terus menguatkan dirinya, ia akan selalu menguatkan anak-anaknya.

“I didn’t win when I can beat my son. But I win when my son beat me.” –Iklan Komersil

Can we be the fighter to our Mother? Fight for everything well deserved and lose for everything well lost. Just like Abdullah when he took off his harness when Asma’ told him so if he wanted to die in syahid...

@annisa fitrianda putri


Hari Ibu dan Radikalisme

DUNIA HAWA - Hari ini, tepatnya tanggal 22 Desember, merupakan hari yang istimewa. Hari ini di Indonesia diperingati sebagai Hari Ibu. Berbagai ucapan selamat dan perhatian ditujukan kepada kaum yang terdapat surga di bawah telapak kakinya ini. Tidak jarang perlakuan istimewa dan hadiah juga diberikan untuk memperihatkan rasa kasih juga sayang kepada sosok ibunda tercinta.


Ibu, tidak ada yang meragukan peranannya dalam membentuk sebuah peradaban. Membangun sebuah generasi mulia melalui tangan lembutnya. Namun di masa sekarang ini, tantangan yang lebih besar tengah menanti dalam menjalankan peran tersebut.

Selain berbagai isu terkait Angka Kematian Ibu, kekerasan, kemiskinan, perdagangan manusia, pendidikan dan masih banyak permasalahan lainnya, para ibu kini harus menghadapi gempuran isu radikalisme dan intoleransi.

Suatu kebaikan atau keburukan yang timbul di dalam lingkungan tertentu akan memberikan pengaruh terhadap seluruh bagian dari lingkungan tersebut. Isu radikalisme yang tengah memperlihatkan wajahnya tidak hanya di bumi pertiwi, tapi juga diseluruh penjuru dunia tentu tidak dapat dipandang sebelah mata.

Berbagai peristiwa intoleran, kekerasan serta terorisme mengisi pemberitaan kita setiap harinya. Hal ini tentu membawa pengaruh yang tidak sedikit bagi diri, pola pikir dan perilaku kita.

Intoleransi kini tengah menelisik masuk dan menjalar kesendi-sendi bangsa ini. Melalui beragam cara, setiap harinya seolah kita digempur dengan ucapan, perilaku yang menunjukkan sikap serta tindakan intoleran antara satu pihak kepada pihak yang lain.

Memboikot perusahaan roti karena ketidaksetujuan atas permasalahan tertentu, pembubaran kegiatan ibadah, pengkafiran terhadap yang berbeda agama dan keyakinan, melakukan razia atas atribut agama tertentu serta list panjang perilaku intoleransi lainnya. Para teroris dan pelaku gerakan radikal juga kini tidak hanya menyasar para muda mudi untuk direkrut sebagai anggota serta untuk menyebar pemahamannya.

Para teroris tersebut kini juga menyasar kaum wanita, bahkan anak-anak. Melalui pernikahan, mereka mempersiapkan para “pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada kasus bom Bekasi beberapa waktu lalu.

Hal ini harus menjadi catatan penting bagi para ibu untuk dapat membentengi diri dan keluarga dari berbagai hal tersebut. Tekankan dalam diri dan benak anak-anak kita bahwa semua kita adalah sesama makhluk Tuhan. Tuhan menciptakan kita berbeda baik warna kulit dan sebagainya agar kita dapat saling mengenal, saling belajar, termasuk menghargai perbedaan itu sendiri. Ajarkan dan terapkan cinta kasih, persahabatan dan persaudaraan.

Tanamkan bahwa setiap nyawa adalah berharga. Setiap kita adalah istimewa dengan semua kelebihan dan kekurangan yang kita punya. Yang membedakan kita adalah ketakwaan kita, di mana hal ini diukur bukan hanya berdasarkan hubungan antara makhluk dengan Tuhannya tapi juga antara sesama manusia.

Agama, bukan membuat kita menjadi orang yang selalu benar dan menjadi satu-satunya yang benar, melainkan dengan agama, kita menjadi makhluk yang lebih beradab, makhluk yang berakhlak dan menjadi cerminan sifat-sifat-Nya yang mulia.

Sebagai ibu hendaknya tidak hanya berfokus pada hal-hal lahiriah semata, melainkan seraya memahami ajaran agama yang hakiki, hendaknya setiap penyakit dihapus serta dieliminir sebelum ia menjadi penyakit komunal, termasuk masalah intoleransi dan radikalisme ini.

Kebaikan hendaknya juga harus disebarkan ke seluruh masyarakat dan tiap kita mengamalkannya agar hal tersebut menjadi kebaikan kolektif. Senantiasa ciptakan lingkungan yang jauh dari keburukan yang dengannya tidak tersebar keburukan, lakukan kebaikan yang indah lalu teruskanlah kepada anak keturunan kita.

Selamat Hari Ibu.

@ rokhila farida


Surat Terbuka Guru Besar Teologia kepada Komisi Fatwa MUI

DUNIA HAWA



Yang terhormat:

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Jalan Proklamasi 51, Jakarta Pusat 10320

Salam sejahtera dan dengan hormat,

Sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor 56 Tahun 2016 tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa catatan dan pertanyaan berikut:

1. Di dalam judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah Non-Muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen (=Nasrani). Namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat Kristen.

2. Di dalam fatwa tersebut tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut ataupun simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram, kendati pada Keputusan, butir Ketentuan Umum, dinyatakan bahwa “dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

3. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernik-pernik hiasan yang digunakan banyak orang untuk merayakan Hari Natal, misalnya: pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin, dsb.

4. Sampai sekarang gereja Kristen (yang terdiri dari berbagai aliran dan organisasi) belum pernah membuat konsensus tentang atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol salib.

Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat (Eropa dan Amerika), yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

5. Produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen, termasuk iman kepada Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen sebagai Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia, serta sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.

Penyebaran, produksi, dan perdagangan benda-benda itu lebih dimotivasi oleh hasrat untuk mendapat keuntungan material; itulah sebabnya orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama. Bahkan boleh jadi orang yang tak beragama pun ikut memproduksi dan memperdagangkannya.
Karena itu saya tidak mempersoalkan atau berkeberatan kalau Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa menggunakan, memproduksi, menyebarkan, dan memperdagangkan benda-benda atau atribut-itu adalah haram.

6. Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir.

Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.

7. Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.

8. Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat. Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal ini dalam suasana persahabatan dan persaudaraan.

9. Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan kesejukan.
Izinkanlah umat Kristen di Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami yakini sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia, dalam suasana tenteram dan sejahtera.
Salam hormat teriring doa,

Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.

Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

Catatan: 
Tulisan ini dibagikan atas seizin penulis.

Bom Panci dan Bahrun Naim yang Diseret ke Istana

DUNIA HAWA - Sungguh mengejutkan ketika berita tentang rencana serangan bom bunuh diri ke Istana melibatkan seorang perempuan berinisial DYN asal Cirebon. Ini fenomena baru yang sedang dikembangkan oleh kelompok teroris dengan melibatkan perempuan dalam serangkaian rencana aksi bom bunuh diri. Mungkin ini kejadian perdana yang pernah terjadi di Indonesia.


Hal senada juga kita jumpai saat operasi Tinombala, dalam video eksklusif yang diliput TV swasta nasional juga ditemukan 4 (empat) orang perempuan yang tinggal bersama Santoso dan kelompoknya di hutan. Menurut pengakuan anggota kelompok Santoso yang berhasil ditangkap hidup-hidup menyatakan, “Mereka tidak suka dengan kehadiran perempuan dalam aksi-aksi mereka.”

Memang tidak dikisahkan secara utuh, apakah perempuan-perempuan yang terlibat itu juga dilatih untuk ikut serta dalam serangkaian kegiatan pelatihan dan rencana aksi serangan bom bunuh diri di tanah air? Sayang tidak diungkapkan lebih detail soal ini, tetapi yang pasti mereka (perempuan) hadir dan ada dalam kelompok Santoso.

Kedua peristiwa tersebut di atas sesungguhnya mau mewartakan kepada dunia bahwa rencana aksi bom bunuh diri tidak saja melibatkan laki-laki tetapi juga perempuan, bahkan dalam serangkaian peristiwa di tanah air juga melibatkan anak. Dengan demikian pelaku bom bunuh diri tidak lagi mengenal batasan usia dan jenis kelamin. Semua orang yang sudah masuk dalam jaringan teroris layak menjadi pelaku bom bunuh diri.

Ini sejalan dengan Pengamat masalah terorisme, Sidney Jones mengatakan, kelompok yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS semula melarang keterlibatan perempuan sebagai kombatan atau mujahidah dengan alasan tertentu. Namun menurutnya, larangan itu sudah dihapus sejak Juli 2016 lalu.

"Tetapi dengan perang dan keadaan darurat, kelihatannya larangan itu sudah dihapus. Asal ada izin suami, kalau sudah suami-istri, atau dari muhrimnya, saya kira mereka diberi lampu hijau," kata Sidney Jones kepada BBC Indonesia, Minggu (11/12) sore.

Modus perekrutan “pengantin” bom bunuh diri lebih canggih, santun, berawal dari persahabatan biasa. Dalam perjalanan waktu rasa cinta muncul dan beranjak menuju ke pelaminan. Perkawinan menjadi jalan tol yang paling mudah untuk merekrut calon pengantin bom bunuh diri saat ini.

Model perekrutan ini berbeda dengan pola rekrutmen lama yang berdasarkan latar pendidikan yang sama atau hubungan keluarga, akhir-akhir ini pola perekrutan dilakukan melalui media sosial dan perkawinan. "Dan figur-figur lama di Indonesia pun menyerukan kepada mereka untuk bergabung ke sana (ISIS). Bagi yang tidak mampu diserukan berjihad di dalam negeri," kata Ansyad yang ditegaskan oleh S saat diwawancarai TV One beberapa waktu lalu.

Menurut pengakuan S dalam wawancara eksklusif di TV One, mengatakan sebelum menjadi “pengantin” dibaiat terlebih dahulu. "Bukan hanya merekrut, termasuk memberikan doktrin paham radikal itu sehingga setiap orang yang tidak ada hubungan bisa saja dia meradikalisasi dirinya, self radicalised yang disebut lone wolf," papar Ansyad.

Pelibatan kaum perempuan dalam serangan bom bunuh diri di Indonesia, menurut Sidney, sudah diperkirakan lama berdasarkan temuan "diskusi antara ekstremis perempuan di telegram". Apakah ini pratanda bahwa kesetaraan gender juga perlu diterapkan dalam melakukan aksi bom bunuh diri?

Entalah, fakta yang sedang berkembang menunjukkan bahwa perempuan saat ini tidak lagi berkutat dengan urusan domestik Rumah Tangga, tetapi mulai menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok radikal baik ISIS, Teroris maupun kelompok-kelompok sejenis lainnya.

Menurut sejumlah sumber menyebutkan bahwa Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurrahman masih diandalkan menjadi tokoh idola Jemaah Islamiyah dan Jamaah Anshorut Tauhid. Kedua tokoh ini menjadi sumber inspirasi dan ideologi bagi kelompok-kelompok radikal di Indonesia.

Ternyata hukuman mati penangkapan dan penembakan ditempat terhadap kelompok teroris dalam sejumlah penggerebekan di tanah air tidak membuat kelompok teroris kapok. Kelompok teroris masih heroik menyebarkan ancaman teror di sejumlah wilayah di Indonesia. Sel-sel terorisme bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Mati satu tumbuh seribu.

Sel-sel teroris tumbuh dan berkembang secara sporadis dengan agenda dan target masing-masing. Mulai dari penyerangan terhadap orang asing, rumah-rumah ibadah, hotel, tempat-tempat ramai, aparat keamanan hingga Istana Negara.

Terhadap rencana aksi serangan di istana negara yang melibatkan DYN di sebut-sebut BN (Bahrun Naim) sebagai otak atau dalang dibalik ini semua. BN mengendalikan serangkaian serangan dari jarak jauh dan mendistribusikan peran kepada anggota kelompoknya untuk melakukan survei, marancang bom hingga rencana peledakan.

BN (Bahrun Naim) ditengarai sebagai pentolan ISIS Indonesia yang diduga saat ini berada di Suriah masih sangat berpengaruh. Penangkapan DYN, NS, AS di Bekasi, Jawa Barat dan S, di Karanganyer, Jawa Tengah yang merupakan kelompok  BN (Bahrun Naim) menunjukan BN masih berperan terhadap sejumlah serangan Bom Bunih Diri di tanah air.

Bahrun Naim berhasil merekrut dan mengendalikan sejumlah rancana aksi pengeboman bunuh diri yang renananya akan diledakan di Istana negara, pada Minggu, 11/12-2016. Menurut pengakuan DYN dan S (suami-istri)  bahwa ada banyak hal yang mereka tidak tahu soal apa, siapa dan bagaimana. DYN dan S hanya dimandatkan untuk melaksanakan perintah BN (Bahrun Naim).

Salah satu target utama yang digadang-gadang oleh kelompok teroris asuhan BN (Bahrun Naim) adalah objek vital yang disebut istana negara. Menurut pengakuan DYN bahwa bom panci yang akan diseret ke istana akan diledakan pada pukul setengah 7 hingga setengah 8 pada hari Minggu, 11/12-2016 dengan sasaran adalah Paspampres.

Aksi teroris di tanah air sedang membidik Istana sebagai simbol kekuatan RI. Jika aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan oleh DYN berhasil, maka kelompok ISIS atau Teroris akan memekikan kesuksesan, karena mereka berhasil menguasai istana negara.

Penyebaran melalui sel-sel kecil ini, kata Ansyad, dilakukan setelah organisasi Jamaah Islamiyah dan organisasi lainnya berhasil ditekan aparat kepolisian. Mengapa Bom Panci Bahrun Naim diseret ke Istana?

@yulius regang


Kekuasaan dan Kutukan dalam Sejarah Islam

DUNIA HAWA - “Jangan lupakan Aleppo!” kata penembak yang mematikan duta besar Rusia di Turki. Satu nyawa lagi hilang. Dendam seakan terus akan dilanjutkan. 


Bencana kemanusiaan terjadi di Suriah. Aleppo, Damaskus, dan kota-kota lain jadi puing-puing. Lima tahun terakhir peperangan telah terjadi. Puluhan ribu manusia tewas. Jutaan lain sibuk menyelamatkan diri. Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk Suriah meminta

kepada Pemerintah Indonesia untuk turut menekan agar senjata-senjata yang berletupan di sana di gencet, sehingga peluru-peluru tidak berhamburan kemana-mana.

Di tempat itu, tempat yang sanggup membuat setiap mata manusiawi menyaksikan korban perang meneteskan air mata, adalah tanah yang dahulu juga sering ditumpahi darah. Ketika Bani Abbasiyah akan lahir, di wilayah itu juga terjadi pembantaian-pembantaian. Seorang dari keluarga Bani Umayyah yang selamat dari pembantaian pasukan Bani Abbasiyah adalah ‘Abd ar-Rahman bin Muawiyah. 

Maribel Firero menulis: kisah penyelamatan diri 'Abd Ar-Rahman bin Mu'awiyah jika dinaskahkan akan menarik seperti film Hollywood. Dalam penyerangan yang terjadi di Damaskus, pusat Bani Umayyah saat itu, keluarga Bani Umayyah dibantai. Satu keturunan yang selamat.

Ia belari mobat-mabit, menyusuri lorong-lorong istana, comberan-comberan selokan, menyeberangi laut yang sedih, memasuki negeri asing yang cemas, menghindari kejaran gerombolan prajurit-prajurit beringas haus darah yang mengincar kepalanya. Tapi ia selamat dan ia, yang nantinya akan mendirikan Kekhalifahan Bani Umayyah di Andalusia.

Khalifah Abbasiyah kedua, Abu Ja’far al-Manshur memujinya sebagai Shaqr Quraisy atau Elang Quraisy. Elang Quraisy itu, yang dapat menyelamatkan diri dari pembantaian dan akhirnya mendirikan Kekhalifahan di Andalusia, nantinya ia akan meletakkan pondasi kukuh bagi gaung peradaban berkemajuan di Eropa.

Satu hal yang pasti, tak dapat kita menyembunyikan informasi, bahwa Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang agung itu, yang membangun Baghdad jadi pusat dunia itu, yang mempelopori pembuatan kertas itu, yang menciptakan perpustakaan haibat yakni Bait al-Hikmah itu dan melahirkan intelektual-intelektual kondang sekaliber al-Khwarizmi, didirikan di atas darah keluarga Umayyah yang dibantai.

Klaim kedekatan dengan pamanda Nabi, al-‘Abbas, adalah hal paling penting yang digunakan sebagai supremasi, karena jalur nasab, seakan “memiliki” hak untuk memikul tanggung jawab sebagai Amirul Mu’minin.

Tak beda jauh dari pendahulunya, Bani Umayyah, ia juga tegak dengan label kedekatan jalur nasab dengan nabi. Bani Umayyah juga berdiri usai kilatan pedang beradu, leher terputus, panah beterbangan, tombak menembus dada, dan tubuh-tubuh menjadi mayat. Dua kekhalifahan besar dalam peradaban Islam itu, memiliki satu kesamaan: dibangun dengan pertumpahan darah sesama Muslim.

Kekuasaan rupanya memiliki kutukan.


Jika Kebenaran yang Hilang garapan Farag Fouda dikritik habis-habisan oleh beberapa akademisi sayap Kanan negeri ini (karena, menurut mereka, kesembronoan sumber yang digunakan), Farag Fouda setidaknya menampilkan perspektif baru dalam melihat pembentukan peradaban Islam. Kehadiran buku Farag Fouda yang mendapat pujian dari intelektual seperti Azyumardi Azra dan Buya Syafi’i Ma’arif, ingin menampilkan bahwa sejarah tak selamanya sakral.

Sejarah adalah ilmu yang mengingatkan kita akan luka masa lalu. Dalam sejarah, luka itu membekas dan tak mesti disembunyikan. Bekas luka itu harus kita sadari bahwa pernah terjadi dalam hidup kita, sebuah kecelakaan pemahaman tentang banyak hal. Dan dari bekas luka itulah kita akan belajar banyak hal pula, untuk diperbaiki.

Bekas luka itu bisa jadi tanda yang seksi, seperti sebutir andheng-andheng di pipi Revalina S. Temat yang tak harus ditutupi dengan bedak atau andheng-andheng di ujung hidung Febri Aryanti yang tak harus ditutupi dengan burqa.

Maka, ketika Farag Fouda mengutip laporan sejarawan Muslim Al-Thabari dalam kitab Tarikh al Umam wa al-Muluk, bahwa: “Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.

Umair bin Dzabi’i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya. Ia dimakamkan di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi) karena dilarang dimakamkan di kompleks Baqi', adalah untuk menunjukkan bahwa sejarah peradaban Islam kita tak selamanya baik-baik saja.

Meski fakta-fakta Farag Fouda itu dipertanyakan keakuratan pemilahan sumbernya, tapi yang mesti kita sadari adalah terdapat luka di sana. Luka yang timbul karena pelbagai soal, yang jawabnya selalu kita perdebatkan hingga kini. Luka, bahwa pertikaian karena persoalan perebutan kekuasaan selalu menyisakan banjir darah dan air mata.

Luka itu, luka yang berupa fakta kekejaman kelompok Muslim yang satu dengan kelompok Muslim lain dalam perebutan kekuasaan, jarang diungkap. Alih-alih dalam materi sejarah kebudayaan Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sejarah yang Hilang adalah ikhtiar menunjukkan bahwa dalam masa lalu peradaban kita juga tercoreng oleh kelakuan-perlakuan yang buruk. 

Karena itu, kekagetan sering nemplok di dalam benak ketika gaung-gema gagasan kekhalifahan saat ini membombardir negeri ini. Sesering apakah, dari sekian pendukung “tegakkan khilafah di Indonesia” berani bertanya dalam hati: “mungkinkah kita sebagai ‘ummat pernah kejam kepada saudara Muslim lain saat ingin mendirikan kekuasaan dengan bentuk Kekhalifahan?”

Maka, ketika jutaan orang berpakaian putih berduyun-duyun ke Jakarta, yang sebagian diantaranya memiliki gagasan “tegakkan khilafah”, membuat saya cemas, akankah kutukan kekuasaan itu berulang? Tapi yang terjadi berbeda. Sejarah sudah dihamparkan seperti sebuah stepa yang ditumbuhi oleh rerumputan subur.

Kita dipersilakan untuk menggembalakan mata, melihat mana rumput asli atau mana rumput sintetis Made in China. Gerakan massa 212 berevolusi menjadi gerakan ekonomi, menyadari bahwa ‘ummat Islam mesti mandiri.

Tapi kutukan ini, kutukan kekuasaan, telah menghantui setiap orang yang menginginkan kekuasaan. Karena itu, saat banyak media menyudutkan bahwa Bashar al-Assad adalah penerus diktator dan harus digulingkan untuk digantikan dengan penguasa baru, sementara al-Assad sendiri tetap bertahan, maka kutukan berupa pembantaian-peperangan itu terus terjadi.

Kematian untuk para pendukung, teror untuk para pemberontak. Kesumat terus membara. Kesedihan dari anak-anak tak berdosa korban pertikaian, pandangan kosong karena kehilangan orang tua. Rumah-rumah yang lantak, perut yang mengerut karena lapar. Desir angin kekejaman, dentum bom yang memekakkan telinga. Perban di kepala yang tak kuat menahan banjir darah, bayi yang sekarat.

Tank yang memburu, senapan runduk yang mengintai. Operasi anak kecil yang tak menggunakan obat bius karena persediaan obat habis. gandum yang tak lagi tumbuh karena tanah ditanami ranjau. Juga platform Twitter yang menyelamatkan gadis kecil, Bana al-Abed, karena cuitannya tentang horor menakutkan nan mencekam di Aleppo.

Kapan kutukan itu akan berakhir atau apakah memang manusia sesungguhnya adalah makhluk terkutuk?

@priyadi


Beragama Mistik versus Beragama Modern

DUNIA HAWA - Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Aura Alifa Asmaradana atas tulisannya yang berjudul "Takut Kafir Mendengar Lagu Natal?" beberapa waktu yang lalu. Dalam tulisan tersebut, Asmaradana memparafrase pendapat dari Bronislis Malinowski mengenai fungsi esensial dari agama. Hal itulah yang sedikit-banyak meninspirasi tulisan saya kali ini.


Branislaw Malinsowski---seorang antropolog terpenting abad 20---menyatakan bahwa sebenarnya fungsi fundamental dari agama itu adalah menciptakan katarsis secara personal kepada pengikutnya. Katarsis sendiri merupakan suatu gejala emosi yang menciptakan kelegaan dan jauh dari pertikaian batin---begitulah kira-kira maksud yang dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Agama seharusnya membawa tekanan minggat dari diri kita, menekan prilaku diskriminatif yang primitiv dan melonggarkan beban batin yang membusuk diuluh-hati. Malinsowski percaya bahwa agama sebenarnya--secara esensial---adalah bentuk yang sangat personal terhadap setiap orang. Sehingga agama akan bersifat privat antara manusia dengan Tuhannya.

Agama muncul dalam bentuk mistik di era-era awal peradaban. Melalui jalan mistik yang begitu gaib; agama menjelaskan berbagai hal dengan caranya, termasuk fenomena alam yang kerap terjadi. Lambat-laun, manusia bergantung dengan agama, karena fungsinya yang menentramkan tadi.

Pada masa-masa kejayaan Islam contohnya, agama yang terus berjalan diarea mistik namun tidak membuat pengikutnya abai terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tokoh-tokoh besar Islam banyak lahir di masa-masa tersebut.

Agama dengan mistiknya lambat laun bergeser ke arah simbol-simbol. Di beberapa pihak, agama yang bersifat personal saja tidak cukup; akhirnya muncul simbol-simbol yang ditujukan menjadi cerminan agama. Masjid, gereja, jilbab, topi Santa, baju koko, dan lain sebagainya sebagai contoh.

Kurangnya sifat untuk tidak berburuk sangka, menjadikan masyarakat kita saat ini sangat terbuai akan simbol-simbol tersebut, tidak buruk memang, tapi perlu kita telaan lebih dalam. Kemudian, saking terbuainya kita melihat agama hanya dari simbol-simbolnya saja. Wanita tidak menggunakan jilbab dicap tidak Islami, atau seseorang tidak rajin datang berkunjung ke masjid dituduh tidak merindukan Tuhan.

Jika kita tarik ke urusan politik misalnya, pemimpin di sebuah daerah haruslah berasal dari agama mayoritas di daerah itu; bukan karena kemampuannya memimpin atau kinerjanya bagus. Ini merupakan tragedi yang sama-sama kita amini di peradaban kita hari ini.

Agama, secara luas membawa dampak yang mendamaikan. Namun akibat kita terlalu sibuk mengurusi simbol-simbol tersebut hingga kita gampang tersulut untuk berkonflik dengan mereka yang bersimbol berbeda. Kita lupa bahwa simbol-simbol agama diciptakan banyak untuk menjadi fasilitator kita untuk berserah kepada sang Pencipta. Bukan sebagai yang disembah. 

Beragama di dunia modern harusnya bukan merupakan sebuah aktivitas formalitas agar tidak dicap tidak-tidak oleh steriotip masyarakat. Agama harusnya menjadi pilihan hidup, bagi mereka yang berkebutuhan terhadapnya. Agama adalah proses menemukan Tuhan dengan tujuan kedamaian penuh. Sehingga lucu ceritanya jika beberapa pihak menegakkan agama dengan membentak-bentak.

Salah satu penyakit beragama di dunia Modern adalah generalisasi oleh masyarakat. Ambil contoh sederhana dari pengalaman saya misalnya ketika saya memutuskan untuk tidak memelihara jenggot, saya dicap sebagai orang yang membuang-buang pahala.

Begitu pula ketika beberapa kolega saya memilih untuk memelihara jenggot, mereka dicap terlalu fanatik. Atau ketika teman saya yang wanita memilih untuk tidak berhijab, mereka dilabelkan sebagai wanita yang tidak sempurna agamanya.

Bukankah, tanpa kita berlaga beragama seharusnya agama sudah sempurna? Penyakit ini terus menjamur dimana jika kita---ya kita semua---masih merasa arogan dan boleh arogan karena kita adalah kaum yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Lagi-lagi, potensi konflik yang tak berkesudahan muncul dari sini.

Mengkritik pemuka agama atau agamanya sendiri saja misalnya, seakan melabelkan si pengkritik adalah makhluk yang lalai dan antiagama. Tidak setuju dengan poligami dan bersikeras bahwa ayat di kitab suci harus dilihat berdasarkan konteksnya, tidak bisa hanya dengan pemahaman literal saja.

Hal ini telah membawa kita mendaftar kepada suatu kubu yang bertentangan dengan kubu lainnya. Seakan berbeda pendapat dalam memahami merupakan bentuk pelanggaran beragama dan siap-siap menjadi bulan-bulanan di social network. Hal ini seakan menyadarkan kita bahwa, dunia modern ini, bersatu secara utuh atas nama agama itu merupakan sesuatu yang utopis untuk dicapai.

Beragama di dunia modern memang tidak mudah. Bahkan lebih sulit dibandingkan beragama mistik yang perlu pemikiran dan mempelajari berfilsafat. Didunia modern, agama sudah dikapitalisasi macam-macam. Menjelang lebaran, baju koko diproduksi banyak, karena habit masyarakat kita merayakannya dengan euporia berlebih dan tentunya kocek berlebih pula.

Begitu juga menjelang Natal, segala penjuru toko menjajakan pernak-pernik natal. Tidak salah memang, namun perlu kita sadari bahwa seharusnya hari raya kita rayakan dengan merefleksikan diri, sejauh mana kita memfungsikan agama untuk kita---secara personal---dalam segala sudut sehidupan kita sehari-hari.

Agama di dunia hari ini telihat sudah jauh dari esensinya untuk mengatarsiskan para pemeluknya. Agama dan beragama hanya dicap dari simbol-simbol yang melakat pada tubuh kita. Beragama menjadi suatu yang diharuskan karena tuntutan masyakat, bukan karena kebutuhan kita sebagai makhluk yang lemah di hadapan Tuhan.

Agama sudah menjadi urusan publik dan bukan lagi menjadi urusan pribadi pemeluknya, yang bersifat hak dan hakiki antaranya dan Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

@lalu m.s. aulia sastra hidayat