Saturday, December 17, 2016

Dihempas Badai Pulau Seribu, Ahok Terus Melaju

DUNIA HAWA - Dua bulan menjelang dibukanya bilik suara untuk warga Jakarta, langkah Ahok yang sebelumnya sempat tertatih-tatih, kini terlihat semakin tegap dan mantap. Sempat terhempas dihantam badai Pulau Seribu, Ahok yang begitu menggebu untuk sekali dayung  bisa sampai, terpaksa  harus menepi. Ia tak kuasa menahan tangannya untuk mendayung ke arah yang tidak dia kehendaki, dan ia pun dipaksa untuk semakin menjauh dari labuhan di mana hatinya tertambat sudah.


Andai ia terus mendayung menantang badai, sangat mungkin perahunya sudah terbalik. Dan tidak ada yang tahu dengan pasti bahwa itu juga akan menjadi akhir dari sejarah Sang Petualang asal Belitung. Dan berbeda dengan apa yang pernah diucapkannya: "Mati Adalah Keuntungan," kisahnya justru bisa berakhir sebagai seorang penista. Sungguh tidak beruntung untuk seorang petarung dari Belitung.

Untunglah badai berangsur reda, dan perlahan namun pasti, Ahok juga  mulai berhasil mengendalikan keadaan. Badai yang tadinya begitu dahsyat menghempaskannya, kini mulai bersahabat dan sudah berbalik arah untuk mendorong lajunya. Dengan cepat ia pun berhasil rebound, dan waktu ke depan sepertinya akan terus memihaknya sampai ia tiba dan berlabuh di Balai Kota.

Jika badai yang sudah sedemikian dahsyat ternyata tidak mampu mengandaskannya, lalu dengan apa ia bisa dihambat?

Lolosnya Ahok dari hempasan Badai Pulau Seribu bisa jadi telah membuat para pesaingnya di Pilkada DKI menjadi frustrasi. Agus Yudhoyono, sosok yang senang berlari di trotoar, melompat dari panggung, dan melempar wacana bantuan tunai, kini harus menghadapi kenyataan yang begitu cepat berubah.

Dan ternyata tidak mudah, tidak seperti yang telah dibayangkannya sebelumnya. Ia, dengan petunjuk sang ayah, juga dibantu oleh GPS barunya sedang mencoba membangun kepercayaan diri. Sembari meneropong dari jauh, diamatinya Ahok dengan seksama dan hampir karam dihantam badai penistaan yang berhembus dari Pulau Seribu. Dan konon isunya,  turut juga dibantu oleh angin dari Cikeas.

Ia pun sudah dua kali lari menghindari debat, melompat dan kabur dari panggung yang ditunggu pemirsa. Dengan melempar alasan lebih memilih untuk bersama dengan rakyat, ia membuat upaya untuk bisa menghindar dari kecerdasan Ahok. Ia  juga merasa ngeri dengan jebakan silat lidah Anies Baswedan, yang sangat lihai dalam mereduksi prestasi dan kinerja kontestan yang menjadi pesaingnya.

Dan memang, Ahok bukanlah tandingan yang sepadan untuk Agus Yudhoyono. Seorang pemula yang belum seumuran jagung mengenal seluk-beluk politik dan rumitnya mengelola birokrasi, dan siapapun pasti tahu akan hal itu. Selain cerdas, Ahok adalah seorang pekerja keras dan sangat berintegritas. Ia seorang pemberani, dan juga tidak kenal kompromi.

Walau sering dituduh tak punya hati, namun Ahok ternyata sangat manusiawi dan selalu jujur dengan nurani. Berkali-kali ia dituduh kolusi dan korupsi, namun sampai saat ini tidak satupun yang terbukti. Justru, para penuduhnyalah yang kerepotan karena harus memberi klarifikasi kepada  Komisi Pemberantasan Korupsi usai tertangkapnya M. Sanusi di kasus suap reklamasi.

Soal program kerja dan kinerja, sulit menemukan celah guna mencela Ahok, apalagi untuk dibandingkan dengan Ahok, yang  dalam  tempo dua tahun sejak memegang kendali Jakarta, hasilnya begitu nyata. Siaga Waduk Katulampa kini hanya tinggal cerita. Banjir besar yang sering melumpuhkan Jakarta, perlahan dan pasti semakin terkendali dengan antisipasi dan penanganan begitu rupa.

Dengan normalisasi sungai dan kali, bencana banjir kini semakin tertangani. Bahkan, sungai dan kali di Jakarta makin jernih dan bersih. Itu bukan lagi mimpi, apalagi hoax. Itu fakta dan bukan hasil rekayasa. Jika tidak percaya, datanglah ke Jakarta. Belum lagi rencana pembangunan tanggul dan juga kesiagaan  pompa yang terus diawasi, kini menjadikan warga Jakarta bisa merasa lebih lega.

Serapan anggaran, walaupun masih belum maksimal  namun  output-nya ternyata sangat jauh bila dibandingkan dengan  yang sudah-sudah, yang hampir selalu habis tanpa sisa. Diserap oleh siapa, ke mana, untuk apa, dan juga bekasnya  tidak begitu dirasakan warga. 

Birokrat DKI yang dulunya manja dan bertingkah kini sudah berubah. Berani saja pungli, kalau tidak segera diganti. Birokrasi tugasnya melayani, bukan duduk di kursi sambil menghitung uang masuk di laci, menunggu bel pulang berbunyi.

Belum cukup?

Anda warga DKI dan punya masalah? Laporkan saja, pasti diresponi. Jika belum puas di hati, Balai Kota menanti setiap pagi. Sesuatu yang tidak pernah ada di seantero negeri, seorang gubernur mau mendengar curahan hati, dan seringkali memberi solusi melebihi ekspektasi. Bahkan, kawinan warga sangat sering disatroni. Dan juga tidak lupa, pasti selalu diamplopi. Apalagi?

Entahlah, bila harus ditambah dengan puluhan ribu unit rusun dengan fasilitas sekelas apartemen untuk menampung warga yang direlokasi. Dan juga disertai pemberdayaan warga rusun, Transjakarta gratis, fasilitas kesehatan,  hingga turnamen bola antar anak rusun yang bisa mengantarkan mereka sampai ke Eropa. 

Ratusan  RTPRA, wajah baru Kali Jodo, hijaunya taman Waduk Pluit dan RTH yang belum disebut. Layanan Transjakarta yang semakin baik dan terintegrasi, KJP dan beasiswa untuk mahasiswa yang diterima di PTN, KJS dan layanan kesehatan yang semakin baik, pembangunan Masjid, Marbot diumrohkan, tolong dilanjutkan...

Tentu siapapun akan berpikir, dan tidak cukup hanya dengan dua kali berpikir sebelum sesumbar mengklaim dirinya lebih baik dan lebih hebat dari petahana. Itulah yang sepertinya sangat menggentarkan hati Agus Yudhoyono, sehingga ia lebih memilih bermain aman dan selalu menghindar. Ia lebih merasa nyaman bermain dari jarak jauh dengan terus meniru resep lama sang ayah, yakni pencitraan.

Lain lagi dengan Anies Baswedan, yang juga tadinya (sangat mungkin) berharap Ahok terpeleset dan jatuh di "Jalan Penistaan." Memperhatikan situasi yang kini mulai berbalik arah, ia pun kembali menggunakan jurus lamanya. Sebelumnya,  ia memulai spekulasi dengan menempelkan topeng Foke di wajah Ahok untuk sungai bersih di Jakarta.

Maksud Anies ternyata tidak direstui Google, yang tetap pada pendiriannya bahwa semuanya  itu tetap karena Ahok, bukan Foke. Lalu, Anies pun mulai berpikir keras guna mencari strategi yang lebih halus, namun bisa sangat dalam menusuk. Tentu, Anies Baswedan  yang lumayan pintar itu sangat pandai menemukan kata guna menyamarkan fakta. Dengan demikian, ia berharap prestasi dan kinerja Ahok hanya akan terlihat samar.

Hal ini tentu sangat diharapkannya mampu mengurangi kredit poin yang diberikan warga kepada Ahok. Sambil ia dengan gaya santunnya mencoba terus memikat hati warga untuk bisa mencuri  kredit poin  yang sudah dikantongi Ahok. Sesekali, ia pun berupaya dengan cara halus dan lihai mengeksploitasi gaya bicara dan ucapan Ahok untuk bisa memikat hati warga yang diharapkannya bisa terpancing dengan isu kesantunan.

Ia pun mengulangi taktik yang sama dengan menyebut Ahok hanya membangun benda mati, istilah yang diberikannya untuk infrastruktur yang dibangun di bawah kepemimpinan Ahok. Ia berharap warga bisa terpesona dengan permainan majas yang dipertontonkannya. Ia berupaya membuat  perasaan warga  termanja dengan permainan kata yang membuatnya seakan berbeda dengan istilah "Pembangunan Manusia."

Anies mungkin lupa, Jakarta bukanlah sekolahan yang begitu mementingkan sastra dengan gaya bahasa dan terminologi. Jakarta butuh substansi atau bukti, tidak cukup hanya dengan janji, apalagi belum pernah terbukti. Infrastruktur yang dibangun oleh Ahok justru untuk memanusiakan manusia Jakarta. Bagaimana supaya warga bisa nyaman dan aman tinggal dan beraktifitas di Jakarta.

Demikian juga dengan pembenahan layanan birokrasi. Semuanya ditujukan untuk memanusiakan warga, bagaimana supaya birokrat DKI melayani warga seperti melayani diri mereka sendiri. Itulah yang disebut manusiawi. Rusun layak huni dibangun untuk warga yang tinggal di kawasan kumuh dan bantaran kali. Fasilitas pendidikan dan kesehatan dibenahi, dan warga difasilitasi untuk mendapatkan berbagai kemudahan yang menjadi hak mereka.

Kesempatan kerja diperluas dengan adanya pasukan warna-warni untuk membantu warga Jakarta. Dengan demikian, mereka  yang mendapat pekerjaan dan memiliki usaha bisa hidup mandiri dan mengembangkan potensi diri. Inilah pembangunan manusia yang sebenarnya, bukan dengan memberikan bantuan tunai atau bantuan sosial dengan jor-joran dan terus memanjakan warga.

Pemerintah, tugasnya adalah memfasilitasi dan menyiapkan sarana dan prasarana yang baik dan memadai serta terjangkau. Membuat regulasi, menciptakan iklim usaha dan investasi yang baik untuk terciptanya lapangan kerja dan usaha demi keadilan sosial. Bukan mengurusi dan menyiapkan semua kebutuhan warga supaya mereka bisa duduk tenang minum kopi sambil menonton televisi. 

Tentu dalam kampanye janji-janji seperti itu memang  sangat sering kita dengar. Namun,  tentulah warga sangat bisa membedakan  masanya kampanye dan kehidupan nyata.

Dan memang, tidak mudah bagi Anies Baswedan karena hingga saat ini, dibandingkan dengan Agus Yudhoyono, posisinya pun masih ada di bawah. Untuk menahan laju Agus, ia pun sesekali melemparkan jab yang diharapkannya bisa membongkar titik lemah Agus.

"Siapa Agus? Berapa jumlah orang yang sudah pernah dipimpinnya? Apa yang sudah pernah dia buat untuk warga Jakarta?"

Jab Anies Baswedan yang begitu telak mengena sudah pasti membuat wajah Agus memerah. "Pukulan"  Anies Baswedan memang sifatnya hanya pancingan, namun tidak kurang telah membuat banyak penonton terhenyak dan mulai ragu akan kebenaran informasi yang mereka dengar tentang kehebatan Agus.

Sebelumnya memang, selalu digaungkan dengan massif bahwa prestasi militer Agus sangat luar biasa. IP-nya begitu maksimal. Belum lagi dengan kegantengannya yang sudah pasti akan disukai oleh kaum ibu-ibu dan juga pemilih wanita. Entahlah, apa pula relevansi kegantengan dengan Jakarta yang beradab dan lebih baik.

Tentu masih banyak lagi kehebatan lain Agus, seperti: melompat dari panggung, terjun dari dek kapal ke pantai di Pulau Seribu. Belum lagi dengan janji-janjinya yang sangat menggiurkan. Dan yang paling heboh adalah, nilai tunainya. Wow, fantastis!

Dan ini tentu perlu mendapat perhatian serius dari Anies Baswedan, jika ia masih berharap untuk memiliki asa seandainya ada putaran kedua. 

Begitulah Ahok, setelah diterpa badai Pulau Seribu yang super dashyat, dengan kulminasi Demo Super Damai 212, ia pun kini melangkah dengan pasti. Dan tentu, semua itu tidak terjadi begitu saja. Semua itu merupakan bukti bahwa Ahok benar-benar sangat teruji dan sudah terbukti.

@omri l toruan


Bagaimana Jika Ahok Terbukti Tidak Bersalah?

DUNIA HAWA - Kasus penistaan agama yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Sejak zaman Soeharto kasus penistaan agama sudah mulai muncul dan terus berlanjut hingga sekarang. Terutama kasus penistaan terhadap agama Islam. Tersangka kasus penistaan agama Islam pun tidak pernah luput dari proses hukum. Lucunya, terlepas adanya tekanan massa atau tidak, tersangka kasus penistaan terhadap agama Islam pasti menjadi terpidana


Sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung pada tahun 1968 karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril dan menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa. HB Jassin telah meminta maaf namun tetap diadili karena penistaan dan dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun.

Lia Aminudin atau Lia Eden -yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria- dijebloskan ke penjara dua kali. Pertama pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama.

Penistaan agama Arswendo Atmowiloto melalui Tabloid Monitor. Kasus ini terjadi pada masa Orde Baru, tepatnya di tahun 1990. Kala itu, Arswendo menjabat sebagai pemimpin redaksi Tabloid Monitor. Arswendo harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi setelah divonis 5 tahun penjara karena telah melakukan penistaan agama.

Dia masuk penjara karena Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang tokoh pembaca. Arswendo menempati urutan ke-10 tokoh pembaca. Umat Islam dibuat marah setelah nama Nabi Muhammad SAW berada di urutan ke-11. Arswendo pun diproses hukum hingga akhirnya masuk bui.

Lalu, bagaimana jika kasus Ahok yang menyulut kemarahan banyak kaum muslim itu dinyatakan tidak bersalah dalam proses peradilan? Sebuah kasus yang mengejutkan, karena kasus-kasus penistaan agama terutama agama Islam yang pernah terjadi di Indonesia tersangkanya pasti dinyatakan bersalah dan menjadi terpidana.

Aksi bela islam jilid 1 hingga 3 berupaya agar Ahok segera diadili dan dipenjarakan. Dengan aksi tersebut, pemerintah melalui Presiden dan Kapolri sudah menegaskan bahwa kasus yang menimpa Ahok tidak akan ada intervensi dari pihak manapun. Proses peradilan akan berjalan sesuai hukum yang berlaku.

Tekanan massa membuat banyaknya peradilan opini yang berkembang di masyarakat. Seolah-olah Ahok sudah pasti bersalah dan harus dihukum. Indonesia, sebagai negara hukum, sudah seharusnya masyarakat mengedepankan Asas Praduga Tak Bersalah. Semua orang wajib diadili terlebih dahulu sebelum dinyatakan bersalah.

Hal ini yang menyebabkan kemungkinan adanya aksi lanjutan apabila Ahok dinyatakan tidak bersalah sebagai bentuk rasa kecewa kaum muslim atas keputusan peradilan. Karena, sudah bersarangnya opini bahwa Ahok sudah pasti bersalah terhadap kasus yang menimpanya. Tentu saja, aksi lanjutan akan menyebabkan terganggunya stabilisasi negara apabila jumlah massa yang akan bergerak nantinya lebih banyak dari aksi-aksi sebelumnya.

Menurut penulis, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah dan dipastikan bisa ikut Pilkada DKI 2017, kalau memang banyak kaum muslim yang tidak suka, cukup tidak dipilih saja. Terlepas dari surat Al Maidah ayat 51 atau apapun, sebaiknya kaum muslim bisa membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil' alamin. Yang bisa membawa kesejukkan bagi setiap insan.

Apapun hasil keputusan peradilan nanti, sebaiknya bisa diterima oleh semua pihak.


@ alfano septiansyah



Elektabilitas dan Kinerja Nyata Sang Pelayan

DUNIA HAWA - Dua bulan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah merilis temuan survei opini publiknya pada Kamis, 15 Desember 2016. Temuan survei ini terbilang mengejutkan. Karena pada survei sebelumnya, yakni November 2016, hasil yang dirilis cukup berbeda jika dibanding dengan hasil terbarunya bulan ini.


Berlangsung di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta Pusat, LSI menunjukkan bagaimana pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Nomor Urut 2 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat bertengger di posisi sebagai pemuncak.

Hasil opini publik ini menggeser posisi Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai pasangan calon yang sebelumnya unggul di survei LSI pada November 2016. Adapun pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, elektabilitasnya tetap konsisten berada di posisi paling buncit.

Mengapa temuan survei LSI ini saya katakan terbilang mengejutkan? Sebab, jika berlandas pada opini publik yang LSI lakukan secara tatap muka terhadap 800 responden, sang petahana tidak hanya berhasil menggeser posisi kandidat yang banyak disebut-sebut sebagai “Cagub Magang” dalam waktu yang relatif singkat, melainkan juga karena mampu mendongkrak elektabilitas di tengah jeratan kasus hukum kontroversial yang melanda diri seorang Ahok.

Survei Membuktikan


Dengan menggunakan metode multistage random sampling dalam memilih responden, terdapat sebanyak 31,8% responden yang memilih pasangan Ahok-Djarot jika Pilkada DKI Jakarta dilaksanakan saat itu, yakni 3 – 11 Desember 2016. Adapun pasangan Agus-Sylvi, dukungan untuknya berkisar 26,5%, sedikit mengungguli pasangan Anies-Sandi dengan capaian 23,9%. Untuk responden yang tidak/belum memutuskan pilihannya berkisar 17,8%.

Jika dibanding dengan temuan survei LSI sebelumnya, ada perubahan memang soal persentase elektabilitas para calon. Perubahan ini tentu cukup signifikan, meski sebenarnya tidak terlalu drastis.

Pada November 2016 lalu, urutan persentasenya sesuai dengan nomor urut masing-masing pasangan calon. 30,4% untuk Agus-Sylvi, 26,2% mendukung Ahok-Djarot, dan 24,5% untuk perolehan Anies-Sandi.

Tapi mengapa dalam waktu yang relatif begitu singkat ini, apalagi mengingat Ahok sedang dalam kondisi yang “kurang baik”, pasangan incumbent justru berhasil unggul dari para penantangnya yang bisa kita katakan aman-aman saja? Benarkah warga DKI sudah sedemikian cerdasnya dalam hal menilai pasangan calon?

Menurut Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi, tuduhan “penistaan agama” yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam terhadap Ahok memang menjadi satu pertimbangan khusus bagi responden untuk menilai pribadi Ahok.

Itu sebabnya, dalam survei November lalu, Ahok-Djarot diungguli oleh pasangan Agus-Sylvi. Ya, meski pasangan ini belum banyak terbukti atau berpengalaman dalam dunia politik jika dibanding dengan sang petahana yang sudah lama melanglang buana, yang sudah terbukti karena kinerja nyatanya bagi rakyat.

Tapi apa mau dikata, survei dengan tingkat kepercayaan 95% itu telah membuktikan. Di bulan berikutnya, Desember 2016, elektabilitas Ahok-Djarot justru meningkat signifikan seiring proses hukum yang Ahok jalani. #AhokRebound, begitulah tagar yang tersebar luas di jejaring sosial media sebagai penggambaran akan kondisi keunggulan pasangan petahana ini.

Karena Kinerja Nyata


Peningkatan elektabilitas Ahok-Djarot dalam temuan survei terbaru LSI ini tak lain disebabkan oleh pertimbangan matang dari para responden terhadap kinerja sang petahana. Tentu ini memberi bukti bahwa masyarakat DKI adalah masyarakat cerdas, yang mampu memberi pertimbangan rasional mengapa mereka harus kembali memilih Ahok-Djarot sebagai pemimpin—dalam istilah Ahok: pemimpin adalah pelayan rakyat.

Adalah wajar mengapa Ahok-Djarot unggul secara elektabilitas dari para penantangnya. Karena memang, dalam kurun waktu 2 tahun sejak pasangan ini dilantik, mereka berdua sudah banyak melakukan gebrakan dan terobosan untuk DKI Jakarta. Hal ini turut membuktikan satu teori bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan pada kinerja, maka masyarakat juga akan semakin merasakan manfaat dari program dan kebijakan pemerintah itu sendiri.

Ya, sebagaimana visi yang diusung Ahok saat masih jadi Wakil Gubernur bersama Jokowi, Ahok-Djarot berusaha melanjutkan untuk membuat Jakarta baru, membuat Jakarta menjadi kota modern yang tertata rapi, sebagai tempat hunian yang layak dan manusiawi.

Selain itu, masyarakat yang berkebudayaan juga terus diciptakan di mana konsep pemerintahannya berorientasi pada pelayanan publik. Visi inilah yang terlihat jelas dalam sejumlah program kerja yang sudah mereka lakukan dan buktikan selama menjabat sebagai Pemprov DKI dalam kurun waktu yang terbilang singkat.

Dalam hal reformasi birokrasi misalnya, praktik nepotisme berusaha dihapuskan. Jika dulu promosi jabatan dilakukan berdasar pada kekerabatan atau kedekatan dengan pimpinan, kini promosi tersebut lebih didasarkan pada kemampuan atau nilai terbaik dari sistem lelang jabatan.

Dalam hal ini, kinerja PNS dinilai berdasarkan Key Performance Index (KPI). Inilah yang menjadi alat bagi Ahok-Djarot dalam melakukan lelang jabatan, rotasi, mutasi, demosi, dan penentuan besaran Tunjangan Kinerja Daerah (TKD).

Untuk soal reformasi anggaran, terobosan e-budgeting Ahok-Djarot berhasil menekan permainan birokrat. Ini pun jadi solusi memperbaiki penyusunan APBD DKI. Ya, meski efeknya berujung pada ketidakharmonisan dengan DPRD.

Tapi efek positif lainnya juga harus dilihat, bahwa dengan e-budgeting ini, DKI Jakarta menjadi daerah percontohan bagi daerah lainnya, termasuk dicontoh oleh walikota Bandung dengan mengirim sejumlah pejabatnya belajar ke Jakarta tentang bagaimana mengelola APBD melalui sistem berbasis teknologi informatika ini.

Di bidang pendidikan, upaya mewujudkan masyarakat yang berkebudayaan ini dicapai dalam dua metode yang tak lazim. Pertama, memudahkan akses pendidikan dengan pemberian Kartu Jakarta Pintar (KJP) secara non-tunai.

Alhasil, angka putus sekolah pun semakin rendah, yakni 0,2% di tingkat SD, 0,12% di tingkat SMP, dan 0,41% di tingkat SMA pada tahun 2015. Tak salah ketika 77% warga dalam temuan survei LSI menyatakan biaya pendidikan di DKI sekarang ini cukup atau sangat terjangkau. Hanya 20% yang menyatakan tidak atau kurang terjangkau.

Kedua, memperhatikan kesejahteraan guru. Dari tingkat pendapatan, gaji, sertifikasi dan tunjangan kerja guru pada tahun 2015 mencapai 12 juta lebih. Ini meningkat menjadi 14 juta lebih di tahun 2016. Guru-guru pun terbukti semangat dalam bekerja serta professional.

Dengan metode di atas, anggaran pendidikan terus meningkat di tiap tahunnya. Dari 6,7 Milyar di tahun 2014 menjadi 2,3 Triliun di tahun 2015, hingga meningkat lagi tahun 2016, yakni 2,5 Triliun. Inilah upaya Ahok-Djarot dalam memanifestasikan cita-cita dan semangat UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 49 Ayat 1.

Sejumlah Kinerja Lainnya


 Di bidang kesehatan, terhitung sejak tanggal 3 April 2015, setidaknya sudah ada 15 Puskesmas yang diresmikan Ahok-Djarot dengan taraf pelayanan setingkat Rumah Sakit Umum. Hingga tahun 2016, sudah ada 7 RSUD, RS Kejiwaan Daerah, 44 Puskesmas Kecamatan, dan 267 Puskesmas yang dihimbau untuk turut aktif mendata penduduk agar seluruh warga DKI dapat menikmati layanan BPJS.

Ditambah lagi, ambulans dan mobil jenasah disediakan secara gratis demi kepentingan warga. Maka lagi-lagi tak salah ketika survei LSI menemukan bahwa 80% warga menyatakan biaya berobat cukup atau sangat terjangkau. Sementara yang menyatakan kurang atau tidak terjangkau hanya berkisar 18%.

Meski kelancaran transportasi mencapai angka terendah, yakni 59%, tetapi layanan transportasi terus-menerus ditingkatkan. Dari 565 unit bus TransJakarta di masa Jokowi-Ahok, meningkat dua kali lipat di masa Ahok-Djarot sampai sekarang, yakni mencapai 1.347 unit bus. Dan rencananya tahun depan, 3.000 unit bus akan dioperasikan, sembari membangun sarana dan prasarana transportasinya, seperti Mass Rapid Transit (MRT), guna menekan kemacetan.

Dalam hal penanganan banjir yang kita tahu sebagai bencana musiman warga Jakarta, upaya penanganannya juga terus dimasifkan. Sejumlah kanal-kanal banjir, baik sungai maupun waduk, telah dinormalisasi. Seperti Kali Sunter, Waduk Rawa Badung, Cengkareng Drain, pembangunan sodetan Ciliwung, pembenahan Waduk Kebon Melati, dan lain sebagainya.

Belum lagi soal pembangunan fisik juga renovasi bangunan lama. Mulai dari pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, renovasi terminal, rumah sakit, rumah susun, sampai pembangunan masjid-masjid. Kondisi infrastruktur layanan publik inilah yang mendapat apresiasi yang cukup tinggi dalam temuan survei LSI, yakni berada di atas 90%.

Dari kesemua kerja-kerja nyata Ahok-Djarot di atas, meski masih banyak lagi yang belum saya tuliskan, patutlah kiranya jika Ahok mendapat beberapa penghargaan, seperti dari Bappenas, KPK, Democracy Awards, dan sejumlah rekor Muri. Dari sini kita juga dapat simpulkan bahwa elektabilitas Ahok-Djarot bukanlah hasil rekayasa lembaga survei (LSI) maupun media massa, melainkan bersumber dari kerja-kerja nyata sang pelayan rakyat sejati: Ahok-Djarot.

@maman suratman

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta

Kenapa Orang Beragama Bersikap Intoleran?

DUNIA HAWA - Ada beberapa faktor yang membuat orang beragama bersikap intoleran dengan kelompok agama lain. Idealnya atau seharusnya, orang beragama itu toleran dan pluralis dalam bersikap. Bukan malah sebaliknya: intoleran dan anti-pluralisme. Lalu, apa faktor-faktor yang membuat orang beragama malah anti toleransi dan pluralisme? 


Salah satu faktor mendasar adalah kuper alias kurangnya pengalaman, pergaulan, dan pergumulan dengan komunitas agama lain. Pengetahuan tinggi tidak menjamin seseorang bisa menjadi toleran dan pluralis jika tidak diiringi dengan pengalaman pergaulan dan pergumulan yang memadai dengan kelompok agama lain. Karena itu jangan heran, kalau ada banyak "orang pinter" tapi "keblinger" alias tidak ramah dengan keanekaragaman. Bahkan pengalaman pergaulan lintas-agama itupun tidak menjamin orang bersikap toleran, jika mereka tidak memiliki komitmen yang tulus untuk saling mengenali dan memahami keunikan masing-masing tradisi dan agama. Dengan kata lain, bukan sekedar “pengalaman empiris” tetapi “pengalaman transformatif” yang membuat sebuah pengalaman bisa lebih bermakna dan berdampak positif bagi muncul dan tumbuhnya sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.    

Karena itu pula jangan heran jika Anda melihat orang-orang kampung yang polos, sederhana dan "minim" wawasan dan ilmu-pengetahuan mereka tetapi mampu bersikap toleran. Bukan karena "ilmu pengetahuan" yang membuat "wong cilik" dan "wong kampung" bersikap toleran tetapi lantaran mereka diperkaya dengan pengalaman yang “transforming” dengan seringnya bergaul dan bergumul dengan berbagai komunitas di berbagai acara-acara sosial, adat, dan kehidupan sehari-sehari mereka. Lagi pula, orang kampung dan wong cilik kebanyakan lebih suka memilih sikap “pragmatis”, simpel dan “tidak neko-neko” dalam kehidupan sosial-keagamaan. Ini berbeda dengan sikap “idealis” seperti yang dipraktekkan oleh sejumlah ormas keagamaan intoleran. 

Lalu, apakah ilmu-pengetahuan itu sendiri bisa membuat orang bersikap pluralis dan toleran tanpa harus diiringi dengan pengalaman? Bisa, asalkan kita mendalami ilmu-pengetahuan itu dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan umat beragama hanya mengaji dan mendalami ilmu pengetahuan dari satu sudut pandang saja sehingga wawasannya tidak “komprehensif”. Padahal, dengan mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai sudut pandang, mata hati dan pemikiran kita akan lebih terbuka dan maklum dengan fakta-fakta keanekaragaman pendapat yang bisa memperkaya cakrawala dan wawasan kita tentang sebuah masalah dan fenomena sosial-keagamaan sehingga tidak “kaku-njeku” seperti tiang listrik dalam berpendapat dan bersikap.

Karena itu saya sarankan kepada umat Islam khususnya, lebih khusus lagi bagi yang mau belajar, untuk mengaji dan mengkaji keislaman dari berbagai sudut pandang: sudut pandang Sunni, Shiah, Ibadi, Mu’tazilah, dlsb; sudut pandang berbagai ulama di berbagai mazhab: Maliki, Syafii, Hanafi, Hanbali, Ja’fari, dlsb; sudut pandang berbagai ulama tafsir dan hadis; sudut pandang berbagai disiplin: Islamic studies, antropologi, sejarah, sosiologi, dlsb; sudut pandang berbagai ilmu keislaman: fiqih, usul fiqih, akidah, tasawuf, filsafat, akhlak, dlsb.  

Dengan berselancar ke berbagai sudut pandang ini, kita akan tahu betapa luasnya khazanah Islam laksana samudra yang tak bertepi, dan betapa mininya wawasan dan ilmu pengetahuan kita semini metromini di Jakarta dan kota-kota di Indonesia. Dengan berselancar ini pula akan membantu dan mengantarkan kita menjadi “rajawali” di langit yang mahaluas bukan menjadi “kodok” di dalam tempurung.

Apakah pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kaya bisa menjamin orang menjadi toleran dan pluralis? Tidak. Jika hati dan pikiran kita penuh dengan “kotoran” dan “kepentingan”, maka seluas apapun pengetahuan kita dan sekaya apapun pengalaman kita, maka kita tidak mampu dan tidak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang bijak, toleran, dan pluralis. 

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi