Friday, December 16, 2016

Cuci Otak di Aleppo

Kembali ke Suriah...


DUNIA HAWA - Masih ingat foto anak kecil yang duduk di kursi oranye yang badannya putih terkena abu reruntuhan gedung ?


Saya pernah menulis tentang bagaimana kebohongan dalam bentuk propaganda yang aktif dimainkan di Suriah. Kebohongan ini disebarkan sebuah organisasi bernama White Helmet. WH bermain peran sebagai organisasi kemanusiaan, tapi sesungguhnya mereka memainkan propagansa kebohongan yang menyudutkan pemerintahan Bashar Assad.

Menariknya, si Helm Putih ini beritanya diambil oleh banyak media mainstream internasional dan dijadikan acuan.

Operasi terbaru White Helmet adalah saat tentara pemerintah Suriah beserta Rusia dan Hizbullah berhasil membebaskan Aleppo dari tangan teroris. Mereka memainkan akun twitter bernama Bana dengan profil seorang anak kecil berusia 7 tahun.

Bana memberikan laporan tentang situasi Aleppo dengan gambar2 anak2 yang menderita karena kekejian pemerintah Suriah. Gambar2 ini diserap secepat cahaya oleh mereka yang "merasa trenyuh" oleh situasi disana. Bahkan sekelas Ridwan Kamil aja terpesona dan ikut menyebarkannya.

Para pejuang anti-Hoax kemudian mengkonfirmasi bahwa gambar2 yang disebar itu adalah gambar2 saat perang Irak dan di Gaza, bahkan ada yang di Pakistan di tahun 2003 - 2009.

Sedangkan warga Aleppo sendiri sedang bergembira merayakan pembebasan mereka tetapi tidak terkabarkan dengan maksimal.

Inilah perang propaganda paling mengerikan, ketika dunia kita dikuasai oleh media2 internasional pendukung imperialisme. Cuci otak terus dilakukan setiap detik sampai kita akhirnya percayai kebemaran karena kebohongan yang terus diceritakan berulang-ulang.

Jurnalis perempuan independen asal Kanada Eva Bartlett bercerita tentang hal ini.

"Saya sudah sering ke Kota Homs, Maaloula, Latakia, dan Tartus lalu ke Aleppo, empat kali. Rakyat Suriah mendukung pemerintahnya dan itu adalah kebenaran. Apa pun yang kalian dengar dari media Barat justru kebalikannya," kata Bartlett, seperti dilansir Russia Today, Rabu (14/12).

"Dan dalam hal ini, apa yang kalian dengar dari media Barat, saya akan sebutkan--BBC, Guardian, the New York Times, dan seterusnya--tentang apa yang terjadi di Aleppo adalah bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya."

"Organisasi-organisasi itu mengandalkan laporan dari Pemantau Hak Asasi suriah (SOHR) yang bermarkas di Coventry, Inggris, yang dikelola oleh satu orang. Mereka (media Barat) juga mengandalkan Helm Putih. Organisasi kemanusiaan yang didirikan oleh mantan militer Inggris dan didanai jutaan dolar oleh Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Barat," ungkap Bartlett.

Jadi, ketika anda mengkonsumsi berita, pastikan berita itu tidak mengganggu akal sehat anda..

Mirip-miriplah ma berita aksi massal di Monas yang dihadiri 7 juta orang itu..

Serumprut....

@denny siregar

Rukyah

DUNIA HAWA - Rukyah adalah praktek pengobatan dengan pembacaan ayat Quran atau doa-doa. Penyakit yang diobati biasanya terkait dengan alam gaib seperti sihir, dan ganguan jin/setan. Dalam tradisi Kristen praktek ini disebut exorcism. Secara umum hal ini bisa disebut praktek perdukunan. 


Sebagian orang akan keberatan bila rukyah disamakan dengan perdukunan. Lalu mereka membantah dengan dalil-dalil. Sebenarnya ini cuma soal ingin disebut berbeda. Dalam Islam, rukyah dibagi jadi 2 jenis, yaitu rukyah syar'iyah dan rukyah syirkiyah. Syar'iyah artinya sesuai syar'i, sedangkan syirkiyah dilakukan secara syirik. Bagi kalangan tertentu, rukyah syirkiyah inilah yang disebut perdukunan. Sedangkan yang syar'iyah bukan. 

Pada prinsipnya sebenarnya sama saja. Basisnya adalah kepercayaan pada hal-hal gaib, jin, setan, malaikat, dan juga sihir. Yang membedakan adalah basis iman dalam penanganannya. Rukyah syar'iyah berbasis pada iman Islam, sedangkan yang lain berbasis pada iman/kepercayaan selain Islam. Dalam sudut pandang modern, semua adalah perdukunan.

Perdukunan adalah cara pengobatan kuno yang ada di semua kebudayaan. Pada hal-hal yang belum dipahami manusia mereka-reka sesuatu yang gaib. Kemudian manusia juga mereka-reka pula cara untuk menangani perkara gaib itu. 

Berkembangnya positivisme membuat kegiatan reka-reka ditinggalkan. Ilmuwan dari dunia Islam mengembangan ilmu anatomi, serta teknik pengobatan berbasis pada riset. Ini kemudian dikembangkan oleh ilmuwan Eropa, dan terus berkembang hingga sekarang. Di dunia modern rukyah, excorcism, dan perdukunan adalah cara pengobatan minor saja. 

Dari sudut pandang psikologis, rukyah adalah sejenis internal healing. Kekuatan penyembuhan datang dari dalam tubuh, dibangkitkan melalui optimisme berbasis pada kepercayaan seseorang. Kuncinya ada pada iman dan optimisme itu. Dalam beberapa sisi praktek ini mirip dengan hipnotisme. 

Benarkah rukiyah bisa menyembuhkan? Bisa, tapi akan sangat tergantung pada berbagai mekanisme yang sulit dikontrol. Kuncinya ada pada kepercayaan dan kesadaran pasien. Bila ia tidak berada dalam keadaan mampu membangkitkan optimisme, maka rukyah tidak ada artinya. 

Tapi bukankah rasulullah mengajarkan rukyah? Iya, karena di zaman itu belum ada pengobatan lain. Dulu orang belum mengenal adanya bakteri dan antibiotik. Juga belum mengenal virus dan vaksin. Belum dikenal pula anatomi dan pembedahan. 

Zaman dulu sakit demam panas dikira akibat gangguan jin. Kini diagnosanya menjadi dugaan serangan bakteri atau virus. Dulu kusta dianggap kutukan, kini kita tahu bahwa itu penyakit akibat kuman.

Bagi saya, apapun yang dikatakan nabi tentang rukyah adalah pesan khusus untuk manusia di zaman itu. Itu adalah bagian dari obselete values atau nilai usang. Kita sekarang punya pengobatan modern yang berbasis pada ilmi. Sangat patut bila kita melakukan pengobatan dengan cara modern itu.

@hasanudin abdurakhman, phd


Siapa yang Bisa Menemukan Islam dalam Tubuh FPI?

DUNIA HAWA - Di negeri kita tercinta, Indonesia, akhir-akhir ini isu keragaman dan kebhinekaan mencuat lagi ke permukaan. Tema tersebut menjadi kembali hangat, bahkan memanas diperbincangkan pascaaksi massa Bela Islam Jilid II dan III.


Disadari atau tidak, kita sedang sibuk membuat batas demarkasi seketat-ketanya dalam lingkaran kesatuan yang dulu dicita-citakan dan diperjuangkan Mahapatih Gadjah Mada.

Ahok Effect dalam kasus Al-Maidah: 51 telah menggoyahkan fondasi demokrasi kita. Sikap reaktif massa kaum beragama seolah kehilangan etika keagamaannya. Sentimen keaagamaan mereka mengoyak tenunan bangsa ini yang sudah dijahit rapi oleh para pendahulu kita. Di sisi lain, faktor dominannya karena pelaku yang diduga penista agama tersebut adalah orang yang secara teologis berbeda dengan mayoritas rakyat Indonesia.  

Silang pendapat persoalan di atas; apakah benar dan murni sebuah penistaan terhadap agama atau hanya urusan politik an sich yang dibungkus agama, menjadi sentra konflik horizontal bangsa ini. Orang Islam dan ormasnya yang tidak ikut aksi bela Islam yang berjilid-jilid itu dituding sebagai golongan kaum “muslim munafik”, karena tak berpihak pada Islam versi mereka.

Tudingan  sepihak tersebut sangat melukai rasa keagamaan pihak lain yang berseberangan dengannya. Sehingga pihak yang dituding, balik menuduh bahwa pihak aksi massa adalah mereka, kaum Muslim intoleran yang sangat membahayakan keharmonisan pluralisme bangsa ini yang semula rukun, damai dan toleran.

Secara ringkas, bisa kita katakan bahwa kedewasaan beragama bangsa ini masih rendah. Agama yang sejatinya membawa angin surga nan wangi, kini berubah menjadi angin topan yang mengobrak-abrik rumah bersama, di mana para penghuninya biasa berteduh di sana untuk menghindari panas dan hujan.

Mereka beragama hanya sebatas dan berhenti pada cangkang, sama sekali bukan pada substansinya. Wajar saja, yang diperlihatkan dalam aksi massa tersebut hanya jubah, sorban, bendera, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan bahasa verbal yang di dalamnya penuh dengan  ancaman, hujatan, intimidasi hingga aksi pemboikotan beberapa produk anti Islam.

Mereka tidak sadar bahwa makanan, pakaian, serta kendaraan yang mereka konsumsi dan pakai selama ini adalah bukan (pula) produksi asli mereka. Banyak di antara mereka lupa bahkan amnesia; Di mana mereka makan, nongkrong dan ngopi setelah aksi selesai pada waktu itu?

Banyakkah di antara mereka mampir di Mc. Donald, KFC, Pizza Hut, A&W atau Starbucks, dll.? Di mana mereka berbelanja kebutuhan sehari-harinya? Jika hendak ekstrem, contohlah pemboikotan yang dilakukan Mahatma Gandhi terhadap produk Inggris, dengan program “swadesi”-nya. Itu baru pemboikotan yang riil.

Fatwa-fatwa yang diproduksi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menambah kesemerawutan sekaligus kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Fatwa-fatwa tersebut muncul secara reaktif  justru menjadi objek sindiran dan cemoohan para intelektual, akademisi, dan tokoh-tokoh agama moderat semisal Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, KH. Ahmad Mustofa Bisri atau KH. Said Aqil Siradj, dll.  

Fatwa MUI, mereka anggap sangat gegabah dan keliru karena justru menjadi pemicu keretakan umat yang selama ini kompak dan bersatu di bawah cengkraman kaki burung garuda, bhineka tunggal ika.  

Persoalan selanjutnya seputar fatwa MUI adalah munculnya beberapa aliran keagamaan yang dianggapnya sesat, menambah kehebohan polemik di tengah masyarakat. Wacananya semakin melebar, mulai dari klaim kebenaran satu agama atau aliran tertentu, hingga kepada hak-hak sipil-politik sebagai warga negara.

Sikap beragama yang eksklusif sangat berpotensi menjebak kita ke dalam satu kondisi yang gampang sekali menganggap kelompok atau agama lain adalah sesat, bahkan menjadi semacam ancaman yang harus dimusnahkan. Kondisi tersebut berlaku bagi setiap kelompok dan agama, baik antaragama yang mendapat pengakuan resmi pemerintah, maupun agama lokal sekalipun.

Lahirnya primordialisme seperti di atas akan memicu segregasi, yaitu pemisahan kelompok ras, suku, etnis, dan agama. Dan segregasi tersebut adalah bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. Di samping itu juga akan  memunculkan  konflik sosial politik yang berimplikasi pada kekerasan antarumat beragama, yang naifnya agama dijadikan tameng atau alasan kuat untuk hal tersebut.

Sebagaimana kita yakini bahwa agama apa pun di dunia ini, pasti menolak segala macam kekerasan, diskriminasi, intimidasi, intoleransi dan sikap-sikap tercela lainnya yang merugikan orang lain, apapun suku dan agamanya.

Sebaliknya, semua agama pasti mendorong, menganjurkan dan mengajarkan sikap kebaikan, solidaritas, toleransi, bahkan persaudaraan universal (ukhuwwah) tanpa melihat asal-usul suku dan budaya, ras, warna kulit, maupun gender. Agama tidak hanya sekedar ritus dan pemujaan.

Agama Adalah Produsen Konflik?


Dalam konteks Islam, ada satu ayat dalam kitab suci yang sangat populer sebagai rujukan bagi penganutnya untuk senantiasa menyebar kedamaian kepada penganut agama lain. Lebih luas lagi, bagi siapapun manusia yang hidup di dunia ini.

Ayat tersebut termaktub dalam QS. Al-Anbiyaa: 107, “wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil‘aalamiin." “Tiadalah Kami mengutus engkau, Muhammad, kecuali agar menjadi rahmat bagi sekalian alam.”  

Dari teks di atas, kita bisa ambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa ajaran Muhammad (Islam) adalah ajaran kedamaian bukan sebaliknya. Bagaimana kondisi faktual di lapangan sekarang? Apakah pengikutnya, penganutnya atau umatnya telah menyebar benih-benih kedamaian dan sikap toleran?

Dalam praktiknya, tidak semua umat Muhammad mampu mengimplementasikannya. Masih saja, ada di sana-sini yang melakukan kekerasan, baik bersifat verbal ataupun fisik, terhadap agama lain yang notabene berbeda dengannya. Saya sebut saja misalnya, cara-cara yang dilakukan ormas Front Pembela Islam (FPI), sangat disayangkan masih terkesan keras dan terlihat arogan.

Dalam sikap beragama yang diperlihatkan FPI di atas, saya tidak tahu, apakah “keras” tersebut sebagai strategi dakwah yang diambilnya atau ketidaktahuan mereka terhadap terhadap pesan kitab suci, Al-Anbiyaa : 107 ?

Yang jelas, FPI menjadi sangat masyhur karena aksi-aksinya yang selalu kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar militernya, yang mereka sebut Laskar Pembela Islam. Kita ambil contoh, antara lain; aksi penutupan klab malam, tempat prostitusi dan judi, ancaman dan penangkapan terhadap warga negara tertentu (sweeping), konflik dengan ormas berbasis agama lain, dll. (Kementerian Keagamaan RI, Balitbang dan Diklat, hal. 369)

Tindakan FPI sering mendapatkan kritik karena tindakan main hakim sendiri. Menurut Habib Rizieq sebagai Ketua FPI, tindakan kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan FPI akan mundur jika hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI keras dan anarkis (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta 2015).

Menurut para tokoh agama Islam maupun tokoh organisasi Islam, dalam "Buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan" (Kemenag RI, 2015, hal. 434),  bahwa cara dakwah yang dilakukan FPI tidak tepat karena tidak sesuai dengan ajaran dakwah dalam Islam yang semestinya disampaikan tanpa kekerasan yang disertai pengrusakan.

Dari pendapat para tokoh Islam di atas, saya ingin bertanya satu pertanyaan yang sedikit ekstrem: “Masihkah kita temukan “Islam” di tubuh FPI, dalam konteks tersebut?” Mungkin itu adalah pertanyaan sensitif dan berbahaya. Sejumlah protes, tudingan dan tuduhan macam-macam pasti akan bermunculan dari pihak yang berseberangan. Tapi itu adalah data dan fakta yang ditemukan di lapangan. Siapa pun (tak) bisa membantahnya.  

Pada kalimat terakhir, saya ingin mengatakan bahwa beragama dengan santun, toleran dan menyejukkan orang lain lebih disenangi, dicintai dan diapreseasi ketimbang menonjolkan sikap keagamaan yang keras, kasar dan arogan.

Saya yakin masa depan agama apapun di dunia ini ada di tangan para penganutnya yang lembut, yang menghargai perbedaan dalam keragaman, yang menghindari konflik kepentingan, yang memuliakan ajarannya dengan segala kebaikan bagi umat manusia seluruhnya.  

Di sanalah kita menemukan fungsi sejati agama yang berperan aktif memproduksi ketenangan dan kedamaian bagi setiap individu. 

@ Iip rifai

Pengajar di Kampus CMBBS Banten|Peneliti di Omar Institute|Alumnus Pasca UIN "SMH" Banten|Alumnus SPK VI CRCS UGM Jogja|Alumnus S2 ICAS Jakarta|

AHY Takut Debat Lagi?

DUNIA HAWA - Tak habis pikir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kembali mempertontonkan ketidakhadirannya dalam debat yang diselenggarakan oleh media massa. Dulu di Net TV, dan yang terbaru di Kompas TV (15/12).


Alasan ketidakhadiran AHY juga terbilang masih sama dengan yang dulu-dulu. AHY lagi-lagi lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan masyarakat: "Saya tak hadir, masih dengan rakyat. Saya masih di sini. Saya memilih menyibukkan diri bersama rakyat, mendengarkan langsung aspirasi mereka."

Memang, menyibukkan diri bersama rakyat dan mendengar langsung aspirasi mereka adalah penting dalam masa-masa kampanye. Calon mana pun tentu harus benar-benar tahu apa yang jadi kebutuhan rakyat pemilihnya. Hal ini menjadi modal tersendiri atau sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan visi-misi pembangunan dan rencana program kerja ke depan.

Hanya saja, memperdengarkan visi-misi dan rencana program kepada rakyat justru tak kalah utamanya juga. Terutama bagi para calon pemilih, tentu mereka wajib tahu dan memang harus diberi tahu mengapa si calon (pemimpin) harus mereka pilih. Dalam percintaan, inilah yang disebut sebagai “alasan mencintai”.

Ya, hadir atau tidaknya AHY dalam debat bertajuk “Rosi & Kandidat Pemimpin Jakarta”, sebagaimana juga di acara debat sebelumnya, adalah hak yang tidak boleh dipaksakan bentuknya. Karena memang, debat oleh media massa ini bukanlah debat resmi yang wajib AHY ikuti sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. KPU Daerah telah menetapkan jadwal untuk debat itu.

Agus: Debat yang Tak Bermakna


Cawagub AHY, Sylviana Murni, juga memberi alasan senada soal ketidakhadirannya dalam episode spesial dari acara “Talkshow Rosi” ini. Ia menjelaskan bahwa yang terpenting itu adalah bagaimana bisa bertemu rakyat dan tahu kebutuhan-kebutuhan mereka.

Alasan pasangan nomor urut satu ini memang tak patut kita salahkan. Ini lebih kepada soal pilihan semata.

Tetapi yang patut disayangkan adalah ketika AHY memberi penjelasan soal alasan ketidakhadirannya yang seolah menyebut bahwa debat di Kompas TV tersebut tidaklah bermakna. Ia berujar, "Rakyat akan lebih feel comfortable untuk bersama dengan calon pemimpinnya dibandingkan mereka (warga) melihat sesuatu yang tidak ada maknanya buat mereka."

Dalam hal ini, saya rasa AHY keliru. Sebagai lembaga penyiaran publik, tentu Kompas TV juga (dan harus) merasa terpanggil untuk membantu publik mengetahui calon pemimpin mereka. Lagipula, acara jenis ini adalah produk jurnalistik di mana asas keberimbangan harus senantiasa dijunjung tinggi. Dan ketidakhadiran AHY di sini jelas memberi pengaruh kepada media massa yang harus mensosialisasikan semuanya dengan berimbang.

Saling Adu Argumen


Terlepas dari ketidakhadiran AHY, debat yang dimoderatori oleh Rosiana Silalahi ini tetap berjalan apa adanya. Kedua pasangan calon yang hadir dinilai sebagai pasangan terbaik. Kalau kata Anies, mereka berempat (Ahok, Djarot, Uno, dan dirinya) adalah yang terdidik.

Ya, setidaknya mereka berani dan mau ikut debat, meski tidak resmi. Sebab acara ini, menurut Rosi, adalah acara yang juga sangat dibutuhkan rakyat selain turun ke bawah. Saling beradu visi-misi dan rencana program kerja menjadi rangkaian acara awal dalam agenda debat ini. Kedua pasangan pun menyampaikan visi-misi pembangunan mereka, terutama program unggulan yang menjadi daya tawar.

Selain itu, kedua pasangan juga diberi kesempatan untuk saling memberi koreksi. Tanya-jawab antar-pasangan pun berlangsung seru, meski terkadang dibumbui dengan pemandangan yang kurang elok, yakni saling serang kepribadian masing-masing.

Terlepas dari itu, sejauh yang bisa saya simak, kedua pasangan calon punya keunggulan sendiri-sendiri. Pasangan Anies-Uno misalnya, mereka lebih unggul dari segi konsep pemikiran daripada pasangan Ahok-Djarot. Pun sebaliknya, Ahok-Djarot lebih unggul dalam hal penguraian fakta di lapangan atau bukti kerja yang telah mereka lakukan.

Sebagai kesimpulan yang bisa saya rangkum dari hasil debat Cagub DKI di Rosi ini, saya mencoba memberi nilai bahwa hanya ada 2 pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta yang layak masyarakat pilih. Keduanya sudah terbukti punya visi-misi dan rencana program kerja yang jelas. Bedanya, Anies-Sandi baru sebatas “akan…”; Ahok-Djarot “sudah dan akan (meningkatkan lagi)…”.

Dalam menyampaikan argumentasi, hal tersebut sangat mencolok. Sebagaimana disampaikan oleh pasangan Ahok-Djarot, Anies-Uno tampak hanya mengandalkan retorika tanpa data-data valid. Dan hal inilah, opini yang menyesatkan, yang coba dipatahkan oleh Ahok-Djarot dengan menyeru untuk beradu data.

Melihat hal tersebut, tentu para calon pemilih (rakyat DKI) dituntut kepiawaiannya dalam memilih. Jangan memilih calon pemimpin secara coba-coba, apalagi dadakan. Meminjam kata-kata Ahok dalam “stand up politik”-nya, pilihlah yang lurus; dan memilih yang lurus harus menggunakan kacamata kuda saat pencoblosan 15 Februari 2017 mendatang.

@maman suratman

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta

Jika Mereka Pengikut Setan, Kita Bisa Apa?

Setaniyah (Pengikut Setan)


DUNIA HAWA -Entah bagaimana sebagian kecil kita bisa bertindak melampaui Setan. Ini mungkin bisa disebut ‘prestasi’ terbesar manusia di satu sisi. Atau malah kemunduran paling memilukan dari wujud kemanusiaan.


Saya menduga, di awal-awal, Setan pun sepertinya hanya berniat dan membisiki manusia dengan godaan-godaan. Sebatas itu yang disanggupinya. Dan aksi sebagian kecil kita—sekarang dan mungkin yang akan datang—bisa lebih jauh daripada Setan: mengebom manusia di tempat-tempat ibadah, membakar rumah ibadah, bunuh diri dengan misi membunuh yang tak kasat mata, mengkafir-kafirkan, membantai manusia lain dan semacamnya.

Tentu saja laku kurang (w)ajar yang saya sebut di atas adalah potensi terpendam manusia. Kemungkinan menjadi serupa malaikat 50% dan peluang maujud sebangsat—bahkan lebih—Setan juga 50%. Pilihan-pilihan mengikutsertakan hati nurani yang akan menggeser peluang lebih dekat ke mana. Apakah lebih dekat ke arah ‘serupa’ malaikat atau malah menjadi Setaniyah—pengikut Setan taat.

Jika sebagian kecil kita merasa belum cukup sebagai Setaniyah, ingin lebih sialan dari Setan, cukup praktikkan ketakberpikiran pada tindakan, pengekoran buta, kekerdilan imajinasi, ketakpekaan rasa dan penghilangan kemanusiaan—peristiwa Holokaus yang mencerminkan Banalitas Kejahatan adalah salah satu puzzle pelengkap. 

Sependek dugaan saya, dan senyeleneh pikiran saya, Setan pun tak pernah mengkafirkan sesamanya. Itu yang kadang membuat saya iri. Senista apa pun tujuan mereka dan seburuk apa pun ‘inti tindakannya’ pada kita, koordinasi mereka dalam upaya berkhdimat pada Tuhan sangat elegan.

Entah apa yang terjadi. Apakah ini isyarat bahwa ‘nalar’ mereka dalam upaya menyesatkan manusia berjalan baik sedangkan sebagian kita tengah lalai menggunakan isi kepala dan hati nurani?   

Maafkan guyon saya. Itu hanya tafsir saya saja. Jika ada kesalahan dari sesat pikir saya tentang Setan, mungkin itu karena saya tertolak sebagai juru bicara Setan.

Tentu saja Setan bisa juga—tak melulu—kita pandang hanya dengan terma materi atau jasadiyah. Bagi saya, ia lebih merupakan potensi, energi jiwa tak sehat, gelombang ketiadaan hati nurani.

Namun sebelum kita berikhtiar memahami Setan yang bersemayam dalam kepala-kepala—yang tak mempergunakan daya pikirnya—, tentulah kita harus meyakini diri sebagai manusia lebih dahulu. Sebagai wadah di mana Setan-setan mungkin saja ada. Entah  dalam peran kita sebagai makhluk soliter, makhluk sosial, warga negara Indonesia, bagian dari masyarakat dunia, kaum profesional, anggota parlemen, pejabat, mistikus, penganjur paham, penyebar ujaran kebencian, golongan intelektual atau apa pun.

Sesungguhnya sebagian kita belum benar-benar mengenali diri. Kita pada—atau beberapa—dimensi-dimensi yang lebih substansial kadang luput. Mungkin gegara itu—alih-alih menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menjadi penganut suatu agama—kita bisa jadi boneka-boneka Setan. Kita bertransformasi hanya menjadi robot yang dikendalikan sepenuhnya oleh kehendak Setan. Kita hanya piranti-piranti dari kemauan-kemauan setan yang tertabal di muka Bumi.

Saya tidak bermain-main walau tentu saja saya bukan Doktor Ilmu Setan. Saya hanya Fisikawan Teoretik dan Matematikawan Ruang yang kebetulan resah.

Kompetensi saya sebagai ilmuwan tak etis saya gunakan dalam ranah Setan, dedemit, tuyul, kuntilanak dan siluman. Saya tidak dapat mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan dan universitas. Pun dari pengetahuan setelah ikut ragam konferensi Fisika nasional dan internasional tak terlalu berguna.

Walau tak berdasar pijakan yang jelas, lebih baik Anda tidak membantah dulu tulisan saya ini yang tak disokong teorema atau postulat-postulat mapan. Tentu saja pelajaran tentang setan ini saya harap berguna untuk individu masing-masing, untuk keluarga, untuk keselamatan anak-anak kita di tahun-tahun tak terperediksi yang akan datang. Bahkan saya harap semoga ini akan berguna untuk masyarakat dan bangsa.

Pertama-tama kita harus meragukan keaslian diri kita. Membuka kemungkinan bahwa hampir semua sisi kehidupan kita sudah berubah jadi palsu.

Saya menduga kepalsuan masing-masing kita akan membuat setan akan bersorak-sorai lalu berujar santai : “Tidak ada gairah lagi menggoda manusia. Toh manusia sekarang lebih setan daripada kami. Sesetan-setannya setan, setan tak pernah menuduh sesamanya kafir dan mencap setan lain melakukan bid’ah.

Setiap hal baru untuk menyesatkan manusia adalah inovasi. Ya masa cara yang sama menggoda Nabi Adam digunakan untuk anak-cucunya. Tak ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan Setan sama sekali.”

Saya berharap tak mendengar kalimat itu dari Setan. Agar Setan kembali bersemangat menguji kita di Bumi, kita harus memberi tantangan pada Setan. Jangan biarkan mereka pensiun dini. Tapi jika sebagian kita tak mampu, ya apa boleh buat.

Tidak usah khawatir, kalaupun Setan telah pensiun menggoda manusia—karena merasa tak ada sensasi lagi—, saya berencana akan mengajak mereka bekerjasama dalam pengembangan teknologi tembus tembok dan stasiun teleportasi. 

Menghalau Setaniyah


Apakah Tuhan sedang tidur setelah menciptakan manusia, bumi dan keseluruhan isi jagad raya?

Apakah di tangan para teroris, Tuhan berubah wajah menjadi penghancur?

Tuhan tidak dapat menghalangi saya menjatuhkan pulpen ini. Jika ia sanggup harusnya gravitasi lari ke atas, bukan membawa buku ini jatuh ke bawah. Mana kuasa Tuhan?

Tuhan itu dongeng. Ia harus dibunuh oleh sains dan teknologi.

Itu adalah empat pertanyaan dan pernyataan dari orang-orang di sekeliling saya di komunitas riset. Allah “mengangkat” mereka menjadi pemantik dan penyulut bara api yang melahirkan “ilmu dan pemahaman” dahsyat tentang Tuhan dan Ketuhanan.

Munculnya pertanyaan seperti yang saya sebut di atas boleh jadi memang karena kekritisan sebagian kita sudah lebih baik. Mungkin saja itu juga disebabkan pertukaran informasi yang semakin terbuka. Bisa juga karena pengaruh pihak lain.

Bisa juga karena beberapa kekeliruan para pemuka agama dalam memperkenalkan ajaran-ajaran kedamaian dan spiritualitas. Dalam Islam, para pemuka agama itu mungkin sedang malas mencontoh Rasulullah yang mengenalkan Allah dan Islam kepada umatnya dengan cara penuh kasih, keteladanan dan kedamaian.

Saya tak bermaksud menyinggung hati para pemuka agama. Tapi jika kita berusaha jujur pada diri masing-masing, marilah kita telaah beberapa hal. Sekarang coba kita ingat-ingat pengajaran agama kita sejak SD sampai di bangku perkuliahan. Sebagian kecil kita mungkin hanya diajarkan syariat, fiqh, rukun Islam, rukun Iman, tata cara ibadah, halal-haram dan lain-lain.

Saya tak mengatakan pelajaran-pelajaran itu tak penting. Tentu saja itu sangat penting. Tapi perlu dipikirkan cara lebih baik agar agama Islam misal, tidak diajarkan monoton. Apatah lagi jika sang guru, taruhlah, pengikut fanatik taat mazhab tertentu. Bisa jadi bingunglah anak-anak, adik-adik kita yang diajarinya.

Sependek pengamatan saya, beberapa pemuka agama perlu meninjau ulang upaya baiknya mengajarkan agama kepada anak didiknya. Tentu saja sangat berbeda, pelajaran agama dan pelajaran tentang agama.

Jangan sampai ada ironi-ironi yang mengecewakan. Mungkin bisa jadi guru spiritual ternyata mengajarkan hal keliru, seorang pemuka agama tanpa sadar menanmkan bibit-bibit radikalisme dan hal-hal lain yang kurang patut.

Keasyikan dan fokus mengajarkan ritual disertai dalil-dalil yang mengikutinya hanya dapat membawa anak-anak sekadar tahu. Nilai-nilai mistik, spiritual yang mewarnai mereka tak sampai ikut tertanam dalam laku.

Sungguh ironis. Hal tersebut bisa jadi hanya membawa fanatisme pada ajaran agama, bukan fanatisme menjalankan nilai-nilai luhur agama. Mari kita bandingkan sesuatu. Seberapa banyak orang mengaku beragama yang membangun industri besar lalu mengabaikan ekosistem dibanding suku tertuduh primitif?

Coba lihat kebanyakan suku tertuduh primitf yang dekat dengan alam. Mereka mungkin tak mengenal agama formal tapi mereka menjalankan aturan adat karena diajarkan sejak awal oleh nenek moyang mereka tentang pentingnya merawat alam.

Saya pikir, kunci penting keberagamaan adalah kesalehan sosial. Mampunya kita keluar dari ego pribadi menuju keinginan mengajak sesama ikut bersama kita kelak ke Surga. Juga sanggupnya kita tidak hanya sibuk menjalankan ritual agama, berlama-lama diri di tempat ibadah, namun bersedia juga turun memeriksa keadaan, merasakan dinamika dari masyarakat di sekitarnya.

Ia tidak terjebak dalam anggapan bahwa ritual agama adalah “tiket” ke surga, namun ia sadar bahwa sebenarnya agama diturunkan untuk kebaikan di dunia, dan perkara surga itu hanya imbas dari amal manusia di dunia.

Dalam terma yang lebih luas, mestinya kesalehan pribadi sebagian kita harus diimbangi dengan kesalehan lain seperti kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Jika kita memiliki ketiganya, semoga Allah menjadikan kita manusia yang tergolong saleh secara kaffah.

Semoga dengan upaya kita menjadi saleh, Setan akan kembali bergairah dan membuat kehidupan keberagamaan kita menjadi berdinamika, berfluktuasi dan berwarna.

@ muh. syahrul padli

Fisikawan teoretik, Matematikawan ruang

Kematian dan Dunia Lain

DUNIA HAWA - Apakah anda percaya dengan "dunia lain"? Apakah Anda percaya dengan makhluk "dunia lain"? Apakah Anda percaya kalau orang wafat sebetulnya tidak "wafat" tapi cuma "pindah hidup di dunia lain" saja? Apakah Anda percaya kalau orang-orang terkasih yang "wafat" sebetulnya tetap setia menjaga kita dari "dunia lain" itu? Dengan kata lain, sebetulnya tidak ada yang namanya "kematian" karena orang yang mati itu sebetulnya hidup hanya di dunia yang berbeda saja. 


Setiap agama dan kepercayaan memiliki tafsir dan penjelasan sendiri-sendiri tentang kematian dan dunia lain. Setiap budaya dan masyarakat memiliki pemahaman masing-masing mengenai kematian dan hal-ikhwal dunia lain. Kaum agamawan dan sekularis, kaum teis dan ateis, semua memiliki tafsir sendiri-sendiri tentang kenapa orang mati dan bagaimana dengan situasi dunia lain paska kematian. 

Banyak orang menganggapku tidak percaya dengan "dunia lain". Mungkin karena mereka menganggapku "sekuler-liberal" jadi dikira saya tidak mempercayai "dunia mitis disana". Salah besar, saya itu seorang yang "sangat spiritualis" dan percaya sekali dengan "dunia mitis". 

Meskipun sudah kemana-mana, saya tetap seorang "Muslim Jawa" dan "dunia Jawa" serta pandangan hidup orang Jawa adalah "sangat spiritualis dan mitis" sekali. Jika ada orang Jawa tapi kok tidak spiritualis dan tidak percaya dengan dunia mitis apalagi menyerang hal-ikhwal yang berhubungan dengan "dunia lain", maka perlu diragukan ke-Jawa-annya he he. 

Ini kisah nyata. Saya mau berbagi pengalaman disini dengan para jama'ah Facebook yang budiman. Suatu saat saya pernah tinggal serumah selama 2-3 bulan dengan seorang teman kuliah di pinggiran kota Boston, Massachusetts. Rumahnya sangat tua, seabad lebih. Temanku, seorang warga Amerika (dan lai-laki) tinggal sendirian disini. 

Nah pada malam pertama saya tinggal di rumah itu, ketika tidur dalam gelap (saya kalau tidur pasti dalam "kegelapan"), seperti ada seorang ibu bule paruh baya menggangguku: memegang-megang kepalaku, menggoyang-goyang badanku. 

Saya antara sadar dan tidak waktu itu. Seperti dalam mimpi tapi auranya kuat sekali. Kemudian tiba-tiba datang almarhum ayah seperti memintanya untuk pergi dan tidak menggangguku. Dan memang sejurus kemudian, ibu bule itu langsung pergi. 

Pagi harinya, saya ceritakan kejadian itu kepada temanku yang sekuler dan "setengah ateis" itu he he. Eh dia malah tertawa seraya berkata: "Itu ibuku. Kamar yang kamu pakai untuk tidur itu adalah kamar ibuku yang baru saja meninggal".  

Itu cerita "dunia lain" bagian pertama, yang berikutnya menyusul saja ya (kalau gak kelupaan sih he he). Apakah Anda juga pernah mengalami hal serupa? Silakan berbagi cerita disini...

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Terorisme ; Calon Pengantin Gaya Baru

DUNIA HAWA - Pekan lalu ribuan pasang mata warga Republik Indonesia disajikan fenomena terorisme. Perilaku terorisme dilakukan  berdasarkan dogma agama yang ia anut. Harapan berupa eskatologi bertemu dengan kebahagian hakiki di alam (surga). Berkumpul kembali dengan para pejuang yang pernah melakukan hal yang sama atau syuhada.


Syahdan, kita tak pernah tahu apa yang telah merasuk pada raga dan sukma DYN. Calon pengantin yang akan melakukan “perkawinan” di Istana Negara tempat di mana persembahan yang akan dilakukan untuk menemukan kebahagian individu semata. Naas aksi yang akan dilaksanakan DYN sudah terendus intelijen. Walhasil rencana pengeboman gagal, para perencana pengeboman Istana Negara lumpuh total.

Penangkapan “calon pengantin” di daerah Bekasi, kompleks pemukiman yang cukup padat tiba-tiba menjadi sorotan. Status DYN sebagai salah satu istri kedua yang sangat intens berkomunikasi dengan Bahrun Naim.

Doktrinasi dari Bahrun Naim melalui telepon genggam ampuh. Pola pikir yang belum mengetahui seluk-beluk mengenai taktik dan strategi dalam melakukan gerakan pengeboman. Menjadi kemahiran yang belum tentu di miliki oleh wanita sebayanya, mengenai teknik menjadi pengantin.

Dikutip dari Antara, David Brooks menuliskan sebuah frasa calon pengantin dalam "The Culture of Martyrdom" di Majalah Atlantic (Juni 2002) yang fokus terhadap sejarah-sejarah pengebom bunuh diri di kalangan Palestina.

Pertemuan dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai "perkawinan", yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari.

Iming-iming mendapatkan kesempatan yang baik pada tataran eskatologis. Menghilangkan segenap kepentingan individu. Nilai-nilai kemanusian luntur seketika, orang-orang yang masih mencari keberadaan sifat manusia. Kehilangan dataran-dataran yang tidak bisa bertahan menjadi. Seolah menjadi kehidupan yang berdampak serius.

Fenomena wanita “menjadi calon pengantin” menjadi ancaman teror gaya baru. Sejauh kita memahami kultur wanita di Indonesia masih dalam tataran patriarkat. Wanita dalam kungkungan selagi mencari kebersamaan. Wanita selalu dinomorduakan dalam perihal privat maupun publik meskipun sudah didirikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sekali lagi lembaga negara satu ini masih berkutat masalah yang memiliki kepentingan dengan negara.

Ditambah dengan dogma agama yang menunjukkan wanita untuk tunduk kepada laki-laki. Gambaran imam (pemimpin) untuk laki-laki secara absolut tidak hanya memberikan kuasa absolut. Autokritik pun jarang terlontar kepada suami. Imbasnya, memenuhi perintah laki-laki sebagai kepatuhan terhadap agama tanpa mengindahkan perbuatan tersebut mengkhianati kemanusian atau tidak.

DYN merupakan satu dari sekian “calon pengantin” yang dipersiapkan untuk melakukan teror yang berkelanjutan. Doktrinasi dari ruang privat (keluarga) yang lebih mengena. Perspektif kepada wanita kembali timpang karena “gerak-geriknya” akan kembali di awasi oleh pihak keamanaan. Peristiwa ini kembali mengingatkan kepada kita semua bahwa calon pengantin gaya baru sedang merebak di kalangan teroris.

@fadli rais