Thursday, December 15, 2016

Pembelaan Ahok dan Tangisan Itu

DUNIA HAWA - Sidang perdana kasus dugaan penistaan agama telah usai. Sidang yang melibatkan Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini rencananya akan berlanjut kembali pada Selasa (20/12) pekan depan. Nota Pembelaan (Eksepsi) yang telah dilayangkan Ahok bersama kuasa hukumnya, akan mendapat tanggapan balik dari Jaksa Penuntut Umum sebagai acara (persidangan) inti.


Berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (13/12), bukan tidak mungkin bahwa persidangan ini telah menyita perhatian publik yang tak sedikit. Tak hanya warga DKI Jakarta khususnya, masyarakat Indonesia secara umum pun ikut terlibat menyimak jalannya proses persidangan.

Baik yang datang langsung ke TKP maupun yang menontonnya secara live di media TV, tentu mereka tak hanya termotivasi untuk sekadar melihat proses persidangan. Bahwa dengan menyimaknya, jika boleh saya menerka, mereka sekaligus ingin mendapat pengetahuan lebih banyak seputar kasus yang kental nuansa politis ini. Sebagai tambahan, tentu mereka juga ingin memberi sedikit penilaian untuk mereka sebar ke khalayak publik setelahnya.

Saya sendiri, yang hanya bisa mengikutinya secara live di media TV, memilih untuk melihat proses persidangan tersebut guna mengetahui lebih lanjut soal kasus dugaan penistaan agama ini. Dan sebagai “penonton yang baik”, tentu saya berkewajiban untuk memberi beberapa penilaian—lebih tepatnya sebagai respon—dari hasil penyimakan pribadi saya meski dalam serba keterbatasan.

Pembelaan tanpa Apologia


Terlebih dahulu perlu saya tegaskan bahwa “apologia” yang saya maksud di sini adalah pembelaan tanpa landasan fakta yang objektif, melainkan persepsi pribadi yang sifatnya subjektif. Dalam Eksepsi (Nota Pembelaan) yang dilayangkan Ahok, landasan yang digunakan adalah yang pertama (fakta objektif).

Setelah hampir 3 (tiga) bulan lamanya setelah merebaknya viral hasil gubahan Buni Yani tersebar, bisa dikatakan, persidangan kemarin itu adalah panggung besar Ahok untuk dirinya melayangkan pembelaan. Kesempatan itu pun tidak ia sia-siakan.

Ia bacakan Nota Pembelaan-nya di hadapan Ketua dan Anggota Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, serta para hadirin yang datang langsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sebagai pembelaan awal bahwa dirinya tidaklah melakukan penistaan agama dan penghinaan kepada para ulama.

Dalam eksepsinya, pertama-tama Ahok memberi penjelasan terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 silam. Dia menjelaskan bahwa pernyataannya bukanlah dimaksudkan untuk menafsirkan surat al-Maidah 51, apalagi hendak (berniat) menista agama Islam atau menghina para ulama sebagaimana yang dituduhkan massa “Aksi Bela Islam” berjilid-jilid itu.

Seperti yang bisa kita telaah dari redaksi pernyataannya, yang dimaksud darinya tak lain tertuju untuk para oknum politisi yang memanfaatkan surat al-Maidah 51 secara tidak benar. Ahok yakin bahwa oknum yang memanfaatkan ayat suci adalah mereka yang tidak mau bersaing secara sehat dalam pertarungan di negara demokrasi, dalam hal ini Pemilihan Kepala Daerah.

Lantas, di mana letak kesalahan Ahok ketika mengkritik realitas bobrok semacam ini? Sejak kapan mengkritik dianggap sebagai sebuah penistaan atau perbuatan tercela?

Untuk lebih mempertegas bahwa Ahok tak ada niat melakukan tindakan tercela berupa penistaan agama dan penghinaan kepada para ulama, dia mengutip beberapa isi dari buku yang ditulisnya pada tahun 2008 berjudul “Berlindung di Balik Ayat Suci”. Kurang lebih kutipannya berbunyi:

Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, yang tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, yang akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasar SARA, maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam misalnya, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi, apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang Papua juga tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang.

Kondisi inilah yang memicu kita tidak mampu mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik, melainkan kita hanya akan mendapatkan yang buruk dari yang terburuk. Karena rakyat pemilih diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman. 

Dari kutipan bukunya Ahok memulai pembelaanya secara berani dan total. Ia terlihat tak mau menyerah. Sebagaimana gaya khas seorang Ahok, ia bersuara lantang menyampaikan apa yang benar sebagai benar; ia suarakan apa yang salah sebagai salah. Inilah yang saya maksud sebagai pembelaan tanpa apologia, sebuah pembelaan yang ilmiah, rasional, objektif.

Mengapa Ahok Menangis?


Tak dipungkiri bahwa dalam pembacaan Nota Pembelaan di mana Ahok terlihat meneteskan air mata (menangis), sangat mungkin bahwa banyak pihak yang akan menilainya sebagai strategi untuk meraih simpati.

Mungkin akan ada yang membandingkannya dengan video Yusuf Mansur, ketika merespon kontroversi pernyataan Nusron Wahid di Indonesian Lawyers Club (ILC), yang terlihat memaksakan tangis tanpa air mata demi satu simpati untuk para “ulama” yang dikritik habis oleh cak Nusron, termasuk dirinya sendiri.

Tapi entahlah. Yang jelas, Ahok menangis bukan karena ingin mendapat simpati. Ahok menangis bukan karena takut dirinya akan dipenjara kalau memang terbukti bersalah. Tetapi Ahok menangis karena kenangan masa lalunya dengan keluarga angkatnya yang sangat ia sayangi dan juga sangat menyayangi dirinya.

Ya, selain mengutip isi bukunya, Ahok juga menceritakan kehidupan pribadinya di mana ia banyak berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam. Ahok tak habis pikir mengapa dirinya dituduh sebagai penista agama Islam padahal ia banyak belajar tentang ajaran ini dari keluarga angkatnya dan guru-gurunya selama SD sampai SMP.

Selain belajar dari dari keluarga angkat saya, saya juga belajar dari guru-guru saya yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP. Sehingga sejak kecil sampai sekarang, saya tahu harus menghormati ayat-ayat suci al-Quran. Jadi, saya tidak habis pikir, mengapa saya bisa dituduh sebagai penista agama Islam?
Di sinilah suasana haru itu muncul ketika Ahok mengenang kembali keluarga angkatnya yang merupakan keluarga muslim yang taat.

Ia menceritakan bahwa dirinya memang lahir dari keluarga Tionghoa, tetapi juga diangkat sebagai anak oleh keluarga Islam asal Bugis bernama Andi Baso Amier, mantan Bupati Bone 1967-1970, adik kandung dari mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Yusuf—tokoh yang sangat dihormati di Sulawesi Selatan, yang namanya diabadikan sebagai nama masjid termegah se-Asia Tenggara, al-Markaz al-Islami Makassar.

Kecintaan kedua orang tua angkat saya kepada saya sangat berbekas pada diri saya. Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya dibayar oleh kakak angkat saya, Analta Amir. Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih apabila saya tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkat saya yang Islam-nya sangat taat.
Jelas, siapa pun akan sedih, bahkan akan meneteskan air mata, jika dituduh menistakan agama yang ia sangat cintai dan hargai sedari kecil. Ini bukan semata soal agama saja, tetapi karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan bahwa Ahok menista orang tua dan saudara-saudara angkatnya sendiri.

Lagipula, saat sidang tersebut berlangsung, hari itu bertepatan dengan 19 tahun ayah kandungnya, Indra Tjahaja Purnama, meninggal dunia. Maka wajar kiranya jika Ahok dan kakak angkatnya, Nana Riwayatie, tampak bersedih dalam foto yang sempat viral di media sosial tersebut.

Ya, terlepas dari banyaknya penilaian bahwa sedih-sedihan itu hanyalah drama yang lagi-lagi ditujukan untuk meraih simpati masyarakat luas.

Sebagian pembaca mungkin saja tidak akan sepakat dengan penulis. Tetapi dari pembelaan yang Ahok bacakan, meski diwarnai dengan tangis haru karena kenangannya itu, sedikit banyak memberi bukti bahwa Ahok tidaklah menista agama Islam. Ahok telah membuktikannya dengan dasar-dasar yang kuat lagi valid.

Toh dirinya sendiri sudah melayangkan maaf jauh sebelum proses persidangan ini terselenggara. Yang jadi soal adalah apakah kita mau memaafkannya atau tidak sebagaimana Ahok sendiri contohkan dengan memberi maaf kepada guru SMP Muhammadiyah-nya yang mencatut namanya dalam soal ujian bernada “pelecehan”.

Saya sudah memaafkan guru SMP Muhammadiyah itu. Tidak perlu diperpanjang. Apalagi dia sudah mengakui bahwa tidak ada unsur kesengajaan, tapi karena capek. Saya meminta guru-guru memiliki persepsi yang sama dalam mendidik anak-anak di sekolah. Terimakasih kepada Pak Jumanto yang sudah mendidik dan menjadi guru, karena setiap anak harus mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.
Semoga, dengan disiarkannya persidangan Ahok secara live, ke depan kita bisa menyimak bersama-sama dan berani menyatakan sikap secara bersama pula. Yang kita butuhkan hanyalah keterbukaan dalam berpikir. Selebihnya, biarkan proses hukum berjalan sesuai relnya. Tak perlu mendesaknya sana-sini, apalagi dengan aksi yang berjilid-jilid.

@maman suratman

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta

Video lagu " Doa harapan rakyat untuk Ahok - Djarot ":




Mengambil Untung dari Kasus Ahok

DUNIA HAWA - Kasus dugaan penistaan agama yang menimpa gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama atau Ahok ini banyak sekali manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Entah itu ulama, pengusaha, atau politikus. Untuk melihat keuntungan yang diperoleh para "pejuang Islam" itu, diperlukan teori penilaian status strata sosial yang pernah ditawarkan beberapa sosiolog.


Dalam buku In Seacrh of Middle Indonesia yang disunting oleh Gerry Van Klinken dan Ward Berenschot (215-254) dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan posisi strategis di masyarakat, setidaknya ada dua hal yang menjadi tolak ukur; pertama kinerja di ruang publik, kedua gaya hidup berbasis religius.

Teori ini tampaknya sangat cocok jika kita terapkan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Pasalnya, banyak sekali tokoh yang dulunya meredup, kemudian mengambil momentum membela Islam untuk menaikkan status sosialnya lagi di kalangan masyarakat.

Dalam konteks percaturan dunia dakwah Islam di Indonesia, nama Aa Gym dalam beberapa tahun belakangan cukup redup karena kasus poligami yang dia lakukan. Banyak jemaahnya yang hengkang.

Namun belakangan, nama Aa Gym kembali melejit. Dia kembali menjadi idola bagi sebagian Muslim Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari keterlibatannya dalam aksi bela Islam jilid pertama (411) dan kedua (212), maupun aksi salat subuh berjemaah nasional yang diselenggarakan di Bandung, pada 12 Desember 2016 atau yang dikenal dengan aksi 1212.

Hal ini memang diakui Aa sendiri ketika ia menyampaikan pidatonya pada kesempatan aksi 1212 itu. Seperti yang dilansir dari laman Detik.com bahwa Aa Gym kini merasa kejayaannya kembali berkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Eh tidak menyangka sekarang seperti ini lagi. Ini gara-gara Cep Ahok, kita doakan agar Cep Ahok dapat hidayah. Karena Cep Ahok saya ikut aksi 411 trus ke ILC jadi kenal Mas Tito (kapolri)," ujar Aa Gym.

Keuntungan yang lain juga dirasakan oleh produk-produk bisnis yang mendukung aksi bela Islam. Sebut saja Rabbani, produk pakaian muslim ini yang menawarkan diskon kepada para alumni 212 untuk menaikkan angka penjualan. Dan celakanya, produk yang tidak setuju dengan aksi bela Islam ini siap-siap akan diboikot oleh peserta aksi. Lihat misalnya kasus Sari Roti.

Keuntungan lainnya juga didapatkan oleh TV One. Dulu stasiun TV ini selalu diejek ketika musim pilpres RI 2014 silam karena sikapnya yang berlebihan dalam mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Namun siapa sangka sekarang, berkat liputannya yang "objektif" terhadap rentetan aksi bela Islam, stasiun TV milik perusahaan Aburizal Bakrie ini mendapat tempat istimewa di hati pemirsa.

Dan celakanya, bagi jurnalis yang dituduh curang dalam meliput aksi bela Islam tersebut, bisa kena sanksi sosial dari peserta aksi. Masih ingatkan pengusiran yang dilakukan oleh peserta aksi terhadap Metro TV dan Kompas TV tempo hari lalu. Oleh sebabnya, kasus penistaan agama dan rentetan aksi bela Islam itu banyak sekali ekor-ekornya. Ke politik ya, ekonomi ya, dan mencari kedudukan strata sosial yang tinggi di masyarakat juga ya.

Jika nanti ada aski bela Islam lagi karena sidang Ahok memutuskan bahwa ia tidak bersalah dan tidak dipenjara, ada baiknya untuk kepentingan dan keuntungan sesaat kita ikut juga aksi bela Islam. Tapi perlu dicatat, orang yang seperti itu adalah orang yang tidak berpendirian. Tidak punya prinsip. Terakhir, terima kasih Ahok.

@hanafi al rayyan

Mahasiswa Jurusan Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Unek-Unek Seputar Aksi 212

DUNIA HAWA - Jika saja kepala saya bisa dilepas dan diistirahatkan sementara waktu, saya ingin menaruhnya di bilik, tak sadar saja dahulu. Tapi melepaskan kepala dari tubuh itu sama saja bunuh diri. Saya tak mau bunuh diri saat kondisi kekinian dan keseharian kita seperti sekarang. Akan menjadi hal memalukan jika saya dianggap mengakhiri hidup karena tak sanggup bertahan di negeri indah yang keelokannya bercampur baur dengan keruwetan, kemumetan dan 'ketertinggalan'.


Saya ingin melihat sampai akhir bagaimana agenda penghilangan jati diri keindonesiaan kita oleh  orang-orang di balik layar, isu bubar-bubaran, kafir-mengkafirkan dan sederet masalah lain yang membentang.

Jika saya bunuh diri sekarang, saya akan mati penasaran dan ditolak surga. Masuk neraka sungguh tak diinginkan siapa pun, termasuk saya. Harapan terdalam saya, suatu saat nanti Tuhan memanggil saya karena telah damai dalam jiwa dan pikiran. Bukan karena ketaksanggupan menjalani hari, lalu pergi dari dunia fisik sebagai pengecut sialan sekaligus pesakitan. 

Apa pasal kenapa saya berpendapat guyon seperti tiga paragraf di awal itu? Mungkin karena saya, Anda, mereka sedikit kecewa. Umat bisa bersatu gegara ucapan satu orang yang kebetulan khilaf saat itu. Tapi mungkin saja mereka lupa berpikir apa setelahnya.

Untuk sekarang, seruan donasi dari petinggi Gerakan Pengawal Fatwa sangat menggembirakan. Semoga umat bisa terus menunjukkan tajinya dengan bantuan setulus hati pada korban gempa di Aceh alih-alih memboikot terus Sari Roti.  

Pertanyaan awalnya sekarang ada beberapa. Tidakkah umat bisa bersatu kembali untuk isu-isu strategis yang mendesak? Tidakkah umat dapat kembali lagi bersatu untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, ketimpangan sosial, keterbelakangan sains-teknologi, gizi buruk, penindasan petani dan sederet masalah genting lain yang tertabal?

Bukankah sebagai umat dengan spirit juang rahmatan lilalamin, kita harus membantu pemerintah yang sepertinya kebanyakan pikiran dan kekurangan aksi? Tidakkah umat bergerak membuat tugas negara lebih mudah?

Kita kembali ke masalah aksi lautan cinta 212.

Lautan manusia di Monas itu adalah ekspresi cinta. Wujud nyata dari hati yang masih menggenggam nafas-nafas damai keberagamaan dalam keragaman. Entahlah perasaan apa yang berkecamuk dalam diri saya tatkala menyaksikan semua itu. Saya seperti menemukan, menyaksikan dan merasakan bahwa Allah tetap bersama rakyat kecil dan sebagian umat Islam Indonesia. Allah ada dalam doa mereka dan merawat kepekaan mereka tentang aksi cinta yang harus damai.

Tentu saja saya berharap sebagian umat Islam yang ikut tidak mencap kami yang belum diberi kesempatan ikut aksi cinta--walau hati kami meronta-ronta ingin ikut.

Sebagai salah satu orang yang berusaha menjadi muslim sebenarnya, saya bangga dengan aksi cinta 212. Pun dengan bias yang mengiringinya. Bias itu hal yang wajar sebagai bukti hasil pikir berbeda dari beragam kepala. Jika tak berbias itu justru tak wajar bagi praktik keragaman kita.

Ada yang mengapresiasi aksi ini. Acap juga saya baca nyinyiran beberapa orang tentang aksi cinta 212. Ada yang mengatainya buih. Ada juga yang menyindirinya sebagai aksi sableng.  

Saya jadi kepikiran, kenapa masyarakat Muslim tidak melakukan hal serupa—mendiskusikan dan melakukan aksi—untuk bahasan seperti 'keterbelakangan' umat berdasarkan data dari NY Times. Itu masalah umat sekaligus masalah kenegaraan yang genting. Lebih genting dibanding dengan cap-capan kafir, tuduh-menuduh bid'ah dan hal yang konotasinya serupa.

Bukankah akan berkelas—pemikiran masing-masing kita—kalau kita sama-sama menyinyiri sembari mencari solusi dari masalah dalam data tersebut? Tidakkah hati kita tergerak juga untuk sama-sama ikut aksi berjilid dalam memperkenalkan sains, teknologi dan akhlak pada anak-anak, keponakan atau adik-adik kita?

Jauh dalam hati saya—sebagai pendidik, Fisikawan Teoretik dan Matematikawan Ruang—meronta-ronta ingin bertanya: kenapa masyarakat tidak membahas hasil—kurang memuaskan anak-anak, adik-adik kita—pada tes PISA saja? 

Tapi sudahlah, sepertinya harapan saya ketinggian. Saya merasa bahwa kita tak sedang dalam kondisi baik-baik saja dalam menanggapi sesuatu.

Masih seberapa panjangkah aksi jilid berikutnya dibandingkan dengan usaha tak berujung mempersiapkan generasi selanjutnya?

Pertanyaan saya mungkin tak relevan dengan spirit aksi cinta 212, tapi relevan untuk aksi setelah 212. Jika Anda kebetulan mau tahu, hati saya seperti teriris manakala beberapa kawan justru menuduh, lalu menyinyiri saya sebagai pendidik liberal penghancur umat yang telah dicuci otaknya oleh Mamatika, disulap oleh agen-agen Wahyudi dan semacamnya.

Padahal saya hanya mengupayakan peran lain dalam membela umat. Anda pun sepertinya pernah merasakan hal yang sama. Dinyinyiri karena berbeda. Dinyinyiri karena memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dinyinyiri karena memprioritaskan masalah substansial dibanding problema temporer.

Tidak semua bagian tubuh umat adalah kaki dan kepalan tangan, kata Cak Nun. Ada juga telinga, sel darah merah, sel darah putih, kulit, rambut, otak, neuron-neuron, hati, paru-paru atau bahkan jantung. Perbedaan peran dalam perjuangan masing-masing bagian tubuh untuk membuat sebuah organisme hidup adalah alamiah.

Tidak hanya itu, perjuangan umat Islam adalah perjuangan yang sangat panjang. Jika bibit cinta tersemai baik menjadi lautan, maka ada sebagian kecil dari umat yang harus menjadi matahari, awan, pulau, hujan agar terjadi siklus hidup yang lebih besar lalu menjadi sebuah bioma—ekosistem-ekosistem yang terbentuk karena perbedaan letak geografis dan astronomis.

Peran dan kenampakan masing-masing bagian tubuh tentulah bermacam-macam. Ada yang kelihatan, ada yang agak tersembunyi namun vital. Ada yang keras melindungi sebagimana tulang rusuk melindungi paru-paru, batok kepala melindungi otak dan rangka yang memberi bentuk tubuh. Ada yang berperan lembut namun mengidupkan organisme, mengalir sebagaimana darah. Ada yang menenteramkan sebagaimana hormon endogenous morhine.

Pertanyaan akhirnya adalah: peran seperti apa yang akan kita pilih pada aksi cinta kita selanjutnya untuk umat?

@muh. syahrul padli

Fisikawan teoretik

Memaknai Penistaan Agama, Siapa Yang Berhak Menentukan?

DUNIA HAWA - Hukum negara Indonesia mengakui apa yang disebut penistaan agama adalah sesuatu yang melanggar hukum. Fakta hukum ini diakui dan harus dijalani WNI tanpa memandang bulu sebelum ada perubahan yang hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.


Dasar hukum utama yang berlaku sekarang ini adalah UU no. 1 PNPS/1965 yang  ditandatangani pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno. Dari ruang lingkup UU tersebut,  landasan hukum yang mencoba menjerat Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok adalah pasal 156 dan 156a KUHP.  Berikut adalah bunyi pasal 156 secara komplit:

Pasal 156a KUHP

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Apakah Ahok masuk jerat pasal ini? Itulah inti pertarungan dalam persidangan Ahok. Jaksa mengatakan ya, pembela mengatakan tidak, dan hakim yang akan menentukan jaksa atau pembela yang benar. Dan kalau hakim sudah mengambil keputusan, maka yang bisa dilakukan Ahok hanyalah naik banding, dan itulah proses hukum yang harus dilalui Ahok.

Meskipun banyak sudut pandang yang bisa diperdebatkan mulai dari masalalah niat (mens rea), sampai konteks ucapan Ahok, tapi sebenarnya yang menjadi pertanyaan penting untuk didiskusikan, apa indikator, parameter, ataupun definisi dari penodaan atau penistaan itu sendiri.

Karena kasus Ahok sudah menjadi milik publik, maka publik harus mengawal dan memastikan indikator, parameter, dan definisi yang digunakan adalah tepat.

***

Dalam kasus Ahok, dia didakwa menistakan agama Islam, kemudian pertanyaan selanjutnya adalah Islam yang mana? Apakah pelapor bisa mengatasnamakan diri sebagai perwakilan keseluruhan Islam? Karena kalau setiap pelapor dapat disebut mewakili agama tertentu, maka betapa chaos-nya hukum di Indonesia.

Hal ini penting untuk diklarifikasi karena setiap agama memiliki banyak sekali aliran dan akibatnya perspektif yang digunakan adalah perspektif masing-masing aliran.

Jaksa akan mengajukan ulama-ulama yang setuju ini kasus penistaan, pembela akan mengajukan ulama-ulama yang tidak setuju ini kasus penistaan. Akibatnya, di sidang akan terjadi perang dalil, doktrin, dan kepercayaan.  Apakah ini tepat untuk ranah publik, bukankah ini urusan dapur masing-masing pribadi?

Demikian juga penyebutan ayat kitab suci yang dilakukan Ahok apakah jadi masalah karena Ahok yang menyebutkan, tapi kalau Gus Dur yang menyebutkan tidak ada yang berani menyentuh? Patut dicatat, hal ini yang membuat di nota keberatan Ahok di persidangan menyebutkan alm. Gus Dur mendukung dia.

Semuanya ini  memperlihatkan bahwa istilah penodaan atau penistaan tidak seharusnya didefinisikan secara agamis, tapi harus dari perspektif hukum positif. Meskipun obyeknya adalah kelompok agamis yang merasa dinistakan, hukum harus memiliki indikator, parameter, dan definisi sendiri yang bebas tafsir.

Dengan demikian, kedepan, tidak akan ada lagi dengan gampang pelapor melaporkan kasus penistaan dan mewakili agama tertentu

***

Proses menentukan indikator yang tepat ini adalah proses dialog antar umat beragama. Wakil-wakil rakyat yang ada DPR seharusnya melihat ini sebagai potensi untuk membuat perubahan UU ataupun membuat UU baru yang lebih bebas tafsir.

Menjadi hal yang tidak wajar apabila wakil rakyat seperti Fadli Zonk dan Fahri Hamzah malah ikut turun demo dan menjadi pendukung salah satu tafsir. Ini sebuah pelanggaran yang seharusnya mendapatkan sanksi berat.

Bukan hanya mereka berdua, komentar-komentar politis yang kerap dilakukan Bambang Soesatyo ketua Komisi III DPR, dan yang terakhir komentar Yandri Susanto dari PAN yang mencelotehi air mata Ahok di persidangan perdana, seharusnya dihentikan.  Para wakil rakyat ini  seharusnya mulai fokus ke esensi permasalahan, yaitu indikator penistaan itu sendiri.

Proses hukum Kasus Ahok sudah bergulir, isu Ahok akan dikorbankan merebak di sosial media. Atau mungkin tepatnya, Ahok “sudah” dikorbankan untuk menjadi terdakwa karena tekanan masa, salah satu hal yang kita bisa lakukan adalah melakukan pengawalan kasus ini melalui media sosial.

Paling tidak, kasus model penistaan ini cukuplah berhenti di Ahok. Karena masih banyak WNI kristen tionghoa lainnya yang punya hati untuk bangsa ini. Jangan matikan potensi kelompok ini karena kepentingan politisi-politisi busuk (istilah pembela Ahok di persidangan perdana) dengan menafsirkan penistaan demi kepentingan syahwat politik.

Salam Damai dan Bhinneka,

@pendekar solo


Eksepsi Ahok Dilaporkan, ACTA Benar-Benar Sudah Tidak Waras

DUNIA HAWA - Dalam perkembangan dunia yang semakin cepat dan tidak terkendali, menjaga kewarasan adalah sebuah keharusan. Tanpa kewarasan kita akan mudah terasuki hal-hal tidak baik dan doktrin busuk yang menjadikan kita membunuh manusia dan kemanusiaan. Bahkan ketiadaan kewarasan menjadikan kita seperti ular yang licik yang hampa ketulusan. Jika sudah begitu, maka diri kita tidak pantas lagi menyandang kemanusiaan.


Ketidakwarasan sungguh-sungguh merasuki para pakar hukum lapor lagi – lapor lagi yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Ahok yang menggunakan haknya melakukan eksepsi atau Nota Keberatan, dilaporkan oleh para pakar hukum lapor lagi – lapor lagi ACTA. Dalam laporannya, mereka mengadukan Ahok kembali mengulangi perbuatannya menistakan agama.

“Ucapan Ahok yang kami persoalakan adalah kalimat-kalimat yang berbunyi ‘ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat’, dan kalimat ‘Dari oknum elite yang berlindung dibalik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Almaidah 51’,” kata Wakil Ketua ACTA, Dahlan Pido di Bareskrim.

“Kami sangat tersinggung dengan ucapan tersebut karena Alquran adalah kitab suci umat Islam yang hanya bisa digunakan untuk tujuan-tujuan mulia dan tidak bisa digunakan untuk tujuan yang tidak baik,” tegasnya.

Dahlan ini menurut saya punya kewarasan yang sangat tinggi dan tidak bisa saya jangkau. Kewarasannya itu membuat dia bisa memahami bahwa setiap orang yang menggunakan Al Quran pastilah untuk tujuan-tujuan mulia dan tidak bisa digunakan untuk tujuan yang tidak baik. Di tengah kewarasan saya yang normal saya menanggapi bahwa Al Quran dan kitab suci sangat mungkin digunakan untuk tujuan yang tidak baik.

Supaya tidak dikatakan sok tahu dan sok pintar, maka saya akan gunakan ayat kitab suci saya yang juga dikutip Ahok dalam buku karangan Ahok berjudul Berlindung di Balik Ayat Suci. Gal 6:10 menyatakan: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Ayat ini jelas tidak ada hubungan dan kaitannya dengan memilih pemimpin dan Pilkada. Tetapi ada saja memang yang menggunakan ayat ini supaya orang memilihnya, bukan yang muslim.

Kitab suci tidak pernah punya tujuan tidak baik benar, tetapi Kitab Suci tidak pernah bisa digunakan untuk tujuan yang tidak baik, itu salah. Saya tidak perlu jelaskan lebih dalam lagi mengenai ini karena sudah berabad-abad bukti Kitab Susi menjadi pemecah bangsa tersaji dengan sangat terbukanya. Hal inilah yang perlu kita pahami dalam kewarasan normal.

Kembali dengan tuduhan mengulangi perbuatan menista agama, Laporan ACTA ini memang jauh melewati batas-batas kewarasan normal. Eksepsi Ahok dalam kondisi normal harusnya tidak bisa dipidanakan, karena dia sedang menjelaskan duduk persoalan kasus dan melakukan pembelaan. Bagaimana mungkin dalam pembelaannya tersebut Ahok dilaporkan lagi?? Masalah benar atau tidak ayat itu digunakan sebagai pemecah bangsa tinggal dibuktikan saja dalam persidangan.

Lalu mengapa ACTA sangat ngotot terus melaporkan Ahok mengulangi perbuatannya?? Tentu saja karena bukti mengulangi perbuatannya menjadi dasar kuat untuk menahan Ahok. Dari awal, bukankah keinginan kelompok ini Ahok ditahan?? Tuntutan (pesanannya) Ahok untuk ditahan sudah harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Itulah mengapa kelompok ini terus mencatat dan menganalisa pernyataan ahok untuk digunakan sebagai bukti mengulangi perbuatan yang sama, sehingga harus ditahan. Itulah mengapa Ahok juga pernah dilaporkan menuduh pendemo dibayar 500 ribu.

Saya jadi takut, setiap pernyataan Ahok di persidangan akan dilaporkan sebagai tindakan mengulangi kembali perbuatannya. Kalau begitu apa yang harus dikatakan Ahok?? Bukankah dia harus mempertahankan pernyataannya?? Kalau itu dianggap mengulangi perbuatannya, Apa yang harus dilakukan Ahok?? Pakai jubir?? Kan tidak waras persidangan seperti itu.

Saya jadi mempertanyakan keilmuan para pakar hukum lapor lagi – lapor lagi yang bernama ACTA ini. Seharusnya melaporkan eksepsi Ahok ini tidak perlu terjadi. Biarkanlah persidangan berjalan normal seperti biasanya. Tidak perlu memaksakan ilmu hukum di luar kewarasannya yang ACTA miliki. Apalagi sebagai orang hukum, harusnya mengedepankan keadilan dengan memberi hak kepada terdakwa melakukan pembelaannya.

“Seorang terdakwa, bisa memiliki hak ingkar sekalipun dalam pengadilan mengatakan bahwa dia tidak bersalah, boleh saja. Tidak boleh seseorang dikriminalisasi karena keterangannya di pengadilan, itu hak terdakwa,” Kata Sirra Prayuna, Kuasa Hukum Ahok, Rabu (14/12/2016).

“Jadi kalau ada keterangan Pak Basuki yang kemudian dianggap melakukan penistaan, agak aneh kalau menurut saya. Dimana unsur penistaannya lagi,” cetusnya.

Dari sini kita bisa belajar hal pentiing dalam hidup. Menjaga kewarasan tetap dalam titik normal. Supaya keilmuan kita, logika kita, penilaian kita terjaga kewarasannya. Tidak perlu ditinggikan ataupun direndahkan kewarasan tersebut. Karena kewarasan yang benar dalah kewarasan yang normal.

Salam waras

@palti hutabarat