Wednesday, December 14, 2016

Kasus Ahok dan Pilkada DKI 2017

DUNIA HAWA - Selama ini, kita mengetahui seorang Ahok merupakan manusia yang tangguh dan gigih dalam membereskan Jakarta. Kemarin tepatnya tanggal 13 Desember 2016, di hari persidangan beliau kita melihat sisi lain seorang Ahok. Ahok menangis.


Ahok yang biasa kita kenal begitu kuat dan tabah terhadap tekanan publik yang menuntut nya, menangis saat membacakan nota pembelaan di hadapan hakim. Seluruh hadirin di ruang sidang terdiam, seakan-akan tidak percaya. Inikah seorang Ahok yang kita kenal?

Akhirnya semua orang sadar, dialah Ahok seorang yang ternyata manusia biasa. Kemarin kita melihat sisi lain dari seorang Ahok. Apakah Ahok menangis karena dia cengeng? Tentu saja tidak, dia menangis karena teringat pesan sang Ayah yang kebetulan bertepatan dengan wafatnya sang Ayah di tanggal yang sama.

Ahok menangis karena dia bukan mencari simpati dari haters-nya, Ahok menangis bukan karena dia cengeng! Ya, Ahok menangis karena pesan ayah kandungnya untuk selalu menghormati agama Islam yang juga menjadi kepercayaan Ayah angkatnya.

Ahok tidak menyangka, saat ini ia duduk di kursi pesakitan atas dakwaan Jaksa penuntut umum terhadap dirinya telah menistakan Agama yang dianut oleh keluarga angkatnya selama ini. Disaat ia berusaha menyuarakan kebenaran yang sebagian orang tidak mau menerima bahwa memolitisir ayat suci Al-Qur'an memang benar adanya, ia dipaksa harus duduk di kursi pesakitan di pengadilan.

Sisi lain Ahok ini menggambarkan betapa ia sangat menyayangi keluarga dan keluarga angkatnya, air matanya menandakan ia pun hanya seorang manusia biasa.

Permintaan maaf Ahok yang dilontarkan berkali-kali di media massa menandakan ia seorang negarawan sejati, saya yakin banyak umat Muslim yang telah memaafkannya. Di sini pun kita semua tahu bahwa kelompok mana yang murni tersinggung dengan ucapan Ahok, dan mana yang memang ingin menjatuhkan Ahok, ternyata kelompok itu lagi, ya sudahlah.

Air mata Ahok, menandakan ia sangat butuh dukungan yang lebih intens dari simpatisan dan pendukungnya. Saatnya bergerak, Ahok butuh orang-orang idealis untuk sering meluangkan waktunya untuk bergerak membendung segala fitnah terhadap dirinya.

Tetaplah tabah, Pak Ahok, percayalah bahwa rakyat Jakarta ingin ibu kota RI ini segera terbebas dari korupsi melalui dirimu. Percayalah pak, banyak yang mendukungmu bahkan dari masyarakat luar Jakarta. Saya pribadi sebagai warga dari daerah kecil di Provinsi Jawa barat yakni kabupaten Purwakarta sangat mendukung Ahok walaupun tidak bisa mencoblos Ahok.

Kepopuleran anda pun di sini sangat terasa walaupun sepertinya di sini yang menyukai anda dan membenci anda sama banyaknya.

Air mata Ahok menggugah banyak kalangan untuk bergerak, lapisan masyarakat mulai bisa melihat bahwa seorang Ahok sangat dizalimi para pembencinya. Banyak mahasiswa di berbagai kota mendiskusikan mengenai kinerja Ahok selama menjadi gubernur, banyak pula yang memberi pandangan terkait salah atau tidak seorang Ahok dalam kasus ini.

Sisi lain Ahok menurut saya menjadi pembeda terhadap kepopuleran Ahok di mata publik. Kepopuleran tersebut baik dari simpatisan maupun dari pembencinya. Para pembenci sudah jelas akan men-judge bahwa menangisnya Ahok hanya bualan belaka, kira-kira seperti itu. Padahal, apabila bisa berpikir jernih sudah seharusnya kita berhenti bahas mengenai kasus penistaan agama ini.

Kasus ini masuk ke pengadilan, kita patuhi proses hukum yang sudah berjalan. Sudah saatnya kita mendiskusikan program dan visi-misi Ahok dan kandidat lainnya.

Bagi yang tidak suka Ahok, pilihlah kandidat lain walaupun belum teruji, setidaknya mungkin hal itu bisa memuaskan kalian yang membenci Ahok. Sudah cukup membahas isu Primordial dengan mengatakan tidak boleh memilih pemimpin yang tidak seiman dan sebagainya. Pancasila sudah tidak bisa ditawar lagi, negara ini berhak mendapatkan putra/putri terbaik bangsa tanpa melihat SARA.

Jangan sampai, dengan sering mengembuskan isu SARA tersebut memberikan gambaran krisis kepercayaan diri untuk bisa mengalahkan Ahok, semua orang sudah tahu kasus penistaan agama ini dibuat tidak sepi hingga hari pencoblosan nanti pada 15 Februari. Kalau sudah begini, pendukung Ahok-Djarot harus lebih bekerja keras di masa kampanye ini.

Tidak perlu dibuat rumit, Pancasila menjamin hak politik setiap anak bangsanya. Buang jauh-jauh krisis percaya diri dengan beradu argumen mengenai program. Pilkada DKI disaksikan seluruh masyarakat Indonesia, jangan sampai dinodai isu SARA yang mengakibatkan dampak buruk terhadap daerah lain yang tidak terberitakan oleh media.

@ bintang pamungkas


Viva Bashar Assad

DUNIA HAWA - "Terima kasih, Bashar.. terima kasih.."


Begitu sorak sorai warga Aleppo ketika akhirnya kota mereka dibersihkan dari kelompok ekstrim berbaju agama.

Kota terbesar kedua di Suriah - seperti Surabaya itu selama 4 tahun hidup dalam ketakutan dibawah penerapan "syariat Islam" versi kaum radikal. Penculikan, pemenggalan, dibakar hidup hidup adalah makanan sehari-hari

Makanan begitu sulit sehingga banyak yang mencari di tumpukan sampah. Korban terbesar adalah anak anak yang trauma melihat kekejian di sekitarnya. Sniper dimana-mana, sehingga untuk keluar rumah sekedar mencari makanpun harus bertaruh nyawa.

Situasi bertambah parah ketika pasukan pemerintah Bashar Assad masuk ingin membebaskan kota itu. Selain pertempuran yang ketat karena melawan ratusan ribu pasukan musuh dari berbagai negara, fitnah yang dibangun oleh media internasional seperti CNN, Al-Jazeera dsbnya membuat Bashar kehilangan legitimasinya di dunia internasional.

Setiap kali pasukan pemerintah memukul lawan, maka tersebarlah foto foto "kekejaman" Bashar Assad ke seluruh dunia. Playing victim, adalah senjata mematikan tersendiri. Apalagi ditambah kaum radikal itu bersembunyi di rumah rumah penduduk dan menjadikan mereka sebagai tameng hidup supaya tidak digempur.

Rusia dan Hizbullah akhirnya turun membantu Bashar Assad atas permintaan pribadinya. Bashar tidak meminta bantuan kepada NATO, karena ia tahu bahwa Amerika ada di balik ini semua.

Parahnya, AS pun masuk seolah-olah membantu tapi sesungguhnya mengacaukan dengan pemboman kepada tentara pemerintah dengan bahasa "salah sasaran". Mereka juga menerjunkan obat-obatan dan amunisi ke wilayah tempur yang malah dimanfaatkan oleh para pemberontak dengan alasan yang sama, salah kirim.

Aleppo dulu adalah kota yang indah sering disebut Parisnya Suriah. Bangunan bamgunan bersejarah berusia ribuan tahun banyak disana, dan kini hancur lebur karena perang dan dihancurkan sebab dianggap berhala.

Warga Aleppo awalnya sering melakukan demo besar menuntut turunnya Bashar Assad. Mereka tidak sadar ditunggangi oleh banyak kepentingan dan baru paham ketika pada akhirnya mereka harus hidup dibawah tekanan gerombolan yang dulu mereka bela.

Dari peristiwa bebasnya Aleppo ada banyak pelajaran yang diambil masyarakatnya sendiri dan itu mahal harganya. Bashar akhirnya mereka terima kembali sebagai pemimpin sesudah mereka merasakan bahwa ia hanyalah korban fitnah yang dirancang oleh kelompok internasional untuk merebut keseluruhan Suriah.

Terima kasih Bashar. Terima kasih Putin. Terima kasih Hizbullah...

Aleppo kembali bebas dan sekarang memulai kembali membangun reruntuhan dari awal. Semoga kita bisa lebih cerdas dari warga Suriah.

Seruput dulu untuk warga Aleppo dan Viva Bashar !

@denny siregar


Nota Keberatan, Tangis Ahok, dan Pelacuran Ayat Suci

DUNIA HAWA - Bagaimana jika kita semua, pada dasarnya adalah pelacur?


Pagi 13 Desember 2016 terasa tak biasa. Bahkan atmosfer ketidakbiasaan sudah terasa sejak malam sebelumnya. Ada obrolan mengiba di ruang-ruang obrolan virtual pun nyata. Prediksi bagaimana Sang Panglima menghadapi pengadilannya esok hari (meski baru pembacaan dakwaan saja). Akan setegar apakah ia, akan selemah apakah ia?

Kawan-kawan mungkin ingat, pada 16 November 2016 lalu, Basuki Tjahaja Purnama ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama. Di hari itu, hati saya kecut. Pias. Di hadapan televisi kami, ART kami, menitikan air matanya. Ia bersedih. Baginya, Pak Basuki adalah penolong. Orang baik.

Selepas hari itu, saya semakin rajin menonton video-video tentang Pak Basuki. Saya tahu, beliau melakukan banyak penggusuran di mana-mana. Dan maaf, sepertinya saya tidak berkapasitas dalam pembahasan ini, karena saya tidak ada di posisi tersebut. Tetapi, beberapa yang telah digusur, mengaku mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak daripada tempatnya yang terdahulu.

Pak Basuki juga tak segan-segan menyebut bahwa ia—dengan tegas—akan menggusur bangunan liar. Tetapi, tidak begitu saja ditelantarkan. Disediakan rumah susun, dengan fasilitas kesehatan, beribadah, bermain, bahkan sarana berjualan dan bercocok tanam (hidroponik).

Ada lagi ibu-ibu yang memberikan komentar tentang Pak Basuki, ketika ditanya bagaimana jika bukan Pak Basuki lagi yang menjabat, ibu itu langsung diam, dan menahan tangis. Saya ikut melakukannya. Dada ini terasa sesak.

“Duh, Pak... kok masih mau jadi pelayan orang DKI Jakarta, sih?” batin saya berkali-kali.

Semenjak ia ditetapkan sebagai tersangka, setiap kali melihat ia, hati saya selalu kecut. Entah mengapa, rasanya air mata tak lelah menggenang di pelupuk. Mengapa orang baik ini justru dituding-tuding dan disumpahi ini dan itu.

Kemudian, saat melihat ia memasuki ruang sidang, saya kembali mengembuskan napas dengan kencang. Ah.... Bapak satu ini. Luar biasa. Kenal saja saya tidak, tahu bagaimana aslinya saja saya tidak, tapi toh merasa empati tak perlu hal-hal itu.

Dari persidangan tersebut pula, akhirnya banyak yang mengetahui apa sajakah yang sudah Pak Basuki lakukan untuk Jakarta, untuk umat Muslim. Ah, kalian ini... yang seperti itu masak kudu menunggu persidangan dulu? Segala bukti itu sudah berbicara nyaring di sudut-sudut kota. Pembangunan Gereja tak semudah pembangunan Masjid, sekadar info.

Dan tibalah saatnya Pak Basuki membacakan Nota Pembelaan. Melihatnya berhenti sejenak, sembari melepaskan kacamatanya, membuat saya tak kuasa.

Ia menangis saat menceritakan tentang keluarga angkatnya, ibu angkatnya. Betapa ibu angkatnya begitu mendukung ia menjadi Gubernur Jakarta. Dan ibu angkatnya berpulang ketika ia sudah ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Pak Joko.

Begitu pun ketika ia menceritakan tentang kakak angkatnya. Bagaimana uang perkuliahan S2 pertamanya dibayarkan oleh kakak angkatnya. Suara itu terbata. Banyak yang berkomentar tentang betapa suara itu yang biasanya tegas mengatakan si itu adalah pencuri, kini suara itu tercekat, diwarnai isak.

Mereka kira ia menangis meminta agar dicabut tuntutannya? Mereka kira ia menangis karena takut akan tuntutan itu? Mereka kira ia menangis karena takut membusuk di balik jeruji penjara bersama kecoa?

Bukan, Sayang. Ia menangis karena mengenang. Ia menangis saat mengenang ibu angkatnya. Ia menangis saat mengenang kebaikan kakak-kakak angkatnya. Ia menangis karena merindu, barangkali. Bukan saat ia mengatakan bahwa ia tak menista agama. Bukan saat ia merasa keberatan atas dakwaannya. Bukan, Sayang....

Barangkali, mereka yang menyangka Pak Basuki menangis atas ketakutan dakwaan, adalah mereka yang juga membuang roti Sari Roti dan menyangka Equil adalah minuman keras. Logikanya linear. Tidak apa-apa. Bodoh memang butuh keberanian, Kawan.

Di hari itu, dari hari itu, akan terus ada obrolan tentang betapa lemahnya Pak Basuki. Betapa berbedanya Pak Basuki di hadapan para koruptor, dan di hadapan kenangan atas kebaikan, atas keluarganya.

Di hari itu, dari hari itu, akan terus ada yang berteriak betapa palsu air matanya. Atau bahkan ada yang akan berkata, “Ya kalau begitu, Ahok memang sejahat itu kepada keluarga angkatnya. Katanya sayang, tapi kok menista?”

Dan, di hari itu, dari hari itu... akan selalu ada hati-hati yang terpaut. Doa-doa yang meniti tali ke suatu tempat. Doa-doa yang tak lagi tersekat pada agama-agama apa. Doa-doa yang tak lagi ‘bingung’ dipanjat ke Tuhan yang mana. Doa yang hanya diucapkan saja. Dengan bulir yang sama, “Tolong... kuatkan ia, Tuhan...”

Sesederhana itu.

Saya tidak akan menuding siapa-siapa. Sekalipun Anda berbeda pendapat. Sekalipun Anda sudah menudingkan jari Anda kepada Pak Ahok. Sekalipun Anda sudah mempertanyakan siapa saya, pahamkah saya pada Kitab Suci yang menjadi pedoman saya.

Saya belum paham. Setidaknya, saya merasa belum paham dengan isi Kitab Suci saya. Itulah, mengapa saya menolak menuntut agar Pak Basuki diadili dengan dakwaan penistaan agama. Lah yang saya lihat justru umat-umat dari agama itu sendiri kok yang banyak menistakan. Ah, kalau kita tak bisa merawatnya dengan baik, untuk apa menuntut orang lain merawatnya? Kalau kita belum bisa menghargainya, untuk apa kita memaksa orang lain menghargainya?

Ah, Kawan.... kita semua ini pelacur.

Pelacuran terjadi di mana-mana. Hampir semua orang melacurkan waktu, jati diri, pikiran, bahkan jiwanya. Dan bagaimana kalau ternyata itulah pelacur yang paling hina – Dimas (Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh). Kini kian banyak yang melacurkan ayat-ayat Kitab Suci.

Seperti yang Pak Basuki paparkan di pengadilan. Tak hanya Islam, tetapi juga Kristen. Dan barangkali agama lain yang ia (dan tentunya saya) tidak begitu memahaminya.

Tenang saja, Pak Basuki. Banyak yang ingin memelukmu dan mengatakan, “Tabahlah, Pak. Engkau kuat, engkau tahu itu. Tuhan bersamamu.”

Jika pun kelak Pak Basuki ditetapkan bersalah, saya yakin akan semakin banyak doa yang terpanjat ke langit. Akan semakin banyak doa yang dibisikkan ke bumi, dengan harapan sampai ke langit-Nya.

Justru, yang membuat saya gusar adalah... bagaimana jika Pak Basuki ditetapkan tidak bersalah? Akankah para ‘Ahli Surga’ tersebut berlapang dada? Akankah mereka kembali menjual ayat-ayat Kitab Suci yang lainnya untuk aksi jilid selanjutnya?

Ah... yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita semua saling menguatkan, Kawan. Percayalah bahwa Dia-lah hakim seadil-adilnya. Jangan pusing. Saling menguatkanlah. Bagi diri kita, bagi Pak Basuki, bagi Indonesia.

“Namun saat kau rasa pasir yang kau pijak pergi, akulah lautan memeluk pantaimu erat.” –Dee Lestari.

 @annisa fitrianda putri


Membela Ahok = Membela Islam

DUNIA HAWA - Tidak bisa dipungkiri, Islam adalah agama yang memiliki komitmen kuat untuk membela kelompok tertindas (mustadh'afin)--siapapun mereka, apapun agama dan etnik mereka--karena memang agama ini lahir dalam "suasana ketertindasan". 


Nabi Muhammad sendiri (dari klan Bani Hasyim dari Suku Quraisy) merupakan representasi dari kaum minoritas tertindas ini. Simak saja sejarah hidup beliau di Mekah penuh dengan kegetiran: dimusuhi, direndahkan, dicaci-maki, dikejar-kejar, dan berkali-kali diancam bunuh oleh para bandit dan elit politik-ekonomi Makah waktu itu seperti Abu Lahab, Abu Jahal dan gerombolannya. 

Mereka memusuhi Nabi Muhammad karena eksistensi politik-ekonominya terancam dengan kehadiran beliau dengan Islam-nya yang anti terhadap sistem politik-ekonomi yang tiran dan eksploitatif dan meresahkan rakyat dan orang miskin. Nabi Muhammad membawa misi subuah sistem sosial dan tatanan politik-ekonomi yang egaliter, adil dan berperikemanusiaan. Karena itu jangan heran jika dalam Al-Qur'an bertebaran ayat-ayat tentang keadilan, egalitarisnisme, dan keberpihakan terhadap kelompok tertindas. 

Spirit Al-Qur'an yang membebaskan atau Islam yang membela kelompok tertindas ini kelak direproduksi oleh berbagai ulama-aktivis untuk mendukung wacana, pemikiran, dan gerakan politik-keagamaan yang mereka usung. Itulah yang dilakukan oleh Imam Khomeini dan Ali Syari'ati di Iran, Abul A'la Al-Maududi di Pakistan, Sayyid Qutb di Mesir, Asghar Ali Engineer di India, atau Farid Essack di Afrika Selatan. 

Mereka merepresentasikan diri sebagai wakil dari kelompok tertindas. Sementara kaum penindas direpresentasikan oleh Gamal Abdul Nasser dan rezim republik-sekuler di Mesir, Rezim Pahlevi di Iran, rezim kolonial Inggris di Indo-Pakistan, rezim Apartheid di Afrika Selatan, atau rezim Dawoodi Bohra di India.

Dalam konteks Indonesia saat ini, maka Ahok bisa dianggap sebagai representasi "kaum tertindas" yang dimusuhi, dicaci-maki, dihinakan, dan bahkan diancam mau dibunuh. Padahal, seperti Anda tahu, Ahok hanya bilang "begitu doang". Saya membaca Ahok sebagai korban sindikat elit politik dan agama tertentu yang sedang "ereksi kekuasaan". 

Jika memang mereka--kaum elit itu (bukan publik massa)--betul-betul ingin menegakkan Islam dan Al-Qur'an dari kaum "penista agama", maka mereka tentunya juga akan marah besar mendengar dan menyaksikan si "Tuan Besar FPI" itu yang terang-terangan menuduh ada ulama suu' alias "ulama bodong" yang sering membohongi dan menipu umat pakai Al-Qur'an dan Hadis. Tapi nyatanya mereka diam membisu tuh, tidak ada "jihad konstitusional" yang menggelora.      

Karena Ahok representasi kaum tertindas, maka membela Ahok = membela Islam. Pembelaan atas kaum tertindas itu sangat Qur'ani dan Islami karena memang itu adalah spirit Islam dan Al-Qur'an serta misi profetis Nabi Muhammad. Ini pendapatku. Anda boleh setuju atau tidak setuju. Silakan saja. 

NB: Pasti nanti ada yang menuduhku "laknatullah" pendukung aseng tongseng nasi goreng he he. Bosan banget dengernya... 

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi