Thursday, December 8, 2016

Penistaan Vs Penafsiran

DUNIA HAWA - Kehebohan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sebaiknya menjadi momentum bagi kita untuk menengok kembali apa sebenarnya penistaan agama? Bagaimana suatu tindakan dapat disebut sebagai penistaan? Lebih jauh dari itu, apa dampaknya bagi kehidupan beragama?

Amnesti Internasional pada tahun 2014 merilis sebuah laporan mengenai tema ini. Setidaknya ada 39 kasus penistaan agama dalam kurun waktu 2005-2014. Beberapa di antaranya cukup terekspos. Lia Eden, yang mengklaim diri sebagai pemimpin Tahta Suci; dan Tajul Muluk, yang mengatakan bahwa al-Qur’an yang sekarang dipakai oleh kaum muslim tidak lagi asli, adalah beberapa kasus yang cukup populer.


Selain itu ada beberapa kasus yang mungkin juga agak bermasalah. Seperti FX Marjana yang oleh PN Klaten dinyatakan bersalah karena mengatakan Islam sebagai agama yang suka konflik dan sekte-sektenya yang beragam merupakan buktinya. Atau Yusman Roy, yang memperkenalkan salat dengan bahasa Indonesia.

Hal-hal di atas perlu dibandingkan dengan apa yang sering berlaku dalam umat beragama. Apa yang, untuk sekian lama, dianggap wajar oleh pemeluk agama.

Sebagai contoh, umat Islam, sesuai petunjuk yang ada dalam al-Qur’an, menganggap kitab-kitab sebelumnya sudah alami perubaahan. Konsep ini sering diutarakan dalam berbagai ceramah dan kajian. Apakah penceramah-penceramah tersebut hendak dipidanakan? Apa bedanya dengan perkataan Tajul Muluk di atas?

Buku-buku sejarah kebudayaan Islam banyak mengupas cerita perang. Sebab umum dan sebab khusus perang. Perang untuk mempertahankan diri hingga perang penaklukan. Sejak jaman kenabian sampai masa kekhalifahan. Ditulis dengan cukup ilmiah.

Juga ada, buku karangan Syahrastani yang mengupas kemunculan sekte-sekte Islam berjudul al-Milal wa al-Nihal. Pertanyaannya, apakah pengarang-pengarang buku tersebut hendak dipidanakan karena ungkapkan fakta? Tentu saja tidak. Lantas, apa bedanya dengan FX Marjana di atas?

Ahli tafsir tersohor bernama al-Zamakhsyari berpendapat bahwa Muhammad muda tidak menyembah Tuhan sebagaimana yang ia sembah setelahnya. Menurutnya, Muhammad Saw baru bertauhid setelah diutus menjadi Nabi. Pendapat itu diutarakan ketika menafsirkan surat al-Kafirun dalam buku tafsirnya al-Kasysyaf.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada yang anggap pendapat al-Zamakhsyari sebagai penistaan ataupun penghinaan agama. Respon yang cukup pedas hanyalah cap “su’ul adab” (tidak beretika), seperti yang dikatakan oleh Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith.

Menurut saya, kasus-kasus penistaan tersebut hanyalah penafsiran. Penafsiran atas teks-teks keagamaan. Beberapa menafsirkan secara mainstream. Beberapa melakukannya secara kontroversial. Beberapa mungkin melakukannya dengan cara yang jauh "menyimpang". Tapi tetap saja, sulit untuk menganggapnya sebagai penistaan.

Mayoritas ulama membolehkan khutbah Jumat dengan bahasa Indonesia. Itulah contoh penafsiran. Tentu saja tidak masalah dan bukan penistaan. Yusman Roy menafsirkan bahwa dibolehkan salat dengan menggunakan bahasa Indonesia. Nasibnya? dia bermasalah dan (dianggap) bersalah. Adilkah?

Jadi, ini hanya soal apakah penafsiran Anda berlawanan dengan arus utama atau tidak. Kalau berlawanan, Anda terancam dianggap menista.

Selama ini, dua institusi yang menentukan Anda sesat atau tidak adalah Bakor Pakem (Badan Koordinasi Aliran Keagamaan dan Kepercayaan) dan MUI. Yang terakhir, meskipun institusi non-pemerintah, tapi memiliki otoritas yang lebih dibanding yang pertama.

Selain penafsiran atas teks, ini juga berkaitan dengan penafsiran atas batasan umum-khusus, eksternal-internal.

Penceramah agama yang sebut kitab suci agama lain sudah tidak asli, barangkali tidak dianggap menista karena melakukannya di kalangan internal. Pertanyannya, bagaimana memilah kategori internal dan eksternal?

Dalam bahasa hukum “di muka umum” itu apa batasnya? Apakah ceramah internal yang kemudian tersiar di “udara” masih bersifat khusus? Apakah sulit bagi umat agama lain untuk akses ceramah yang berisi hal-hal tersebut di Youtube, misalnya?

Yang demikian harus segera ditinjau kembali. Jangan sampai pasal penistaan agama berdampak buruk pada agama itu sendiri. Mungkin ada yang berdalih bahwa pasal ini justru melindungi agama. Betul, tapi hanya untuk agama mayoritas, itupun hanya dalam penafsiran arus utama.

Jika dibiarkan liar, penafsiran agama terancam alami kejumudan. Ia berjalan dengan sangat lambat. Ada perasaan tidak aman ketika seseorang menemukan “celah” penafsiran yang sedikit berbeda. Jika dibiarkan berlarut-larut, sulit ditemukan lagi perdebatan akademik yang memperkaya penafsiran.

Orang-orang yang saya sebut di atas adalah prisoners of conscience (tahanan nurani). Mereka yang miliki keyakinan tertentu, tidak melakukan kekerasan atau ajarkan kekerasan; tapi ditahan hanya karena dianggap menyimpang dari arus utama. Bukankah yang demikian harus diakhiri?

@miftakhur risal



Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Jakarta. Guru Madrasah. Menggemari kajian keagamaan, bahasa Arab, dan film.

Membandingkan Gerakan Habib Rizieq dan Rio Dewanto

DUNIA HAWA - Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang sedang naik daun ini “Habib Rizieq”.  Sebutan “Imam besar” Front Pembela Islam (FPI) menjadi sosok yang dielu-elukan dan berhasil menjadi “Imam Besar” penggerak aksi bela Islam Jilid 1 hingga Jilid III yang hasil klaimnya pada aksi bela Islam 212 lalu mencapai 7 juta jiwa.


Habib Rizieq bukanlah orang baru yang muncul ke permukaan. Nama Habib Rizieq dahulu sempat dikenal publik karena pada tahun 2003 ia pernah divonis hukuman penjara selama 7 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ia terbukti secara sah dan meyakinkan menghasut untuk melawat aparat keamanan dan memerintahkan untuk merusak sejumlah tempat hiburan di ibu kota. Selain itu, ia juga divonis 1,5 tahun penjara pada 2008 terkait insiden berdarah di Monas.

Alih-alih meredam aksinya, gerakan FPI yang dikomandoi Habib Rizieq kembali melakukan dakwah yang kian kontroversial. Tak heran, beberapa ceramahnya yang diunggah di Youtube terkesan menyinggung kelompok agama dan etnisitas lain, bahkan para ulama Islam pun dia sindir dengan kata-kata yang kurang pas keluar dari mulut seorang “habib”.

Semangat jihad yang kerap ia gunakan dalam dakwahnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengikutnya ataupun yang baru mengenal sosoknya. Gaya perpakaiannya yang kerap menggunakan sorban dan memakai pakaian serba putih dari atas hingga bawah, menjadi ciri khas dirinya. Belum lagi gaya bicaranya yang meledak-meletup, membuat jantung terkejut bagi mereka yang baru mengenal Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI ini.

Kesuksesannya mengajak umat Islam untuk demo membela Islam, menempatkan nama Habib Rizieq sebagai ulama yang fenomenal, yang setiap ceramahnya dinanti-nantikan umat Islam. Meme-meme pun kian di-reply dan dibagikan ke media sosial. Salah satu yang terkenal adalah meme bertulisakan: “Banyak ulama yang bisa mewakili karakter Abu Bakar, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, namun hanya satu yang bisa mewakili Umar bin Khatattab yaitu Habib Rizieq Syihab.”

Sosok yang lain, yang coba saya bandingkan adalah Rio Dewanto. Aktor sekaligus bintang iklan ini mungkin tidak sepopuler dan tidak serelijius Habib Rizieq.

Namun pria yang memiliki tato di lengannya itu tiba-tiba menjadi perhatian para pengguna Instagram, karena dirinya me-repost akun instagram Serikat Petani Indonesia (SPI) yang menampilkan seorang petani yang badannya berdarah-darah karena aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi/TNI di Desa Mekar Jaya Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 11 November lalu. Ia memberikan caption":

“Hey oknum aparat, janganlah kau jadi budak asing!!! Ini saudara kalian juga.”

Sontak pria yang bermain film Filosofi Kopi ini pun mendapatkan 26 ribu like dan tidak sedikit yang mendukungnya. Singkat cerita, sebagai bagian dari wujud kepeduliannya, Rio Dewanto pun mendatangi markas Serikat Petani Indonesia (SPI) di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, untuk mengetahui lebih jauh peristiwa kekerasan yang melanda petani tersebut.

Kedatangan Rio Dewanto nampaknya cukup spontan. Bahkan saat berdiskusi dengan rekan-rekan SPI, Rio menjelskan bahwa kedatanganya tidak ada kepentingan dan maksud yang lain. Kedatangan dia hanya wujud keoprihatinannya atas kekerasan yang dialami para petani di Langkat.

Rio pun membangun kampanye dan opini publik melalui media sosial dengan pernyataan sikapnya yang menolak penggusuran lahan petani. Ia memakai topi petani yang di belakangnya terdapat bendera merah putih, Serikat Petani Indonesia (SPI) dan la via Campesina (organisasi petani internasional) di kantor SPI pusat.

Sebagai tindak lanjutnya, ia melakukan konfrensi pers di Kafe Filosifi Kopi dan menegaskan komitmennya untuk mendorong agar pemerintah tidak represif terhadap petani. Rio menyatakan bahwa ia bersama pengacaranya pun siap “turun ke lapangan” di Desa Mekar Jaya, Langkat, untuk mengawal dan mencarikan solusi hukum atas konflik agraria yang terjadi di sana.

Saya kembali mencoba membandingkan kedua sosok ini, meskipun Rio Dewanto bukanlah seorang ulama, namun dia turut memberikan perhatiannya pada kasus kemanusiaan petani di Langkat. Di tengah aksi seorang Habib Rizieq yang terus mengawal kasus Ahok dan mendapatkan dukungan dari jutaan umat Muslim di Indonesia, Rio justru mengambil isu yang tidak menjadi perhatian masyarakat banyak.

Kepekaan Rio terhadap kasus kemanusiaan di Langkat Sumatera Utara menjadi pertanyaan besar bagi saya, kenapa Rio kok mau ambil bagian dalam kasus ini? Kenapa dia tidak ikut berjuang di aksi bela Islam tiap episodenya dan mengawal kasus Ahok yang sudah ditetapkan tersangka namun harus dipenjara sesuai dengan tuntutan massa?

Rio Dewanto mungkin “orang baru” yang latar belakangnya seorang Aktor yang kini mencoba turun menjadi seorang aktivis. Namun bak rasa haus dahaga di tengah gurun pasir, sosok Rio Dewanto hadir membantu rekan-rekan aktivis petani untuk melakukan advokasi dan memperjuangkan petani di Langkat yang mengalami kekerasan fisik.

Rio mungkin berpikir, kasus Ahok yang hanya karena “ucapannya” itu telah mendapatkan dukungan dab dikawal oleh jutaan orang. Sementara itu, kasus petani ini tidak mendapatkan perhatian dari ulama, atau dari seorang “Habib” sekali pun. Tidak ada gerakan nasional mengawal kasus kekerasaan petani di Langkat, dan tidak ada pula aksi doa bersama agar kekerasan petani di Indonesia dihapuskan.

Gerakan Habib Rizieq dengan GNPF MUI-nya, mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat karena alasan “Membela Islam”, sementara Rio dengan aksi spontannya dalam memperjuangkan petani di Langkat atas nama “Kemanusiaan Membela Petani” belum mendapatkan perhatian negara dan masyarakat.

Rupanya, Rio bersama rekan-rekan aktivis petani harus memutar otak agar perjuangan untuk petani mendapatkan perhatian yang lebih serius. Teruslah Berjuang.

@rholand muary


Mahasiswa Magister Sosiologi USU


Kita yang Beragama Seharusnya Malu pada Ateis

DUNIA HAWA - Saat ini Indonesia sedang berduka. Warga Aceh terkena gempa 6,5 skalarichter. Tetapi, rasanya berita duka tersebut hanya ditelan mentah-mentah oleh sebagian masyarakat, karena saat bencana tersebut terjadi, muncul berita adanya pembubaran KKR Natal di Sabuga, Bandung oleh kelompok ormas PAS (Pembela Ahlus Sunnah).


Pengguna akun di media sosial, seperti Twitter, Ask.fm, dan Facebook kebanyakan lebih menyuarakan kekecewaan mereka tentang pembubaran KKR Natal itu sendiri daripada berdiskusi sehat tentang apa yang terjadi pada warga Aceh. No symphaty. No empathy. Setiap dari mereka membenarkan pengetahuan agamanya kepada masing-masing rival.

#RIPHUMANITY. Hanya itu tanggapan saya ketika melihat riuhnya intoleransi yang terjadi di masyarakat kita. Yang lebih menyebalkan lagi, berita pembubaran KKR Natal ini dikait-kaitkan dengan aksi demo 212 yang terjadi beberapa hari lalu.

Entahlah ... kasus penistaan agama terjadi di mana-mana dan semuanya selalu dihubungkan dengan kasus yang menimpa Ahok sekarang. Semua berkoar-koar menyalahkan apa yang dilakukan rivalnya tentang agama yang dianut, sampai lupa bahwa saudara kita, warga Aceh membutuhkan uluran tangan kita.

Sibuk mempermasalahkan tentang perbedaan yang memang akan selalu menjadi bahan perdebatan karena memang ketika berbeda bukan berarti tidak mencapai tujuan yang sama kan? Mungkin benar kalau ada yang mengatakan bahwa akar dari permasalahan ini adalah sebenarnya tentang pendidikan.

Secara teoretis kita diajarkan tentang untuk menghargai agama lain, tetapi pada praktiknya guru pun mostly orang yang fanatik terhadap agamanya sehingga dalam mengajarpun terselipkan ajaran-ajaran doktrin agama di bidang yang dia ajar.

Saya mau mengambil contoh yang saya alami sendiri. Sebut saja dia guru besar. Dia mengajar di bidang bahasa inggris. Dia adalah sosok guru yang pribadinya sangatlah taat Islam. Poin humornya adalah, dia sangat tidak toleran kepada murid yang beragama selain islam. Nilai yang diberikan oleh guru tersebut sangatlah tidak adil. Kalau sekarang mau berdebat, tentang apa sih yang salah dari pendidikan kita? Karakter.

Apa lagi yang salah? Ini yang ingin saya tanyakan sebenarnya, mengapa sekolah yang ada di Indonesia hanya mengajarkan satu agama saja? Di sekolah negeri, kita belajar tentang agama islam. Karena kebanyakan dari kita merupakan umat muslim. Lalu yang minoritas, seperti agama nasrani dipisahkan sendiri kelasnya lalu dibuatkan jadwal sendiri untuk belajar agama yang mereka anut. Lalu, yang beragama Buddha dan Hindu bagaimana?

Ini terjadi dalam hidup saya. Saat saya SMP, saya memiliki teman beragama Hindu. Yang menyedihkan, di sekolah kami waktu itu, tidak ada guru agama Hindu. Akhirnya, ketika pelajaran agama Islam berlangsung, teman saya ini pergi ke perpustakaan. Bagaimana dengan nilai agamanya yang di rapor? Ya, tentu tahu sendiri bagaimana ketika nilai siswa kurang, bagaimana guru mencoba memanipulasi agar nilainya terangkat.

Miris ya? Agama menjadi doktrin banyak orang karena dianggap sebagai pedoman hidup sampai lupa bahwa banyak sekali yang beragama tapi tidak beriman pada Tuhan. Banyak yang tersesat di jalan hidupnya karena guru agama pun tidak memiliki karakter sendiri. membuat penafsiran Alquran atau Alkitab, menjadikan dirinya nabi yang maha mengetahui untuk memberikan dosis doktrin yang sebenarnya diluar dari ajaran.

Tetapi rasanya, jika sudah membicarakan pembenahan karakter akan susah rasanya, jika sekarang sudah banyak sekali orang yang memiliki kesalahan dalam berlogika ketika dewasa. Sudah terlalu banyak orang yang salah dalam berlogika, jika harus membenahi dari awal untuk memulai rasanya sudah terlambat. Buat saya sudah terlambat.

Sempat tebersit di pikiran saya, rasanya saya malu pada ateis. Mereka yang tidak percaya Tuhan, tidak perlu membela Tuhan dengan segitu meriahnya seperti yang masyarakat kita lakukan saat ini. Malu melihat ateis yang hidupnya tenang-tenang saja dan memiliki toleransi tinggi terhadap umat beragama lain.

Malah kita yang beragama sibuk menyalahkan sikap dan jalan pikiran dari masing-masing rival, dan menyalahkan mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Seakan-akan kita adalah utusan Tuhan yang menyayangkan ketidakpercayaan mereka pada Tuhan.

Para ateis sibuk menjaga toleransi, kita sibuk membela diri. Kita sibuk membela Tuhan, padahal Tuhan tidak perlu dibela. Kita sibuk untuk mencari kebenaran dari sejarah agama kita, ateis sibuk dengan sikap produktif yang dilakukan di hidupnya untuk masa depan mereka. malu sebenarnya, punya label agama A, B, C tetapi kelakuannya seperti binatang jalang yang tidak memiliki Tuhan.

Kita sibuk menyalahkan tradisi agama lain, lupa bahwa ada saudara kita butuh kepedulian kita.

Kita seperti lebih ateis daripada mereka yang kita kenal tidak percaya pada Tuhan. Yang lebih parahnya, kita percaya Tuhan tetapi kita tidak menunjukkan hal tersebut. Pemerkosaan terjadi di mana-mana, penafsiran Alquran dan Alkitab yang salah, kekerasan terjadi di mana-mana mengatasnamakan agama, penghinaan kepada Tuhan dengan membakar Alquran ataupun Alkitab, dan masih banyak penghinaan yang lainnya. 

Pertanyaannya, sekarang siapa yang lebih ateis? Kita yang beragama atau mereka yang penganut ateis itu sendiri?

@emiliani monika paramita


 Alumni Politeknik Negeri Malang.

Hilangnya Akal Sehat dalam Aksi Boikot SARI ROTI

DUNIA HAWA - Istilah apa yang paling tepat kita gunakan untuk menggambarkan aksi boikot SARI ROTI saat ini?


Coba kita perinci kejadiannya.

1. Menjelang Aksi ‘Damai’ 2 Desember 2016, perusahaan SARI ROTI mendapat pesanan dari seseorang untuk membagi-bagikan roti pada peserta aksi di pintu masuk Monas. 

2. Si pemesan membeli roti dalam jumlah tertentu dan roti itu harus dibagikan gratis kepada peserta Aksi.

3. Pada 2 Desember, sejumlah penjual roti keliling SARI ROTI membagi-bagi roti kepada peserta aksi sesuai pesanan. 


4. Perusahaan SARI ROTI mendapat pertanyaan apakah mereka memang terlibat dalam Aksi 2 Desember.

5. Manajemen SARI ROTI menulis di websitenya bahwa SARI ROTI memuji Aksi Damai 2 Desember. Tapi SARI ROTI juga menyatakan bahwa mereka tidak berpolitik dan pembagian roti secara gratis tersebut dilakukan karena adanya pesanan seorang konsumen.

6. Para pendukung Aksi 2 Desember marah karena SARI ROTI menyatakan bahwa pembagian roti gratis tersebut adalah inisiatif seorang konsumen.

7. Para pendukung Aksi 2 Desember mengkampanyekan aksi boikot SARI ROTI

8. Saham SARI ROTI anjlok di Bursa Efek Indonesia.

Saya tidak paham apa yang membuat pendukung Aksi 2 Desember itu marah dan merasa harus memboikot SARI ROTI?
Apa salah SARI ROTI? Mereka kan cuma mengklarifikasi? Mereka memuji Aksi 2 Desember, tapi mereka harus menyatakan bahwa pembagian gratis itu bukanlah inisiatif mereka? Mereka kan jujur? Salah mereka apa?

Saya tidak paham. Saya betul betul tidak paham.

@ade armando


Di Setiap Tempat, Minoritas Selalu Tertindas?

DUNIA HAWA - Masih banyak orang Islam yang bilang gini,"Kalau non muslim jadi mayoritas, mereka menindas muslim."

Contohnya? Myanmar!


Baiklah. Tapi satu negara itu contoh untuk semua?

Orang-orang Islam berbondong-bondong ke Eropa dan Amerika. Baik sebagai pengungsi maupun sebagai imigran. Orang-orang Islam sendiri suka menghafal dalil bahwa Islam adalah agama yang pertumbuhannya paling pesat di Eropa dan Amerika. Karena orang-orang sana berbondong-bondong masuk Islam? Bukan. Karena orang-orang Islam berbondong-bondong pindah ke sana.

Macam mana ceritanya kalau mereka ditindas tapi masih mau ke sana juga? Nggak masuk tu barang, kata Soetan Bhatoeghana.

Orang-orang Islam di Eropa dan Amerika itu menjadi warga terhormat. Walikota London dan Rotterdam itu muslim. Tentu saja mayoritas penduduk kedua kota itu mayoritas non muslim. Tapi mereka nggak main mayoritas dan minoritas. Mainnya akal sehat. 

Sebaliknya, ada pula orang-orang muslim yang tertindas di negeri mereka sendiri, di mana mereka mayoritas. Itulah yang terjadi di Syiria.

@hasanudin abdurakhman, phd

Jokowi Bukan Orang Lemah

DUNIA HAWA - "Kenapa Pakde diam saja?" Itu pertanyaan temanku ketika dikepalanya terpatri seribu pertanyaan melihat intoleranisme dan pemaksaan kehendak oleh satu golongan merajalela.


Begitu besar harapan ke Jokowi sekarang ini untuk bisa menyelesaikan persoalan yang sudah menjadi karat dalam rumah kita. Pembubaran KKR Natal di Bandung adalah klimaks di akhir tahun ini sesudah demo 411, 212 dan ditambah pernyataan pernyataan arogansi boikot ini, boikot itu, bahkan roti aja di boikot.

Saya pun sebenarnya sempat bertanya hal yang sama. Kenapa Jokowi yang begitu gagah menghadapi para mafia terlihat melempem menghadapi para onta?

Sampai ketika ia muncul shalat Jumat di acara 212 dan naik mimbar, saya seperti menemukan jawabannya..

Pertama kita harus pahami dulu bahwa Jokowi bukan jenis orang yang reaksional menanggapi suatu masalah. Ia pemikir sejati dan langkah-langkahnya tertib, pelan tetapi haruslah mematikan. Tidak mudah menebak kemana arah berfikirnya.

Sifat ini juga terbentuk karena lingkaran istana - bahkan yang ring 1 pun - bukanlah orang orang yang bisa ia percaya. Banyak yang ingin mencari panggung di 2019 atau mempunyai kepentingan sendiri. Ia harus memetakan mana kawan mana lawan dengan perlahan. Tidak mudah menyingkirkan mereka karena ia tidak ingin mencari musuh musuh baru dalam perjalanan. Terlalu banyak musuh, sulit bekerja.

Dan beberapa diantara orang yang tidak ia percaya juga ada yg berperan menggerakkan tokoh tokoh demo dengan baju Islam itu. Mereka yang sejak lama menjalin hubungan dengan kelompok Islam, mendanai kegiatannya dan menggerakkannya ketika ada kepentingan.

Dan Jokowi bukan diam saja. Ia geram ketika melihat ada sekelompok manusia yang merasa dirinya paling benar mencoba memaksakan kehendak dan mengatur hukum di Indonesia. Beberapa teman relawan menyampaikan kegeraman Jokowi ketika bertemu dengan mereka dalam sebuah acara.

Hanya memang, butuh cara dan waktu yang tepat untuk menghantam. Kalau dihantam sekarang bisa bahaya.

Kelompok kelimpik yang mengatas-namakan Islam itu sudah berhasil membangun euphoria di sebagian masyarakat terhadap kebanggaan agama mereka dengan tema melawan penista agama.

Dan ketika para tokoh kelompok itu dihantam sekarang, tentu mereka malah menjadi martir dan pahlawan. Biasaa.. Drama "playing victim" masih disukai sebagian orang akibat kebanyakan nonton telenovela...

Puncak dari kegeraman Jokowi terjadi ketika ia membelokkan langkahnya menuju panggung shalat Jumat di 212.

Aksi Jokowi ini benar benar spontan. Pada menit menit
 terakhir, saya masih mengontak "orang orang disekitarnya" dan bertanya, "Apakah pakde shalat Jumat di Monas?" sekedar untuk melihat benar atau tidaknya prediksi saya.. Mereka tidak bisa menjawab. Dan ketika tiba tiba Jokowi membelokkan langkahnya di tengah gerimis, sebuah pesan masuk, "Bener prediksi abang. Pakde sekarang ke Monas.."

Ini bentuk reaksional pertama kali yang saya jumpai dari seorang Jokowi. Menunjukkan betapa geramnya ia terhadap pemaksaan kehendak dengan mengatas-namakan agama. Dan salah satu langkah terbaiknya hari itu adalah merebut panggung dari para pencari panggung yang sebelumnya sudah mempersiapkan diri untuk berorasi.

Tentu pak Tito sudah menangkap kemungkinan ini. Penangkapan beberapa tokoh dengan tuduhan makar adalah bagian dari membersihkan jalan Jokowi menuju panggung utama. Bahaya ketika orang orang itu ada di lapangan dan Jokowi juga ada di sana. Mereka sangat mungkin menggerakkan massa pada saat itu menjadi beringas dengan orasi orasi mereka.

Diantara mereka yang sempat ditahan adalah orang orang ideologis, yang pemikirannya sangat berbahaya. Sedangkan yang ada di Monas hanyalah para pencari wajah dan dana, lebih mudah untuk dikuasai dan diintimidasi, "Kalau Presiden kesini dan lu macem macan.. awas, gua sunat 2 kali..". Siapapun gemetar kalau mendengar disunat 2 kali. Sayapun gemetar ketika menulis ini... Rasanya, ahhhhhh...uhh... iihh...

Dari sini kita bisa melihat bahwa Pakde sebenarnya tidak diam saja. Ingat, ia pecatur handal. Tidak bisa sembarang mengorbankan bidak tanpa kemampuan memprediksi langkah lawan ke depan.

Disinilah menariknya melihat langkah kuda Jokowi. Terkadang ia tanpa sadar mengedukasi bahwa emosi dan rasionalitas tidak bisa sejalan. Keputusan yang jernih hanya bisa dilakukan ketika emosi sudah teredam. Dan ketika ia sudah menemukan langkah terbaiknya pada waktu yang tepat, percayalah.. itu sangat mematikan...

Jokowi bukan orang lemah. Ia justru sangat berbahaya... Hati-hati saja kalian yang terus berusaha menekannya..

Ah... Berasa mau bikin kopi lagi...

@denny siregar


Saran Buat Umat Kristiani, Terkhusus di Bandung

DUNIA HAWA - Kalau kejadian di Bandung saya tidak tahu persis kronologinya. Sebagai orang jauh saya hanya bisa menerima informasi dari teman yang terpercaya.


Cuma kalau benar itu sebuah pelanggaran, dan pelanggaran tersebut membuat Anda terganggu, ya maklumi aja. Saya kan sudah bilang Muslim SMP memang begitu

Saran saya, bagi teman-teman Kristiani, kalaupun nanti di lain waktu Anda menerima gangguan dari Muslim-muslim SMP itu, atau kitab suci Anda "dihina", misalnya, tidak usah amuk-amukan dan demo berjilid-jilid.


Tidak perlu minta diproses secara hukum, apalagi minta agar para pelaku dipenjara. Tidak perlu. Kasih saja mereka senyuman manis dan kata-kata sayang.

Tunjukan saja kepada mereka bahwa Agama Anda adalah Agama pemaaf dan penuh cinta. Bukan Agama yang senang liat orang dipenjara.

Juga bukan Agama yang penuh dendam dan suka menebar kata-kata nista. Tunjukanlah kepada ulama-ulama yang saleh itu bahwa "kami semua bisa lebih dewasa menyikapi orang-orang mengganggu kami.

Tunjukanlah kepada ulama-ulama pembela al-Quran itu bahwa kami ( umat kristiani ) semua merindukan ajaran Nabi Muhammad seperti yang diajarkan oleh Isa Almasih As.

Tunjukanlah kepada para Mujahid pembela Islam itu bahwa kami tak akan rela jika saudara-saudara Muslim kami dituntut apalagi dipenjara hanya karena mengganggu kami atau "melecehkan" kitab suci kami.

Tunjukanlah kepada ustaz-ustaz yang saleh dan ganteng itu bahwa kami ingin memeluk umat Islam yang mengganggu kami dan kami tidak ingin melukai hati mereka dengan menebar kata-kata benci.

Buatlah spanduk segede karpet--dan kalau perlu pajang di depan kantor MUI--bahwa "kami memaafkan umat Islam yang mengganggu kami karena al-Masih dan Nabi Muhammad adalah dua utusan Tuhan yang penuh cinta, pemaaf dan selalu mengasihani.

Penuhilah tembok-tembok media sosial dengan sabda-sabda Isa Almasih yang Anda imani. Tunjukanlah kepada dunia bahwa sekalipun dipandang "sesat", Agama Anda bisa memberi kedamaian untuk negeri yang kita cintai.

Barangkali dengan cara seperti itu mereka akan tersadar. Barangkali dengan cara seperti itu mereka akan malu. Barangkali dengan cara seperti itu hati mereka akan terketuk.

Dan barangkali dengan cara seperti itu mereka akan sadar dengan ajaran Nabi Muhammad Saw yang gagal mereka pahami itu.

Itu tips dari Saya kalau kelak Anda mendapatkan gangguan atau kitab suci Anda "dihina". Siapa tahu dengan cara seperti ini anak-anak SMP yang taat itu bisa naik kelas dan dapat ranking. Siapa tahu

@Muhammad Nuruddin


Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar. Penikmat buku-buku Tasawuf dan Filsafat