Wednesday, December 7, 2016

Islam Boleh Ibadah di Tempat Umum, Kristen Tidak

DUNIA HAWA - Masih hangat di dalam ingatan kita tentang gerakan bela Islam yang digelar di sepanjang jalan dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara, dan—yang paling hangat—adalah di Monas dan sekitarnya. Yang kedua, jelas sangat dibangga-banggakan oleh para pendukung gerakan tersebut. Banyak yang menyebutkan bahwa gerakan 212 adalah ‘tawaf’, dan jika tidak juga Pak Ahok ditindak ‘tegas’—tentunya tegas dari pandangan mereka—akan ada ‘lempar jumroh’.


Tentunya tak kalah hangat peristiwa pembubaran kebaktian Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga Bandung oleh Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dengan dalih bahwa umat Kristiani seharusnya beribadah di tempat yang telah disediakan, yaitu Gereja. Dan meski menurut pengakuan Kang Emil di akun Instagram-nya, bahwa acara KKR mengalami kesalahan dalam koordinasi waktu, haruskan dibubarkan dengan cara seperti itu?

Ketika melihat video pembubaran tersebut, air mata saya langsung saja menetes. Saya membayangkan, betapa menakutkannya, betapa menyeramkannya ketika saya sedang beribadah, lalu digusur, lalu diminta untuk selesai di tengah jalan. Padahal kami sedang khidmat beribadah kepada-Nya.

Saya juga ingat sering kali menemukan opini masyarakat soal betapa sulitnya di masa pemerintahan Pak Joko dan Pak Ahok untuk membangun Masjid. Ya ... namanya juga opini, ya sah-sah saja. Tapi saran saya, tolong hindari balapan antara mulut dan otak, nanti malu sendiri.

Karena kenyataan justru menyatakan bahwa Masjid kian banyak. Bahkan kini Balai Kota memiliki Masjid-nya sendiri. Alasan Pak Joko dan Pak Ahok membangun Masjid di Balai Kota, agar umat Islam yang bekerja di Balai Kota, ydapat dengan mudah beribadah, dan tidak perlu mencari Masjid di luar area bekerja.

Sekali waktu seorang Pendeta meminta agar Pak Ahok jangan mempersulit pembangunan Gereja. Pak Ahok lalu meminta agar Pak Pendeta jangan memprovokasi, karena banyak pertimbangan mengapa Gereja tak mudah mendapatkan izinnya untuk berdiri. Salah satunya adalah: Ada berapa banyak jemaatnya?

Nah, untuk Kawan-kawan yang sempat merasa pembangunan Masjid ini kian sulit, saya tanya ... mau berapa banyak Masjid yang dibangun? Mau setiap rumah punya Masjid sendiri? Coba diingat, di zaman Nabi Muhammad, ada berapa banyak Masjid? Jika Masjid banyak, akan bagaimana disejahterakannya?

Lagipula, bukannya pahala kita kian banyak jika Masjid semakin jauh dari rumah?

Sudah dimanjakan saja, masih memperlakukan umat lain dengan sebegitu menyeramkannya. Tidak terbayang jika pembangunan Masjid betul-betul dipersulit, jika ibadah salat Idul Fitri dan Idul Adha dibubarkan dengan dalih gunakan tempat yang sudah disediakan. Pasti sudah akan ch​aos tanah ini.

Terkait kasus pembubaran kebaktian, seorang sahabat bercerita sekilas tentang kehidupannya sebagai minoritas di Bali. Ia seorang Muslim, dan harus menempuh pendidikan di Tanah Dewata tersebut. Perasaan menyesakkan tak bisa dihindarkan. Ia merasa bahwa menjadi minoritas memang tidak enak. Dari sana, ia pun belajar untuk tidak semena-mena terhadap minoritas lainnya di Jakarta.

Kawan-kawan ... kalian pasti kesal kalau umat Islam dipersulit dalam beribadah. Lantas mengapa melakukan itu kepada umat lain? Kalian takut kalau doa mereka bisa menghancurkan diri kalian? Kalian takut kalau Tuhan mereka lebih kuat daripada Tuhan kalian? Apa yang kalian takutkan, Saudaraku?

Belum lagi beberapa kejadian terkait gerakan 212. Ada beberapa masyarakat perempuan yang bercerita bahwa mereka digoda oleh beberapa peserta gerakan.

Peserta-peserta tersebut mengenakan atribut sorban dan pakaian putih-putih. Dan kemudian justru perempuan-perempuan inilah yang disalahkan karena mereka mengenakan pakai terlalu terbuka—padahal salah satunya mengenakan pakaian tertutup, barangkali perempuan tersebut hanya cantik saja. Mereka salah juga kalau mereka cantik?

Hal tersebut mirip dengan kasus-kasus pemerkosaan, di mana kebanyakan masyarakat menyalahkan korban karena berpakaian terlalu seksi. Sudah jadi korban, disalahkan pula. Manusia bukan sih?

Ditambah ‘skandal’ roti yang bikin saya semakin gagal paham. Saya tidak tahu ilmu mana yang mereka pelajari ketika mereka membuang sebungkus roti yang masih ada beberapa helai isinya, hanya karena perushaan tersebut menyatakan bahwa roti gratis bukanlah ‘pekerjaan’ mereka, melainkan ‘pekerjaan’ seorang dermawan. Mengapa tidak berterima kasih saja kepada dermawan tersebut?

Mengapa sibuk merutuki titik hitam pada selembar kertas putih, Saudaraku?

Untuk Kawan-kawan yang sudah berniat menasihati saya dengan dalil-dalil Al-Qur’an tentang apalah apalah yang tidak akan saya pahami itu, sebaiknya urungkan niat kalian. Karena saya tidak ada masalah dengan Al-Qur’an atau kitab suci mana pun, saya tidak ada masalah dengan Tuhan. Yang saya permasalahkan adalah bagaimana manusia berlaku merusak, menyerang, menindas, dengan menggunakan firman-Nya sebagai senjata.

Jika ingin berlaku buruk, silakan saja. Tapi jangan jadikan Ia dan firman-firman-Nya sebagai alat, sebagai tameng, sebagai sebab. Rasanya tidak ada artinya bela agama, jika menistakan sesama manusia. Menistakan sesama manusia, sekaligus menistakan agamanya sendiri. Kok bisa? Mikir coba. Itu juga kalau bisa.

Serius, kali ini saya kesal, marah, tidak suka. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya seorang perempuan keturunan Jawa tulen, dan Muslim sejak lahir. Lalu saya tinggal di Indonesia. Di Jakarta.

Tapi satu hal yang saya tahu, bahwa ditindas itu tidak enak, menyakitkan, menyeramkan.

Jadi, bagaimana, Kawan-kawan ... masak umat Islam boleh beribadah di jalanan, di lapangan, di ruang kelas, di mana pun yang bukan Masjid, bukan Musala, bukan Surau, masak umat lain tidak boleh? Bahkan mereka memilih beribadah di tempat tertutup. Manusia bukan sih?

Lalu, bagaimana, Kawan-kawan ... jika kalian tak bisa menahan napsu, mengapa menyalahkan mereka yang mengumbar aurat? Menistakan agama tidak boleh, melecehkan manusia boleh? Duh, maaf saya sampai ucapkan dua kali. Saya geram.

Seperti yang saya katakan di awal, tidak ada hidup yang mudah. Saya tahu. Tapi tidak lantas jadi harus mempermudahnya dengan mempersulit hidup orang lain, kan? Sebagai umat, kita tak boleh lupa bagaimana caranya menjadi hamba. Dan semoga kita juga tak lupa bahwa menjadi hamba, sekaligus menjadi manusia bagi manusia lain.

@annisa fitrianda putri


Bela Islam Jilid IV

DUNIA HAWA -Setelah Habib rizieq memimpin aksi bela islam jilid 3 212, tiba saatnya aksi bela islam jilid 4. Aksi kali ini dipimpin Jokowi. Pada tanggal 612, Pakde mengajak seluruh aparat untuk melakukan aksi di Aceh. Membantu korban gempa di Aceh, bela islam juga kan ya?


Jika pada tanggal 212 jutaan umat islam digerakkan oleh Allah untuk melawan ahok membela islam, pergi ke jakarta dengan uang pribadi. Akankah kali ini Allah juga akan menggerakkan mereka untuk ke Aceh? Akankah ratusan ribu umat islam itu tergerak hatinya untuk mengeluarkan uang yang lebih banyak demi membantu saudaranya sesama muslim yang sedang tertimpa musibah?

Pakde, aku pengen nyumbang saudara-saudaraku di Aceh boleh ga? Aku mau nitip sari roti.

Aksi jilid 5 adalah aksi membela cinta kita. I love you

@nurul indra


Tiada Maaf Bagimu, Ahok !

DUNIA HAWA - Wajahnya sembab. Tubuhnya bergetar dan mimik penuh ketulusan saat berucap, "Saya minta maaf kepada umat Islam."

Ia memandang seluruh hadirin yang menyambut maafnya dengan riuh tepuk tangan yang cukup lama. 

Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, "Sekali lagi saya minta minta maaf kepada umat Islam," saat ia didaulat ke panggung #MataNajwa yang sedang #UlangTahun17.


Di layar televisi aku fokus pada wajah Ahok. Wajahnya bening dan lugu seperti bayi yang sedih saat ditinggal ibunya sebentar saja. 

Tatapannya syahdu diiringi ekspresinya ketulusan seorang yang sungguh merasa bersalah, hingga ia seakan menyalahkan dirinya, "Sekali lagi, saya minta maaf kepada umat Islam."

Tak hanya kala itu, di berbagai kesempatan, entah offline/off-air ataun online/on-air, setelah pengunggahan video sambutannya di Pulau Seribu oleh Buni Yani, Ahok telah puluhan hingga ratuasan permintaan maaf kepada saudara sebangsa dan setanah air yang merasa agamanya dinistakan oleh perkataanya.

Entah Anda, tetapi saat menonton acara #MataNajwa saya merasa ikut sedih dan merasakan kesedihan Ahok. 

"Semua yang terjadi hari-hari ini adalah gara-gara saya... gara-gara Ahok," katanya seraya melanjutkan kalimat permintaan maafnya.

Tubuhnya seakan berkata, 'Bila memang ucapanku telah menyulut amarah para pemeluk agama Islam, maka dengan penuh ketulusan saya minta maaf.'

*****

Ahok memang politisi aneh, ganjil, tapi ajaib. Ia terlalu polos, terlalu hitam-putih dan terlalu berani melawan arus untuk ukuran seorang politisi. Strategi kerjanya jelas, mudah dipahami karena bahasanya verbal. Bila di perusahaan, model kepemimpinan seperti ini biasanya disukai. 

Entah kalau di negeri ini. Pokoknya, sistem kerjanya sangat sederhana tetapi jelas: salah ya salah, benar ya benar. Salah dan fatal, ya dipecat. Benar dan bertanggung jawab, ya dipuja dan dipromosikan hingga karirnya melejit. 

Sederhana bukan? Bahwa banyak bawahan yang "seolah-olah tak paham dan dikuasai kemalasannya" hanya persoalan sistem yang sudah lama mereka anut: "sing penting ngumpul" di kantor.

Lihatlah, sepanjang ia menjadi gubernur, emperan kantor Balaikota DKI Jakarta tak pernah sepi oleh rakyat yang ingin meminta bantuannya secara langsung.

Anda pasti pernah menonton di televisi, atau di youtube betapa Ahok begitu sabar menghadapi satu per satu warga yang ingin menemuinya, hingga ia selalu datang lebih awal ke kantor dan pulang lebih akhir dari kantornya.

Aneh bukan? Kebanyakan pemimpin dengan jabatan tinggi di negeri yang selalau merasa cukup mempertontonkan telunjuknya untuk mengatur bawahannya. Tapi Ahok? Ia malah bertanya secara detail apa yang dihadapai warganya.

Awas saja, bila asisten atau bawahannya tak terbukti telah ingkar pada apa yang telah dijanjikannya kepada warga yang minta bantua, maka Ahok akan marah dengan gaya khasnya, 

"Lu gimana sih? Bisa enggak sih melayani rakyat? Kalau enggak bisa kasitau gue dong. Udah, gue enggak mau tahu, pokoknya persoalan ibu/bapak X ini harus selesai besok!"

Ia dipuja rakyat Jakarta, hingga ke seantero pelosok negeri pun turut mengaguminya dengan harapan kelak mereka punya gubernur seperti Ahok. 

Hanya saja, kehadiran sosok pemimpin seperti Ahok, apalagi menjabat sebagai gubernur di ibukota pasti akan dimusuhi banyak politisi lain.

Ya, minimal mereka tak lagi bebas memainkan "tanda tangan" mereka hingga menjualnya ke perusahaan bonafit yang memberinya bonus. Tragisnya, lawan-lawan politik Ahok sangat banyak jumlahnya. 

Mereka itu bak gerombolan yang selalu bersekongkol menentang siapa pun pemimpin yang jujur dan menyia-nyiakan kesempatan mendadak kaya karena korupsi.

Belum lagi sebagian warga Jakarta yang sudah lama "dimanja" oleh pemimpin sebelumnya lewat Bantuan Tuna Langsung dalam bentuk uang cash agar mereka tetap abadi dalam kemiskinan dan kelusuhan tempat tinggalnya.

Kedua kelompok ini sama susahnya dihadapi. Si politisi yang terbiasa koruptor tadi akan mengatur strategi pemakzulan ala preman tanah abang, dan si miskin tadi akan menangis pilu di depan kamera televisi yang menyorotnya.

Penghentian Ahok secara membabi-buta terhadap jejaring para pejabat lain yang telah terbiasa "berbagi jatah" setelah mengambil uang negara, biar bagaimana pun akan linglung menutup biaya kampanye, dan segala tetek bengek janji mereka kepada istrinya.

Mereka inilah yang rela tidur, rapat tersembunyi, berbagi kesedihan lewat telepon dan media sosial, dan membangun opini bahwa Ahok telah merusak Jakarta dan telah menjual Jakarta kepada negara Tiongkok.

Mereka rela menyambangi balaikota dan menyuruh mata-mata ke setiap tempat yang dikunjungi Ahok. Tujuannya tak lain untuk menemukan kelemahan Ahok, hingga bisa dijatuhkan dari tampuk kepemimpinan di ibukota.

Sejauh ini mereka berhasil. Mereka sadar, selain kecerebohannya saat berbicara Ahok tak akan bisa ditandingi. Mereka sangat tahu, Jakarta telah banyak berubah dibawah kepemimpinan Ahok. 

Tentu saja mereka berhasil, setelah sekian lama membuntuti Ahok. Ahok pun salah ucap saat memberi sambutan di Pulau Seribu beberapa waktu silam.

Saat itu Ahok berpikir bahwa masyarakat Jakarta sama kualitasnya dengan warga Singapura, bahkan London dan New York, yang tak mudah tersulut oleh amarah, apalagi hanya karena rayuan duit yang menggiurkan. 

Hasilnya, Ahok pun dilaporkan, di demo, hingga menuntut agar segera dituntut agar dijebloskan pemerintah. Kasusnya pun masih diproses dan segera disidangkan di pengadilan negeri.

Begitulah Ahok, hari -hari ini menjadi berita dunia, karena ia sudah dijadikan tersangka dan dikenakan pasal penistaan Agama. Kini ia sedang disingkirkan secara sistematis oleh lawan-lawan politiknya, hingga ia terlihat bak kurban sembelihan yang tak mengembik saat disembelih.

Hanya saja, kasus Ahok sangat berbeda, karena konon katanya warga Jakarta itu jauh lebih rasional dan normal dibanding warga di 33 propinsi lain. Itu berarti, mayoritas warga Jakarta justru mencintai Ahok dan berharap Ahok tetap menjadi gubernur mereka 5 tahun mendatang.

Sementara para lawan politiknya berharap agar kasus Ahok ini berujung pada "tersingkirnya Ahok dari pencalonannya sebagai gubernur DKI" hingga keran uang negara kembali bisa mereka tampung di kantongnya. 

Bagi mereka, menghukum Ahok dari sudut pandang agama hanyalag cara membunuhnya secara psikologis dan spiritual yang selama ini menjadi kekuatan Ahok. Tentu saja, agar ia sibuk dengan kasusnya dan tak sempat mengurusi pencalonannya jadi gubernur DKI untuk periode keduanya. 

Mereka pun konsisten dengan menyanyikan tembang lawas yang didendangkan ulang oleh Yuni Sara, "Tiada maaf bagimu!" bak seorang istri politisi yang bertekad menceraikan suaminya karena tak mau korupsi. Tiada ampun. Ngeri.

@lusius sinurat 


Surat Terbuka untuk Kang Emil

DUNIA HAWA

Selamat siang, Kang Emil.

Selamat Siang saudara setanah air, Indonesia


Salam Sejahtera bagi kita semua

Sudah masuk bulan desember, sudah mulai terlihat spanduk yang berisi haram mengucapkan selamat natal ataupun spanduk penolakan acara natal. Entah sejak kapan masalah ini sudah menjadi pembahasan wajib dikala memasuki bulan desember.

Pagi ini mungkin saya, kang emil dan teman-teman sekalian mengawali hari dengan sarapan berita yang kurang menyenangkan. Benar, berita mengenai pembubaran acara KKR natal di sabuga, Bandung. Sedikit banyaknya pasti kita sudah membaca beritanya.

Dalam beritanya disebutkan bahwa acara tersebut dibubarkan oleh PAS yang dipimpin oleh Muhammad Roin. Dengan mempertanyakan perizinan dan meminta agar KKR dipindahkan ke rumah ibadah sesuai dengan Surat Peraturan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Bpk. Yusri Yunus mengatakan, panitia KKR natal tersebut tidak memiliki izin menggelar ibadah yang lengkap. Bpk Yusri juga menuturkan Kepala Polres Kota Besar Bandung Komisaris Besar Winarto kemudian memediasi panitia KKR dan ormas yang melakukan protes didepan sabuga. Bpk Yusri juga mengklaim tidak terjadi kericuhan pada ibadah tersebut dan situasi tetap kondusif.

Kang, jika berkenan coba kita renungkan sejenak, Sekalipun bermasalah dengan perizinan, apakah tidak bisa diselesaikan dengan baik (tanpa pembubaran)? bisakah yang memproses pihak yang berwajib saja? kenapa ormas terlibat? apakah suatu ormas agama mempunyai otoritas atas agama lain? apakah ormas lebih kuat dari hukum negara? Dan jika dilihat dari video yang beredar. Tak nampak seperti apa yang diberitakan. Para peserta natal dipaksa bubar dan dikasih waktu hanya 10 menit untuk menyalakan lilin dan tanpa nyanyian. Bukankah ini yang seharusnya tampak paling jelas Menistakan Agama?

Tapi apapun itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kang karna sudah menyempatkan diri untuk memberikan jawaban melalui akun instagram dan kang emil sudah berusaha mengkoordinasikan, meskipun acara tetap harus dibubarkan. Terima kasih juga sudah berempati dan meminta maaf atas kejadian ini. Kang, saya percaya kang emil adalah orang baik, dan suara kang emil begitu didengar oleh masyarakat bandung. Saya berharap kang emil dapat membantu agar tidak lagi ada kejadian seperti ini kedepannya, semoga kang emil bisa menekankan lagi sikap toleransi bagi saudara-saudara kita yang aktif dalam PAS, karna bagaimanapun kristen itu juga butuh dihargai, sebagaimana kristen adalah salah satu agama yang diakui oleh negara ini.

Saya salah satu warga jakarta yang gemar kebandung kang, jika berkenan semoga suatu hari saya bisa berkunjung dan menuangkan secangkir kopi untuk kang emil serta mendiskusikan kejadian ini. Saya percaya kang emil bisa menyelesaikan ini. Demi kebaikan bersama serta kedamaian kota bandung, dan pastinya untuk kedamaian semua umat dinegara ini.

semoga saudara-saudara serta pendeta Stephen Tong yang semalam merayakan natal disabuga, bandung. Bisa berbesar hati, terkadang menjadi minoritas itu memang tidak menyenangkan. Tak perlu marah dan mendendam. Agama tidak mengajarkan untuk membalas dendam, benci serta mencacimaki sesama umat manusia sekalipun bersebrangan, kita berdoa saja semoga kita semua akan belajar dan lebih baik lagi kedepannya. Mari kang sama-sama tekankan lagi sikap dan rasa toleransi.

Kepada kang emil, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Salam Toleransi.

@algin hutagalung


Tidak Hanya Persaingan Politik, Pesaingan Dagang Juga Membawa-bawa Agama

DUNIA HAWA - Semua simpatik dan terharu saat rame posting soal Sari Roti yang bagi bagi roti gratis pas aksi 212. Semoga barokah Allah tercurah pada para pedagang roti bla...bla...bla.... Kemudian produsen Sari Roti bikin press release menyatakan bahwa perusahaannya tidak ikut terlibat dalam aksi tersebut. Gantian semua meradang, memaki, mengamuk dan mengutuk.


Sebagaimana cara cara sebelumnya, kini mereka keluarkan jurus fitnah baru “Produk Sari Roti Anti Islam”. Endingnya serukan boikot roti tersebut secara massal tanpa ingat nasib para pekerja dan pedagang roti yang kena imbas seruan konyol tersebut.


Sebelumnya juga ada “Roti Al Maidah” yang digunakan sebagai sarana politisasi untuk menjegal calon tertentu. Ternyata tidak cukup Tuhan saja yang dipaksa untuk kampanye, sekarang rotipun bisa sebagai sarana politisasi. Pokoknya cara apapun halal yang penting bisa menang. Sudah jelas demo anti pemimpin kafir ditungganggi dan disponsori pihak tertentu yang tidak mungkin bisa bersaing secara sehat dalam hal adu misi, visi dan program kerja. Sekarang bisa saja “Aksi Boikot Roti Anti Islam” ditunggangi lawan bisnis roti brand yang lain yang senang jika lawan bisnisnya hancur.

Saya juga ingat saat mereka bangga, memuji dan mengelu-elukan Sadiq Khan yang berhasil menjadi walikota muslim pertama di London. Tapi pujian dan dukungan tersebut dalam waktu singkat berubah menjadi cacian dan makian saat ternyata dia dianggap pro LGBT. Waduh kok kelakuannya mirip ABG labil gitu yaa...? Bentar bilang I love you, bentar bilang I hate you. Bentar sayang-sayangan terus berubah jadi marah-marahan. Bentar ketawa ketiwi terus jadi tangis tangisan.

Kabar terbaru mereka mengatakan polemik Sari Roti ini sekedar pengalihan isu dari kasus penistaan agama si Ahok persis sama seperti kasus bom gereja Samarinda kemarin yang konon hanya pengalihan isu kasus Ahok saja. Hellloowwww.......? Dimana akal sehat dan hati nurani kalian? Apa kalian tidak kasihan dengan balita yang tewas karena bom tersebut? (bahkan ada yang nulis “bocah yang mampus kena bom”) Apa kalian tidak kasihan dengan para pekerja dan pedagang roti beserta keluarganya yang mungkin akan nelangsa hidupnya kalo kalian boikot? Jangan lupa pula isu “Aksi Rush Money” yang jika benar benar terjadi akan bisa menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia. Cerdas itu relatif tapi Dungu itu mutlak. Beda pendapat boleh, tapi Goblok jangan.....

Salam Waras

@muhammad zazuli


Sejumlah Kelompok Islam Memang Norak

DUNIA HAWA - Apakah ada yang tahu asal-usul pembubaran kebaktian Natal jamaah Stephen Tong di Bandung? Kalau dari berita dan informasi yang saya terima, alasan sebuah kelompok Islam di Bandung yang membubarkan kegiatan agama ini karena mereka menggunakan fasilitas gedung umum untuk ibadah. Oleh kelompok ini, kebaktian Natal harus dilakukan di gereja, bukan di gedung umum. 


Jika memang benar demikian alasan yang mereka kemukakan, maka pemikiran dan tindakan ini sudah cukup untuk mengukur betapa mininya otak mereka, betapa kerdilnya tindakan mereka, betapa cupetnya wawasan mereka. 

Sejak kapan ada aturan sebuah ibadah agama harus dilakukan hanya di tempat ibadah masing-masing agama? Sejak kapan "gedung publik" tidak bisa digunakan untuk acara-acara keagamaan? Memangnya umat Islam tidak pernah memakai fasilitas atau sarana publik (gedung, jalan, kantor, dlsb) untuk menggelar ibadah? Bukankah umat Islam sering menggelar acara-acara keagamaan seperti Isra' Mi'raj, Mauludan, salat Jum'at, dlsb di gedung-gedung umum? Bukankah Monas yang barusan dipakai untuk salat Jum'at kolosal itu juga merupakan sarana publik? Kenapa mereka tidak membubarkan yang salat Jumat di Monas? 

Seribu alasan bisa dibuat. Tapi itu tidak bisa menutupi fakta-fakta yang berserakan bahwa memang ada sejumlah kelompok Islam di Indonesia yang mengidap penyakit "Christianopobhia" seperti yang pernah saya tulis di Deutsche Welle. Lucunya, saya menulis ini ada yang menganggap saya sebagai "pemecah belah bangsa", "pro-Kristen", "anti Islam", dlsb. 

Kemudian, bukankah aksi pembubaran kebaktian Natal itu juga merupakan bentuk penistaan agama? Coba Anda renungkan dan bayangkan apa yang terjadi jika yang menggelar ibadah di gedung publik di Bandung itu adalah kaum Muslim kemudian datang sekelompok ormas membubarkan ibadah mereka? Apa yang terjadi? Apa yang Anda rasakan? 

Beragamalah dengan cara-cara cerdas, dewasa dan toleran. Tindakan kalian yang norak itu tidak akan menjunjung kebesaran Islam apalagi Tuhan tapi justru telah mempermalukan Islam dan Tuhan itu sendiri. Bumi ini milik semua umat. Indonesia ini bukan hanya milik "engkong" dan nenek-moyang kaum Muslim saja. Juga yang perlu Anda ingat dan bila perlu ditempel di jidat kalian: Tuhan itu milik semua umat agama, bukan hanya umat Islam saja!!

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA


Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Kaum Pengkhayal Mukjizat

DUNIA HAWA - Anda percaya mukjizat? Jawabannya, tergantung pada apakah anda beragama atau tidak, atau tergantung pada seberapa besar anda “konservatif” dalam beragama. Mereka yang menyatakan diri tak beragama, alias ateis, tentu mukjizat itu omong kosong. Juga, mereka yang terlalu liberal dalam beragama, mukjizat adalah fenomena alam biasa yang belum bisa dijelaskan pada masanya. Jadi, beragama lah tanpa embel-embel liberal, jika anda hendak mempercayai keberadaan mukjizat.


Mukjizat adalah fenomena adikodrati. Fenomena supranatural yang biasanya terjadi dalam kehidupan para utusan Tuhan. Mukjizat diperlihatkan Tuhan kepada umat utusan-utusan tersebut sebagai sebuah bukti bahwa Tuhan memang ada. Dan Tuhan pasti menolong utusan-Nya.

Kini, fenomena mukjizat pun mulai dihidupkan kembali. Oleh siapa? Tentu, bukan Tuhan yang menghidupkannya. Tapi, oleh segelintir orang yang suka mengkhayal dan berimaginasi. Sebab, era digital, memungkinkan manusia merekayasa suatu mukjizat. Dengan bantuan? Tentu bukan doa yang panjatkan di sepertiga malam. Tapi, dengan bantuan photoshop.

Alih-alih, yah.., untuk mendeklerasikan ke publik bahwa Tuhan berpihak kepada salah satu umat. Ini penting. Sebab, keberpihakan Tuhan adalah segalanya di tengah umat yang mabuk agama. Justru, hal itu mengundang like dan share yang bakal menjadi viral, bahkan ketikan “Amiin” atau “Subhanallah” banjir ruah dalam komentar.

Padahal. Selidik punya selidik. Fenomena yang dianggap sebagai mukjizat hanyalah hasil iseng mereka yang sudah maniak dengan hoax. Bahkan, ada yang menjadikan “mukjizat hoax” tersebut sebagai bisnis. Inilah salah satu berkah hidup di masyarakat yang sedang dimabuk agama.

Masih ingat kebakaran yang terjadi di Israel belum lama ini? Sungguh, kejadian itu adalah penyejuk hati bagi kaum “sapi-sapian” dan ikhwan secingkrangannya. Kebakaran yang diduga karena faktor kesengajaan itu diterjemahkan secara bebas sebagai bentuk azab Tuhan. Banyak yang bersorak-sorai mengetahui kejadian ini. Tak menutup kemungkinan, mereka pun mengadakan syukuran atas keberpihakan Tuhan kali ini.

Yah.. kali ini. Sebab, di lain waktu, mereka berdoa agar diturunkan mukjizat supaya Israel hancur. Hingga hari ini, hanya kebakaran yang muncul. Itupun berhasil dipadamkan. Dan ditangkap para pelakunya.

Yang lucu adalah. Ada seseorang yang mengupload sebuah gambar ledakan besar dengan caption “Gudang senjata Israil meledak…”. Setelah diselidiki, ledakan terjadi di China pada tahun 2015.


Katanya, kebakaran hebat di Israel ini disebabkan adanya larangan untuk masjid menggunakan pengeras suara luar. Sementara itu, Arab Saudi juga melarang masjid-masjid menggunakan pengeras suara luar. Apakah setiap musibah yang akan Saudi alami akan diterjemahkan secara bebas sebagai azab? Tentu tidak. Itu pasti musibah.

Begitulah kura-kura, standar ganda yang selalu mereka gunakan. Tidak dosa? Tentu tidak, selama itu tertuju kepada para “musuh Islam”, standar ganda sah-sah saja.

Lalu. Belum lama ini juga pernah santer tentang “Genosida” muslim Rohingya. Saat gambar-gambar mengerikan tentang “genosida” itu menjadi viral, Dubes RI di Myanmar malah mengatakan tidak terjadi kejadian mengerikan seperti yang tersebar di media sosial.

Emosi umat Islam di negeri ini sudah terlanjur meletup-letup. Bahkan, itupun terjadi pada diri saya. Gambar-gambar yang tersebar itu memicu empati setiap manusia yang melihatnya. Dan kita tidak pernah tau apakah itu benar-benar menimpa umat Islam Rohingya.

Ditengah-tengah simpati yang terus diujarkan para netizen, muncullah para pengkhayal mukjizat. Mereka selalu bermain di saat emosi umat sedang diobok-obok. Sentimen agama mudah sekali masuk. Dan fenomena mukjizat benar-benar umat nantikan. Untuk membuktikan doa mereka dijabah Tuhan. Lalu, azab-Nya turun kepada mereka yang zalim.

Dua buah foto diupload, yang menggambarkan kejadian gempa bumi. Foto yang diambil pun memang pilihan. Yang menunjukkan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi di Myanmar. Diperkuat dengan caption “Dahsyatnya gempa bumi di Myanmar adalah jawaban atas segala penderitaan saudara muslim kita di Rohingya..”

Ternyata. Dua foto tadi adalah hoax. Namun, para pengkhayal mukjizat tetap berhasil memperdayai banyak orang yang haus akan mukjizat. Bagi mereka, tak penting hal itu benar atau tidak. Yang penting adalah kekosongan khayali mereka telah terisi, meski itu cuma hoax.

Bagaimana denga Pilkada DKI rasa Pilpres? Tentu, kesempatan selalu ada. Memanfaatkan sentimen agama adalah jurus ampuh agar sesuatu yang hoax menjadi sebuah kebenaran. Apalagi ditambah dengan bumbu “si fulan fasti salah”.

Bagaimana mukjizat yang diperlihatkan Habib Rizieq saat demo 411? Bagaimana dengan drama kolosal para pejalan kaki dari Ciamis saat demo 212? Bumbu khayali itu perlu ditambahkan. Sekali lagi. Ini sangat penting. Supaya publik tau bahwa Tuhan berpihak ke kubu mereka.

Kalau memang Tuhan berpihak ke kubu mereka. Buat apa mengadakan demo berseri? Kalau doa mereka pasti maqbul, disebabkan Tuhan berada di barisan mereka, sang Petahana pasti dipenjara, dan Buni Yani pasti bebas, begitu juga Ahmad Dhani dan Ratna Sarumpaet. Eh, ketinggalan, Habib Rizieq dan Munarman pun gak akan lagi dipanggil-panggil polisi.

Sayangnya. Mereka tau. Bahwa mukjizat semacam itu hanyalah khayali. Mereka tidak benar-benar yakin kalau Tuhan berada di pihak mereka. Itulah sebabnya, demo akan terus berseri.

Saya rasa, begitulah kura-kura.

@muhammad nurdin

Mengapa Aku Membela Ahok

DUNIA HAWA - Mengapa abang terus membela Ahok padahal dia sudah menyakiti kami umat muslim? Abang membelanya karena seiman bukan? Jadi belanya mati matian karena seagama tidak peduli atas apa yang telah diperbuatnya pada kami.


Lama saya renungkan pesan inbox dari seorang kawan yang kebetulan dulu kami berada pada garis seperjuangan. Apa yang sudah diperbuat Ahok? Apakah aku membelanya karena Ahok seiman denganku?

Aku membongkar kembali kepingan kepingan mengapa aku membela Ahok. Pembongkaran kepingan kepingan dari gudang memori keterlibatanku saat aku ikut menyuarakan Ahok sejak 2012 lalu.

Dalam pembongkaran kepingan kepingan itu aku menemukan banyak juga tulisan tulisan berseberangan dengan kebijakannya. Banyak juga kritikan keras aku kepada Ahok. Kemarahanku pada Ahok.

Kepingan kepingan itu membundel jadi satu kesatuan yang menjelaskan bahwa Ahok bukanlah manusia sempurna di mataku. Ahok bukanlah malaikat yang tidak punya salah di mataku. Sekaligus mau katakan aku bukanlah pendukung butanya. Aku bebas mau menulis apa saja tentang Ahok. Ahok sama seperti kita, manusia biasa. Manusia yang punya gelora di sisa hidupnya bisa manfaat bagi banyak orang.

Pertanyaan stigmatisasi bahwa orang seiman pasti membela yang seiman ini mungkin berlaku pada orang lain. Terus terang aku berdiri membela Ahok karena akal sehat dan atas nilai nilai yang kuyakini.

Memilih karena unsur satu agama, tidak masuk kriteriaku. Agama apapun yang dianutnya selagi kebijakannya senafas dengan pembelaannya pada publik pasti aku dukung.

Apa yang sudah diperbuat Ahok itulah yang membikin aku membelanya. Apa itu?

Tahun 1980an, saat masih kelas 2 SD di Medan, kehidupan keluargaku berat sekali. Gaji pensiunan polisi ayahku tidak cukup untuk menghidupi kami sembilan bersaudara. Kemiskinan mendera begitu dalam. Gaji ayahku yang tak seberapa itu hanya cukup untuk setengah bulan. Sisa setengah bulan lagi gak tahu harus mencari darimana.

Suatu hari, beras untuk dimasak habis. Ayam peliharaan yang biasanya jadi penyelamat mati mendadak semuanya. Kena flu ayam. Puluhan ekor mati seketika.

Satu satunya jalan keluar adalah mencari utangan. Wajah mamak tampak semakin lama semakin keriput. Beban begitu berat terlihat diwajahnya. Apalagi melihat tidak ada lagi beras untuk dimasak.

Aku mengekorinya dari belakang ketika mamak melangkah pergi ke warung kelontong sebelah, tidak jauh dari rumah. Mamak tidak tahu aku mengekorinya. Aku menjaga jarak.

Aku tahu bakal diusirnya kalo mengikutinya. Layaknya anak kecil, aku ingin nodong mamak agar dibelikan permen karet saat tiba di warung. Begitu akalku saat itu.

“Maaf bu…kami gak bisa kasih utang lagi”, ujar Ibu penjual kelontong.

“Tolonglah bu..kali ini saja..anak anakku belum makan “, pinta Mamak memelas.

“Maaf ya bu..utangan kemarin saja belum dibayar. Gak bisa bu”, balas Ibu penjual kedai ketus.

Lengan daster mamak kulihat dilapkan ke pelupuk matanya. Mamakku menangis. Air matanya jatuh. Mamak balik badan tanpa berkata apapun. Aku terdiam.

Mulutku terkunci untuk meminta permen karet merk buum buum. Permen karet seharga dua puluh lima perak tiga buah. Permen karet yang akan ku kunyah sebiji sampe tidur.

“Ngapain kau di sini nak, ayo pulang”, tegas mamak karena terkejut melihatku tiba tiba sudah berdiri dibelakangnya. Matanya memerah. Sambil mengelap ingusnya yang keluar, kami pulang. Sepanjang jalan aku melihat mamak diam sambil berpikir kemana lagi cari utangan.

Peristiwa itu membekas dibenakku. Kemiskinan benar benar mencampakkan hidup kami dari martabat. Kemiskinan memukul kami kedalam penderitaan. Getir dan kelam.

Beberapa hari berikutnya, hidupku berubah. Berubah segalanya. Aku yang masih kecil jadi tahu bahwa tanggal 20an setiap bulan beras dirumah akan habis. Mamak pasti cari utangan baru.

Esoknya aku memutuskan cari duit. Aku harus bantu mamak. Tapi bagaimana caranya cari duit untuk anak sekecilku? Diam diam sepulang sekolah, aku menjadi pemulung.

Setiap tong sampah kompleks perumahan China tidak jauh dari rumahku tidak lepas dari buruanku. Apa saja yang bernilai ku ambil. Plastik, sandal bekas, kaleng, botol, besi perabotan atau apa saja aku ambil.

Saat pagi pergi sekolah yang berjarak dua kilometer melewati perumahan gedongan China, aku menandai setiap tong sampah yang ada barang bernilai. Pulangnya tinggal pungut. Begitu setiap hari.

Dan bila sudah cukup banyak barang berharga itu terkumpul, pengepul akan datang. Ditimbang, lalu dibayar. Orang Medan menyebut pemulung goni botot.

Betapa senangnya hatiku saat uang penjualan kuberikan kepada mamak. Sebagian aku tabung buat beli sepeda BMX. Aku ingin sekali punya sepeda BMX bekas. Keren kali kalau bisa naik sepeda BMX seperti kawan kawanku.

Menjadi goni botot membuatku harus pandai mensiasati diri. Maklum pekerjaan ini kulakukan sampai duduk kelas 2 SMP. Kebetulan sekolah SMP berada dekat rumahku. Hanya sepelemparan batu.

Bayangkan gimana rasanya saat memulung berpapasan dengan guru dan teman temanku. Aduhhh…malunya minta ampun. Tapi apalah mau dibilang, hidup must go on. Orang boleh bilang apa saja, tapi yang jalani hidup tetap kita sendiri.

Gak ada orang mau kasih beras gratis. Kau harus bekerja meski hidungmu mencium bau busuk dan tanganmu mengorek ngorek tong sampah.

Kemiskinan mengajar begitu banyak hal. Kemiskinan membuat hidup terasa gelap dan perih. Menderita sekali. Makan tanpa lauk itu sudah syukur. Kadang makan tidak menentu. Siang makan nasi pake garam, malam tinggal kerak nasi saja. Mamak adalah orang terakhir yang makan kerak nasi setelah kami anak anaknya kenyang.

Aku masih ingat pesan mamak saat matanya terkantuk kantuk sambil menjahit baju pesanan Mak Acim tetangga rumah. “Orang miskin itu ada dua penyebabnya. Satu karena kau malas. Dua, karena kehidupanmu dirampas penguasa”. Pesan itu terus terpatri kuat dibenakku hingga kini.

Mamak bekerja menjahit 20 jam sehari. Setiap selesai jahitan pesanan baju dari pelanggannya, aku kadang diminta mengantar ke rumah pelanggan. Ongkos jahitnya berkisar Rp. 15.000,-.

Kau miskin karena kehidupanmu dirampas penguasa. Pesan kuat mamak ini perlahan membentuk pikiranku. Betapa kaya negeriku, tapi mengapa rakyatnya miskin? Mengapa kami menderita sementara penguasa hidup bermewah mewah?

Beberapa waktu lalu aku naik Kopaja dari Terminal Kampung Rambutan menuju Cililitan. Di dalam bus ada pengamen pria naik kedalam bus. Wajahnya murung, tubuhnya dekil, bajunya lusuh, serasi dengan gitar kecil tua miliknya.

Sebagai imbalan atas polusi suara yang menjengkelkan itu aku memberikan sedikit uang. Kasihan saja, bukan karena apresiasi atas suara tidak merdunya.

Lalu dia turun, berpindah ke bus lain. Begitulah setiap hari. Lompat dari pintu ke pintu menawarkan suara pemberian Tuhan itu. Banyak anak anak remaja seperti itu di Jakarta. Ada rasa iba melihat mereka. Tapi siapa peduli???

Baru baru ini, Ahok membuat kebijakan mempekerjakan anak anak punk, para pengamen sebagai pekerja lepas Pemprov DKI. Ahok membuat terobosan brilyan. Terobosan cemerlang itu benar benar menolong ribuan anakr anak yang tidak punya masa depan. Anak anak yang tidak beruntung.

Ahok melihat anak bangsa yang kurang beruntung ini bukan sebagai sampah masyarakat. Bukan sebagai musuh pemerintah kota, melainkan sebagai anak bangsa yang harus di tolong kemanusiaannya. Manusia yang harus diselamatkan derajat martabat kemanusiaannya.

Begitu juga dengan keberpihakan Ahok yang menaikkan kesejahteraan para petugas kebersihan. Kita tahu bagaimana nasib para petugas kebersihan ini sebelumnya yang diperas keringatnya. Gaji mereka dipotong oleh mafia busuk aparat Pemprov.

Kini ribuan petugas oranye bahagia bisa menghidupi keluarganya dengan kecukupan. Tidak ada lagi terdengar keluh kesah penderitaan mereka. Ujungnya mereka bekerja keras membersihkan sungai sungai dan jalanan Jakarta.

Kita mungkin hanya mampu memberi uang receh saat melihat para pengamen mencari uang untuk sekedar bertahan hidup. Kita mungkin hanya bisa mendesah saat melihat pemulung atau orang miskin terlunta lunta. Setelah mendesah, kita sibuk dengan urusan keluarga kita sendiri.

Kita kerapkali memalingkan muka atas keberadaan mereka para pengemis, tunawisma, gelandangan, anak punk dlsb. Padahal, sejatinya negara wajib hadir bertanggung jawab memelihara mereka. Itu tugas negara.

Nah, intinya mengapa aku mau berjibaku mendukung Ahok karena dengan memihak Ahok berarti aku memihak kaum lemah dan kaum yang terpinggirkan.

Berjuang untuk Ahok berarti aku berjuang untuk kebaikan dan keadilan bagi semua warga yang tertindas.

Membela Ahok berarti aku membela kemajuan Ibu Kota agar sejajar dengan kota besar dunia lainnya.

Berdiri bersama Ahok berarti aku berdiri mempertahankan uang pajak rakyat DKI dari begal perampok APBD.

Pada akhirnya, semua yang aku perjuangkan bukan untuk Ahok, melainkan wujud caraku menolong orang miskin. Menolong orang terpinggirkan. Menolong kemanusiaan mereka yang selama ini terampas oleh pejabat munafik. Pejabat yang fasih bicara ayat ayat suci tapi sejatinya hatinya sedang berencana merampas kehidupan rakyatnya. Melahap kekayaan yang sejatinya milik masa depan anak anak.

Aku percaya membela Ahok sejatinya wujud ekspresi imanku kepada perintah Tuhan Yang Maha Adil. Di rumah gubuk si miskinlah bersemayam Tuhan. Pemimpin yang berpihak pada rakyat berarti ada suara Tuhan di sana.

Kemiskinan yang pernah aku lalui begitu perih dan sakit. Aku miskin bukan karena malas. Tapi karena penguasa merampas milikku. Hak milik aku sebagai anak negeri pemilik waris kekayaan negeri ini.

Atas semua pengertian dan alasan itu, aku ikhlas bertarung dengan segenap hati, dengan segenap tenaga, dengan segenap akal budi untuk memenangkan Ahok meski apapun yang terjadi.

Koh Ahok..ijinkan ku angkat segelas air putih untukmu. Air putih agar keringatmu tidak mengering karena beratnya tekanan yang kau hadapi.
Tetap tegar dan jangan pernah menyerah.

Salam Perjuangan Koh

@birgaldo sinaga