Monday, December 5, 2016

Simbol Politik Sandal, Mungkinkah Menginjak si Biru pada 19 Januari?

DUNIA HAWA - Sebelumnya, banyak yang membahas tentang payung biru Jokowi 212, saat menerobos hujan menuju Monas. Banyak orang berpikir bahwa itu simbol politik yang sangat kuat. Sebab dari sekian banyak warna, mengapa biru? Jawaban sederhana saya adalah, karena payung tersebut memang peninggalan si mantan. Tapi kemudian pembaca seword kembali bertanya, dalam rombongan tersebut sebenarnya ada yang warna putih. Jika payung tersebut sebagai simbol, mengapa tidak memakai yang putih, untuk menunjukkan diri sebagai Presiden Indonesia? Harus berbeda dengan para menteri dan pengawalnya.


Setelah saya renungkan dengan seksama, memang sepertinya payung biru tersebut merupakan simbol yang sangat kuat. Presiden kerap memberikan simbol-simbol politik untuk menanggapi suatu isu, bahkan juga dalam kesehariannya. Silahkan saja perhatikan baju Presiden. Baju putih kalau blusukan, dan batik saat di dalam istana. Tapi bisa juga Presiden memakai baju putih saat di dalam istana jika tamunya adalah kalangan rakyat biasa. Sebaliknya, Presiden juga bisa mengenakan batik di luar istana jika sedang ingin menemui seorang tokoh. Perhatikan saat Presiden menemui Prabowo, memakai batik.

Kecurigaan kita akan simbol politik pada payung biru itu kemarin seolah terkonfirmasi. Dalam kunjungannya ke Balikpapan, Presiden sempat mampir ke Supeblock untuk membeli sandal jepit seharga 119 ribu. Saya menyimpulkan ini sebuah konfirmasi karena warna yang dipilihnya adalah biru, sama dengan payung 212.

Dari sedemikian banyak warna, kenapa biru? Oke lah payung di Istana memang peninggalan mantan. Sehingga ada kemungkinan Presiden tak punya pilihan, sebab adanya memang hanya itu. Kalau mau beda sendiri, Presiden enggan gunakan warna yang berbeda untuk menunjukkan kekhasan. Tapi kalau sandal? Di mall itu ada banyak warna. Warna paling banyak display biasanya hitam, cokelat atau abu-abu. Itu warna umum. Nah kalau biru ini kadang perlu mencari-cari ke tokoh sebelah dulu, atau menanyakan apakah ada warna biru?

Secara psikologi, ada faktor kesengajaan Presiden membeli sandal biru. Sangat disengaja. Apalagi kemudian mempostingnya di twitter dan menyebut angka secara pasti. Bahwa kenyataannya ini bukanlah yang pertama kalinya Presiden masuk mall dan belanja, namun jarang-jarang Presiden secara pribadi menunjukkan barang yang dibelinya. Langka. Biasanya hanya lewat berita di media lalu selesai. Seingat saya belum pernah Presiden menunjukkan foto barang yang dibelinya di twitter, tolong koreksi kalau ini salah, karena tak selalu perhatikan twitter Presiden.

Saya semakin yakin bahwa ini memang disengaja, memang simbol politik, memang ada kaitannya dengan payung yang sama-sama biru. Untuk itu ijinkan Pakar Mantan menganalisanya dari sudut pandang masa lalu ala-ala mantan.

Payung


Fungsi standar payung adalah melindungi kita dari panas yang terlalu terik atau hujan. Tapi secara simbol politik, payung biru yang dipegang sendiri itu menunjukkan Presiden sudah bisa memegang si “biru.” Yang kemudian digunakan untuk melindunginya dari hujan isu. Pada kenyataan politik di Indonesia, memang itu yang sedang dilakukan oleh Presiden. Membiarkan si biru kebasahan dan diserang habis-habisan.

Pesannya adalah, sederas apapun hujannya, Presiden bisa memegang payung biru dan tak akan membiarkannya basah kuyup lalu ganti baju (lengser).

Sandal


Fungsi sandal adalah alas kaki, untuk melindungi dari kotoran atau benda-benda keras. Lebih dari itu, pada intinya untuk diinjak-injak. Pada kenyataan politik di Indonesia, hal ini belum terjadi. Untuk itu dapat ditafsirkan sebagai rencana di masa yang akan datang. Dan itu sudah sesuai dengan pergerakan KPK untuk mengusut kasus 34 proyek mangkrak peninggalan si biru. KPK juga kembali mengusut kasus megakorupsi Hambalang yang juga mengarah pada pangeran biru.

Pesan krusialnya mungkin ada di angka 119. Tetangga sebelah saat ini sedang ngetren dengan angka 411 berarti 4 November dan 212 berarti 2 Desember. Lalu apa arti angka 119? Bisa 19 Januari, atau RI 1 tahun 2019. Tapi kalau ada kaitannya dengan si biru, maka 19 Januari lah yang paling logis. Entah itu merupakan pengusutan si sandal biru atau membiarkan si biru menginjak-nginjak kotoran masa lalunya (Antasari). Toh bukan kebetulan kalau Antasari sebelumnya meminta waktu sekitar 3 bulan. Perfect!

Di luar soal si biru dengan segala masalah-masalah kotor dan kerasnya, menurut informan masih ada kemungkinan pada Januari nanti akan kembali ada aksi menuntut Ahok ditangkap. Untuk itu bukan kebetulan kalau tanggal 19 Januari adalah hari kamis. Jadi kalau jumaatnya mau aksi, sangat pas untuk memproses si biru sehari sebelumnya agar tidak terlalu ribut di media. Sama seperti penangkapan para pelaku makar dan penghina Presiden yang ditangkap pada dini hari. Tak terlalu ribut di media dan semua terpaksa sepakat dengan penangkapan tersetbut, nyaris tanpa pembelaan dari kubu seberang.

Tapi begini, itu semua hanya teori cocoklogi. Tak perlu terlalu serisus, bisa benar bisa salah. Sebagai Pakar Mantan saya hanya ingin menggunakan hak yang sama dalam hal cocoklogi. Bagi saya ini lebih syariah dan islami dibanding para teroris sebelah yang menggunakan ayat atau surat Alquran untuk dicocok-cocokkan berdasarkan angka-angka.

Yang perlu diperhatikan secara serius adalah warna biru dan sandalnya. Dari banyak barang yang ada di mall, mengapa Presiden beli sandal? Biru lagi. Sebab kalau beli baju, nanti Presiden jadi biru. Kalau dibelikan tas malah jadi beban. Ya memang baiknya beli sandal, biar bisa diinjak-injak.

Terakhir, bukan bermaksud menakut-nakuti. Tapi bukan kebetulan juga kalau dua partai keluarga yang sama-sama berwarna biru itu memang kurang jelas posisinya untuk negeri ini.

Begitulah kura-kura

@alifurrahman


Aa Gym: Aksi 212 Panggilan Iman, Aksi 412 Panggilan Duniawi

DUNIA HAWA - Ada rasa getir bergetar ketika Kyai kondang Aa Gym mentwit pandangannya terhadap aksi 212 dan 412.


Aa Gym menulis ” Kita hargai yang akan mengadakan demo tandingan, kelihatannya akan sangat beda rasanya aksi panggilan iman dan aksi karena duniawi”.

Lama saya membaca berulang-ulang sindiran nyinyir ala Aa Gym ini. Saya harus tabayun untuk check dan richeck, mungkin saja ini hoax. Setelah tanya sana sini, twit itu benar dari akun Aa Gym yang sudah bertanda contreng biru. Artinya tervalidasi benar dari Aa Gym.

Salah satu kekerdilan kita meski sudah dewasa adalah suka pamer lalu membanding-bandingkan. Saat masih kanak kanak sering kali kita pamer mainan kepada kawan kawan kita. Kita mengejek kawan main kita yang tidak punya mainan. Pongah.

Saat masih sekolah menengah kita juga suka sok hebat alias anggar jago dengan anak sekolah lain. Kita pamer kekuatan dengan aksi rame-rame menyerang sekolah lain. Terjadilah tawuran. Saling membalas. Saling menyerang. Ini kita sebut ego identitas karena krisis jati diri. Angkuh.

Mungkin itu sudah karakter kita orang Indonesia. Di kalangan kaum beragama juga demikian. Kita sering memandang remeh tetangga kita yang nampak kurang relijius. Jika jidatnya tidak hitam kita sering menudingnya tidak relijius.

Di kalangan umat Kristen juga demikian. Sering kita mendengar kepongahan rohani dari kelompok aliran tertentu yang menilai jika doa atau lagu pujian suaranya tidak meninju langit maka doa dan pujian itu dianggap tidak dipenuhi Roh Kudus. Merasa hanya dirinya Anak Tuhan yang lain anak setan.

Begitulah realita kekinian, kita suka menilai dan mengukur sekeliling kita dengan ukuran kita sendiri. Seolah- olah kita adalah pusat kebenaran dan kesalehan.

Kemarin sore selepas aksi Kita Indonesia dengan kode buntut Aksi 412, beberapa teman mencolek agar saya mengomentari aksi kebangsaan yang mengambil tempat di Bundaran HI. Bagaimana tanggapan saya atas cuitan Aa Gym itu.

Apa yang harus saya tanggapi? Terus terang saya tidak ikut aksi 412 kali ini. Bahkan saya tidak masuk dalam kepanitiaan. Jadi tidak begitu faham kerangka acaranya apalagi bagian dalamnya.

Tapi jujur saja, saya kok ngenes dan dongkol banget membaca cuitan pongah Aa Gym yang mau mengatakan pada dunia bahwa aksi 212 karena panggilan iman, aksi 412 karena panggilan duniawi. Satu panggilan Ilahi, satu lagi panggilan setan. Kira-kira begitu terjemahan kasarnya.

Saya tidak tahu apakah orang yang hadir di Monas kemarin adalah orang-orang yang beriman atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah orang yang berkumpul saat aksi 412 kemarin adalah orang-orang beriman atau tidak. Yang saya tahu mereka semua anak bangsa. Orang Indonesia.

Mengukur kadar orang beriman atau tidak beriman tentu tidak mudah. Apakah karena baju yang kita pakai bisa menentukan kadar iman seseorang? Apakah karena nampak bersujud bisa menilai keimanan seseorang?

Banyak teman teman saya, saya ketahui ikut ambil bagian dalam perhelatan aksi 212. Saya mengenal mereka dengan baik. Saya mengenal kehidupan dan karakter mereka. Saya tahu apa yang mereka kerjakan selama ini. Tapi tentu tidaklah perlu saya menilai refleksi iman mereka dalam bentuk nilai kesalehan sosial. Biarlah itu urusan iman mereka dengan Sang Khalik.

Begitu juga teman-teman saya yang ikut aksi 412. Mereka saya kenal sebagai orang-orang yang peduli Indonesia. Orang-orang yang konsisten menaruh jiwanya jika bicara tentang kebangsaan dan kebhinekaan.

Mereka adalah orang orang yang sejak muda sampai paruh baya hidupnya selalu menapaki jalanan keIndonesiaan Kita. Indonesia kita yang penuh damai, berbhineka, plural, majemuk, harmoni, toleran, hangat dan guyub.

Saya tidak meragukan pesona para sahabat-sahabat saya ini. Pesona otentik mereka tentang bela rasa pada Ibu Pertiwi. Tidak senoktahpun saya lihat ada upaya mereka mengingkari akan nilai-nilai Indonesia.

Mereka adalah orang terdepan yang menyiram pohon pohon kebangsaan Indonesia. Menyiramnya dengan tubuh dan jiwa. Ketika daun-daun peneduh pohon kebangsaan itu mengering, layu dan meranggas mereka turun menyiram dan merawatnya.

Cuitan Aa Gym ini buat saya sangat kejam sekali. Aa Gym telah mengotak kotakkan mana orang beriman dan mana orang duniawi. Kita berada di zona di mana apa yang tampak di permukaan seakan-akan juga akar dari permukaan itu. Bungkus itu isi. Isi belum tentu bungkus. Berbaju gamis itu beriman, berbaju kaos oblong itu duniawi. Begitu gambarannya.

Aneh bin lucu memang. Bagaimana mungkin mereka yang menyampaikan pesan untuk menjaga nilai nilai kebangsaan yang didirikan para foundings father republik malah disebut karena panggilan duniawi?

Bagaimana mungkin mereka yang menyerukan jaga Pancasila, rawat kebhinekaan malah ditertawakan dan dicemooh? Seolah olah resonansi suara suara merawat kebhinekaan dan Pancasila adalah barang haram yang belum difatwakan.

Padahal hanya penjajah Belanda saja yang seharusnya bilang begitu. Mengapa malah seorang tokoh publik malah nyinyir dan mencibir ketika kita meneriakkan keIndonesiaan kita?

Mengapa ketika saudara sebangsa setanah air meneriakkan Indonesia Tanah Air Beta malah dicerca dengan sumpah serapah?

Aa Gym boleh saja klaim aksi 212 sebagai aksi kemenangan. Aksi iman. Tapi jika boleh saya bertanya kemenangan atas apa? Sebagian orang malah merasakan aksi 212 adalah aksi unjuk kekuatan. Dalam benak anak bangsa lainnya adalah pamer kekuatan. Inilah kami orang beriman. Ini dadaku, mana dadamu !!! Persis seperti unjuk kekuatan masa masa saya SMA.

Unjuk kekuatan ini ingin melemahkan siapapun yang coba coba berani berbeda pikiran dengan aksi 212. Hukum harus tunduk pada garis garis haluan aksi 212. Hukum ditekan dengan ancaman massa.

Jika Ahok tidak ditangkap maka bla bla bla. Jika Ahok tidak diputuskan bersalah oleh pengadilan maka bla bla bla. Bukankah ini perang urat saraf yang sarat dengan pengancaman?

Dimanakah hukum sebagai tiang pelindung bagi semua anak bangsa? Apakah hukum harus takluk dan tunduk dari hegemoni kerumunan massa? Siapa yang menjadi mayoritas berhak menentukan nasib minoritas? Buat apa ada negara jika begitu?

Saya mau bilang cuitan Aa Gym itu keliru. Dari lubuk hati terdalam, saya percaya mereka semua entitas anak bangsa yang ikut aksi 412 itu bertujuan untuk memperkuat nilai kebangsaan kita. Memperkaya nilai kebhinekaan kita. Menjaga Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Ada warna mozaik kebhinekaan Indonesia di sana. Warna warni budaya yang membentuk lukisan indah. Warisan leluhur yang membentuk horison pelangi Indonesia. Bak beragam bunga indah mekar di taman kebangsaan Indonesia.

Bagi saya, selagi yang hadir di Bundaran HI mengumandangkan lagu Kebangsaan dan mau menjaga Kebhinekaan tetap lestari, mereka adalah orang Indonesia Sejati. Merekalah patriot sejati yang terpanggil karena panggilan Ibu Pertiwi. Bukan panggilan duniawi apalagi dunia gemerlap.

Energi kebangsaan mereka berpadu dengan energi rasa syukur atas anugerah dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukankah sejatinya ekspresi mereka harus kita apresiasi? Mengapa jadi dibully sih Aa Gym?

Semua anak bangsa apapun identitasnya selagi masih di bawah naungan Sang Saka Merah Putih berhak mengumandangkan Indonesia Raya di mana saja. Tidak peduli mereka pakai baju atau telanjang.

Indonesia kita ini ada karena jahitan dari ribuan pulau pulau di Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Tenunan kebangsaan Indonesia itu ada karena ratusan suku dan kepercayaan mau menyatukan dirinya dalam rumah besar Pancasila.

Tidak ada yang merasa dominan dan mendominasi atas nama agama, suku, ras dan kelompok. Itulah Indonesia Kita. Itulah panggilan Ibu Pertiwi bukan panggilan duniawi.

Aihhh…kawan ijinkan saya tuangkan seceret kopi buat kalian kawan kawanku yang kemarin hadir menyanyikan lagu Indonesia Pusaka. Terimakasih telah menyiram Bumi Persada Indonesia dengan cinta. 

Salam NKRI Harga Mati

@birgaldo sinaga


Ahok Siap ke Persidangan, Buni Yani Malah Merasa tak Bersalah dan Mengajukan Praperadilan

DUNIA HAWA - Kita semua sudah tau, kasus penistaan agama yang dialami ahok berasal dari potongan video yang ditambah transkrip provokatif yang ditulis oleh Buni Yani. Adanya postingan Buni Yani menjadi katalis dashyat, para haters mendapat amunisi paling kuat untuk menghajar si double minoritas ini. Tuduhan penistaan agama yang memang pasal karet menjadi pilihan terbaik karena masih banyak warga Indonesia yang gampang ditipu. Donatur ada, demo pun jalan.


Ahok sebenarnya tetap akan didemo oleh kaum pembenci pemimpin bersih karena yang dipermasalahkan sebenarnya bukan double minoritasnya, namun karena lahan basah mereka telah kering, tidak bisa lagi beli pajero sport. Bila tidak ada kasus penistaan ini, pasti akan dicari alasan lain untuk didemo. Lihat saja di daerah lain di Indonesia, banyak kepala daerah agama minoritas yang didukung oleh partai agama mayoritas. Bila memang mereka tetap pada pendiriannya hanya mendukung kepala daerah seagama, tak mungkin hal ini terjadi. Memang jelas mereka benci kepada Ahok karena kejujurannya dan tak kompromi terhadap korupsi.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Ahok mengatakan dia siap untuk menjalani persidangan. Tidak seperti kaum sapi-sapian yang menuduh adanya konspirasi tingkat tinggi antar negara meskipun dia hanya pemimpin partai di Indonesia (Jujur, ini sangat lebay). Ahok juga tidak berkomat-kamit menuduh polisi tidak profesional atau menuduh lawan politik menjebak, meskipun memang dia sebenarnya difitnah. Politisi jujur seperti Ahok ini sebenarnya sangat langka dan berharga, hanya saja banyak orang yang tidak mau mengakuinya dan berusaha untuk menjatuhkannya.

Kasus Hukum Buni Yani


Kembali ke Buni Yani, dia telah berhenti dari profesi dosen setelah postingannya menyebar luas. Bukan hanya itu, sebagai pertanggung jawabannya atas postingannya yang menjadi alasan kasus penistaan agama Ahok, Buni Yani telah ditetapkan sebagai tersangka. Buni Yani dianggap melanggar Pasal 28 ayat (2) J Pasal 45 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana 6 tahun masa kurungan.

Mulai dari sini kita melihat sebenarnya bagaimana Buni Yani ini. Saat beliau dituduh mengedit video, dia mengelak. Apakah mungkin video berdurasi 1 jam-an bisa tiba-tiba menjadi puluhan detik tanpa editan? Setelah ditetapkan sebagai tersangka beliau teriak-teriak bahwa ini tidak adil. Bagaimana tidak adil? Beliau menyebarkan status SARA. Bahkan kampus LSPR Jakarta (tempat Buni Yani bekerja sebagai dosen) sendiri sudah meminta agar mereka tidak dikaitkan lagi dengan Buni Yani. Pihak kampus pun tidak melontarkan pembelaan apapun terhadap Buni Yani, ini berarti mereka mengakui bahwa apa yang dilakukan Buni Yani memang salah, melakukan politik praktis. Tidak mungkin ada kampus yang diam saja bila Dosen mereka dikriminalisasi.

Sekarang Buni Yani akan menggugat praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Tidak seperti Ahok yang gentlemen akan mencari keadilan hukum di pengadilan, Buni Yani berusaha agar penetapan tersangka dirinya gugur. Ahok yang dikriminalisasi berani menghadap kepada hakim, namun Buni Yani berusaha agar tidak disidang.

Ahok sebenarnya sah-sah saja untuk mengajukan praperadilan, tapi mungkin karena suasana politik yang sudah panas, beliau lebih memilih menjalani persidangan. Kemungkinan Ahok menang di persidangan sangat besar. Agar dapat dinyatakan sebagai penista agama, seorang pelaku wajib melakukan penghinaan terhadap agama tertentu secara sengaja. Secara sengaja ini yang akan sulit untuk dibuktikan karena di video tersebut ahok jelas jelas tidak menghina agama. Para warga kepulauan seribu juga hepi-hepi mendengan pidato Ahok. Tidak ada yang merasa terhina. Mungkin saja sekarang warga Kepulauan Seribu terbengong-bengong bahwa pidato yang mereka dengarkan sebelumnya bisa menjadi masalah sebesar ini.

Dari sini kita bisa melihat bahwa Ahok merupakan orang yang berjiwa besar. Meski dituduh yang tidak dilakukannya beliau tetap menghormati kasus hukum yang berjalan, tidak teriak-teriak konspirasi. Buni Yani sebagai sumber demo jilid II dan jilid III ini malah berteriak tidak adil, merasa diri tidak bersalah. Tidak berani menanggung resiko atas apa yang telah dituliskannya.

Sekarang kasus Ahok sebentar lagi akan digelar. Sebagai warga negara yang baik kita hanya bisa melihat dan mendukung dari jauh. Kita tentu saja percaya bahwa hakim akan memutuskan seadil-adilnya.

@evan kurniawan


Umat Muslim Banyak di Akhir Zaman tapi Seperti Buih di Lautan

DUNIA HAWA
"Ummati.. ummati.. ummati.."

Begitulah pesan terakhir Nabi Muhammad Saw menjelang wafatnya beliau, yang artinya, "umatku, umatku, umatku..". Tampak sekali beliau berat meninggalkan dunia ini karena kecemasan terhadap umatnya.


Nabi pantas cemas karena kesucian dirinya yang membuat ia mampu melihat apa yang terjadi pada umatnya di masa depan. Bahkan kecemasan beliau itu dituangkan dalam pelbagai hadis.

Ada yang tentang orang muda pembaca Alquran dimana Alquran itu sendiri yang juga melaknatnya. Ada yang tentang megahnya masjid mesjid tapi sepi di dalamnya. Ada yang tentang munculnya ulama ulama jahat yang akan membawa umat ke arah kegelapan.

Banyak lagi kengerian di akhir zaman yang membuat saya menjadi paham kenapa Nabi begitu cemas terhadap umatnya sendiri. Dan saya menjadi paham juga, bahwa yang dimaksud dengan kecemasan Nabi terhadap umatnya bukan saja karena umatnya akhirnya bermaksiat, tetapi begitu mudah digiring ke arah kepentingan hanya karena kebanggaan kelompok atau golongan.

Umat ini besar tetapi rapuh. Sibuk dengan kuantitas dan melupakan kualitas. Tidak mampu mengklasifikasi benar dan salah. Bahkan condong terperangkap keindahan baju para pemuka agama, sehingga lupa bahwa Nabi SAW diturunkan untuk memperbaiki ahlak manusia.

Ketidakmampuan umat ini untuk belajar menjadi "muslim" sebenarnya, menjadikannya terpesona oleh orang orang yang dianggap tahu agama. Wajar jika banyak yang menyerahkan dirinya untuk ditipu mentah mentah oleh mereka yang berbaju ulama seperti Aa Gatot, Kanjeng Dimas sampai Guntur Bumi. Ketika tahu ditipu, baru mencaci maki. Sebelumnya, memuji-muji.

Begitu banyak peristiwa, tapi tidak mampu mengerti. Tauhid dijadikan kebanggaan diri, padahal seandainya mereka mengerti, iblis adalah pelaku tauhid kelas tinggi. Saking merasa dekatnya dengan Tuhan, iblis pun tidak pernah tunduk kepada Nabi Adam.

Jadi, bagaimana Nabi Muhammad SAW tidak cemas dan sedih?

Mungkin kita harus belajar lagi apa arti "Islam" sebenarnya, apa arti "muslim" sebenarnya. Bahwa Islam dan Muslim sesungguhnya adalah pencapaian, bukan sebuah identitas yang disematkan. Islam adalah ajaran, bukan bendera kebanggaan. Jika itu dipahami dengan benar, tentu kita akan lebih banyak tafakur dan berkaca, "Benarkah kita sudah benar?"

Ketidakmampuan melakukan otokritik terhadap diri yang sudah ternilai sempurna, adalah bukti bahwa semakin akal melemah, kebanggaan diripun meninggi.

Sudah saatnya ngopi sambil merenungi kembali pesan sang manusia suci..

"Umatku banyak di akhir zaman, tapi mereka seperti buih di lautan.." Rasulullah SAW.

@denny siregar


Pasal Penistaan Agama atau Penistaan Islam?

DUNIA HAWA - Judul resminya sih “pasal penistaan agama” tetapi dalam prateknya sebetulnya lebih ke “pasal penistaan Islam”. Atau lebih khusus lagi, “pasal penistaan Islam [menurut kelompok Islam tertentu] yang dilakukan oleh non-Muslim”. Coba Anda renungkan (kembali) dengan kepala dingin, hati lapang, pikiran luas, dan jiwa yang tenang: sebetulnya apa sih substansi yang diucapkan Ahok itu? Apakah kira-kira, jika tidak ada campur tangan “Bu Yani”, masalah ini bisa seheboh seperti sekarang ini?    


Lagi pula, menurutku, apa yang diucapkan Ahok itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan, misalnya, umpatan-umpatan (sebagian) dai, ustad, dan tokoh Islam, beserta pengikutnya, terhadap kelompok non-Muslim. Sudah berapa kali coba mereka menistakan agama-agama non-Islam, baik “agama impor” maupun “agama lokal”? Sudah berapa kali coba mereka menghina para “ulama” non-Muslim? Sudah berapa kali coba mereka mengolok-olok kitab suci-kitab suci diluar Al-Qur’an, khususnya kitab suci umat Kristen? 

Coba juga Anda renungkan: sudah ada berapa kasus coba para umat atau pengikut agama-agama dan kepercayaan lokal beserta propertinya di seluruh Indonesia yang menjadi korban ketidakadilan aturan dan keganasan amuk massa sejumlah kelompok Islam? Mereka hidup merana karena didiskriminasi dan terlunta-lunta bahkan menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Maka, jika Ahok yang cuma bilang “begitu doang” dianggap telah melakukan “penistaan Islam”, maka para pelaku kekerasan atas kelompok agama lain ini tergolong “mbahnya” atau “moyangnya” penistaan. 

Saya bukan bermaksud membela Ahok. Sama sekali bukan. Ahok mau jadi gubernur kek, tidak kek, tekek kek, itu urusan warga Jakarta, bukan urusanku. Ahok saya kira juga “tidak peteken” jika tidak jadi gubernur wong dia sudah kaya-raya hidup bahagia-sejahtera, punya istri cantik-jelita. Justru warga Jakarta kali yang rugi kalau “si koh” gak jadi gubernur. 

Maksud dan tujuanku ngomong dan nulis begini ini tidak lain dan tidak bukan agar kita semua sebagai warga negara Indonesia saling bersikap “tepo-seliro”, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Jika kamu merasa sakit dilecehkan, maka jangan melecehkan. Jika Anda merasa perih disakiti, mereka juga juga sama. Sebagaimana Anda, mereka juga punya hati dan perasaan. 

Indonesia ini bukan “bumi Muslim”. Indonesia adalah “rumah bersama” dan “buah” dari perjuangan bersama, baik umat Islam maupun bukan. Maka, jangan mentang-mentang merasa mayoritas, bisa berbuat sesuka hatinya (atau “seenak wudelnya”) kepada kelompok minoritas. Justru seharusnya yang mayoritas itu mengayomi yang minoritas. Semoga tidak ada yang mengedit tulisanku ini. Amin...

Jabal Dhahran, Arabia                

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Bangga Menjadi Muslimah

DUNIA HAWA - Dengan menyebut nama Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Demi rambut pomade Pak Jokowi, demi apapun itu, saya tidak berbakat menulis politik. Saya merasa selalu kerasukan roh pujangga yang entah dari mana yang lebih cocok mengarang cerita atau puisi, baik puisi gelap atau puisi terang, baik puisi religi atau puisi mbeling. Tetapi, di hari kedua dalam bahasa Arab ini (yaumul isnain) dan hari pertama kerja di negri ini (Senin) izinkan saya menjadi pujangga yang kerasukan roh politikus.

Kita tengok prahara yang terjadi beberapa minggu ke belakang. Semua topik hangat selalu membawa tagar Ahok dan Al Quran. Pelecehan dan pembelaan. Pro dan kontra. Bohong dan benar. Sebuah konsep dualitas yang terus-menerus digaungkan. Semua orang dewasa membicarakan dualitas ini, karena saya lihat anak-anak acuh dan tidak terbawa suasana, begitu pula ibu-ibu yang sehari-harinya tidak pernah nonton tivi, tidak pegang hape canggih, tidak pula berlangganan surat kabar, yang sudah pasti tidak tinggal di Jakarta dan bertetangga dengan Ahok. Dualitas ini terus menerus disajikan baik di dunia nyata, maupun dunia antah berantah. Tak terhitung berapa keuntungan yang didapatkan stasiun televisi dan media massa yang selalu aptudet menghadirkan berita keduanya.

Sementara saya di sini hampa, tidak merasakan apa-apa selain bingarnya pasar dan banyaknya potongan bibir yang merajai layar kaca, baik LCD maupun LED. Merinding rasanya saat terbangun pagi hari tanggal 2 Desember 2016. Para pembela Al Quran akan berkumpul di Jakarta. Ketika melihat begitu banyaknya manusia berbaju putih memenuhi jalan-jalan hingga melaksanakan sholat Jumat di bawah guyuran hujan yang tidak rintik, tidak pula tumpah deras, hati saya semakin bergetar melihatnya. Inikah masyarakat imajiner seperti yang Benedict Anderson katakan? Sudah pasti ia keliru. Masyarakat ini nyata, mereka semua saudaraku se-Islam, dunia dan jannah. Begitu kata hati saya.

Tidak sedikit ramalan yang saya baca dari masyarakat awam kalau Pak Jokowi akan jadi pecundang lewat absennya di perkumpulan akbar ini. Nyatanya, ia datang dengan santun berkemeja putih bersih andalannya. Semua ramalan telah menguap disaput bulir hujan, kehadirannya terang benderang. Kapan rakyat Indonesia akan benar-benar mencintai pemimpinnya? Mulai dari pemimpin yang kalem, yang ilmuwan, yang kyai, yang wanita, yang militer, yang anak desa, sepertinya tak pernah bebas dicela. Mengapa rakyat Indonesia lebih senang suudzon kepada presidennya? Apakah kita memang tipe rakyat yang kecanduan aib dan tragedi? Sehingga lebih gemar mencari-cari kekurangan dibanding mensyukuri niat luhur mereka memimpin negri? Presiden macam apa yang sebenarnya rakyat kita butuh?

Lama-lama saya setuju dengan candaan serius Emha Ainun Nadjib dalam bukunya, bahwa ia akan memilih Dorce sebagai presiden, karena Dorce dapat mewakili kaum pria sekaligus wanita.

Apakah reaksi ini akibat dari didikan acara-acara tivi yang selalu menghadirkan gosip dan sinetron tiada akhir yang seringkali diboyong dari luar negri? Rakyat jadi kecanduan drama dan air mata, pula sumpah serapah ketika sinetron favoritnya tidak sesuai jalan cerita.

Demi rambut pomade Pak Jokowi, semoga keteguhan senantiasa ada dalam dadanya. Semoga ia bisa meneladani tokek budek yang terus memanjat dan memanjat demi memenangkan lomba Tujuh Belas Agustus tanpa mendengarkan cemooh orang-orang apatis kritis krisis kepercayaan di bawah sana. Semoga ia pernah baca buku motivasi Setengah Isi Setengah Kosong tentang tokek budek ini.

Sebagai seorang muslim yang tidak ikut berjihad di Jakarta, apa yang saya lakukan? Apa yang muslimah-muslimah seperti saya lakukan? khidmat dan takzim menonton sembari menangis berderai-derai haru karena melihat begitu banyak saudara yang rela mati demi kitab suci dan agamanya?

Sebuah percakapan dengan sahabat terjadi Jumat itu. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Ahok memiliki wajah lucu, mirip Minguk, bayi yang sering nongol di drama Korea.

Tetapi yasudahlah, biar hukum yang berbicara. Ia memang perlu diberi pelajaran akibat berbicara sembarangan. Sudah semestinya seseorang itu membela dan melindungi apa yang mereka miliki, termasuk bagaimana muslim membela Islam dalam aksi apapun selagi dilakukan dengan cara yang disyariatkan. Belum pernah sekalipun saya dengar ada pemimpin dan pejabat yang beragama Islam atau ulama yang menghina Injil, Weda, atau Tripitaka, mungkin mereka sadar bahwa pedang yang baik adalah yang disarungkan saat tidak sedang digunakan untuk perang. Pedang saja disarungkan, seharusnya lidah diapainlah kan lebih tajam. Tetapi kejadian berikut sudah cukup jadi pelajaran bagi para pemimpin, pejabat, atau siapapun yang dianggap orang besar, agar senantiasa menjaga hati dan lisannya dari kata-kata yang berpotensi melukai banyak orang.

Lewat peristiwa ini, semoga muslim dan muslimah semakin bangga atas jati dirinya. Yang kemaren acuh karena memang tak mau tahu dan tak perduli karena keegoisan diri, semoga hari ini nuraninya hadir kembali. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat imajiner yang seolah-olah saling bersaudara padahal kenal saja tidak. Tengoklah, berapa bala bantuan yang datang tanpa diminta pada 212 itu, betapa banyak orang bahu membahu menjalankan perannya masing-masing. Betapa persaudaraan atas nama rakyat Indonesia, atas nama muslim nyata adanya.

Saya bangga menjadi muslimah…

@pramudya utari



Merajut Kembali Baju Bhinneka Kita

DUNIA HAWA - Meskipun sebenarnya tidak terlalu suka dengan aksi 412, saya menghargai pesan pesan kebhinekaan yang ingin disampaikan..


Hanya kenapa mesti aksi dibalas aksi?

Tidak akan pernah selesai ketika aksi selalu dibalas aksi. Kita hanya akan sibuk dengan pameran kekuatan yang tidak ada habisnya. Lebih baik bermain dengan cara berbeda. Jangan selalu pakai cara cara Orba, akhirnya sibuk beraksi tanpa ada solusi.

Cara Jokowi itu cantik, sangat cantik.

Ia tidak perlu mengerahkan kekuatan tandingan untuk sekedar menunjukkan dirinya kuat. Ia bermain melalui jalur konstitusi, merangkul dan memukul tanpa terlihat. Saya tahu, banyak sekali yang menawarkan padanya untuk mengumpulkan kekuatan tandingan tapi bukan begitu sifatnya.

Itulah yang membuat ia dihargai lawan dan disegani kawan. Bahkan yang suka membullynya pun sungkan. Ia menutup kelemahan dirinya untuk diserang. Sulit mengetahui langkahnya karena ia bermain diluar strategi yang banyak dipikirkan lawan.

Banyak cara untuk memperbaiki diri, jika itu yang ingin dilakukan, bukan hanya sekedar nampang dengan jargon "kebhinekaan" tapi cara yang dilakukan sama saja dengan mengajak perang..

Seperti momen Natal dalam waktu dekat ini...

Ini momen terbaik untuk menyampaikan pesan kebhinekaan. Dan bisa dimanfaatkan betul oleh umat Kristiani untuk merangkul saudaranya dalam kemanusiaan. Pesan harus indah, seperti saling mengunjungi, saling memberi, meski mungkin tidak banyak diterima karena masih ada yang hidup di zaman purba takut kehilangan akidah...

Perjalanan kita masih panjang. Kita diajarkan Tuhan untuk melakukan banyak proses sebelum kemenangan diumumkan. Kemenangan itu adalah ketika kita berhasil menjaga negara ini dari unsur provokasi di wilayah keagamaan yang dibungkus oleh kepentingan..

Tuhan itu Maha dan tidak perlu dibela. Kebhinekaan kitalah yang perlu dijaga karena ia sangat rentan..

Merajut kembali kebhinekaan kita yang sudah sempat terkoyak karena ketidak-dewasaan dalam berdemokrasi adalah tugas kita bersama. Kekuatan kita adalah kerinduan masa lalu dimana semua saling menghargai, saling mengunjungi dan saling mengucapkan salam.

Jadikan momen sukacita itu menjadi momen cinta pada sesama. Persatuan Gereja membuat satu momen cinta dimana Natal tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani saja, tapi juga membuat sebuah acara besar dimana umat muslim juga bisa hadir disana.

Kita tidak harus menjadi seperti Lebanon dulu untuk supaya bersama, tapi biarkan Lebanon mengajari kita bagaimana seharusnya kita bersama. Mereka membutuhkan waktu 15 tahun dalam perang saudara hanya untuk mengerti apa arti cinta..

Seruput kopi dulu, semoga masing masing dari kita bisa merendahkan hatinya...

@denny siregar


212 Usai, Sekarang Giliran Jokowi Beraksi, Ada Yang Meriang

DUNIA HAWA - Beberapa hari sebelum demo 411, saya sempat berbincang dengan seorang kenalan. Orang ini bisa dikatakan adalah seorang yang cukup paham dengan dunia intelijen. Dia yang memulai topik ini hingga kami berbicara cukup panjang dan lama seputar demo 411 dan tetek bengeknya. Awalnya saya tidak begitu tertarik karena saya merasa demo jilid II ini tidak akan beda jauh dengan demo sebelumnya.


Semakin mendekati hari-H, suasana terasa makin panas dan saya mulai berpikir bahwa kenalan saya ini tidak bercanda. Saya pun mulai merasa bahwa demo 411 ini sangat beda dan lain dari biasanya. Aura mencekamnya sangat terasa. Seandainya saya tidak berbincang dengannya maka mungkin saya akan bersikap biasa saja.

Pada 411, demo sebenarnya berlangsung cukup tertib meskipun ada sedikit gesekan karena ulah provokator yang ingin cari sensasi. Dan menjelang malam, ternyata kerusuhan terjadi, dan terus berlangsung hingga hampir tengah malam. Ditambah lagi dengan penjarahan yang terjadi, saya berpikir inilah dia. Saya mulai teringat dengan perbincangan dengan kenalan saya dan mendadak semuanya jadi jelas. Apa yang saya ragukan menjadi terang benderang.

Setelah situasi terkendali, Pak Jokowi berpidato. Banyak yang kecewa dengan Pak Jokowi karena tidak menemui para demonstran, malah melarikan diri untuk meninjau proyek. Banyak yang kecewa, banyak yang marah karena Pak Jokowi tidak mempedulikan rakyatnya, padahal situasi saat itu sangat genting dan rusuh. Jujur, kalau saya tidak pernah berbincang dengan kenalan saya, saya pun akan mengecam Jokowi. Saya pasti berpikir beliau tidak becus dan malah lari saat situasi genting. Saya pasti akan menuduh beliau yang menjadi penyebab kerusuhan dan aksi anarkis. Saya pasti akan berpikir para demonstran marah karena tidak bisa bertemu beliau sehingga kesal dan mengamuk.

Penjelasan panjang lebar dari kenalan saya tersebut akhirnya membuat saya paham dan mengerti. Seperti yang sudah pembaca tahu bahwa demo 411 dimanfaatkan segelintir aktor politik, yang memiliki kepentingan lain, yaitu melengserkan pemerintah dan menduduki gedung MPR-DPR. Menurut saya, mungkin inilah alasan keselamatan Presiden lebih diutamakan. Bukannya tidak ingin bertemu para pendemo, tapi lebih karena ada virus yang menyusup di antara pendemo yang ingin melancarkan aksinya. Sekali lagi, ini menurut saya, lebih baik mengamankan beliau daripada nanti terjadi apa-apa. Ini memang pilihan sulit, tapi saya yang paham dengan situasi tersebut, akhirnya harus setuju bahwa itulah solusi terbaik meskipun nantinya akan dikecam banyak orang. Jika kita membaca komentar di sosial media atau pun berita, sangat banyak yang kecewa dengan tindakan Pak Presiden yang tidak berada di Istana Negara. Di situ kadang saya merasa kasihan dengan beliau, karena harus terjebak dalam situasi seperti ini.

Dan aksi jilid III pun berlanjut pada 212. Nah, beberapa hari sebelumnya, herannya suasana tidak semencekam dulu. Saya merasakan, rasanya seperti biasa-biasa saja dan sedikit yakin tidak akan terjadi apa-apa. Kenalan saya juga tidak mengatakan apa-apa alias no comment. Pagi buta sebelum aksi 212 dimulai, saya baru tahu alasannya. Dan ketika aksi selesai, saya makin mengerti. Ternyata ini toh. Rupanya biang kerok makar sudah dikandangkan terlebih dahulu sebelum berbuat onar. Pantas saja aksi 212—meskipun lebih banyak peserta—tampak lebih adem dan tertib. Ternyata virus provokasi dan virus makar sudah dikarantina di tempat yang aman. Mungkin itulah sebabnya Pak Jokowi mau menemui massa 212, karena situasi akan aman dan terkendali, tidak ada tukang rusuh yang bikin ribut. Logikanya, kalau intelijen mencium gelagat tidak aman, tentunya Pak Jokowi akan dilarang, bukan?

Sekarang kita semua sudah paham alasan Pak Jokowi menemui massa 212, tapi tidak di 411. Seringkali kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena keterbatasan jangkauan mata kita. Inilah kenapa kadang kita hanya melihat sebagian dari apa yang sebenarnya terjadi. Saya yakin beliau bukannya tidak mau menemui massa 411 waktu itu, mungkin karena mencium sesuatu yang berbahaya. Buktinya beliau mau menemui massa 212, bahkan mau menonton tim Indonesia melawan Vietnam dan menemui pemainnya.


Sekarang virus sudah dikarantina dan dilemahkan. Dulu Pak Jokowi ingin dihajar habis-habisan, sekarang beliau akan melakukan counter strike atau serangan balasan atau menghajar balik.

Menurut info nih, Polri sedang mengusut penyandang dana di balik aksi makar. Mungkin tidak lama lagi kita akan tahu siapa dalang sesungguhnya. Sepertinya dalang tersebut sedang meriang, keringat dingin, makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak, namun BAB tetap banyak. Heee...


Salam Entahlah,

@xhardy


Ahok Mempersatukan Yang Terserak

DUNIA HAWA - Demo Aksi Bela Islam 212. Ketika demo aksi bela Islam jilid 1,2,3,dan jilid yang akan datang kalau masih ada yang datang kepikiran dan saya bawa dalam doaku kepada sang pencipta adalah Tuhan janganlah sampai demo ini menjadi rusuh oleh karena nafsu serakah manusia-manusia jahanam itu. Tentu selain itu ada hal lain dipikiran saya yang datang secara tiba-tiba “Ahok hebat bisa mempersatukan yang terserak”


Bagaimana tidak hebat? Coba pembaca bayangkan mulai dari daerah yang jauh di ufuk timur sampai daerah yang terdekat disekitaran Jakarta Raya semua bersatu dalam satu kata aksi “Demo” 

Bukti Masih Banyak Pengangguran


Pikiran yang “sempit” ini akhirnya berjalan kemana-mana menelusuri lorong-lorong yang namanya juga saya tidak tau. Apalagi ketika berangkat dan pulang kerja saya menggunakan jasa kereta api, waktu berangkatnya delapan gerbong kereta api yang dari arah bogor menuju jakarta sejauh mata saya melihat hampir semua orang yang didalam kereta api tersebut pake kofiah putih dan baju daster, kecuali dua gerbong depan belakang yang khusus untuk wanita. Pertanyaan dipikiran saya ketika itu apakah mereka ini tidak pada kerja atau apakah mereka ini semua pengangguran? Terlalu cepat kalau saya mengatakan mereka itu pengangguran, bisa saja tidak bukan?  mungkin saja mereka itu sebagian berprofesi sebagai buruh tani, buruh pabrik dan lain sebagainya. Akan tetapi jika memang mereka adalah mayoritas penggangguran sudah waktunyalah pemerintah Jokowi-JK memikirkan lapangan pekerjaan untuk mereka atau saatnya pemerintah “menggaji” pengganguran seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju. misalnya Inggris, Swedia dan Arab Saudi.

Ketika orang tidak ada pekerjaannya alias pengangguran jalan satu-satunya yang cepat dapat uang adalah mencuri, kalau tidak mencuri iya ikut demo. 

Bukti Rendahnya Pendidikan Masyarakat Kita


Dalam kereta api perjalanan menuju jakarta saya sempat tanya kepada salah seorang yang mamakai kofiah dan jubah putihnya, dengan rasa sedikit takut saya bertanya, “pak.. mau kemana? lalu dijawabnya “mau demo Ahok”. Emang ada apa dengan Ahok? Iya tuh tuh..katanya menghina Alquran. Sambil mangguk-mangguk saya bilang ooohh begitu ya. Karena berada disatu gerbong yang semuanya pake kofiah akhirnya saat itu saya tidak melanjutkan lagi bertanya takut nanti saya salah ngomong atau salah jawab, secara dari raut muka kan saya kelihatan AMUBA nya “Asli Muka Batak”. he he he  

Pikiran saya terus berjalan dan berjalan merumuskan sesuatu yaitu mungkin mereka ini adalah orang yang pendidikannya rendah dan pekerjaannya tidak ada akhirnya menjadi korban dari penghasutan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Ahok. Kalau seandainya yang demo itu adalah kelompok mahasiswa saya masih bisa maklum dan mengatakan mereka pasti  kritis untuk menuntut sesuatu yang menurut mereka benar. Tetapi ketika pendemonya kita tanya apa motivasi dan tujuannya ikut berdemo juga tidak tau, itu indikasi bahwa latar belakang pendidika mereka memang rendah. Mereka mau melalakukan itu hanya karena urusan “perut” alias dapat uang makan. Kali ini benar bahwa progam Indonesia mengajar ala Anies Baswedan ternyata tidak sampai ke akar rumput hanya sampai sebatas daun, dimana ketika daun itu tertiup angin akan jatuh juga ke tanah. 

Pikiran “sempit” saya tidak berhenti juga dalam perjalananya, Akhirnya dalam satu titik tertentu pikiran positip datang dan berandai-andai. 

Bagaimana ya kalau seandainya lautan manusia sebanyak ini mau membersikan sampah, membersihkan kali dan gorong-gorong yang ada mulai dari daerah penyanggah sampai ke pusat kota jakarta bukan tidak mustahil jakarta ini tidak akan dapat banjir lagi kalau musim penghujan? 

Bagaimana ya kalau seandainya manusia sebanyak itu dikirim ke papua untuk mengerjakan proyek Jokowi-JK agar rakyat dipapua bisa merasakan pertaan pembangunan?

Bagaimana ya kalau seandainya manusia sebanyak itu disuru membersikan sampah disungai-sungai yang ada dibandung agar tidak banjir lagi?

Dan masih banyak lagi seandainya yang mungkin suatu saat akan dapat diwujudkan oleh Ahok di Negeri ini.

Terakhir, namun apapun itu sekali ini Ahok akan saya beri gelar “Bapak Pemersatu Yang Terserak”

Salam persatuan dan kesatuan

@hebron sidabutar


Ketika Menipu Diangap Ibadah

DUNIA HAWA - Masih seputar Hoax. Selain Metro TV, kementrian Sosial pun jadi korban fitnah keji.

Beredar surat edtan PALSU berkop Kemensos yang berisikan ajakan ikut Gelar Budaya " Bhinneka Tuggal Ika".


Surat ASLI nya berkaitan dengan kegiatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional "HKSN".


Hal ini sudah diklarifikasi oleh Khofifah Indar Parawansa bahwa surat ajakan parade budaya kita indonesia adalah fitnah EDITAN.

Agama Dipakai Menipu


"Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang Batil dengan agama" (Ibnu Rusydi)

Ibnu Rusydi seorang cendikiawan Muslim jenius sudah meramalkan datangnya masa seperti ini..

Yakni masa ketika agama dialih fungsikan dari tuntunan ahklak & perilaku, menjadi ALAT untuk menipu.

Saking efektifnya, sampai sampai menupupun orang bisa percaya itu "ibadah" bila dibungkus dengan agama.

Inilah yang menyebabkan maraknya fenomena berbagi hoax karena mereka berpikir berbagi hoax itu ibadah.

@Gus Permadi Arya

( Muslim Nahdliyin )

#TurnBackHOAX

Salinan berita dari media online detik.com terkait fitnah surat imbawan dari Kemensos dalam rangka memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional HKSN).

Jabarkan Versi Asli, Mensos: Surat Editan adalah Fitnah


Surat berkop Kementerian Sosial menjadi viral di media sosial karena berisi ajakan wajib bagi seluruh pegawai untuk datang pada Parade Bhinneka Tuggal Ika. Sebut surat yang beredar itu editan, Mensos Khofifah Indar Parawansa menyatakan itu sebagai bentuk fitnah.

"Itu fitnah. Surat diedit sedemikian rupa," ujar Khofifah Indar Parawansa dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/12/2016). 

Khofifah mengatakan, Kemensos memang mengeluarkan surat untuk pegawainya. Namun surat yang asli adalah undangan kepada para pegawai Kemensos untuk menghadiri acara 'Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN)' yang juga digelar bertepatan dengan waktu digelarnya Parade Bhinneka Tunggal Ika pada Car Free Day pagi ini.

Surat yang asli dari Kemensos berisi imbauan kepada para pejabat Eselon II di lingkungan Kemensos untuk hadir dalam rangka menyosialisasikan nilai-nilai kesetiakawanan sosial dan restorasi sosial. Adapun lokasi acara memang berada di area Car Free Day (CFD), Minggu (4/12/2016) mulai pukul 07.00 WIB dengan titik kumpul di depan Gedung KPU dan sekitar Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat.

"Ini adalah rangkaian peringatan HKSN. Puncaknya nanti di Palangkaraya, Kalimantan tengah. Kebetulan saja waktunya bersamaan dengan acara pawai kebudayaan 412," tutur Khofifah.

Lebih lanjut Khofifah menjelaskan ada perbedaan yang cukup besar dalam isi surat imbauan tersebut. Surat yang viral di media sosial menyebutkan Kemensos menggelar acara Parade Bhinneka Tunggal dan mewajibkan seluruh jajarannya untuk datang hadir di giat tersebut. Padahal menurut Khofifah, surat yang asli adalah imbauan kepada jajarannya untuk menghadiri acara HKSN.

Khofifah menekankan bahwa kegiatan PNS Kemensos tidak ada kaitan dengan aktivitas apapun di luar lingkungan kementerian. Dia juga menambahkan bahwa Kemensos mempunyai agenda rutin, yaitu acara olahraga bersama seperti saat Hari Pahlawan 10 November lalu.

"Kami punya layanan mobil anti-galau yang rutin selalu ada di setiap CFD sejak diluncurkan Mei lalu," tutup Khofifah.

@detik