Saturday, December 3, 2016

Apa Hebatnya Mengumpulkan Massa Dengan Motif Agama?

DUNIA HAWA - Manusia gemar berkumpul. Apalagi jika sama-sama memiliki satu tujuan. Alasan berkumpul tidak harus rasional, bisa juga irrasional.

Jutaan orang berkumpul di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji setiap tahunnya. Semua berharap mendapatkan pengampunan dan surga seperti yang dijanjikan. Karena itu, banyak yang rela mengumpulkan harta bendanya dengan cara menabung untuk bisa pergi ke tanah suci.


Setiap tahun, jutaan umat Katolik dari berbagai belahan dunia rela mengunjungi Vatikan dan Roma untuk berziarah. Pada perayaan Tahun Yubileum 2015, jumlah peziarah yang datang mencapai 33 juta orang. Bagi umat Katolik, Tahun Yubileum disebut tahun pengampunan. Maka tak heran, jutaan orang berbondong-bondong merayakannya di pusat kegiatan agama Katolik tersebut.

Di India, jutaan umat Hindu melakukan ritual mandi di Sungai Gangga. Dalam kepercayaan Hindu, air sungai Gangga dianggap bisa menghilangkan dosa. Meski sungai itu merupakan salah satu sungai tercemar di dunia, jutaan umat Hindu India tak ragu untuk mandi di sana.

Selain tiga contoh di atas, masih banyak ritual-ritual keagamaan yang dikuti jutaan orang. Tak perlu penjelasan mendalam, jutaan orang tidak akan berpikir rasional jika sudah menyangkut kepercayaan. Jika sudah percaya, apapun akan mereka lakukan dengan sukarela.

Dari kacamata di atas, apa yang terjadi dalam dua aksi Bela Islam (411 dan 212) tidak bisa dilepaskan dari kegemaran manusia untuk berkumpul dengan alasan agama. Mengapa ratusan ribu orang bisa mudah berkumpul di sebuah tempat merupakan hal yang wajar.

Berita yang mengabarkan ada orang yang rela menjual mobilnya demi bisa mengikuti aksi di Monas perlu disikapi dengan biasa. Apa hebatnya dibanding orang-orang Syiah yang rela melukai tubuhnya dengan senjata tajam saat perayaan Asyura?

Juga berita rombongan santri dari Ciamis yang rela jalan kaki menuju ibukota. Meski di tengah jalan, mereka memutuskan naik bus karena takut ketinggalan aksi. Apa anehnya dibanding ritual umat Hindu di Nepal yang berjalan dengan telanjang kaki sejauh 15 kilometer menuju sebuah candi?

Maka, membanggakan ratusan ribu orang yang rela mengikuti aksi 212 adalah sesuatu yang konyol. Apalagi membandingkannya dengan aksi parade Bhinneka Tunggal Ika yang digelar Sabtu, 19 November lalu.

Dua aksi tersebut jelas-jelas berbeda sehingga tidak apple to apple jika dibandingkan. Satunya menggunakan motif agama, sementara yang satunya tidak.

Jika kita amati, agama memang bisa menggerakkan umat untuk berkumpul di suatu tempat. Di Indonesia, dimana agama dianggap paling penting di atas segalanya, sangat mudah mengumpulkan massa dengan embel-embel agama. Apalagi jika ditambah dengan janji-janji surga.

Karena itu, tidak heran jika acara-acara keagamaan yang menghadirkan ustad, ulama, atau pendeta, banyak dihadiri umat. Semua datang dengan keyakinan bahwa mereka sedang beribadah.

Dan itu terasa biasa saja.

@iwan lwe


Beda Makar dan Kritik

DUNIA HAWA - Untuk teman-temanku yang imut dan menggemaskan, yang sebenarnya pinter tapi sulit rasional karena kebencian, nih saya kasi pandapat Profesor ya, perbedaan antara MAKAR dan KRITIK.

Mbok ya pinter sedikit... Dikitttt ajah, gak usah banyak banyak.


"Makar itu setiap usaha menggulingkan pemerintah yang sah," kata ahli pidana Prof Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Jumat (2/12/2016).

Aturan makar secara umum diatur Pasal 107 KUHP yang berbunyi:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

"Pasal di atas adalah delik formil, bukan delik materiil. Artinya, tidak perlu sampai tergulingnya pemerintahan untuk bisa dipidana, tapi berencana saja sudah terkena delik makar," ucap pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto itu.

Secara detail, ada empat jenis makar, yaitu:

1. Makar terhadap kepala negara.
2. Makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
3. Makar permufakatan.
4. Makar dengan pemberontakan.

Sebagai delik formil, maka makar tidak harus dilakukan oleh aparat bersenjata tetapi juga bisa dilakukan oleh sipil. Setiap orang yang berniat dan melakukan tindakan dan upaya mengganti pemerintah yang sah, maka bisa terkena delik makar.

"Ini memang sangat luas penafsirannya. Orang yang cuma rapat-rapat atau ngumpul-ngumpul, tetapi melakukan niatan dan upaya menggulingkan pemerintahan yang sah, bisa terkena delik," papar Hibnu.

Dalam negara demokrasi, mengkritik merupakan hal yang lumrah. Tapi Hibnu mewanti-wanti masyarakat untuk bisa membedakan antara kritikan ke pemerintah dengan makar.

"Kalau kritikan, itu harus ditujukan kepada kebijakan. Umpamanya 'saya tidak setuju dengan program A'. Tapi kalau makar, tujuannya bukan mengkritik, tetapi mengganti pemerintah, menggulingkan dan sebagainya," ucap Hibnu.

Ancaman makar cukup berat yaitu maksimal hukuman penjara seumur hidup. Artinya, orang yang melakukan makar maka dapat menghuni penjara hingga meninggal dunia.

"Tapi nantinya tergantung hakim, berapa lama hukuman yang diberikan. Nanti hakim yang menilainya," cetus Hibnu.

Nah, minum kopinya ya... Biar fresh dikit dan gak selalu nyonyor.. Ingat, giginya dah hilang satu persatu.

Video Orasi Sri Bintang Pamungkas dalam upaya mengajak makar :


@denny siregar


Alasan Saya Tak Datang ke Monas

DUNIA HAWA - Sejak kemarin, berita tentang aksi 212 padat merayap di beranda saya, mulai dari Facebook sampai Twitter, bahkan yang paling privat sekali pun macam Path. Mulai dari berita doa bersama super damai itu, santri dari Ciamis yang disambut di Jakarta, turunnya Presiden Jokowi dengan segenggam payung biru, ceramah Habib Rizieq, ditangkapnya para terduga makar sebelum aksi, sampai pada sosok Wiro Sableng yang terlihat berbaur di tempat kejadian.

Yang paling ramai tentu, foto aksi 212 yang saya dipaksa untuk mengucek-ucek mata, memastikan jumlah khalayak yang meluber sampai ke jalan-jalan, subhanallah.


Foto Monas menjulang, yang biasanya hanya dihiasi dengan sejumlah warga yang menikmati akhir pekan, sekedar olahraga atau jalan-jalan bersama keluarga, atau pun pedagang-pedagang yang ingin menyambung hidup dan keramaian lainnya, sekarang sungguh sangat tak berarti dibandingkan kerumunan massa jamaah salat Jumat dengan kostum serba putih.

Bahkan hanya melihat foto dari sepetak layar laptop saja sudah membuat takjub, orang Islam mana yang tidak tergerak hatinya melihat saudaranya sesama muslim berbondong-bondong salat Jumat segitu banyaknya, segitu semangatnya, segitu khusyuknya (paling tidak di foto), di tengah guyuran hujan yang turun rintik-rintik syahdu. Itu hanya lewat foto, bagaimana jika langsung dengan mata kepala sendiri? Saya hanya bisa membayangkan.

Di hari aksi 212, aksi super damai itu, yang katanya semata-mata berdoa untuk keutuhan bangsa, pas saat umat Islam tanah air berbondong-bondong menggaungkan takbir di sekitar monas, saya sedang tertidur pulas dengan gaya ala kadarnya, celana tidur yang entah punya siapa, dan sarung untuk pengganti selimut menolak dingin.

Tidak hanya aksi yang sudah menginjak jilid tiga ini, episode sebelumnya (satu dan dua) pun saya masih asyik dengan mimpi saya sendiri. Karena memang perbedaan jam antara Indonesia dan negeri tempat saya kuliah yang berjarak sampai tujuh jam. Jadi aksi yang didirikan pagi sampai siang di Jakarta, di kamar saya ini masih tengah malam sampai menjelang subuh.

Ini juga yang menjadi alasan pertama dan utama saya tidak ikut turun langsung di aksi Bela Islam berjilid-jilid itu. Bagaimana mau ikut, sedangkan tiket pulang ke rumah seharga satu Iphone 6. Dua kali lebaran saya memilih tinggal, lalu atas dasar apa saya pulang sekarang?

Jika Anda sudah mengerti titik persoalannya, maka akan mudah untuk saya menjelaskan poin berikutnya. Baiklah, saya tidak turun langsung ke lapangan, lalu bagaimana dengan ucapan selamat atau semangat kepada para mujahid yang pergi membela Islam itu? Setidaknya sebagai mahasiswa Studi Islam saya bisa menuliskan beberapa kalimat dalam selembar kertas untuk mendukung aksi 212, lalu difoto dan disebarkan lewat medsos, ya kan?

Namun yang ini juga tidak saya lakukan. Pertama, saya tidak yakin pesan saya sampai kepada khalayak itu, jumlah like dan comment tiap postingan saya saja hampir selalu mentok di bawah seratus. Jadi ini perbuatan yang tidak efisien. Maka saya tinggalkan. Saya harus sadar diri bahwa saya bukan orang terkenal. Kedua, saya tidak mendukung aksi 212 kemarin, jadi tidak ada alasan untuk saya menulis surat seperti itu.

Lalu seandainya saya punya kesempatan untuk pulang ke Indonesia kemarin, atau dengan alasan apa pun sedang berada di Indonesia pada tanggal 2 Desember 2016, saya akan tetap Jumatan di masjid dekat rumah dan tidak berangkat ke Monas.

Berdosakah saya? Biar itu jadi urusan Tuhan. Yang pasti saya akan berdosa jika tidak Jumatan, karena itu wajib bagi kami. Tapi Jumatan di Monas? Kalau itu sebagai aksi benar-benar bela Islam, menjadi wajib bagi saya. Tapi dari awal, ini sudah sarat intrik, penuh dengan bumbu politik (menurut pandangan saya pribadi) dan dikemas dengan cara yang bervariasi.

Episode satu dan dua berkutat di demo, unjuk rasa kepada pemerintah. Yang terakhir ini, doa bersama. Tak ada demo, tak ada ricuh. Namun substansinya tetap, tangkap Ahok, penjarakan Ahok. Justru ini yang menjadi poin pentingnya. Dan jika nanti pengadilan memutuskan Ahok bebas, episode selanjutnya dari aksi Bela Islam akan bergulir, percayalah. Entah dalam bentuk apa.

Umat Islam mana yang tak tergerak hatinya melihat Monas dikelilingi entah berapa banyak muslim Indonesia itu. Namun alangkah indahnya jika itu memang dimaksudkan doa bersama untuk keutuhan bangsa dan negara, tanpa iming-iming apa pun.

Siapa yang tidak bahagia melihat umat Islam bersatu? Namun sangat disayangkan jika kerumunan massa itu hanya digunakan sebagian golongan untuk memenuhi hasrat politiknya. Sebagai umat Islam kita harus bersatu, bergandengan tangan dengan saudara muslim yang lain. Namun sebagai warga Indonesia, kita harus bersatu, bergandengan tangan dengan pemeluk agama apa pun, dari golongan mana pun.

@ agus g ahmad


Delusi Makar : Upaya Omong Kosong Merongrong Jokowi

DUNIA HAWA - Ketika itu, massa telah mengepung istana. Sedikit demi sedikit, kekuasaannya dipreteli. Isu telah dirancang begitu rupa, bersamaan dengan serangan-serangan verbal tentang kondisi fisiknya. Banser sudah siap bela-mati. Langit Jakarta gaduh oleh suara-suara kudeta. Kondisi mencekam. Republik ini dalam bahaya besar!


Dengan langkah tertatih, ia keluar dari dalam istana. Ia hendak menyapa massa yang mendukungnya. Ia keluar tidak dengan segala kebesarannya sebagai orang nomor satu di republik ini, melainkan—sumpah—tak ubahnya seperti “ABG”: Mengenakan kaos dengan krah berkancing, dan memakai celana pendek.

Alih-alih ia mendukung dan meneriakkan perintah dan perlawanan untuk menjaga kekuasaannya yang baru seumur jagung, ia justru tampak marah pada massa, dan memerintahkan massa untuk pulang saja.

Itu adalah sekelumit kisah Gus Dur di akhir kekuasaannya. Kekuasaan yang, baginya, tak lebih penting dari candaan, humor, dan obrolan di warung kopi. “Tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” ujarnya. Toh, “Saya jadi presiden itu cuman modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais,” imbuhnya. Hahaha…

Barisan sakit hati dan jamaah pembenci boleh berkomentar apa saja tentang Gus Dur. Bahkan hingga kini, walaupun Gus Dur telah lama tiada. Anda boleh terus mencela, menghina, merendahkan, dan mencaci-maki Gus Dur, dan kalau perlu dengan dalil-dalil keagamaan yang memang merupakan hobimu.

Paling-paling, sekiranya masih hidup, Gus Dur hanya akan terkekeh-kekeh. Seperti biasa. Sembari terkekeh, Gus Dur akan menyebut inisial tertentu. Seperti biasa. Misalnya, “Mayjen K”.

Disebut Gus Dur bahwa “Mayjen K” adalah dalang kerusuhan Ambon. Yang merasa Mayjen dan punya nama berawal huruf “K”, tentu jengah. Lalu, Mayjen Kivlan Zen, kawan Letjen Prabowo, merasa dituduh dan ia mengunjungi Gus Dur. Gus Dur pun membantah. “Yang saya maksud adalah Mayjen Kunyuk,” kata Gus Dur kala itu.

Iya, kunyuk. Yang tidak mengerti kunyuk: Kunyuk itu monyet. Siapa pun, tak peduli mayjen bahkan jenderal, rakyat jelata atau ulama, pantas disebut kunyuk bila mendalangi kerusuhan, menciptakan teror, dan membuat bangsa ini tercabik-cabik. Tetapi kenapa Mayjen Kivlain Zen merasa tertuduh dan perlu mendatangi Gus Dur?

Hari ini, nama Kivlan Zain kembali muncul. Statusnya sudah menjadi tersangka. Tuduhan makar dialamatkan kepadanya. Juga kepada Ahmad Dani, Ratna Sarumpaet, dan beberapa yang lain. Ada nama Firza Hussein yang merupakan ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana.

Cendana? Nama ini muncul lagi. Publik tentu bertanya-tanya. Prabowo pun sudah berkomentar tentang penangkapan para tersangka. “Berlebihan,” kata Prabowo, “kalau mereka hendak makar”. Prabowo kenal mereka. Disebutnya, mereka idealis. Bahkan, ada yang romantis.

Kalau biasanya, mantan presiden SBY yang menyatakan sikap, misalnya curhat tentang pembunuhan karakter terhadap dirinya, sejauh ini “Mr. Prihatin” belum berkomentar. Kenapa Prabowo yang justru berkomentar? Ada apa ini?

Biarlah. Urusan penangkapan itu bukan urusan saya. Toh, saat tulisan ini saya buat, yang ditangkap itu sudah dilepaskan. Tapi, statusnya telah menjadi tersangka. Lagipula, salah sendiri bagi orang seperti Ahmad Dani yang tak punya rekam jejak politis, “ikut-ikutan” saja.

Kepada orang yang satu ini, sungguh saya sempat jatuh cinta sejak mendengar lagu “Kangen”-nya. Cinta saya membumbung tinggi sejak mendengar lagu “Kirana”. Lalu saya mau muntah sejak ia mendendangkan lagu “Madu Tiga!”

Kembali soal makar. Percayalah, secara politis posisi Jokowi saat ini amat kuat. TNI-Polri bersatu-padu di belakangnya. Politisi senayan tak bisa banyak tingkah, kecuali lidah-lidah nyinyir macam Fazli Zon dan Fahri Hamzah.

Ditangkapnya 10 aktivis dengan tuduhan “permufakatan jahat” atau tuduhan makar, paling-paling akan membuat mulut berbusa-busa untuk berdiskusi, berdebat, bersilat lidah dari para ahli hukum, pengamat, politisi, hingga cabe-cabean pemandu sorak di media sosial.

Jokowi amat kuat, setidaknya hingga 2019 nanti. Celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk melemahkan posisinnya sudah ditutup. Silaturrahmi, lobi-lobi, dan kinerjanya sebagai Mr. Presiden jauh lebih baik dan tak bisa dibandingkan dengan presiden sebelumnya. Bilamana anda tertarik untuk menjadi presiden, tunggulah hingga pilpres 2019. Jangan delusif!

Bila ada hal yang mengganggu kekuasaan saat ini, hal itu adalah gerak horizontal, bukan gerak vertikal. Tetapi, dari gerak horizontal inilah, menurut saya, potensi “makar”, “kudeta” atau istilah apa pun yang sejalan dengan itu, sangat mungkin terjadi.

Sekiranya para aktivis yang menjadi tersangka itu dapat dibuktikan secara hukum nanti memang bersalah, toh ujung-ujungnya dibui. Selesai perkara. Dan kalau ini benar, upaya makar itu tak lebih dari persoalan rebutan kekuasaan belaka.

Berbeda dengan apa yang hendak saya katakan ini: Di tengah-tengah bangsa ini, makin lama makin subur kelompok-kelompok intoleran. Saya menyebutnya sebagai “jamaah takfiri”. Mereka bermain dalam tiga ranah: Politik, gerakan, dan pemikiran. Isunya sama: Syariat Islam. Mereka terus-menerus meneriakkan pentingnya penegakan syariat Islam di Indonesia.

Secara politis, berat. Secara gerakan, jamaah ini melancarkan aksi-aksi berupa kegiatan-kegiatan seperti usroh, tarbiyah, atau halaqoh. Dan secara pemikiran, ustadz-ustadz mereka melancarkan serangan-serangan idiologi yang menyasar ke sesama muslim dengan isu pemurnian ajaran agama.

Sudah bukan rahasia lagi, letupan-letupan sosial terjadi di berbagai wilayah oleh sebab pertentangan paham. Ustadz-ustadz intoleran, anti keragamaan dalam keberagamaan (islam), semakin bebas beraksi.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seharusnya menjadi kelompok yang tidak pantas hidup di wilayah NKRI. Tak bisa berlindung di balik demokrasi, sebab demokrasi tidak berarti bebas hendak mengubah republik ini sekehendak hati. Ilusi tegaknya Khilafah Islamiyah, selain merupakan omong-kosong-khayali, merupakan ancaman yang terang-benderang bagi keutuhan NKRI, bagi republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini.

Waspadalah!

Video Orasi Sri Bintang Pamungkas upaya mengajak melakukan makar :


@taufiqurrahman al azizy


Panggung Jokowi

DUNIA HAWA - Salah satu rencana penyelenggara demo demo besar ini sebenarnya adalah 2019..


Dengan tekanan kepada pemerintahan Jokowi, mereka sangat berharap Jokowi melakukan kesalahan. Kesalahan yang utama adalah melakukan pukulan kepada para pendemo sehingga terjadi kerusuhan yang akan mereka perluas skalanya.

Ketika demo berubah rusuh, dampak yang terjadi adalah pelemahan ekonomi dan ketidak-percayaan pada pemerintah. Jika mereka tidak bisa menjatuhkan Jokowi sekarang, di 2019 diharapkan akan berpengaruh pada elektabilitasnya. Dan saat Pemilu nanti, mereka akan membawa kerusuhan kerusuhan itu sebagai senjata untuk menghantam Jokowi.

Sayangnya, mereka gagal....

Hal yang mereka tidak perkirakan adalah Jokowi tidak melakukan pukulan keras kepada pendemo, malah mempersilahkan mereka dan memperlakukannya dengan baik.

Karena rencana yang tidak berhasil itu, mereka kemudian mencoba membunuh karakter Jokowi dengan mengatakannya pengecut karena tidak menemui peserta demo.

Terbukti gagal maning, gagal maning...

212 ini salah satu cara mereka untuk kembali menjatuhkan nama Jokowi. Dan lagi lagi mereka salah langkah, Jokowi adalah pemain catur yang brilian...

Pemerintah menyamarkan langkahnya dengan statemen Panglima TNI bahwa ia tidak akan hadir pada shalat Jumat di Monas. Tidak hadirnya Panglima berarti ketidak-hadiran Presiden. 

Lawan tersenyum, "Nah, matek kon..."

Injury time, Presiden tampak melangkah keluar istana beserta pejabat pejabat lain dan Panglima TNI menuju tempat shalat Jumat. Mereka berjalan dengan gagah ditengah hujan sambil memegang payung...

Jokowi menjadikan acara shalat Jumat itu sebagai panggung dirinya. Ia menunjukkan bahwa dirinya tidak takut akan tekanan tekanan yang terus datang. Ia menghajar lawannya dengan langkah kuda yang jitu.. Mereka yang kemarin meremehkannya, sekarang berbalik memujanya.

Tidak terduga, lawan politik Jokowi malah tanpa sadar menyediakan panggung yang indah dengan karpet merah, dimana Jokowi melangkah dengan anggun dan berwibawa...

Congrats Mr. Presiden.. Langkahmu telak menampar mereka yang merasa sudah berada di ujung kemenangan. Saya ingin mengangkat secangkir kopi untuk anda setinggi-tingginya..

Tinggal para donatur demo yang harus membereskan bidak- bidaknya dan menyusun ulang kembali strategi mereka. Apalagi penangkapan pion pion mereka meruntuhkan mental bertarung ditambah kehilangan dana besar yang ternyata tidak sesuai harapan.

Lebaran kuda ternyata masih jauh, Kumendan... Habis ini jangan kaget kalau ada gebrakan cepat KPK memperkarakan proyek mangkrak yang besinya sudah karatan.

Seruput dulu... baru bikin album baru. 

Saya pesan yang judulnya, "Kegagalan adalah sukses yang tidak pernah datang.."

@denny siregar


Pakde Jokowi, Kita dalam Bahaya

DUNIA HAWA - Malam, Pakde... Banyak yang memuji langkah Pakde pada aksi tadi siang. Dan saya yakin tim pakde pasti tersenyum senang melihat keberhasilan membalikkan serangan lawan dengan gemilang.


Tapi Pakde, jika boleh saya ingatkan..

Keberhasilan keberhasilan itu sebenarnya sangat rentan. Salah langkah sedikit saja, maka kita akan terpecah menjadi beberapa bagian. Terlalu riskan jika selalu memakai pola bertahan..

Banyak orang bilang, bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang.. Seharusnya Pakde mulai memikirkan strategi ini. Mumpung mereka mulai melemah dan masih sibuk membangun kekuatan..

Jika boleh, saya ingin sedikit sumbang saran...

Apa yang kita hadapi sekarang ini adalah akibat kebodohan. Ketidak-pahaman akan agama dengan benar, membuat banyak orang mudah sekali terprovokasi dengan baju kebanggaan. Sudah saatnya Pakde melawan ini. Dan untuk melawan kita harus melihat sisi mana yang harus segera dibereskan..

Sisi pertama adalah media mainstream. Begitu banyak ustad2 yang tidak layak tampil memenuhi layar televisi nasional. Mereka membangun persepsi tentang ajaran Islam sesuai versi mereka sendiri.

Kalau dicermati, banyaknya ustad karbitan ini sebenarnya bagian dari sebuah skenario besar dengan perjalanan panjang. Dengan uang besar, ada pemain utama yang membeli slot2 acara di stasiun televisi nasional khusus untuk acara agama Islam.

Dengan menguasai slot2 acara itu, mereka mudah melakukan proses cuci otak, mereka mengangkat ustad yang sepemikiran dengan mereka dan mengontrol pemahaman tentang Islam sesuai kehendak mereka.

Akhirnya masyarakat awam yang baru belajar - mau tidak mau - mempunyai idola baru. Mereka tunduk karena mereka memang tidak tahu. Dan disinilah proses mengarahkan pikiran dilakukan.

Akhirnya yang mereka kenal hanya kafir, bidah, musyrik dan sebagainya. Yang kalau tidak dipakai untuk menghantam non muslim, diarahkan kepada muslim yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.

Proses ini sudah berlangsung lama dan sengaja dibiarkan, mungkin dipelihara.

Saran saya, Pakde pakai saja cara mereka...

Kerjasamalah dengan Nadhlatul Ulama. Berikan NU dana bantuan untuk membeli slot2 di acara tv nasional. Dengan begitu, NU bisa mengisi acara dan mengarahkan ajaran Islam kembali dalam bentuk nusantara yang ramah.

NU akan menghadirkan ustad2 muda, moderat dan intelektual seperti Prof Sumanto al Qurthuby atau Nadirsyah Husein, yang pola pikirnya sudah maju dan tidak sembarang berfatwa. Pasti banyak lagi kader2 muda NU yang seperti mereka, dengan pendidikan tinggi dan pemikiran segar yang akan mengangkat Islam pada sisi berbeda.

Dengan menampilkan kader muda dan pintar seperti mereka, NU akan tampil bukan lagi sebagai Islam buat wong ndeso, tetapi sudah bertransformasi menjadi kekinian.

Biar kader NU tidak ditampilkan hanya sebagai pembicara, tetapi mereka juga menjadi guru yang akan mengangkat intelektualitas awam yang sedang ingin belajar Islam, supaya tidak selalu sibuk dijejali dengan dogma...

Beri waktu 10 tahun biar NU menguasai media televisi nasional dalam siaran keagamaan, maka pola pikir masyarakat muslim di Indonesia akan terupgrade sehingga tidak mudah diprovokasi oleh kepentingan politik berbaju agama...

Maaf saya masih belum bisa memberikan saran ini untuk Muhammadiyah. Biar mereka belajar dulu untuk melindungi ulama cerdasnya seperti Buya, dari hinaan orang lain yang tidak sepaham pemikirannya..

Itu baru sisi pertama.. Dan masih banyak sisi lainnya, cuma nanti terlalu panjang jika harus saya paparkan dalam satu kotak tulisan. Tetapi sisi pertama itu cukup sebagai jalan keluar, karena sudah memecahkan lebih dari separuh masalah umat muslim di negara kita..

Pakde harus mulai menyerang dari sekarang, karena apa yang mereka lakukan dengan pembodohan terhadap umat Islam sudah sangat mengkhawatirkan.. Jangan sampai mereka yang niatnya mau belajar agama, malah dijadikan tunggangan untuk kepentingan politik beberapa golongan.

Bisa pecah perang saudara satu saat negara kita, jika muslim awam hanya memaknai Islam sebagai aksesoris kebanggaan saja..

Sekian dulu, Pakde Jokowi... Semoga sehat selalu. Revolusi mental harus mencakup segala bidang, termasuk dalam hal pengetahuan agama...

Kapan kita bisa seruput kopi bersama ?

Jangan di istana dan makan2 bersama, karena saya lebih suka duduk di halaman belakang rumah, dengan sarungan dan sebatang rokok ditangan... Kita ngobrol tentang masa depan kebhinekaan kita yang rentan dan mudah sekali pecah..

Malam, pakde..

Selamat istirahat sambil memeluk payung biru yang dicurigai orang sebagai simbol tertentu. Saya juga bingung kenapa mereka banyak berfikir begitu ?

Setahu saya, pakde sempat nelpon ke saya, "punya yang warna polkadot ?" Ya, gak ada lah... terlalu feminin nantinya di pakai di depan massa. Pakde ini ada2 aja...

@denny siregar


Belajar dari Umat Hindu

DUNIA HAWA - Saya pernah posting tulisan “Belajar Dari Umat Kristen” yang dishare hingga 8.000 kali. Dalam tulisan tersebut saya menghargai sikap umat Kristen Indonesia yang dewasa dan tidak mudah terprovokasi meski ada gerejanya yang dibakar, disegel, ibadahnya dibubarkan paksa, Injil dijadikan bungkus tempe, gambar Yesus dan Bunda Maria dijadikan sandal jepit dan sebagainya.


Saya juga pernah menulis tulisan berjudul “Belajar Dari Umat Buddha” yang juga telah mampu bersikap dewasa dalam cara beragamanya dan tidak mudah terprovokasi meski pernah ada 10 vihara yang dibakar, Vihara dan Candi Borobudur pernah dibom, dilarang melakukan hari raya di tempat ibadahnya sendiri dan sebagainya.

Agar adil dan mewakili agama agama yang ada di Indonesia kini saya menulis “Belajar Dari Umat Hindu”. Meski Bali pernah dibom oleh teroris yang menewaskan ratusan orang dan membuat wisata Bali mati suri selama hampir setahun tapi mereka juga tidak mudah terprovokasi. Bahkan Ade Rai, seorang atlet dan publik figur pernah ditanya komentarnya sesaat setelah kejadian tersebut dan jawabannya sungguh mengejutkan. Dia berkata : “Kita sebagai orang Hindu percaya pada karma. Apapun yang terjadi adalah karena kesalahan kita sendiri. Kejadian ini justru menjadi sarana instropeksi bagi kita.”

Luar biasa.... Ini adalah jawaban dari seorang selebritis, bukan tokoh agama. Meski daerahnya dibom oleh orang dari luar yang tidak seagama dengannya tapi dia tidak menyalahkan mereka bahkan justru menyalahkan dirinya sendiri. Bandingkan dengan seorang tokoh agama yang koar-koar di TV “Bunuh, salib, potong kaki tangannya dan usir !!”.

Foto di atas juga menunjukkan pelecehan dan penistaan terhadap simbol simbol suci orang Hindu tapi mereka tidak marah, tidak ngamuk, tidak terprovokasi, tidak bikin demo besar-besaran, tidak serukan “Bunuh.... Bakar... Lengserkan !!” dan sebagainya. Bukannya saya mendukung adanya pelecehan agama tapi saya kira ada cara cara yang lebih cerdas, sopan dan beradab dalam menyampaikan ketidaksetujuan kita terhadap suatu hal.

Tentunya tidak adil jika saya tidak menuliskan tentang “Belajar Dari Umat Islam”. Ulama ulama NU sangat patut kita hargai dan kita teladani karena ahlak, humanisme, kesabaran, sikap tawadlu / rendah hati dan toleransinya. Umat Islam sedunia perlu banyak belajar dari tokoh tokoh NU. Kita juga bisa belajar dari umat Islam FPI dan Bibib Brizik. Tapi pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka cuma satu yaitu “Janganlah menjadi seperti mereka.” Jangan ditiru ya, jangan ditiru ya hiks, hiks....

Maaf jika ada yang tersinggung, Tapi apa yang saya sampaikan hanyalah fakta apa adanya. Dan seringkali ternyata kebenaran itu menyakitkan karena kita telah terbiasa dengan ilusi dan mimpi-mimpi indah yang tidak sesuai dengan kenyataan,

Salam Bhinneka Tunggal Ika

@muhammad zazuli