Friday, December 2, 2016

Keluguan Rakyat, Kelicikan Elit

DUNIA HAWA - Saya ingin berbagi pengalaman tentang “demo massa” karena saya cukup lama menekuni “profesi” sebagai demonstran dan aktivis. Memahami “demo komunal” akan lebih baik jika menggunakan “teori piramid” karena “demo massa” itu selalu “by design”, tidak ada yang bersifat “alami”. Bisa juga menggunakan “teori panggung” karena demo massa sejatinya adalah sebuah panggung pertunjukan dimana di dalamnya ada banyak aktor atau pemain dengan berbagai peran plus sutradara dan penulis skenario.  


Ada tiga komponen atau bagian dasar dalam sebuah piramid: atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas piramid ini adalah simbol “kelompok elit” yang jumlahnya sedikit tapi mempunyai peran yang sangat besar dan sentral karena mereka mempunyai “power” dan “otoritas”. Merekalah yang memegang “tombol” sebuah pertunjukan atau drama bernama demo. Dalam sistem politik-pemerintahan feodal, kelompok elit ini diperankan oleh raja dan kroninya. Tetapi dalam sistem politik-pemerintahan non-feodal, kaum elit ini diperankan oleh gabungan dari sejumlah kelompok kepentingan (kepentingan politik, ekonomi, ideologi, dlsb): bisa (oknum) elit militer/polisi atau pensiunan elit militer/polisi, elit parpol, konglomerat / pengusaha, birokrat, cendekiawan, dlsb. Peran mereka kurang tampak di publik tapi jelas dan nyata sekali. Mereka hanya hadir (baik fisik maupun virtual, itupun kalau mau) di pertemuan-pertemuan terbatas untuk koordinasi sekedarnya. Kalau tidak sempat, ya cukup lewat telpon. Tetapi mereka paham apa yang harus dilakukan. Mereka berbagi peran: siapa melakukan apa. Mereka juga mengatur strategi dan taktik demo, menyiapkan Plan A, Plan B, Plan C, dan seterusnya. 

Bagian tengah piramid adalah “kelompok menengah” yang melakukan peran sebagai “penghubung” atau “broker” antara elit dan massa. Peran kelompok ini juga sangat penting karena merekalah yang mempunyai akses langsung dengan massa atau publik (masyarakat/rakyat). Kelompok elit hanya punya uang dan kekuasaan tetapi mereka tidak punya massa. Karena mempunyai massa, mereka inilah yang berperan sebagai operator demo, komandan lapangan, pengumpul massa, dlsb. Dalam dunia kemiliteran, mereka ini mungkin seperti “kolonel” yang memegang pasukan. Kelompok menengah ini bisa diperankan oleh para pemimpin ormas, dai/mubalig, “intelektual tukang”, guru, ketua lembaga, aktivis kampus, komandan laskar, bos preman, dlsb. Mereka juga yang “menjabarkan di lapangan” segala arahan, petunjuk, dan strategi yang dirumuskan oleh kaum elit tadi. Mereka pula yang menerima “logistik” demo dari kelompok elit tadi untuk “disalurkan” ke massa (baik disalurkan sebagian kecil atau sebagian besar, semua tergantung dari “kebaikan hati” masing-masing). Mereka pula yang bertugas untuk berkoar-koar dan memimpin yel-yel di setiap aksi demo. Saya dulu berperan sebagai “kelompok menengah” ini. 

Bagian bawah piramid melambangkan rakyat, masyarakat, atau massa. “Kelompok bawah” inilah yang jumlahnya paling banyak dan paling gendut dalam struktur piramid. Mereka ini bisa mahasiswa, santri, murid, buruh, petani, nelayan, pengikut omas, jamaah pengajian, anggota laskar, atau masyarakat kebanyakan. Meskipun jumlahnya paling banyak tetapi mereka adalah kelompok lemah, tidak berdaya, dan “serba minim” yang disebabkan oleh banyak faktor: bisa karena masalah ekonomi-finansial, pendidikan, akses kekuasaan, intelektualitas, wawasan, dlsb. Karena lemah dan “serba minim”, maka mereka ini gampang sekali dipengaruhi atau bahkan “dibohongi” dan dimanipulasi oleh kelompok menengah tadi dengan isu ini-itu. Tubuh mereka mungkin ada yang bongsor-bongsor tapi “otaknya dikit” jadi gampang ditaklukkan. Dengan kata lain, oleh kelompok menengah dan elit, mereka ini hanya dijadikan sebagai “kayu bakar” saja atau sebagai alas untuk “diinjak” saja. 

Ketika, misalnya, demo kolosal itu sukses, kelompok bawah yang mayoritas ini tidak akan mendapatkan apa-apa karena “kue” kekuasaan baru akan dinikmati oleh kelompok elit dan kroninya, sisanya mungkin “dilempar” ke kelompok menengah. Sementara kelompok bawah, mereka tetap seperti sedia kala: lapar, dahaga, dan miskin-njekin sepanjang masa. Sadarkah Anda dengan “drama” ini?

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Mengapa Bibib Tidak Bisa Ditangkap?

DUNIA HAWA - Banyak orang yang heran kenapa seolah Bibib kebal hukum dan tidak pernah bisa ditangkap padahal bukti pelanggaran hukum yang dilakukannya sudah seabreg-abreg mulai dari tulisan, rekaman video, audio hingga saksi mata yang jumlahnya sudah tak terhitung banyaknya. Pelanggaran yang telah dilakukannyapun sudah mencapai jumlah yang luar biasa mulai dari provokasi yang telah memicu banyak demo anarkis, penistaan lambang negara (Pancasila dibilang Pancagila yang letaknya ada di pantat), pelecehan kepada kepala negara (Jokowi dibilang Presiden Guobloog, Jokodok dan antek PKI), ancaman dan penghasutan (seperti Bunuh Ahok, bunuh pendeta & orang kristen Tolikara, bakar kantor balaikota DKI), ajakan makar (lengserkan Jokowi, kepung dan rebut istana negara), pelecehan kepada adat budaya dan etnis lain (Sampurasun dibilang Campur racun, anti aseng) dan lain sebagainya.


Dengan semua catatan pelanggaran hukumnya itu dia masih bisa bebas berkeliaran seolah tak ada satupun aparat yang berani bertindak tegas terhadapnya. Ada apakah dibalik semua kejanggalan ini? Rumor yang beredar mengatakan bahwa Bibib dan FPI adalah organisasi yang dibentuk oleh para petinggi militer di saat reformasi 1998 untuk membenturkan massa sipil dengan massa lainnya sehingga militer yang saat itu sedang disorot dunia internasional atas kasus pelanggaran HAM (seperti penculikan dan penembakan mahasiswa) bisa teralihkan.

Era gejolak reformasi telah berlalu tapi nyatanya ormas radikal ini masih tetap bertahan dan Bibib juga masih bebas tak tersentuh oleh hukum. Jadi apakah gerangan yang sebenarnya terjadi? Saya kira pemerintah bukannya tidak tahu dengan semua provokasi dan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh ormas ini yang telah nyata-nyata membahayakan Pancasila, NKRI, kesatuan bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika. Tapi pemerintah seolah diam tak berani berbuat apa-apa. Bahkan Wiranto yang disebut-sebut sebagai “founding father” FPI yang sekarang juga menjadi Menkopolhukam pun seolah diam seribu bahasa.

Di awal mungkin FPI sengaja dibuat untuk melindungi citra militer yang saat itu sedang babak belur agar tidak terus menerus disalahkan saat terjadi konflik sosial. Biar FPI saja yang menjadi “kambing hitam”nya. Tapi rupanya kini FPI sudah berjalan sendiri dan lepas dari kontrol militer serta memiliki agendanya sendiri yang mungkin bisa bertentangan dengan kebijakan negara dan militer saat ini. Hal ini mengingatkan kita pada kelompok teroris Al Qaedah dan ISIS yang konon awalnya dibentuk oleh Amerika untuk tujuan politiknya sendiri di wilayah Timur Tengah (yaitu mengalahkan Uni Soviet di Afghanistan dan menghancurkan rezim Asaad yang Rusia) namun kemudian lepas kontrol bahkan berbalik menyerang tuannya sendiri.

Saya yakin Presiden juga tidak bodoh. Belajar dari pengalaman Suriah, saat ormas radikal seperti ini ditekan dan direpresi maka mereka akan melakukan “Strategi Playing Victim” dan menemukan alasannya untuk semakin memusuhi pemerintah dan mengajak masyarakat untuk menggulingkan pemerintah yang disebutnya sudah “memusuhi dan mendzalimi umat Islam”. Dengan demikian terjadilah momentum dan gelombang kebangkitan radikalisme di seluruh negeri yang akan berujung pada Perang Saudara. Bahkan tidak mustahil mereka akan menyerukan Jihad Nasional dan meminta bantuan kepada seluruh jihadis di seluruh dunia untuk membantu perjuangan mereka melawan Negara Thaghut. Persis seperti itulah yang terjadi di Suriah dan ada kemungkinan skenario ini juga sedang dijalankan untuk memecah belah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini.

Menghadapi dilema seperti ini Jokowi rupanya memiliki strategi lain. Bukannya melawan kekerasan dengan kekerasan ataupun memadamkan api dengan api tapi Jokowi justru melakukan konsolidasi dengan berbagai organisasi Islam moderat terutama NU dan Muhammadiyah untuk membentengi Indonesia dari bahaya kebangkitan radikalisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu Jokowi membiarkan hal ini mengalir dan berjalan apa adanya karena dia percaya bahwa rakyat sekarang sudah cerdas dengan adanya era keterbukaan informasi sehingga bisa menilai sendiri seperti apakah sebenarnya mereka ini. Biarlah rakyat yang menentukan siapakah yang waras dan siapakah yang “mabok”.

Tapi sepertinya toleransi terhadap radikalisme tentu juga ada batasnya. Berita terakhir kita mendengar bahwa pemerintah telah menetapkan sebagai tersangka Buni Yani, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Rahmawati Sukarnoputri dan juga yang lainnya (termasuk penyebar isu Rush Money). Saya kira ini juga gertakan terhadap Bibib agar tidak seenaknya koar-koar dan main provokasi lagi. 

Bibib memang berbeda dengan tokoh tokoh di atas sehingga tidak bisa diperlakukan sama. Dia punya pengikut fanatik yang besar jumlahnya. Dan ribuan orang bodoh yang keras kepala, penuh kebencian, siap perang dan berani mati tentunya tidak bisa dilawan dan ditangkap begitu saja. Jika ditangkap atau ditembaki maka dunia akan menganggap negara sedang membunuh dan mendzalimi rakyatnya sendiri. Tapi jika dibiarkan maka mereka akan semakin melunjak dan akan makin sulit dikendalikan. Mari kita lihat langkah langkah apa sajakah yang akan diambil oleh pemerintah untuk mempertahankan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI ini serta meredam gelombang kebangkitan radikalisme massal ini.

Salam Waras

@muhammad zazuli


Kenapa Kamu Membela Ahok???

DUNIA HAWA - "Kenapa Kamu Selalu Membela Ahok???" Tanya seseorang dengan nada sewot. Aku terdiam. Kumatikan rokokku yang tinggal seperempatnya. Kuhirup kopiku dan mulai mengungkapkan apa yang kupikirkan...


Sebenarnya kata "membela Ahok" itu kurang tepat. Terlalu sempit ketika aku hanya terpaku pada sosok, karena sosok itu tidak merepresentasikan kebenaran. 

Lebih tepat jika dikatakan, saya sedang membela sebuah nilai. Nilai kebhinekaan dan keadilan.

Ahok adalah representasi dari minoritas, baik minoritas etnis dan agama. Tapi ia mempunyai hak yang sama dalam demokrasi kita... Sama seperti kamu, aku, kalian, mereka dan semua yang mengaku sebagai umat mayoritas dengan kebanggaan yang semu dan tak berguna.

Jadi, kenapa ia tidak boleh menjadi "pemimpin" di negara yang menganut kesamaan hak dan kewajiban sebagai anak bangsa ? Bukankah itu mengkhianati perjanjian bersama yang dibangun oleh para pendiri negara dengan darah mereka ?

Dalam kinerja, Ahok sudah memberikan bukti bahwa ia mampu. Hasil kerjanya bisa dilihat dengan jelas mulai penataan sungai sampai pengangkatan derajat para pekerja yang dulu tak kelihatan.

Jika ia mampu dan mempunyai hak yang sama, maka berikanlah ia kesempatan yang sama..

Masalah tidak suka, cukup dengan tidak memilihnya. Bukannya memaksa ia harus keluar dari kesamaan haknya karena ia minoritas. Itu zolim namanya, menyayat kebhinekaan kita menjadi luka dalam yang akan terus menganga.

Jadi, membela Ahok sebenarnya - buat saya - sama dengan membela kebhinekaan kita, keadilan kita, nilai2 yang selama ini menjadi pondasi dasar kehidupan kita dalam bernegara. Ahok hanya pelakunya saja..

Sama seperti ketika saya membela Jokowi, bukan karena sosoknya. Tetapi karena ia adalah simbol negara yang sah. Begitu juga ketika saya membela ulama yang benar, saya sebenarnya membela nilai2 pewaris Nabi yang sesungguhnya...

"Tapi kan mereka yang berdemo sedang membela nilai agama mereka yang dinista ??"

Kubakar lagi sebatang dan kuhirup kopiku yang sudah tinggal ampasnya.

Pertama, agama itu tidak lemah sehingga perlu dibela. Agama itu suci sehingga tidak mungkin nista. Lagian yang dimaksud nilai agama itu bukan agamanya sendiri, tetapi mutiara didalamnya sebagai pembentukan ahlak. Apakah korupsi itu membela nilai agama atau malah menista agama ? Jelas menista...

Jadi belalah nilai2 di dalamnya dengan terus mengkajinya supaya kita menjadi manusia yang benar, bukan dengan teriak2 membanggakannya...

Jika Ahok dianggap menista, tunggu saja keputusan hukum yang ada. Tidak perlu memaksa hukum keluar dari rel-nya. Terima semua keputusan.

Masalah puas dan tidak puas, itu masalah perasaan, tidak ada ukurannya...

Ia terdiam, entah mengerti atau tidak.

Lalu, "Halahhh.. kamu syiah, JIL, sok mengajari saya. Tahu apa kamu tentang Islam ?"

Aku tersenyum. Teringat nasihat Imam Ali as, "membuktikan kebenaran kepada orang bodoh itu mudah. Yang susah adalah membuat mereka menerimanya.."

Kuhirup kopiku sekali lagi. Cuihhh.. ternyata cangkirnya sudah kujadikan asbak...




@denny siregar

Gagahnya Langkah Jokowi menuju 212

DUNIA HAWA - Jumat 2 Desember 2016 atau lebih dikenal dengan sebutan 212 adalah tanggal dimana Umat Islam berbondong-bondong berkumpul di Monas untuk kembali melakukan aksi (super) damai untuk membela Al-Quran dari penistaan oleh seorang Ahok. Mungkin tuntutan kali ini adalah agar Ahok langsung ditangkap dan dipenjara hari ini juga. Padalah kita semua tahu bahwa proses hukum Ahok sedang berjalan. Tetapi segelintir orang tidak puas dengan “lambatnya” proses hukum ini sehingga tetap melakukan aksi super damai 212.


Puluhan ribu sampai ratusan ribu umat Islam hadir dalam aksi damai ini, bahkan dari jauh jauh hari ada rombongan yang sudah berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta untuk ikut aksi ini. Rencana aksi hari ini adalah menggelar Shalat Jumat berjamaah di kawasan Monas sekaligus menyampaikan amanah agar kasus Ahok lebih dipercepat penangannya. Lantas kembali banyak selentingan yang beredar di media sosial “kemanakah Presiden Jokowi hari ini akan kabur???”. Selentingan yang keluar karena sebelumnya Panglima TNI Gatot Numantyo mengumumkan bahwa dirinya tidak akan menghadiri aksi super damai di Monas hari ini, pernyataan ini sekaligus memunculkan dugaan bahwa Presiden Jokowi pun tidak akan menghadiri aksi ini.

Pagi hari disaat massa mulai memadati kawasan Monas dan bersiap siap untuk Shalat Jumat berjamaah, Presiden Jokowi malah ada di GBK untuk meninjau proyek. Ini menguatkan bahwa Jokowi tidak akan hadir dalam aksi ini. Tetapi……. menjelang pelaksanaan Shalat Jumat Jokowi keluar Istana didampingi oleh Wapres JK, Menko Pulhukam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan rombongan lainnya serta beberapa pengawal. Pada saat itu Kawasan Istana dan Monas sedang diguyur hujan, seperti biasa Jokowi berjalan menembus guyuran hujan dengan memegangi payungnya sendiri, beliau berjalan menuju Monas untuk ikut hadir dan Sahat Jumat bersama para massa di Monas.

Keren! Inilah tanggapan saya ketika melihat Jokowi memutuskan untuk hadir dalam aksi super damai di Monas hari ini. Dengan entrance seperti itu, beliau kembali menunjukan kesederhanaannya. Namun kali ini kesederhanaan itu dibalut dengan Keberanian yang super gagah. Keberanian yang membuat para orang-orang yang menyebut Jokowi pengecut karna tidak hadir pada aksi 411 dan diduga tidak akan hadir pada aksi 212 ini tidak bisa berkata apa apa lagi.

Semoga dengan kejadian seperti ini hati umat Islam yang memang tulus membela agama Islam terenyuh dan tidak lagi menyudutkan Presiden kita. Biarlah kasus Ahok berjalan sesuai prosedurnya. Jika toh nanti ahok terbukti bersalah, beliau akan ditangkap dan kalau terbukti tidak bersalah kita semua harus bisa menerima dengan segala keputusan peradilan. Mungkin kedepannya aksi damai seperti ini bisa dilakukan dengan tujuan untuk membantu pemerintah atau mengapresiasi kinerja pemerintah selama ini. Bukankah melihat pemberian hadiah pada seorang yang melakukan kebaikan lebih indah daripada melihat pemberian hukuman kepada orang yang salah?

Syalom, salam damai buat seluruh Rakyat Indonesia.

@restha wibawa


Di 212 Saya Ucapkan Terima Kasih Pak Jokowi

DUNIA HAWA - Sholat jumat pada hari ini 2 Desember 2016 di Monas Jakarta, merupakan bagian dari demonstrasi ataupun mobilisasi massa jilid II yang disebut sebagai “pembelaan agama” ala mereka dengan nama aksi super damai.


Pasca aksi 411, Indonesia menjadi ramai dengan Isu-isu yang cenderung provokasi, hingga berlanjut untuk melakukan aksi seperti hari ini. Negosiasi pun yang dilakukan pasca 411 berakhir pada strategi para demonstran, yang pada akhirnya menjadi do’a dan jum’atan bersama di monas, yang sebelumnya akan dilakukan sepanjang jalan Sudirman.

Perubahan ini tentu tak lepas dari peran pemimpin negara Jokowi yang luar biasa, dan kedua jendral seperti Tito dan Gatot. Jika mau ditarik secara logis, proses hukum terhadap Ahok sudak berjalan dengan ditetapkanya ia (ahok) sebagai tersangka begitupun Buni Yuni. meski ia (Buni) merengek-rengek di akun media sosial miliknya untuk minta dukungan. Berarti seharusnya pelaku demonstran yang di komandoi oleh FPI hendaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Bukan melakukan demo kembali seperti hari ini. Yang menurut pandangan kacamata saya untuk do’a bersama ini seharusnya bisa dilakukan dimana saja,kenapa ini harus dikumpulkan di jakarta seperti hari ini, karena untuk merawat opini yang sudah di hidangkan bulan november yang lalu. Hal ini “busuk” dan baunya menyengat.

Si kuda dan para dalang bisa jadi semakin stress melihat apa yang terjadi di monas tadi. Coba lihat betapa presiden dengan tetap senyum dan kesederhanaanya mengapresiasi dan menyatakan terimakasih di hadapan massa serta memberikan penghargaan kepada jamaah dan presidenpun bertakbir yang lebih indah daripada yang diteriakan Rizieq. Kerenya lagi sang presiden tidak dikawal dengan pengawalan yang banyak justru tampak seperti melebur dengan jamaah. Begitupun dengan jendral Tito yang datang lebih awal dari Presiden dan Jendral Gatot.

Hendaknya yang bilang presiden penakut pada aksi 411 bulan lalu menjadi sadar, bahwa justru sang presiden lebih bijak dan menghargai kalian. Jika di luar sana, suatu hal yang sudah menyinggung subversif untuk menghancurkan struktural kekuasaan akan dengan cepat di proses hukum. Tapi pakde justru tolerensi dan menghargai kalian. Hendaknya kalian para 411 dan 212 menyadari hal ini,

Agama dibenturkan politik praktis tentulah tidak menarik dalam konteks Indonesia yang majemuk dan beragam. Apa yang membuat “mereka” datang lagi hari ini ke Jakarta? Tentulah bukan hanya sebatas doa dan jumatan bersama, melainkan ada wacana isu yang yang tetap dibawa yaitu tentang hukum yang melakukan “penistaan agama”. Dengan demikian jika bicara soal tuntutan hukum terhadap “penista” menurut mereka, seharusnya mereka cukup untuk mengikuti proses hukum terhadap yang dianggap “penista” yang sudah dijalankan. Bukan terus menekan dan memaksa yang justru membuat resah masyarakat Indonesia. Proses dewasa dalam demokrasi dibutuhkan bukan kekanak-kanakan.

Demo hari ini, bagiku adalah kemenangan Jokowi dan Ahok , Kekalahan SBY dan sejumlah manuver elite ataupun broker politisi serta kaum oligarki (kelas borjuasi) yang serakah. Lihat saja Dua jendral dan presiden justru melebur dengan massa dan entah apa yang ada di hati Habib rezieq mungkin kebingungan.

Presidenpun jalan kaki dari istana menemui massa di monas, ini mengagumkan, sementara sebelum itu, info yang di dapat bahwa para makar sudah diciduk. Tito dan Gatot pun sungguh luar biasa. Dan ketiganya dengan ramah datang ketengah massa, hal ini menunjukan komitmen ketiganya bahwa mereka menghargai apresiasi massa mengenai tuntutan terhadap Ahok. Strategi tipu muslihat dibalik layar demonstrasi dengan baju agama yang di simbolkan dengan angka 411 dan 212 justru di hadapin pemegang struktural kekuasaan dengan cantik.

Si kuda bagaimana kabarmu? Adakah kau murung, si makar apa kabarmu? Apakah kalian akan merengek-rengek juga seperti Buni Yuni? Si oligarki dan sejumlah elite politisi? Apakah wajahmu kini semakin keras…. Kalian ingat tidak yel-yel dalam demonstrasi seperti :

“Hati-hati… Hati-hati…. Hati-hati provokasi”

Dan kalian masuk dalam perangkat yel-yel itu sendiri. Inilah yang disebut jika agama dibenturkan dalam politik praktis maka ia akan menjadi liberal dan berhasrat koloni, bahkan kelakuan tak jauh beda dengan imperialisme global.

Hendaknya disini juga FPI harus mulai menyuarakan kepada pasukanya untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Jika ingin menjaga keutuhan negara yang sebenarnya. Itupun jika FPI insyaf, tapi sayangnya tak ada yang mau menjamin. Ya mungkin kebencian masyarakat terhadap mereka lebih dalam, ketimbang apa yang dilakukan mereka terhadap ahok dan sang presiden. Karena intinya ini bukan bela agama melainkan agama dipolitikan.

Terakhir, Saya ucapkan terimakasih pada Jokowi dan duo jendral Tito dan Gatot. Kalian luar biasa. Si kuda disana kian menunduk tak seliar kuda sumbawa yang produktif dalam menghasilkan susu yang segar dan sehat. Si makar pucat lesu, Si Habib makin bingung. Semoga masyarakat cerdas dan tercerahkan apa yang terjadi sebenarnya saat ini adalah sebuah permainan yang berkonspirasi untuk kepentingan kekuasaan yang serakah dengan politik agama.

Terima kasih Pakde Jokowi. Rasanya aku ingin memetikan gitar dan menyanyikan lagu disampingmu. Tentang orang-orang yang kalah.

@losa terjal


Terjawab Sudah: Pakde Jokowi Menang

DUNIA HAWA - Tadi pagi grup WA penulis ramai.  Ramai, tapi jujur saya senang.  Sebab, yang diberitakan adalah perihal penangkapan 8 aktor tersangka makar serta 2 pelaku UU ITE.  Awalnya saya kurang percaya.

Intinya, setelah tahu bahwa jam 5 tadi aktor-aktor makar itu ditangkap, saya paham banyak hal.  Dengan ini, kejadian-kejadian membingungkan pra 212 terjawab sudah.


Pertama, Fadli Zon dan Fahri Hamzah tidak ikut demo.  Mereka yang sebelumnya rela menari-nari sambil berpanas-panasan di atas mobil pick up, secara tiba-tiba menyatakan tidak untuk terlibat demo 212.

“Saya diundang ke Uzbekistan menghadiri pemilu pertama. Saya berangkat nanti malam,” kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/12).

Fadli Zon juga sama.  Dia berangkat ke Kuba.

“Fadli semalam sudah berangkat sebagai pembicara di Panama, sekaligus kunjungan ke Kuba,” ujar Fahri.

Ini aneh.  Fahri sebelumnya dengan semangat mengatakan bahwa Presiden pun bisa dijatuhkan.  Bahkan dia berani menuduh Pakde melindungi Ahok sampai-sampai harus dilaporkan oleh Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP).  Seharusnya, Fahri ikut berjuang bersama Rizieq untuk meminta Ahok dipenjarakan.  Fahri sepertinya kabur.  Demikian juga Fadli Zon.

Dengan adanya pembahasan seru di WA tadi pagi, saya jadi tahu mengapa mereka kabur.  Kemungkinan, mereka sudah tahu bahwa akan ada penangkapan berjamaah oleh Polri terhadap aktor-aktor makar.  Fadli yang dulunya menyuruh Pakde mengklarifikasi ulang informasi dari intel, kini pasrah dengan informasi pintu belakang itu.

Fadli tak bisa menampik lagi bahwa memang ada aktor-aktor makar.  Makanya, selagi belum memijakkan kaki dalam lingkaran pemberontak itu, Fadli memilih untuk tidak ikut campur di aksi kali ini.

Kedua, Pakde memilih mengunjungi proyek GBK di pagi hari.  Menurut saya ini cerdas.  Sepertnya Pakde mau menunjukkan, seberapa pun besar massanya (info yang saya dengan, kali ini lebih besar), Presiden tidak harus menemui pendemo.  Kalau toh nanti Monas rusuh, GNPF dan Polri sudah sepakat agar kepolisian mengambil tindakan.  Pakde di mana?  Minum kopi di GBK.

Tak dinyana, Pakde datang ke Monas dan ikut sholat bersama.  Ini menarik.  Ketika publik tidak berharap didatangi presiden, Pakde malah muncul.  Pakde ikut sholat Jumat untuk mencairkan suasana.  Ini menunjukkan betapa amannya Jakarta.  Massa sebesar apapun dan aktor politik sehebat apapun dapat Pakde kendalikan.

Ini berfungsi untuk mengurangi rasa takut publik terhadap demo yang kerap terjadi.  Bahkan, elektabilitas Ahok menurun oleh sebab banyak masyarakat pikir dua kali untuk memilih Ahok.  Kalau Ahok yang naik, Jakarta kacau dan tidak aman.

Dengan ini, Pakde membuktikan bahwa Jakarta aman-aman saja.  Massa sebanyak itu tetap bisa dikendalikan.  Jadi rakyat Jakarta tidak perlu takut memilih Ahok. Coblos saja.  Haha..

Gantian Pakde Tunjukkan Taktiknya

Sebenarnya, ini menimbulkan sesak napas buat Si Musuh Besar.  Coba pikir.  Pakde dan kepolisian seharusnya bisa menangkap mereka beberapa hari sebelum ini.  Intel mereka pasti bisa diandalkan.  Tapi faktanya, mereka ditangkap bersamaan tepat sebelum pagi.  Ratna dan Dhani, bahkan, ditangkap di hotel yang sama.  Kesan yang kuat bahwa penangkapan ini ditunda sampai waktu yang tepat.

Dengan ditangkapnya mereka persis sebelum aksi dimulai, mau tidak mau, banyak orang akan anggap mereka bersiap ikut menumpangi ricuh yang akan direncanakan di hari ini.  Kalau memang ada makar dan rencana menduduki kursi DPR, hari inilah tepatnya.  Kaburnya Fadli dan Fahri yang seharusnya ada di atas truk juga sedikit banyak menggambarkan itu.

Dengan taktik Pakde yang slow but sure, Pakde menang tiga bidak dalam sekali punch.

Pertama, Kalau informasi itu, tadi pagi, sampai ke telinga Rizieq, saya yakin Rizieq tidak akan berani bicara macam-macam di megaphone.  Dia sadar, hari ini dia sudah sendirian.  Yang dua terkesan kabur, sisanya ditangkap.

Ini mirip kalau anda PDKT ke rumah cewek.  Anda ajak 3-4 teman anda untuk ngobrol dengan orang tua dan adik-adik si cewek.  Modus, supaya anda bisa ngobrol banyak dengan si dia.  Tapi ketika sampai di depan pintu, anda disambut oleh orang tua si dia yang kumisnya tebal sekali, sambil bertanya, “Apa!!!?!? Kenapa tidak ketok pintu dulu!!?!!?”  Seketika itu juga anda sadar bahwa yang lain tidak di sisi anda.  Masuk pagar pun tidak.

Kedua, kalau memang ada rencana menduduki gedung DPR hari ini. Korlap sudah tidak punya komando.  Mereka yang membawa massa dari berbagai ormas wilayah dan berbagai daerah hanya menunggu perintah.  Sayangnya, para atasan sudah diciduk.

Ketiga, Si Musuh Besar, orang yang selama ini bergembira di balik ini semua, hari ini termenung melas.  Dia langsung lemas setelah membaca berita.

Si Musuh Besar rugi banyak.  Logistik sudah banyak keluar.  Tugas Rizieq sudah selesai, mengumpulkan masa.  Rencana menduduki DPR pun batal.  Hampir semua bidak-bidak diciduk, tinggal tunggu sisanya.

Ketika semua mata rakyat tertuju pada tayangan live.  Masih duduk lemas, Si Musuh Besar melihat tayangan Pakde lewat dengan rombongan baju putih yang mencolok dan menarik perhatian.  Ketika di ‘sana’ pasrah menerima kegagalan, Pakde muncul sebagai sebagai tokoh utama.  Dialah bintangnya.  Dia juga yang mendapat simpati masyarakat.

Sambil memegang payung birunya sendiri, Pakde berkata dalam hati, “terima kasih ya sudah merencanakan ini semua.  Anda membantu saya menunjukkan pada semua bahwa saya tidak takut bertemu rakyat.  Setelah ini, tunggu saya skak mat.”  Kemudian pakde melirik ke kamera sambil memberikan senyum yang tidak simetris.

Dengan ini saya angkat topi setinggi-tingginya dan saya ucapkan selamat.

Last but not least…

Apapun yang terjadi, apapun interpretasinya.  Pemerintah kita, selama dijalankan dengan benar, haruslah kita hormati.  Dengan motif apapun, makar adalah melanggar hukum.

Ingat!  Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Tuhan; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Tuhan.  Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Tuhan dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.

Sekali lagi, selamat untuk Pakde!!!!

@abel kristofel 


Presiden Temui Massa 212, SBY Semakin Terlihat Bermasalah

DUNIA HAWA - Merinding melihat Presiden Jokowi berani datangi massa sedemikian banyaknya. Bersama Wapres dan menterinya, Presiden menerobos hujan menuju Monas. Sungguh keberanian yang luar biasa.


Mereka yang dulunya koar-koar Presiden penakut, pengecut dan kabur, mereka harus menelan ludahnya sendiri. Di jaman ini, mungkin hanya Presiden Indonesia yang berani keluar istana menemui massa sebanyak itu lalu naik ke panggung dan menyapa semuanya.

Kedatangan Presiden Jokowi ke Monas mengingatkan kita pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat ada aksi teror di Jakarta, Presiden yang berada di Cirebon langsung bertolak ke Jakarta dan mendatangi lokasi. Datang tanpa rompi anti peluru, berjalan tanpa ragu menenangkan semua rakyat Jakarta.

Saya melihat kedatangan Jokowi ke Monas benar-benar disiapkan sangat matang oleh Polri dan TNI. Sangat terstruktur, sistematis dan massif. Kapolri yang sebelumnya mengatakan melarang aksi damai sebab Ahok sudah dijadikan tersangka, kemudian berubah pikiran dan mendatangi para pimpinan demo, melakukan negosiasi. Yang agak mengecewakan, Kapolri kemudian mengijinkan aksi 212. Ini sempat menimbulkan tanda tanya, bagaimana bisa kembali diijinkan? Tapi jika melihat kedatangan Jokowi ke Monas, semua ini benar-benar terencana dan kita patut berterima kasih pada Kapolri karena mau mengijinkan aksi ini.

Ijin dari Kapolri ini sempat disambut riuh para provokator dengan segala kelebayannya. Bahkan SBY yang sebelum aksi 411 melakukan konferensi pers, sebelum 212 SBY menulis artikel panjang kali lebar sebagai pengganti konferensi pers. Salah satu kalimat provokasinya adalah:

“Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat.”

“Ketika akhirnya presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai tepat dan benar itu lambat datangnya. Sama saja sebeanrnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit.”

Itu tulisan SBY yang cukup provokatif, masih sama seperti istilah Lebaran Kuda pada konferensi pers sebelum 411. Lebih dari itu, SBY menyebut ada pihak-pihak lingkaran kekuasaan yang menginginkan kudeta atau makar.

“Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka.”

Banyak orang menyayangkan tulisan SBY yang seperti itu. Ini jelas tidak menunjukkan kenegarawanan seorang mantan Presiden Indonesia, bahkan saya merasa prihatin negeri ini pernah dipimpin oleh SBY selama 10 tahun. Prihatin sekali.

Tulisan SBY ini kemudian menimbulkan spekulasi baru. Sebab harus kita akui bahwa SBY adalah satu-satunya tokoh yang tidak didatangi Presiden ataupun diundang ke Istana. Prabowo didatangi dan diundang, Mega diundang, Surya Paloh, Romy sampai Muhaimin Iskandar diundang ke Istana. Sementara politisi Demokrat menginginkan Jokowi menemui SBY, sampai sekarang Jokowi belum menemui atau mengundang SBY.

Sementara itu ada fakta sejarah lainnya, yaitu saat Jokowi menemui Prabowo di Hambalang, SBY menemui JK dan Wiranto dan sedikitpun tidak ada yang bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sehingga rumor yang berkembang adalah SBY membujuk JK untuk naik sebagai Presiden, lalu Wiranto sebagai Wapresnya setelah melengserkan Jokowi. Kebetulan dua orang ini (JK Wiranto) adalah pasangan Capres-Cawapres pada 2009 lalu yang kalah dengan SBY-Boediono. Bahkan saya mendapat pesan serius dari beberapa orang yang saya tau cukup kredibel, meminta pesan rumor pertemuan SBY dengan JK dan Wiranto untuk disampaikan pada Presiden Jokowi langsung.

Kalau kemudian SBY menyebut ada rumor di lingkungan Istana yang ingin berkuasa, ini patut ditanyakan siapa orangnya? Sehingga SBY merasa penting untuk menyampaikan rumor tersebut kepada publik. Dalam logika sederhana, orang yang paling memungkinkan mengisi posisi kosong jika Jokowi lengser adalah Panglima TNI, Kapolri atau Wapresnya. Tidak masuk akal kalau ujuk-ujuk Jonan atau Bu Susi mau menggantikan Jokowi.

Faktanya, Panglima TNI menyatakan setia pada Presiden dan siap menjadi tumbal ketimbang melakukan kudeta. Kapolri selalu di depan mengamankan massa dan menjawab tegas soal makar. Jadi yang paling memungkinkan menggantikan Jokowi jika terjadi kudeta adalah JK.

Tapi kalau JK yang mau melakukan kudeta, kenapa SBY membocorkan rumor tersebut ke publik? Aneh. Inilah yang menjadi pertanyaan besar negeri ini. Mana rumor yang benar? Jika benar SBY membujuk JK, maka pernyataan rumor versi SBY adalah bentuk klarifikasi sebelum dibuktikan di lapangan. Jadi SBY membuka rumor tersebut ke publik, lalu membantahnya sendiri dengan mengatakan tidak percaya. Ditambah SBY mengatakan tidak setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan.

Tapi jika rumor versi SBY yang benar bahwa ada orang lingkaran kekuasaan yang ingin melakukan kudeta, ini tidak bisa dianalisis siapa orangnya? Sebab semua solid bersama Presiden Jokowi. Lihat saja JK, Wiranto, Panglima TNI dan Kapolri bersama Presiden Jokowi mendatangi massa di Monas. Bagaimana mungkin mereka tidak solid atau terjadi power struggle? Ya itu bisa ditanyakan saja pada SBY yang membuka rumor tersebut ke publik. Jika tidak bisa dijawab, kemungkinan besar memang hanya skenario klarifikasi sendiri atas upaya yang gagal dilakukan.

Dalam kenyataan seperti sekarang, tak ada yang bisa membantah kenyataan bahwa Jokowi mau menemui semua elemen kecuali SBY. Dari Prabowo tokoh oposisi, Mega, Surya Paloh, Muhaimin, NU, Muhammadiyah, 17 ormas Islam bahkan menemui massa GNPF 212 dan Rizieq. Tapi Jokowi belum menemui SBY. Sekilas ini agak menyudutkan SBY atau tak menganggap keberadaan tokoh presiden pertama Indonesia yang memimpin dua periode.

Kalau sudah seperti ini rasanya rakyat sudah bisa melihat ada yang aneh dengan SBY dan Jokowi. Apalagi Presiden Jokowi ini adalah sosok yang gemar menggunakan simbol-simbol politik. Anda bisa perhatikan payung Presiden Jokowi berwarna biru. Dari sekian banyak warna, kenapa birunya Demokrat? Dipegang sendiri lagi. Hoho horor. Ah sudahlah, jangan nakut-nakuti SBY mulu. Itu payung memang warisan SBY dulu, sebab saat SBY jadi Presiden semua jadi serba biru. Ahahaha

Terakhir, ini serius, jika Jokowi tak menemui SBY, besar kemungkinan memang ada yang salah dari SBY. Dan selanjutnya mudah ditebak, semoga KPK segera mengusut tuntas 34 proyek mangkrak SBY. Usut dokumen TPF pembunuhan Munir yang hilang dan tentu saja tuntaskan kasus Hambalang dan yang berlengan panjang.

Begitulah kura-kura

@alifurrahman


Islam Politik Seri II Hari Ini

DUNIA HAWA - Hari ini, tanggal 2 Desember 2016, merupakan ‘Aksi Bela Islam’ gelombang kedua. Aksi massa yang berserial ini adalah kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 4 November 2016, yang menuntut dan menyuarakan pengusutan dugaan penistaan agama oleh Ahok untuk di bawa ke dalam proses hukum. Berdasarkan jumlah mobilisasi massa, aksi yang digalang dan dikoordinator oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang dikomandoi oleh FPI pada 4 November lalu, bisa dikatakan aksi massa terbesar setelah demonstrasi terhadap kekuasaan rezim orde baru.


‘Aksi Bela Islam’ yang populer dengan nama atau sebutan aksi 411 dan 212 ini, membawa dan menyeret hampir sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan tentunya tidak menyentuh pokok persoalan atau inti polemik yang menjadi beban umat Islam Indonesia hari ini, seperti hal nya problem dalam kehidupan sehari-hari.

perdebatan pun telah berganti menjadi untuk saling caci antar pendukung Rizieq dan Ahok. Para pendukung ‘Aksi Bela Islam’ menuding mereka yang tidak suka dan setuju atau tidak mendukung aksi tersebut dikatakan sebagai “munafik”. Sementara di sisi para penolakan terhadap ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa yang memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan, dengan wacana membela Islam, justru merendahkan martabat Islam karena perjuangan tersebut dianggap telah dicampuri kepentingan politik.

Kalau kita mencoba untuk adil memandang hal ini, aksi hari ini dan 411 lalu, push factor (pemicu) dari lahirnya perseteruan dan kegaduhan ini sesungguhnya tidak terletak pada mulut atau ucapan salah satu calon Pilgub DKI (Ahok) melainkan Pada UU produk orde baru, UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dengan pasal 156a di dalam KUHP, dan hal ini sangat mudah dipolitisasi sebagai alat menjatuhkan lawan politik, sementara jika dikaji lebih jauh UU yang di produk rezim orde baru dipakai sebagai legitimasi untuk melakukan penertiban pada suatu hal yang dianggap berpotensi merusak tatanan dalam kedaulatan negara, UU tersebut diterbitkan oleh pemerintah rezim orba untuk menangani aliran-aliran kebhatinan ataupun aliran yang dianggap sesat yang muncul pada rezim tersebut.

Islam politik dalam fakta sejarah berkarakter reaksioner dan ini tidak mewujudkan kepentingan bersama melainkan pada hanya pada tataran golongan, kelompok ataupun identitas. Watak reksioner dan rasis sektarian dalam kacamata saya justru dapat menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik maupun ekonomi kaum borjuasi, dan juga bisa dikatakan anaknya imperialisme global, watak rasis dan politik identitas memunculkan sentimen dan melanggengakan domninasi oligarki (kelas borjuasi) dan kepentingan sejumlah manuver elite serta broker politis dan politisi yang haus kuasa.

Masalah politik identitas sudah saya bahas sebelumnya seperti dalam sejarah kekuatan RAS pada NAZI dan Hitler yang halal melakukan pembunuhan masal terhadap kaum yahudi. Begitu juga di Amerika dalam pengembangan konsep teori kulit putih dan kulit hitam dalam sistem perbudakan, dimana kulit hitam selalu dan diciptakan untuk selalu menjadi kelas budak. Begitu juga dalam perpolitikan timur tengah dalam radikalisme, atau lebih jauh ketika era gereja berkuasa.

Di era digital dan teknologi hari ini, semua itu cepat membludak dan membesar dengan maraknya media yang sangat mudah untuk di akses. Dalam mobilisasi massa, opini menjadi penting, dan kenyataanya memang demikian seperti yang kita lihat saat ini. Dengan demikian kepekaan, kesadaran, kritis, dan membaca realita dengan terbuka, sangat dibutuhkan. Terutama generasi bangsa agar tidak mudah emosional, terprovokasi dengan propaganda dan doktrin yang dihidangkan, dan selalu sadar kelas tentunya.

Seperti apa yang dihidangkan sebelum aksi hari ini adalah perjalanan massa dari Ciamis ke Jakarta dengan jalan kaki yang harus menempuh jarak lebih dari 150 KM, hingga mendapat perhatian besar. Sementara hal ini merupakan taktik untuk mendapat perhatian opini dan menjadi konsumsi yang didalamnya adalah “ajakan”. Long March seperti ini adalah hal biasa dan siasat dalam mobilisasi massa, begitupun sejarah telah membuktikanya.

Aksi hari ini dan juga awal november yang lalu dalam pandangan saya adalah islam politik dan politik identitas. Yang justru tidak menyentuh persoalan pokok dalam masyarakat, alih-alih pembelaan tapi pada kenyataanya justru islam sendiri tidak bersatu secara utuh dalam hal ini, karena dalam islam politik lebih berkecenderungan melanggengkan dominasi oligari, dan kepentingan sejumlah elite, politisi, ataupun kelas borjuasi baru. Yang dalam hal ini adalah sama saja kelas penindas.

Sementara theis islam sendiri tidak melihat sesuatu hal dalam kehidupan sosial di dasari sentimen, etno-religius, apalagi rasisme. Jika dilihat dalam konteks demokrasi, aksi hari ini dan yang lalu sudah melakukanya dalam hal menyampaikan aspirasi dan tuntutan, namun sekaligus MEROBEK demokrasi itu sendiri karena ditunggangi hal-hal untuk kepentingan politik dan ekonomi kaum borjuis lama dan baru serta sejumlah elite politisi, bukan kepentingan rakyat secara berkeadilan sosial dan kedaulatan rakyat itu sendiri serta negara.

Apalagi dalam aksi yang terjadi saat ini sudah terlihat tidak konsistenya tuntutan dan dekat pada hal subversif. Alih-alih aksi damai agar tampak agamis tapi kuat dengan hasrat koloni. Islam politik seri II hari ini sama saja dengan tipu muslihat yang terselubung atas nama super damai. Dan tidak seramai di media. Demostrasi seperti ini yang berhasrat seperti koloni dengan berbaju agama bukan cita-cita bangsa. Melainkan tampak untuk mewujudkan kepentingan oligarki, kepentingan ormas dan sejumlah manuver elite ataupun broker politisi, anak imperialisme global. Bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara menyeluruh atau pada persoalan umat yang lebih aktual.

Keadilan sosial, merupakan kekayaan alam sebuah negara di gunakan untuk menyelenggarakan jaminan sosial yang berkualitas di bidang pendidikan dan kesehatan maupun bidang-bidang lainya, dan rezim Jokowi dengan pelan sudah merealisasikan Trisakti dan Nawacita Bung Karno sesuai dengan pasal 33 UUD 45 dalam bentuk BUMN, konsep ini justru mampu mencegah dominasi oligarki ekonomi secara pelan dan bertahap. Hendaknya hal ini diberi kesempatan terlebih dahulu, karena hal ini tidak menutup kemungkinan untuk dapat mewujudkan sila ke-5 dalam Pancasila.

Apakah para pelaku Islam Politik yang melakukan demonstrasi yang lalu dan hari ini yang dikomandoi FPI mengarah ke hal demikian untuk keadilan sosial dan kemaslahatan umat indonesia secara menyeluruh dengan ragam perbedaan? Tentu tidak. Karena apa yang dilakukan mereka pada awal november yang lalu dan hari ini justru yang ada adalah kegaduhan yang tujuaya untuk menjatuhkan lawan politik. Dan ironisnya agama dipolitisi. Hal ini jauh dari kata progres atau semboyan mengenai kebhinikaan. Jika negara ini adalah negara hukum, setidaknya lebih menghormati proses hukum itu sendiri sampai tuntas. Bukan sentimen dan pemaksaan kehendak yang hanya melahirkan terpecah-belahnya kesatuan bangsa.

@losa terjal


Situs Habib Rizieq Diblokir, FPI-pun Mengecam

DUNIA HAWA - Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah memblokir situs resmi Habib Rizieq, habibrizieq.com dan sebagai akibatnya FPI berang dan mengecam keras. Kecaman keras tersebut, menurut Sekjen FPI Novel Bamukmin, karena website tersebut adalah media yang digunakan untuk berdakwah, untuk melayani umat. Kenapa harus diblokir? Ini dibalas oleh Kominfo yang menyatakan bahwa website tersebut diblokir karena dianggap membuat konten yang meresahkan. Pemblokiran tersebut dilakukan sejak 26 November lalu. Pemblokiran dari Kominfo dilakukan dengan meminta semua penyelenggara jasa internet, meski semua penyelenggara jasa diminta memblokir, tapi ada yang sudah melaksanakannya, ada juga yang belum. (Mungkin saja ini yang menyebabkan saya masih bisa mengakses websitenya. Apakah pembaca Seword juga sama seperti saya?)


Nah, mereka kembali membuat alasan yang sebenarnya bahkan orang awam pun sulit mencerna. Kalau untuk alasan dakwah, it’s ok. Itu tujuan mulia, berdampak pada banyak orang. Tapi yang tidak habis dipikir adalah isinya yang cenderung meresahkan masyarakat. Bukankah agama itu seharusnya menyejukkan masyarakat? Bukankah agama itu seharusnya mampu menjaga kerukunan antar masyarakat? Tapi kenapa isinya (memang tidak semua) ada yang cenderung provokatif dan seolah menebar kebencian? Tentunya logika ini terbalik dengan tujuan utama dakwah.

Mereka beranggapan website tersebut sudah ada dari dulu, dan mempertanyakan mengapa ketika ada kasus penistaan agama baru diambil tindakan. Dan satu lagi yang lucu, menurut mereka hanya pihak-pihak tertentu saja yang keberatan dengan keberadaan website tersebut. Pihak-pihak tertentu yang dimaksud adalah pendukung Ahok. Lagi-lagi Ahok yang diungkit.

Menurut analisis saya, sebelum Ahok terlibat kasus penistaan agama pun sebenarnya sudah seperti ini. Hanya saja situasi saat itu masih kondusif dan tidak meresahkan, tidak segila sekarang. Lihat saja sekarang keserahan makin menjadi-jadi dan jika tidak diambil tindakan maka dikhawatirkan provokasi tersebut makin meluas. Lagi pula Kominfo sudah memiliki pegangan berupa Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mulai berlaku Senin lalu sehingga berhak memblokir situs dan konten negatif. Tidak masalah jika ingin menyampaikan pendapat, karena setiap warga negara memiliki hak untuk itu. Kalau pernah belajar PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) tentu akan tahu bahwa salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kebebasan menyatakan pendapat. Tapi setahu saya tidak pernah ada yang namanya kebebasan menyebarkan kebencian apalagi provokasi. Saya sangat yakin dan bertaruh untuk itu.

Mari kita buat simulasi. Andaikan Anda berbicara di hadapan sekitar seribu orang, apakah semua orang tersebut akan setuju dengan Anda? Jawabannya adalah tidak. Sebaik apa pun Anda berbicara, tetap ada sebagian yang tidak setuju bahkan tidak suka. Begitu pula, seburuk, sekasar atau seprovokatif apa pun pernyataan Anda, tetap ada sebagian yang percaya dan setuju. Sebagian orang tersebut jumlahnya bisa dihitung pakai jari, sedikit atau bahkan banyak. Analogi lainnya, lihat saja teroris. Apakah tindakan mereka menurut Anda benar atau salah. Saya yakin sebagian besar akan menjawab salah, tapi saya berani bertaruh tetap ada sebagian yang mendukung. Kalau semua orang menentang maka tidak ada lagi teroris di dunia ini. Intinya tetap ada yang mendukung dan sebagian akan menentang, itu sudah hukum alam.

Nah, sekarang bagaimana dengan provokasi. Sedikit banyak pasti ada yang mendukung. Yang mendukung ikut memprovokasi ke yang lain, pastinya ada sebagian juga yang mendukung. Ini seperti rantai yang saling menyambung yang jika tidak segera dihentikan maka akan semakin panjang. Ini sudah seperti bisnis MLM, ada yang ikut, ada yang menolak. Yang ikut akan mengajak rekan dan orang lain untuk masuk MLM. Begitu seterusnya.

Tapi sepertinya pemblokiran website kurang begitu efektif, karena saya lihat sendiri sebuah website yang sudah diblokir malah berganti nama baru. Diblokir lagi, ganti domain lagi. Kejar-kejaran seperti Tom & Jerry. Begitu seterusnya kayak sinetron Indonesia yang panjang tak tampak ujungnya.

@shardy


Buat Ahok dan Umat Kristen ; Membandingkan Dua Kasus Penistaan Agama

DUNIA HAWA - Mencermati sejak awal dan perkembangan teranyar kasus Ahok tentang sangkaan penistaan agama dan ulama, imajinasi saya berkelana menuju kejadian sekitar dua ribu tahun yang lalu di Yerusalem. Massa yang sudah dipengaruhi oleh pemimpin-pemimpin agama, dengan teriakan keras akhirnya berhasil memaksa Pilatus untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seorang "penista" agama.


Tersangkanya adalah Yesus, pendakwanya adalah pemuka agama (bersama dengan massa) yang begitu membenci dan menyimpan dendam kepada Yesus karena kemunafikan mereka terkuak dan dibongkar habis oleh Yesus. Massa yang sudah terhasut oleh pemimpin agama kala itu, dengan garang menuntut Pilatus supaya Yesus disalibkan, suatu bentuk hukuman yang lazim bagi pelaku kejahatan berat di masa itu.

Yesus yang datang dengan misi dari Bapa-Nya, sebagaimana yang selalu Ia katakan kepada khalayak, akhirnya harus berhadapan dengan tuduhan penistaan agama dari pemuka agama, beserta massa dan saksi-saksi yang mereka ajukan.

Jadi kita tidak perlu heran, urusan penistaan agama ini sejak dahulu memang sudah kerap terjadi. Dalam beberapa kasus, tuduhan penistaan agama sering kali dipakai untuk "melenyapkan" orang, atau kelompok tertentu yang dianggap bisa mengganggu atau mengusik eksistensi dan kekuasaan dari pihak yang berseberangan dan menjadi seteru mereka.

Kasus yang dihadapi Yesus tentu tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Sebelumnya, Alkitab mencatat sudah ada upaya untuk "melenyapkan" Yesus oleh pemuka agama yang begitu dengki kepada-Nya. Upaya tersebut selalu gagal, namun  akhirnya mereka mendapatkan momentum ketika Yesus berada di Yerusalem, dan melalui tindakan dan perkataanNya, Ia pun dituduh telah melakukan penistaan agama.

Dari beberapa tuduhan, yang paling berat adalah perkataan-Nya menyangkut Allah dan Bait Suci, yakni ketika Yesus mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya, dan juga pernyataan-Nya yang menantang massa untuk meruntuhkan Bait Suci, dan klaim bahwa Ia sanggup  membangunnya kembali dalam tempo tiga hari.

Perkataan Yesus ini kemudian menjadi pintu masuk bagi para pemuka agama untuk menuduh dan mendakwa Yesus telah melakukan penistaan agama. Sebelumnya, guna menghalangi orang banyak tertarik  kepada Yesus, para pemuka agama ini berusaha meyakinkan mereka untuk tidak mempercayai Yesus dengan berbagai tuduhan yang mereka  dasarkan dari Kitab Suci, di antaranya:

1. Asal usul Yesus


Yesus bukanlah siapa-siapa, Ia bukan imam karena Ia bukan keturunan suku Lewi. Yang boleh menjadi imam haruslah Suku Lewi dan juga harus keturunan Harun, saudaranya Musa. Apa yang dilakukan  Yesus justru  melebihi para imam, dan guru agama. Bahkan Ia memberi tafsir Kitab Suci melalui pengajaran dan khotbahnya kepada khalayak yang sangat menyebalkan pemuka agama.

Nazareth, dari mana Yesus berasal, bukanlah tempat yang diperhitungkan dan tidak mungkin sesuatu yang baik berasal dari sana. Apalagi seorang pemimpin, sulit diterima bahwa seorang pemimpin berasal dari tempat yang tidak dipandang dan juga tidak ada petunjuk akan datangnya seorang pemimpin dari Nazareth. 

Walaupun Yesus lahir di Betlehem di Yudea akan tetapi, Ia tinggal dan besar di Nazaret, sehingga ia dikenal sebagai orang Nazareth (Nasrani). Hal ini dikarenakan pertimbangan keselamatan oleh Yusuf saat kembali dari pengungsian di Mesir, sehingga mereka memutuskan untuk menyingkir ke Nazareth, wilayah Galilea guna menghindari ancaman Herodes.

2. Otoritas Yesus


Ketika Yesus melakukan banyak mukjizat, asal dari kuasa-Nya dipertanyakan. Bahkan ketika Ia membebaskan seseorang  dari cengkeraman setan, Ia dituduh melakukannya dengan kuasa setan. Para pemuka agama menyimpulkan semau mereka  bahwa Yesus bukan  berasal dari Allah, karena Ia melakukan mukjizat di hari Sabat. Dengan demikian, sudah pasti  Yesus bukan berasal dari Allah, karena Ia tidak menghormati hari Sabat.

Sebenarnya, akar masalah kebencian dan kedengkian mereka adalah: mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Yesus. Kemudian, apa yang mereka ucapkan ternyata berbeda  dengan apa yang mereka lakukan, walaupun mereka selalu menutupinya dengan baju dan perkataan agama.

Keberadaan Yesus tidak bisa dibantah telah menyingkap kemunafikan mereka selama ini, dan juga dengan jelas telah membuka aib mereka yang selalu berhasil mereka tutupi dari pandangan umat dengan menggunakan baju agama.

Yesus melakukan  tindakan nyata, bukan hanya sekadar kata. Bahkan, Yesus telah melakukan banyak mukjizat---sesuatu yang mereka tidak bisa lakukan---yang membuat begitu banyak orang tertarik kepada Yesus. Hal ini mengakibatkan popularitas pemuka agama menjadi turun. Bahkan, sangat mungkin pada satu ketika, pemuka agama dipandang sebelah mata oleh umat.

Mereka sangat khawatir bahwa satu ketika, mereka  tidak lagi bisa memegang kendali atas umat, karena tidak lagi didengar. Mereka lebih mempercayai Yesus, yang bisa membuktikan kualitasNya yang sangat jauh beda dengan mereka.

Para pemuka agama hanya bisa berkata-kata, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Beda dengan Yesus, yang mempunyai kuasa untuk membuktikan apa yang dikatakann-Nya. Dan situasi ini semakin lama semakin menyebalkan mereka. Dan Alkitab mencatat, kebencian dan dengki mereka begitu hebat sehingga dalam beberapa peristiwa mereka berupaya untuk "menghabisi" Yesus.

Di samping alasan agama, penolakan terhadap Yesus juga disebabkan oleh alasan politik. Yesus  menolak keinginan kelompok massa untuk bisa mewujudkan ambisi politik mereka yakni mengusir penguasa Romawi yang saat itu memegang kendali atas bangsa mereka.

Yesus sama sekali tidak tertarik dengan hasrat politik mereka, sekalipun mereka sudah memberi isyarat untuk itu ketika Ia memasuki Yerusalem. Ia dielu-elukan oleh banyak orang dengan melambai-lambaikan daun palem, dan juga dengan kain dan pakaian yang dihamparkan layaknya menyambut seorang pemimpin atau raja.

Penolakan Yesus ini akhirnya membuat mereka berubah pikiran. Mereka yang sebelumnya mengelu-elukan Yesus, kini berubah dengan teriakan: "Hukum, salibkan Dia!" Alkitab mencatat, Pilatus, yang saat itu menjadi penguasa negeri tidak mampu menolak tuntutan massa, sekalipun ia tidak menemukan salah pada Yesus untuk hukuman sebagaimana yang dituntut para pendemo ketika itu. Pilatus pun cuci tangan dalam kasus ini.

Massa tersenyum puas karena mereka berhasil memaksa Pilatus memenuhi tuntutan mereka. Demikian juga dengan pemimpin dan pemuka agama, mereka sangat senang dan gembira, karena Yesus, musuh besar mereka berhasil dilenyapkan untuk selamanya dari panggung kekuasaan yang seharusnya menjadi wilayah mereka.

Dengan lenyapnya Yesus, tidak ada lagi yang akan mengusik dan mempersoalkan tindak-tanduk mereka dalam menjalankan apa yang selama ini sudah menjadi kebiasaan mereka.

****

Tentu kasus Ahok beda dengan Yesus, walaupun sama-sama menyangkut penistaan agama. Namun ada satu hal yang sangat perlu kita cermati atas apa yang sedang terjadi di kasus Ahok dalam kaitannya dengan hasil akhir dari drama hukum kasus ini.

Tentu tidak bermaksud mendahului proses hukum, namun mencermati perkembangan yang ada, bisa saja apa yang terjadi dan hasil akhir dari kasus penistaan agama di Yerusalem 2000 tahun yang lalu juga bisa terjadi di sini. 

Andai proses hukum ketika itu berjalan tanpa tekanan massa, Pilatus tidak akan pernah memutuskan Yesus bersalah dan disalib. Pilatus tahu bahwa Yesus tidak melakukan apa yang dituduhkan, yakni menista dan merendahkan agama. Substansi dari pernyataan Yesus adalah kritik terhadap pemahaman dan laku beragama mereka.

Dengan demikian, bukan agama yang dinistakan oleh Yesus, namun pemahaman dan laku beragama merekalah yang hendak dikoreksi oleh Yesus lewat berbagai tindakan dan pernyataan-Nya. Namun, mereka tidak menerima hal itu. Mereka tersinggung dan marah, ketika sisi terdalam di mana mereka bisa bersembunyi dan berlindung serta menyimpan kemunafikan mereka akhirnya dibongkar.

Catatan pengandaian: Bahwa peristiwa tersebut harus dipahami dengan mengesampingkan tafsir teologis tentang maksud kedatangan Yesus ke dalam dunia.

@omri l toruan


Mengulik Pesan Terselubung Aksi Damai 212

DUNIA HAWA - Terpaksa saya berpikir keras untuk mencari pesan-pesan apa yang hendak disampaikan melalui demonstrasi yang dibungkus dengan judul “Aksi Damai Bela Islam” Jilid 3 212 . Jujur, kepala ini rasanya mau pecah sebab nalar saya mendadak bengkok apabila saya terus mengikuti pola pikir Habib Rizieq, Imam Besar FPI.


Dalam banyak kesempatan, dilansir media pula, Habib Rizieq menyatakan, “Tujuannya tetap sama, tahan Ahok. Aksi bela Islam I tujuannya tahan Ahok, aksi bela Islam kedua tujuannya tahan Ahok, aksi bela Islam 3 tujuannya tahan Ahok.”

Tujuannya adalah tahan Ahok, tetapi bentuk aksi berbelok menjadi serupa kegiatan ibadah, maka di sinilah nalar saya menjadi bengkok.

Saya harus menerima fakta bahwa aksi 212 ini telah melibatkan kaum muslim dari berbagai daerah. Ciamis, Bogor, Bandung, Banten, dan lain-lain bergabung menjadi satu di bawah komando GNPF MUI. Saya baca media bahwa KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym) mengerahkan 10ribu santrinya untuk menjadi tim kebersihan dalam aksi. Tetapi saya baca pula bahwa PB NU menyerukan agar warga NU tidak terlibat dalam aksi.

Dicermati dari sini, aksi 212—sebagaimana pula aksi 411—tidak bisa dianggap sebagai aksi yang mewakili kaum muslim di negeri ini secara keseluruhan.  Dengan demikian, jika aksi 212 ini mengatasnamakan Islam dam kaum muslim, sesungguhnya tertolak oleh fakta bahwa tidak semua muslim sependapat dengan aksi tersebut di samping pula keseluruhan muslim di negeri ini jauh lebih banyak yang tak ikut.

Mencermati keadaan yang demikian, saya menemukan setidak-tidaknya ada dua pesan yang hendak disampaikan melalui aksi 212. Pertama, pesan politis. Pesan ini berupa tuntutan agar Ahok ditahan. Tak penting apakah bungkus aksi berupa kegiatan ibadah atau orasi, pesan agar Ahok ditahan adalah pesan yang selama ini memang terus diteriakkan oleh Imam Besar FPI.

Tuntutan agar Ahok ditahan bisa dipahami dalam dua konteks. Pertama, meminta agar Ahok ditahan sekarang juga sebab statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam konteks ini, makna “ditahan” berarti Ahok seharusnya tak bebas, tak hanya dicegah untuk tidak keluar negeri, tetapi ditangkap hingga waktu digelarnya sidang pengadilan. Kedua, meminta agar Ahok dipenjara. Dalam konteks ini, targetnya adalah Ahok bersalah, Ahok dihukum, dan Ahok dipenjara.

@taufiqurrahman sl-aziza


Diduga Makar, Sri Bintang Pamungkas Ditangkap

DUNIA HAWA - Aktivis Sri Bintang Pamungkas ditangkap di rumahnya di kawasan Cibubur, Depok, pada Jumat 2 Desember 2016. Penangkapan ini dilakukan karena pendiri Partai Uni Demokrasi Indonesia itu diduga melakukan makar.


Istri Sri Bintang, Ernalia mengatakan rumahnya didatangi puluhan anggota polisi yang mengaku dari Brimob sekitar pukul 06.00 WIB. "Ada puluhan Brimob dari Polda yang datang. mereka bilang tuduhan kepada bapak karena mau makar, menguasai negara Indonesia," kata dia.

Dalam video yang didapat, Sri Bintang Pamungkas tampak masih duduk santai mengenakan sarung warna hijau saat polisi mendatangi rumahnya. Ia kemudian dibawa dari rumahnya. Dalam video lainnya, tampak Sri Bintang mengepalkan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil polisi yang membawanya.

Ernalia mengatakan suaminya dibawa ke Markas Komando Brimob di Kelapa Dua Depok. "Bapak dibawa ke Kelapa Dua Brimob," katanya.

@tempo


Dikenai Pasal Makar, Ahmad Dhani dkk Terancam Penjara Seumur Hidup

DUNIA HAWA - Mabes Polri menangkap 10 orang termasuk Rachmawati Soekarnoputri dan Ahmad Dhani. Polisi menerapkan pasal tentang makar atau upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.


"Di antaranya dikenakan Pasal 107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP, juncto Pasal 87 KUHP," kata Karopenmas Mabes Polri Kombes Rikwanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (2/12/2016).

"Untuk Pasal 107 ancaman pidana seumur hidup," sambung Rikwanto.

Kesepuluh orang yang ditangkap yaitu AD, E, AD, KZ, FA, RA, RS, SB, JA, dan RK. Namun hanya 8 orang di antaranya yang dikenakan pasal tersebut. Sedangkan untuk 2 orang lainnya yaitu JA dan RK dikenakan Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal 107 KUHP berbunyi:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. 

Kemudian Pasal 110 KUHP berbunyi:

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain;

3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;

4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain;

5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali. 

Sedangkan, Pasal 87 KUHP berbunyi:

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.

@detik


Rachmawati, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zein dan Sri Bintang Dikabarkan Ditangkap Atas Dugaan Makar?

DUNIA HAWA - Rachmawati Soekarnoputri dan aktivis Ratna Sarumpaet dan Kivlan Zein serta Sri Bintang dikabarkan ditangkap atas dugaan makar pada Jumat (2/12/2016) dini hari.


Sejumlah tokoh nasional yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan NKRI dan berencana untuk meminta dilaksanakan Sidang Istimewa oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ditangkap polisi dengan tuduhan makar.

Salah satu yang ditangkap adalah  Rachmawati Soekarnoputri. Dia dijemput polisi dari rumahnya di kawasan Jatipadang, Jakarta Selatan, pada pukul 06.00 wib. Menurut kuasa hukumnya, Aldwin Rahardian, Rachmawati saat ini sudah berada di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. "Iya benar, ini saya sudah berada di Mako Brimo. Saya mendampingi Ibu Rachmawati," katanya, Jumat, 2 Desember 2016.

Ditambahkan Aldwin, Rachmawati sudah dibawa dengan tuduhan makar karena dengan sejumlah tokoh lain akan menemui Ketua MPR untuk memberikan maklumat agar segera dilakukan Sidang Istimewa. Rencananya akan datang setelah salat Jumat. "Dibawa dari rumah beliau di Jatipadang. Tuduhannya makar. Ini saya baru tiba," katanya menambahkan.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar mengakui ada penangkapan terkait kegiatan makar. Namun, Boy tidak menjelaskan siapa-siapa saja yang ditangkap karena tuduhan makar ini. “Ada delapan orang yang diamankan. Masih diperiksa di Polda Metro Jaya,” katanya.

Seperti dalam jumpa pers yang digelar di Hotel Sari Pan Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Desember 2016, Rachmawati akan ke MPR untuk memberikan resolusi atau maklumat pada MPR agar segera melakukan Sidang Istimewa untuk mengembalikan UUD ke UUD 1945 yang asli.

Ia pun memastikan tidak akan mengikuti aksi doa dan salat Jumat berjamaah di kawasan Monumen Nasional (Monas). Meski begitu, dia tetap mendukung aksi mengawal kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama itu. "Saya enggak datang ke Monas. Tapi saya dukung aksi tersebut," katanya.

Menurutnya, saat ini UUD 1945 hasil amandemen melahirkan sistem politik dan ekonomi yang liberal. Hal ini justru akan mempersulit Presiden Jokowi menjadikan bangsa mandiri layaknya Trisakti, seperti yang telah digagas Soekarno. 

"Komitmen Jokowi untuk menciptakan Indonesia yang berdaulat dan bebas dari ketergantungan asing tidak akan pernah terwujud. Sulit dilakukan jika kita masih terjebak dengan payung konstitusi bangsa saat ini yaitu UUD 1945 hasil amandemen," katanya.

Ia juga mempersilakan masyarakat yang ingin bergabung pada aksi tersebut. Namun, ia menyebut ada 10 hingga 20 ribu orang yang akan mengikuti dirinya ke MPR. "Selesainya aksi di Monas dan berjalan ke MPR di bawah komando saya, Rachmawati, untuk mengembalikan UUD ‘45 dan otomatis itu menegakkan proses hukum Ahok," katanya.

Ia pun mengaku sudah mengontak pimpinan MPR atas niatnya tersebut. Namun belum mendapatkan jawaban. Meski begitu, dia tetap akan datang untuk menyampaikan perlunya UUD 1945 kembali ke awal. “Saya minta pimpinan MPR memberikan respons. Mestinya rumah wakil rakyat memiliki respons yang tinggi. Kami akan melakukan aksi di luar gedung dan meminta pimpinan MPR keluar," kata Rachmawati.

Ratna Sarumpaet Ditangkap, Rekan: Katanya Polisi Sudah Punya Bukti

Ratna Sarumpaet dikabarkan ditangkap polisi bersama sejumlah aktivis lainnya seperti Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, dan Sri Bintang Pamungkas. Mereka ditangkap dinihari tadi.

"Ini lagi dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua. Saya lagi di lokasi dampingi," kata rekan Ratna, Inge Mangundap kepada wartawan di Jakarta, Jumat (2/12/2016).

Inge mengungkapkan, ketiganya ditangkap atas tuduhan makar. "Katanya polisi udah punya bukti," ujar wanita yang juga aktivis sosial ini.

Inge sendiri belum tahu status ketiganya, apakah sebagai saksi atau tersangka. "Polisi bilang alat bukti sudah lengkap. Tapi saya enggak tau apa udah tersangka atau tidak," tutupnya.

Selain nama Rana Sarumpaet, Rachamawati, Kivlan, dan Sri Bintang Pamungkas, nama aktivis lain yang juga dikabarkan ditangkap adalah Adityawarman serta Rizal. Namun hingga kini, pihak kepolisian belum bisa dikonfirmasi terkait kabar penangkapan ini.

Inge Mangundap Aktivis Perempuan yang juga kerabat Ratna membenarkan hal itu. Ia menjelaskan rekannya dan sejumlah tokoh nasional itu dibawa ke Mako Brimob.

"Ini lagi dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua. Saya lagi di lokasi dampingi," katanya di Jakarta.

Inge mengungkapkan, rekannya itu ditangkap atas tuduhan makar. Polisi berani menciduk Ratna Cs karena punya bukti yang kuat.

"Katanya polisi udah punya bukti," ujar wanita yang juga aktivis sosial ini.

Meski demikian, Inge mengaku belum tau status ketiganya, apakah sebagai saksi atau tersangka.

"Polisi bilang alat bukti sudah lengkap. Tapi saya gak tau apa udah tersangka atau tidak," tutupnya.

Hingga kini, pihak kepolisian belum bisa dikonfirmasi terkait kabar penangkapan ini.

@suara netizen