Wednesday, November 30, 2016

Dirgahayu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)

DUNIA HAWA - Berdiri pada 1956, UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), yang terletak di “kota suejuk” Salatiga, Jawa Tengah, ini, menyimpan “sejuta kenangan” tersendiri buatku. Di kampus inilah dulu saya untuk pertama kalinya mempelajari dan “membaca” agama dari perspektif ilmu-ilmu sosial di Program Paskasarjana Agama dan Masyarakat (Sosiologi Agama). 


Kala itu, alasan kuat untuk belajar di UKSW, antara lain, karena saya “agak bosan” belajar Islam dari sudut pandang “Islamic Studies” yang lebih menekankan pada “otoritas teks”. Atau, katakanlah, melihat dan mengkaji Islam dari perspektif teks-teks keislaman dan “ilmu-ilmu keislaman” saja (fiqih, ushul fiqih, tafsir, aqidah, dlsb) tanpa melibatkan perangkat ilmu-ilmu sosial dan humanities (sosiologi, sejarah, antropologi, dlsb). Selama kurang lebih 7 tahun saya belajar Islam dalam bingkai “Islamic Studies” tadi waktu saya kuliah S-1 di IAIN (kini UIN) Walisongo, Semarang, plus beberapa tahun di pondok pesantren dan madrasah.


Alasan lain, saya ingin mengetahui dan melihat lebih dalam “daleman” kelompok Protestan, yang memang waktu itu masih jarang saya “gauli”. Sebelumnya, saya sudah sangat akrab dengan komunitas Katolik di Semarang, dan lama membangun kerja sama antar-agama dengan mereka. Almarhum Romo Pujo (Pujasumarta), mantan Bapa Uskup Semarang, adalah salah satu sahabat karibku. Tetapi dengan umat Protestan belum banyak kenal. UKSW-lah yang menjadi “pintu masuk”-ku mengenal lebih dekat, lebih dalam, dan lebih jauh dengan warga Kristen Protestan. Hingga kini saya menggalang persahabatan dengan mereka dari Sabang sampai Merauke. 


Berbekal “surat rekomendasi” dari (almarhum) Prof. Dr. Ahmad Qodri Azizy (mantan Rektor IAIN Walisongo & Dirjen Kemenag RI), saya nekad melamar program S2 di UKSW dengan modal keuangan ala kadarnya. Maklum, waktu itu saya adalah termasuk golongan “sarjana pengangguran” yang “hidup segan mati tak mau”. Meskipun “kere-njere” (miskin buanget), saya punya tekad baja untuk sekolah. Istilahnya, “biar miskin asal sombong” he he. Pokoknya sekolah, urusan duit belakangan. Setiap sekolah, selama dua tahun, saya naik bus ekonomi bolak-balik dari Ngaliyan, Semarang (tempat saya indekos) ke Salatiga, sampai hafal para pengamen bus yang kadang nyambi jadi tukang copet yang menyebalkan.      

Meskipun megap-megap sekolah karena kendala keuangan sampai tiga semester “utang SPP”, saya akhirnya bisa lulus juga. Alhamdulilah ya bos. Makan saja susah apalagi bayar SPP. Terima kasih kepada sejumlah pihak yang telah berbaik hati “menyelamatkan” saya waktu itu dari “lubang kegelapan”, termasuk Pak John Titaley (Rektor UKSW), Pak Mesach Krisetya, dan almarhum KH MA Sahal Mahfudh (Mantan Ketum MUI dan Rais Am PBNU). 

Terlepas dari “problem keuangan” yang saya hadapi waktu itu, yang jelas UKSW adalah kampus yang memberi kontribusi luar biasa bagi “karir perkembangan intelektualku”. Melalui UKSW, saya bisa dan menjadi terbiasa menganalisis persoalan sosial-keagamaan dari berbagai sudut pandang. UKSW pula yang “melengkapi” pemahamanku dalam “membaca” dan “mengkaji” Islam dan keislaman, yang tidak melulu dari perspektif “Islamic studies” tadi tapi juga dari kacamata ilmu-ilmu sosial sehingga lebih “terbuka dan komprehensif”. Kelak, saya memperdalam lebih lanjut dasar-dasar ilmu sosial yang saya peroleh di UKSW ini waktu studi program doktor di bidang Antropologi di Boston University, Amerika Serikat.

Selamat ulang tahun ke-60 UKSW. Semoga engkau tetap jaya sepanjang masa mengawal agama, bangsa, dan negara Indonesia tercinta.        

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Begini Pembelaan Ahmad Dhani Mengenai Tuduhan Hina Jokowi

DUNIA HAWA - Ahmad Dhani sempat mengeluarkan perkataan kontroversialnya saat orasi dalam unjuk rasa 4 November lalu. Sepertinya semua pembaca sudah tahu apa isi orasinya. Buntut dari perkataan tersebut membuat Perwakilan Laskar Rakyat Joko Widodo (LRJ) dan Pro Jokowi (Projo) melaporkan Dhani karena diduga melecehkan kepala negara dan menyerahkan bukti visual berupa video.


Namun Dhani mengatakan dia tidak bermaksud menghina Presiden Joko Widodo. Menurutnya, unjuk rasa itu bertujuan meminta pemerintah menuntaskan proses hukum terhadap Gubernur nonaktif DKI Ahok terkait dugaan penistaan agama Islam. Ditemani oleh wakil ketua DPR Fadli Zon, Ahmad Dhani mengatakan orasinya justru bertujuan mengedukasi peserta. “Saya ingin bilang ****** tapi tidak boleh. Saya ingin bilang **** tapi tidak boleh,” katanya saat mengulangi petikan orasinya. Ia mengaku ingin mengedukasi massa demonstran yang berteriak melontarkan hinaan kepada Jokowi. Ia menyebutkan orasinya hanya untuk mengingatkan orang-orang di bawah podium untuk tidak berkata seperti itu.

Saya PAUSE sebentar.

Saya sempat bingung membaca statement ini. Saya sempat berpikir cukup lama bagaimana statement tersebut bisa mengedukasi masyarakat. Saya juga sudah melihat videonya, dan terus berpikir dengan cara seperti apa pernyataan tersebut bisa memberikan sebuah pelajaran. Apakah dia ingin memberi edukasi dengan menghina Presiden, lalu lantas diproses hukum, sehingga semua orang bisa melihat dan tahu beginilah akibatnya kalau menghina kepala negara? Mungkin pembaca bisa membantu saya memberikan opini untuk ini.

Lebih lanjut lagi, Dhani tidak akan tinggal diam dan akan melakukan perlawanan jika pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Salah satu faktornya adalah dia sempat dihubungi ahli pidana yang diperiksa penyidik, dan menurut ahli tersebut pernyataan Dhani tidak mengandung unsur pidana. Selain itu Fadli Zon juga membela Dhani dengan mengatakan, “(Dhani) tidak sebut nama, Presiden mana, Presiden Zimbabwe atau Presiden Kuba? Secara pidana itu tidak ada. Tidak perlu ada kriminalisasi terhadap kasus seperti ini.”

Saya STOP di sini.

Saya tidak akan men-judge apa yang dilakukan Dhani karena saya bukan Hakim atau Jaksa. Biarlah ini menjadi urusan pihak kepolisian. Sekarang saya akan membahas pelajaran penting di balik ini. Kita tutup pembahasan mengenai dia.

Andaikan saya melontarkan hinaan kepada Presiden seperti itu, apakah itu etis? Jika saya tanyakan kepada para pembaca, saya yakin semua akan menilai saya keterlaluan atau salah besar. Hinaan, apalagi kepada seorang Presiden tentunya sangat tidak sesuai dengan norma-norma adat ketimuran. Bahkan setahu saya, orang barat saja tidak sembarangan mengeluarkan statement berupa hinaan dengan kata-kata kasar pada kepala negara.

Presiden adalah seorang kepala negara. Kita sebagai warga negara ibarat anak yang sesudah seharusnya menghormati kepala negara yang dalam hal ini ibarat orang tua kita. Anak seperti apa yang memaki orangtuanya sendiri, apalagi di depan umum dan dilihat banyak orang? Seburuk apa pun seorang Presiden, toh beliau dipilih oleh lebih dari sebagian besar rakyat Indonesia. Mau mengkritik diperbolehkan. Negara tidak melarang seseorang untuk berunjuk rasa, mengkritik pemerintah dan menyampai aspirasi. Mengkritik silakan, tapi kalau memaki-maki dan mengatai dengan kata-kata kasar? Jujur saja, Indonesia termasuk negara yang memberikan kebebasan bagi warganya untuk menyatakan aspirasi, tapi sayangnya makin hari makin parah dan menjadi-jadi. Bebas malah disalahartikan bisa sesuka hati seolah Indonesia adalah milik sendiri. Mungkin hanya Indonesia satu-satunya negara di mana warganya bisa bebas sesuka hati mem-bully, mencaci, bahkan menghina Presiden. Di negara lain kita tidak bisa bebas seperti itu. Bahkan di beberapa negara, kalau kita menghina dan memaki kepala negara, kita akan babak belur bahkan lenyap dari peredaran Bumi.

Bagaimana kalau hal-hal seperti ini terdengar oleh dunia internasional? Bukankah yang malu adalah diri kita sendiri. Tentu saja akan timbul opini bahwa pemerintah kita memble, tidak berwibawa dan dijadikan bulan-bulanan warganya sendiri. Bagaimana kalau kita keluar negeri, lalu ditanya di mana kita berasal dan kita menjawab Indonesia, mereka akan teringat seperti ini, “Oh, Indonesia, ya? Yang Presidennya sering di-bully dan dihina itu, kan?” Bagaimana perasaan kita? Yang malu juga kita sendiri.

Hal seperti ini pasti akan menyebar dengan mudah, bagaimana kalau hal-hal seperti ini dipelajari anak-anak? Mereka sedikit banyak pasti akan berpikir bahwa menghina kepala negara adalah wajar-wajar saja. Seperti itukah edukasi yang ingin kita berikan? Kalau TIDAK SUKA pada Presiden, silakan kritik, silakan unjuk rasa. Kalau SANGAT TIDAK SUKA, jangan pilih lagi pada Pilpres berikutnya. Tapi tolong jangan pakai makian dan lontaran kata-kata kasar.

Bagaimana menurut Anda? Silakan beri komentar!!
(Perbedaan pendapat adalah hal biasa. Jika tidak setuju, mari berdebat dengan sehat. Tunjukkan pada pembaca lain bahwa di Seword, perbedaan pendapat ditindaklanjuti dengan debat yang positif, membangun dan edukatif, bukan saling hujat dan caci).

Salam Entahlah,

@xhardy


Secangkir Kopi Sasetan

DUNIA HAWA - Akhirnya terpenuhi juga rasa penasaran untuk ngopi bersama Ahok kemaren pagi...

Diantara riuhnya suara yang datang memenuhi rumah Lembang, mata saya mencari-cari karakter Ahok yang asli. Kemana dia pergi? Ah, penasaran ingin kugali lagi...


Dan aku merasa berhasil, melihat daya ledaknya yang masih tinggi. Auranya mendominasi sehingga siapapun yang berada didekatnya terdiam dan berusaha mendengarkan..

Aku hanyut dalam pemikiran, menikmati semua kata kata yang dilontarkan dan berusaha tersadar, bahwa Ahok sebenarnya sudah bukan milik Jakarta lagi. Ia sudah menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Ahok - mungkin - tanpa ia sadari, sudah menjadi representasi etnis, ras dan agama yang selama ini terpinggirkan. Ia menjadi wakil dari suara suara yang selama ini merasa minoritas, bukan hanya dalam skala statistik saja tapi juga dalam masalah kesempatan.

Ahok menjadi paramater harapan bagi mereka yang ingin mendapat perlakuan yang sama dalam demokrasi. Ia juga sekalian ujian, mampukah kita yang selama ini berteriak keadilan menerapkannya dalam sebuah tindakan?

Sudah waktunya Ahok menyadari itu...

Ia sudah harus berfikir lebih besar dari hanya sekedar wilayah Jakarta. Ia seharusnya sudah menyadari bahwa dirinya sekarang adalah Duta kebhinekaan. Ia seharusnya sudah mengamati bahwa banyak orang menggantungkan harapan padanya bukan hanya karena apa yang sekarang ia kerjakan, tapi seberapa bisa ia menjadi wakil yang mereka harapkan.

Dan seorang wakil tentu mempunyai standar yang jauh lebih tinggi dalam perilaku dan tindakan...

Jika Ahok memahami ini, tentu ia tidak harus terdiam, yang terlihat seperti transformasi yang dipaksakan. Ketika ia memahami ini tentu ia tidak harus melawan keras dirinya sendiri tetapi berfikir ke arah yang jauh lebih luas bahwa ia punya kewajiban sebagai seorang yang lebih menenangkan, seorang yang bijak yang bukan hanya pandai berperang tetapi juga mampu membuat suasana lebih tentram.

Rangkullah semua elemen ras, etnis dan agama untuk berperang bersama, karena tidak ada yang mampu menang sendirian. Libatkan semua untuk berfikir bersama bahwa perang melawan budaya salah yang selama ini dipelihara, tidak harus selalu dengan pedang, tetapi yang lebih penting dengan ajakan.

Sekali sekali duduklah dengan tenang dan dengarkan apa yang ingin mereka sampaikan. Tenang bukan diam, tetapi mengatur ritme dengan kontrol diri yang penuh penguasaan.

Jika sudah memahami dan mencapai level ini - saya yakin - tidak tertutup jalan untuk menjadi orang nomer 1 negeri ini suatu hari nanti. Jika bukan dirimu, setidaknya apa yang kau lakukan sekarang, bisa menjadi pondasi generasi muda nanti.

Dan jika dirimu berhasil bertransformasi dengan benar, aku sendiri yang akan datang membawakan kopi asli medan dan bukan lagi kopi sasetan.

Sudah sasetan, ngutang lagi. Sungguh mengharukan...

Terimakasih sudah mengundang kami di rumahmu tadi. Salam hormat dari kami anak Medan..

Nb :

Besar kali rumah itu, sempat ku pegang pegang tadi. Teringat pulak omak yang jadi inang inang. "Mak o mak.. mampirlah kesana.. kita jualan nanti disitu... rame kalipun.."

@denny siregar


Melindungi Para Ulama

DUNIA HAWA - Pada waktu diskusi buku di rumah Lembang kemarin, ada bahasan menarik...

Seperti pernah kita bicarakan di status, bahwa salah satu pola yang dijalankan untuk menjadikan Indonesia seperti Suriah adalah dengan pengkotakan ulama.


Dibalik video parodi "Jangan ditiru.." yang sempat viral beberapa waktu lalu, saya sebenarnya ingin menyampaikan pesan yang dalam terhadap pernyataan "Sesalah sakahnya ulama adalah sebaik-baiknya kita..".

Pernyataan itu tidak salah, yang harusnya ditanyakan adalah ULAMA yang mana?

Karena di dalam Islam sendiri ulama dikenal berada pada 2 kategori, yaitu ulama pewaris Nabi dan ulama su' atau ulama jahat.

Nah, yang berbahaya adalah klaim "Ulama pewaris Nabi" pada ulama ulama yang sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan perilaku Nabi. Ulama yang ketika berbicara sangat kasar, kehidupannya sangat duniawi, yang selalu memprovokasi dan jauh dari ketentraman. Orang orang muda yang seperti ini yang malah dijadikan "ulama" dan diikuti semua perkataannya..

Sedangkan ulama yang sebenarnya, malah dicaci maki ketika mengatakan sesuatu yang benar menurut ilmu agama yang dimilikinya.

Ini sudah masuk pada sinyal merah, tanda bahaya. Peristiwa pencacian terhadap ulama karismatik NU seperti KH Mustofa Bisri ( Gus Mus ) dan KH Maemun Zubair ( Gus Maemun ) oleh orang orang yang bahkan ilmu agamanya masih secetek got mampet, itu sudah menjadi alarm yang keras.

Beruntung NU sigap dan langsung mengamankan para pencaci dalam bentuk menegur sampai membawanya bertemu kepada para sepuh itu untuk minta maaf. Ini sangat penting, karena ada pesan keras yang harus disampaikan kepada khalayak luas "Ulama mana yang selayaknya diikuti.."

Perlindungan terhadap para ulama menjadi bagian penting dari sebuah perang proxy sesudah beberapa waktu lalu kita melihat KH Said Agil Siradj dan KH Quraish Shihab sempat difitnah sebagai Syiah dan dicaci maki pula.

Disinilah saya sangat menghargai NU yang tanggap akan situasi berbahaya ini. Bahkan Banser sudah menyiapkan 112 ribu personel yang siap mengamankan situasi ini berdasarkan UU ITE baik itu di darat maupun di dunia maya.

Hal yang - maaf - justru belum saya temui di Muhammadiyah ketika ulama mereka Buya Syafii Maarif di hina-hina. Kemana Muhammadiyah? Kenapa banyak petinggi di dalamnya tidak melindungi beliau?

Memang perlu diwaspadai situasi ini karena ini bukan kecelakaan, tetapi memang sudah dirancang jauh sebelumnya. Aura kebencian pada ulama yang benar dan kefanatikan pada ulama yang salah, sudah dibangun sejak lama salah satunya melalui jaringan televisi.

Perhatikan siaran agama di televisi televisi nasional. 

Benarkah siaran agama itu benar benar murni dari ide produser acara stasiun itu sendiri? Ataukah ada yang membeli slot slot acara supaya pembeli bisa mengatur dan mengarahkan, siapa ustad yang ditampilkan dan bagaimana dakwah diberikan?

Sebagai contoh acara pada waktu itu Khazanah di Trans TV yang mengatakan Maulid Nabi itu bidah.

Pernyataan ini sempat menimbulkan gejolak dan mengarahkan pandang Islam sesuai versi pembeli slot acaranya. Meskipun ada permintaan maaf dari pihak televisi, coba fikirkan.. benarkah semua itu hanya kesalahan belaka atau memang bagian dari sebuah rancangan untuk mengarahkan persepsi pemirsa yang rata rata awam terhadap agama Islam?

Sungguh Indonesia ini darurat sertifikasi ustad dan ulama. Jangan serahkan lagi gelar ini kepada masyarakat, karena masyarakat kita masih belum paham mengklasifikasikan mana yang benar benar ulama.

Semoga NU menjadi yang terdepan dalam menyikapi ini demi keutuhan negara kita. 

Jangan sampai ulama ulama yang benar di negeri ini bernasib seperti Syaikh Ramadhan Al Bouthi di Suriah, yang harus dibungkam dengan bom bunuh diri hanya karena berkata tentang persatuan...

Mari kita angkat cangkir kopi ini..

@denny siregar


Botol Air Mineral Disangka Miras Ramai Dibahas di Medsos

DUNIA HAWA — Netizen sedang ramai membahas botol air mineral lokal bermerek Equil di media sosial. Berwarna hijau dan berbahan kaca, botol tersebut disangka botol minuman keras.


Setidaknya, beberapa orang memiliki persepsi demikian sehingga menjadi pembahasan panjang dan masuk trending topic Twitter wilayah Indonesia, Selasa (29/11/2016).

Semua bermula dari foto dokumentasi rapat jelang Final Piala Presiden di Balai Kota DKI Jakarta pada pertengahan Oktober 2015. Rapatnya memang sudah setahun lalu, tetapi fotonya diangkat kembali oleh seorang netizen sehingga jadi ramai.

Rapat itu dihadiri Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal (sekarang Kapolri) Tito Karnavian, dan Ketua Steering Committee Turnamen Piala Presiden 2015 Maruarar Sirait.

Ketiganya tampak sedang mengobrol santai. Di meja mereka tersaji makanan dan minuman botol berwarna hijau. Lantas ada netizen yang berasumsi bahwa minuman botol itu tak lain adalah minuman keras.

"biar foto yang berbicara...
atas ketidak adilan yang terjadi di Indonesia. 
acara minum2 MIRAS bersama. akibat sering gaul sama aHOK.
.
hukum hanya tajam kebawah
tumpul keatas."


Begitu kutipan status Facebook akun bernama Jack. Status itu sendiri diunggah pada Kamis (24/11/2016) pekan lalu, pukul 17.08. Screenshot status tersebut kemudian disebar ke ranah media sosial lain, salah satunya Twitter.

Asumsi Jack nyatanya keliru, sebab botol yang ada di atas meja Ahok, Tito, dan Maruarar saat itu tak lain adalah botol air mineral Equil. Air minum tersebut memang kerap menjadi standar dalam rapat pejabat pemerintah.

Saat Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat Presiden RI, Equil sudah setia menemani rapat kabinet. Foto dokumentasinya pun masih ada dan dibagi ke Twitter oleh seorang netizen bernama @wito_karyono. 

Pengguna akun @wito_karyono heran karena pada zaman SBY tak ada yang bilang bahwa Equil itu botol miras. Paling tidak, status semacam yang dikeluarkan "Jack" seharusnya tak muncul di ranah maya.

Bukan cuma @wito_karyono yang heran dengan anggapan Equil sebagai botol miras. Netizen lainnya berbondong-bondong menulis status soal keprihatinan dan keheranan mereka. Ada pula yang melontarkan kicauan bernada sindiran yang berbau guyonan.

Ada pula yang berusaha menjelaskan bahwa Equil itu bukan miras. Salah satunya ditulis oleh pengguna akun @hansdavidian, "Ada yg tetep ngotot tu Equil miras soalnya tutup botolnya kuning bukan putih. Mas, mbak itu kuning penanda jenis sparkling".

Setelah ramai disebutkan bahwa Equil itu bukan miras, ada yang mengganti topik dengan menyayangkan penggunaan produk impor. Padahal, Equil sendiri merupakan produksi dalam negeri, tepatnya dari daerah Sukabumi, Jawa Barat.

Klaim tersebut pun langsung ditanggapi para netizen di Twitter. Salah satunya dikicaukan oleh Yulia Suryan. "Aer mineral Equil itu sumber aernya dr gunung salak, pabriknya di cimelati, sukabumi kampung gw, kl libur2 mau maen sana gw anter deh," tulis Yulia di akun @Yuliaa007.

Kicauan-kicauan seputar topik air mineral "hijau" ini masih ramai berseliweran di Twitter. Untuk melihatnya, silahkan cari dengan kata kunci, equil miras dan equil sukabumi di search.twitter.com.

@tekno.kompas