Friday, November 18, 2016

Dedi Mizwar yang Selalu Menangis

DUNIA HAWA -Tidak tahu kenapa, saya sudah tidak bisa menangis kalau Dedi Mizwar sudah menangis..


Mungkin karena ia terlalu sering menangis, entahlah.. Perasaan setiap saya membaca berita tentangnya, ia selalu menangis. Ia menangis karena hujan besar, menangis lagi karena banjir, dan ketika ada bencana ia kembali menangis..

Seperti kata seorang teman. "Nangis mulu, kapan kerjanya?"

Ah, temanku ini ngenyek. Siapa yang tahu kalau menangis mungkin sudah dijadikan hari wajib di Pemda Jabar. Atau menjadi bagian dari kurikulum pelajaran disana.

Atau setiap apel, komandan upacara memberikan komando, "Menangisss, grak!" Lalu semua karyawan Pemda menangis bersama. Mungkin juga ada pamflet di dekat musholla disana bertuliskan "Menangis adalah sebagian daripada iman.."

Saya jadi teringat seorang bapak yang selalu prihatin. Ada demo, prihatin. BBM naik, prihatin. Bahkan rasa prihatin menurun ke keluarga. Anaknya pun sekarang suka prihatin. Meski sang ibu menolak keras, "Tidak ada DNA di keluarga kami yang suka prihatin!!"

Seandainya kang Dedi mendengarkan cerita demo bela Islam, bisa lebih menangis lagi. Uang puluhan miliar beredar, hasilnya cuman tersangka. Mau bikin demo lanjutan eh jadwalnya tanggal tua. Akhirnya dimundurkan-lah di tanggal dua. Itu kesepakatan bersama. Biar sama sama ringan, demolah sehabis gajian.

Mungkin kang Dedi harus juga diberi marga Ginting. Biar menjadi seorang pemberani. Tapi nanti ada yang marah, tereak teriak di statusnya. Tersinggunglah dia... Trus di upload di statusnya, "Orang karo itu tidak pernah menangis, karena mereka toleran.." Hubungannya apa, coba?

Sekali-sekalilah kang Dedi muncul di berita dengan headline, "Wagub Jabar tertawa..". Atau tertawa itu di Jabar sudah susah? Karena separuh warganya tidak punya MCK. Mungkin juga, karena Jabar adalah provinsi dengan jumlah orang miskin terbanyak se-Indonesia. Padahal disana mau dibangun meajid termegah.

Tuhan, berilah kang Dedi keceriaan, seperti ketika ia berjoget di iklan. Tuhan kan Maha.. "Tinggal, lep.." semua selesai. Atau Tuhan sudah tidak adil? Jangan jangan ketika ditanya, Tuhan apa ciri orang yang selalu mendapat pertolongan? Jawabnya, "Yang ada badaknya.."

Ah, sudah mau pagi. Tidak bisa tidur lagi. Mau nangis kepadaMu, Illahi.. sudah tak mampu lagi. Lha gimana? Tiap hari ada aja kegagalan nalar yang bikin ketawa. Contohnya, ada ulama yang berapi-api bicara akhirat tapi ia sendiri cinta dunia....

Sudahlah, kang Dedi jangan menangis lagi..

Kapan kapan saya bawakan secangkir kopi. Saya ceritakan tentang Tuhan yang sudah kalah berkompetisi, dengan manusia yang semakin hari semakin suci.

Bahkan sekelas Tuhan pun, terpaksa mengungsi ke Banyuwangi...

@denny siregar

Parade Bhinneka Tunggal Ika


DUNIA HAWA - Sebagai bangsa yang besar kami malu jika yang terus menerus diberitakan di luar negeri adalah serangkaian Parade Kebodohan yang gemar berteriak : Bunuh, Bunuh, Bakar, Bakar dan sebagainya. Selama ini kami diam bukan berarti kami takut. Tapi sebagai umat yang lebih cerdas, dewasa dan waras kami malu jika melakukan hal semacam itu. Kami bukan anak kecil yang suka ngambek, suka merengek, suka teriak teriak jika kemauannya tidak dipenuhi dan ngamuk ga karuan kalo merasa tidak dilayani.

Itulah sebabnya tanggal 19 Novenber kami berniat mengadakan Parade Bhinneka Tunggal Ika yang rencananya akan diikuti oleh 100.000 peserta. Peserta berasal dari lintas etnis, lintas suku dan lintas agama yang masih peduli dengan kerukunan, keragaman dan persatuan. Kami ingin menunjukkan bahwa nilai nilai Pancasila dan NKRI masih lebih pas diterapkan di negeri yang plural ini daripada ideologi Khilafah yang hanya cocok bagi sebagian kecil kalangan saja.

Kami juga akan tampilkan berbagai busana adat dari berbagai daerah yang kaya warna dan bukannya cuma seragam putih-putih saja untuk menutupi hati yang menghitam. Kami akan tampilkan berbagai kekayaan budaya Indonesia seperti reok Ponorogo, kesenian, tarian, dan sebagainya dan bukan sekedar teriak teriak seperti orang kesurupan bawa batu dan pentungan sambil bakar mobil dan menjarah supermarket. Kami akan menghimbau pada persatuan dan kerukunan dan bukannya teriak tetiak : Bunuh, Bunuh, Bakar, Bakar....

Jadi biarlah semuanya menjadi jelas antara siapa yang waras dan siapa yang cuti kewarasannya.

Salam Bhinneka Tunggal Ika

@dh©

Mengukur Benar dan Salah dalam Politik Kita

DUNIA HAWA - Seharusnya peristiwa peristiwa yang terjadi dalam perpolitikan kita akhir akhir ini, membuat logika berfikir kita menjadi matang..


Benar dan salah terus dihadirkan dalam berbagai peristiwa supaya kita terus belajar. Tuhan memberi pelajaran kepada manusia bukan dalam sekali peristiwa, tetapi bertahap tergantung akal manusia menyerap dan memahaminya.

Pemaksaan kehendak oleh sebagian orang dengan mengatas-namakan agama ini, seharusnya bisa menjadi acuan. Bahwa ada yang "salah" dengan apa yang mereka lakukan. Kalau ada yang mengatakan "benar", logika berfikirnya tentu harus dipertanyakan.

Ini bukan tentang seseorang yang harus dibela mati-matian, karena individu itu bukan ukuran kebenaran. Seperti kata Imam Ali as, "Kebenaran bukan diukur dari individunya. Tapi ukurlah kebenaran dari kebenaran itu sendiri, baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya."

Petunjuk ini saja seharusnya sudah memberikan arahan, bagaimana mengukur kebenaran. Memang tidak ada manusia yang memegang kebenaran mutlak, tetapi setidaknya kita bisa memperkecil kesalahan.

Apakah pemaksaan kehendak itu benar? 

Tentu saja tidak, bagi mereka yang memahaminya dengan benar.

Benar itu adalah ketika kita menyerahkan semua prosesnya sesuai konstitusi yang disepakati bersama, bukan karena nafsu sebagian orang.

Berlakukah ilmu ini bagi semua orang?

Tidak, karena dalam diri manusia selalu ada bibit sombong yang rantingnya mengerucut pada kedengkian. Sombong karena ia merasa dirinya, agamanya atau mazhabnya benar dan akhirnya menjadi dengki sehingga ia sulit melihat kebenaran.

Sulit mendapat sudut pandang yang adil, ketika dada seorang dipenuhi kebencian hanya karena menerima informasi yang dia juga tidak pasti kebenarannya. Padahal seseorang sudah diingatkan untuk selalu tabayyun atau kroscek terhadap apa yang didengarnya sehingga ia terhindar dari kebencian terhadap suatu kaum.

Saya tidak berkata bahwa diri saya benar, karena kebenaran bukan hak saya. Tetapi setidaknya saya mengingatkan kembali konsep tentang kebenaran, supaya kita tidak terjebak untuk mengadili seseorang dengan ketidak-tahuan.

Ngopilah sebentar denganku, kawan.. biar kita seimbang, karena sejatinya seimbang adalah kenikmatan...

"Ada dua orang yang membinasakanku. Orang bodoh yang ahli ibadah dan orang alim yang mengumbar nafsunya.." Imam Ali as

@denny siregar

Rute Parade Bhinneka Tunggal Ika


Rute Parade Bhinneka Tunggal Ika
Patung Kuda/BI - Bunderan HI

Sabtu, 19 November 2016, 08.00-12.00WIB.

Pukul 08.00 Titik Kumpul dan Panggung di Bunderan Patung Kuda (Depan Bank Indonesia/BI, Gedung Indosat): acara kesenian, musik, orasi dan doa bersama lintas agama. Setelah itu akan bergerak Parade Bhinneka ke Bunderan Hotel Indonesia.

Untuk parkir mobil dan motor di Lapangan IRTI, Monas.

Busana: pakaian merah putih, pakaian adat, jangan membawa atribut parpol, ormas, kelompok dllnya.

Toilet tersedia, mohon jaga kebersihan, jangan buang sampah di jalan, tidak mengotori dan merusak fasilitas umum (taman, dllnya).

Jangan ragu hadir, mari tunjukkan pembelaan Anda pada kebhinnekaan Indonesia.

Kontak 
Robi +6289687917783
Umi Azalea ‪+6282111531304

@dh©

Panglima Front Betawi Bersatu Siap Tempur Bela Ahok

DUNIA HAWA - Ormas Front Betawi Bersatu menyambangi Rumah Pemenangan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/11/16).


Kedatangan mereka untuk bertemu langsung dengan calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok.


Front Betawi Bersatu (FBB) mendeklarasikan dukungan mereka kepada pasangan Basuki T. Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. Mereka juga menyatakan siap untuk mengawal rangkaian pelaksanaan pilgub DKI 2017.

Berseragam hitam-hitam dengan baret berwarna merah, mereka mendeklarasikan dukungan di posko pemenangan Ahok di Rumah Lembang, Jl Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/11/2016).

Presiden FBB Amirullah mengatakan mereka memutuskan mendukung Ahok karena melihat kinerja Ahok selama ini.

Organisasi masyarakat ini mengaku memiliki jutaan anggota dan siap memenangkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta.

Mereka juga meminta Ahok tidak takut menghadapi berbagai upaya yang akan menjegalnya.

"Kami punya masa 3 juta. Siap memenangkan Pak Ahok. Ada 1 juta KTP DKI. Jangan takut. Pokoknya kami siap memenangkan Ahok, siap mengawal," kata Presiden FBB Amirullah, Jumat (18/11/16).

Pria berusia 58 tahun ini mengungkapkan dukungannya ini bukan tanpa sebab.

 Dalam pandangannya, Ahok telah banyak melakukan perubahan selama memimpin DKI Jakarta.

Sehingga sudah cukup alasan baginya untuk mendukung mantan politisi Gerindra ini.

"Anggota kami sangat banyak, belum anak istri. Kami semua siap mendukung Ahok biar jadi gubernur lagi," tutupnya.

@merdeka

Mau Demo Kembali Ha Topeng Kepalsuan

DUNIA HAWA - Era Soeharto atau yang dikenal dengan rezim “orde baru” yang mengandalkan platform kekuatan militer serta Golongan Karya sampai runtuhnya kekuasaan itu sendiri, dan diakhiri dengan lahirnya kekuatan baru seperti “islam” (agama), begitu juga ICMI lahir dan diikuti segenap ormas islam seperti FPI. Maka hal ini bagi saya secara logica sederhana kekuatan yang menggunakan kata islam, sudah barang tentu akan dipakai dalam panggung perebutan dominasi kekuasaan, salah satunya mempolitisasi agama dalam hal ini “islam”.


Jika melihat sejarah, di orde baru islam direpresi seperti golongan jamaah islamiyah yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir dan Kyai Sungkar sampai harus pindah ke Malaysia. Namun setelah orde baru berakhir, terorisme berhamburan di Indonesia seperti Azahari, Noordin M Top, kasus Aceh, Poso, Papua, Jakarta dan sebagainya. Reformasi yang di dengungkan sebagai anti tesis bukan melahirkan sintesa keselarasan atau keharmonian tapi saling menghancurkan dan ini menjadi Demokrasi Liberal, yang membuat content radikalisme dengan mudah menjalar dan meluas.

Jika menelusuri sejarah lebih jauh tentang peran Agama dalam catur perpolitikan Indonesia, kita mengenal SI (Sarekat Islam), Tjokroaminoto dengan SI yang melahirkan tokoh seperti Kartuwiryo, Muso dan Ir. Soekarno, terpecah menjadi dua, merah dan putih, dan juga pernyataan Tjokroaminoto bahwa SI bukan sebagai organisasi politik melawan penjajahan Indonesia lagi.

Indonesia hari ini, fungsi dan eksistensi dari ormas keagamaan dan juga majelis ulama lupa akan perananya terhadap masyarakat. Hal ini menunjukan mereka yang pemersatu umat hanyalah sebuah retorika miris dan slogan semata. Sibuk agama di politisasikan hingga umat muslim sendiri di buat lupa akan kesadaran kelas, dalam hal ini menyangkut persoalan kehidupan yang kompleks khususnya “ekonomi”.

Dan bagi saya secara pribadi, kepemimpinan Jokowi justru telah berusaha dan lebih baik ketimbang kepemimpinan sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat dengan keseriusan beliau mengeksekusi trisakti dan Nawacita yang dimandatkan oleh bung Soekarno. Dengan pelan tapi pasti Jokowi memberdayakan BUMN di daya fungsikan sebagai pelopor dan pilar ekonomi, hal ini membuat saya salut dengan beliau, karena salah satu untuk menaklukan oligarki di sistem kapitalisme adalah dengan BUMN dan di sisi lain kesetaraan mengenai keadilan sosial yang tertuang dalam sila PANCASILA juga perlahan tapi pasti di wujudkan seperti harga BBM di Indonesia timur dan bahan pokok lainya.

Disini saya melihat Jokowi betapa bercita-cita untuk merealisasikan mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa seperti yang di bangun oleh Soekarno ataupun Pancasila dan UUD 45, seperti contoh sederhananya, mengangkat mengusut kasus-kasus aktivis ataupun wartawan yang tewas dan hilang, niat maaf terhadap korban pembantaian 65, membangun BUMN menjadi pilar ekonomi dan “holding”, tegas terhadap korporasi asing, kemurnian dalam merekrut CPNS, perintah terhadap menteri agar terjun kelapangan melihat realitas sesungguhya dan juga kebijakan-kebijakan lainya.

Dan hal ini membuatku berpikir betapa gila ormas keagamaan dan majelis ulama jika lebih mementingkan politisasi agama ketimbang menyatukan umat dan menyadarkan umat akan “kesadaran klas”, seharusnya mereka mendukung apa yang telah dilakukan oleh “sang presiden” untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang dengan pelan mulai dibangun.

Tapi malah menjadi seperti binaan krimanal para aktor politik untuk menumbangkan kekuasaan, sungguh hal ini telah memperlihatkan bahwa ormas keagamaan dan majelis ulama bukan pemersatu umat atau sebagai wadah musyawarah melainkan orang-orang biasa yang memiliki kepentingan keberpihakan dengan agama dijadikan senjata sebagai kekuatan.

Ibu-ibu jualan sayur pun mampu menganalisa hal ini “loh ahok sudah jadi tersangka, kok mau demo lagi bapak-bapak berjubah itu, kurang puas apa? seharusnya blak-blakan saja tentang apa yang diinginkan, Ahok atau Jokowi, jangan agama dan dakwah dijadikan seperti itu, ini menunjukan justru kalian lebih buruk dan lebih arogan seperti orang gak waras.”

Bagaimana kalian sebut membela agama, bagaimana kalian sebut membela islam, jika kedudukan ormas dan majelis ulama kalian lebih tinggi lebih berarti dari islam dan al qur’an itu sendiri, kalian benar-benar gawat darurat. Akal kami mampu mencari tuhan, tapi kami tidak seperti kalian yang menjadikan diri tuhan tuan-tuan lalu kemudian menghitung laba dan kursi kekuasaan.

Tuntutan terhadap si “A” agar menjadi tersangka telah kalian dapatkan, dan kini minta agar dia batal jadi calon gubernur, kemudian mau aksi kembali untuk menuntut si “A” ditahan, jika semua itu terwujud, tidak ada yang menjamin kalian merasa puas, karena yang kalian inginkan tidak sebatas itu dan untungnya kami tak mau bodoh apalagi dibodohin kalian, rakyat itu cerdas bung, Kalian harus lihat Anak yatim fakir dan miskin serta kaun yang terpinggirkan.

Kini ekonomi perlahan bangkit untuk mewujudkan kesetaraan dalam keadilan sosial itu, dan hal inilah yang membuat betapa cinta rakyat terhadap Jokowi dan Ahok. Sungguh gila jika MUI dan FPI lebih Keberpihakan pada aktor politik yang haus kekuasaan, seperti tampak “binaan kriminal”, dengan demikian kalian tidak punya hak untuk memutuskan rasa cinta rakyat terhadap pemimpinya, dalih “penistaan agama” hanyalah cerita usang atau berita basi yang diciptakan orang-orang modern bermental budak seperti kalian yang senantiasa mengatasnamakan agama.

“Lebih baik sadar klas ketimbang di politisasi agama” dan politik konspirasi yang dibangun oleh ormas keagamaan dengan aktor politik tidak akan mudah untuk menjatuhkan “sang presiden” meski “agama” dijadikan senjata, karena rakyat selain cerdas juga punya cinta dan harapan yang mendalam untuk kebaikan indonesia yang telah perlahan dan pasti dibangun dan diwujudkan oleh “sang presiden” yang belum mereka dapatkan pada kepemimpinan sebelumnya yaitu “SBY”.

Dan rakyat kini melihat si “SBY dkk berada dengan para Ormas keagamaan seperti MUI & FPI, dan hal ini mampu menjelaskan bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan, bahwa setiap action yang dilakukan adalah bukan sebatas “penistaan” melainkan kepentingan politik dan menegasikan kemaslahatan umat, tampak seperti “candu” dan melakukan pembohongan publik.

“Ha kalian mau demo kembali atas nama agama lagi, benar-benar berita basi dan sungguh bermental budak, karena rakyat sudah tahu tabiat kalian yang sesugguhnya yang bertopeng kepalsuan.”

Pak presiden kami cinta kebijakan-kebijakanmu, dirimu tidak sendirian, membangun tatanan hidup yang lebih baik dalam bangsa yang akan kau wujudkan dengan trisakti dan nawacita yang dimandatkan bung Soekarno serta menaklukan oligarki dalam sistem kapitalisme tak akan mudah terkikis hanya dengan Demo kembali para topeng kepalsuan, semua mendukungmu “sang presiden” dan selalu kagum akan jurus-jurusmu. Mereka yang bertopeng palsu itu akan pucat dan ketakutan karena para pengigau pun sudah siap dan menyatakan : “lawan”, dan semua mendukungmu.

Saya jadi ingat kedua filsuf, Marx terkenal dengan pemikiranya “konsep sosialisme dan agama adalah candu”, kemudian Nietszche terkenal dengan “konsep kehendak kuasa dan kematian tuhan” (jangan dikunyah mentah-mentah, karna luas artianya), yang pemikiran keduanya lahir dari kejamnya politisasi agama di zamanya yang dilakukan ormas dan lembaga keagamaan.

Di Indonesia ormas2 mengatasnamakan agama dan majelis ulama justru melahirkan suatu hal yang lebih gila, yaitu “seolah-olah menjadi tuhan, ya ya ya tuhanya tuan-tuan yang penuh kepalsuan” sungguh bermental budak dan gawat darurat, hal ini tidak membuat kami simpati justru sangat menjijikan.

Tak usah galau begitu wahai pak habib dan ulama di majelis, mau demo kembali ya silakan, demo kalian menunjukan betapa ketakutan kalian semakin terlihat, karena kepentingan yang di inginkan semakin sulit di dapatkan, jika agama adalah ”kebenaran” maka kalian akan tumbang, karena telah mempermainkan “agama” itu sendiri, sungguh ISU yang di bangun sangat kotor dan kotornya tampak jelas sekali. Dan Pasukan SBY yang juga dulunya terkenal akrab dengan Bush tak lain adalah golongan tua yang kini ketakutan karena prilaku yang mengacau perlahan-lahan mulai terbuka, oh my god saya lupa bahwa dia juga antek asing yang mau menjadi boneka untuk tahta.

Pernyataan habib untuk demo kembali dengan tuntutan bela agama (Ahok harus ditahan), sebaiknya habib tersebut dibawa ke “tabib” untuk diperiksa kejiwaanya, siapa tahu ada beberapa syaraf yang tidak berfungsi atau kejiwaanya sudah resah akut. Begitu juga para aktor politik di barisan tersebut sebaiknya di bawa ke dokter spesialis, karena selalu kelaparan, lapar yang tidak wajar, lapar akan kekuasaan. Arggggggg dengan kalian demo kembali ini semakin menunjukan kemenangan untuk Ahok. Dan akhirnya kalian tersungkur dan terperangkap di jaring sendiri, tapi kalian akan tobat atau tidak ya?. Haha Arghhhhhh

Oh gagak gagak hitam kini kau menukik dan mematuk sejarah, langit tak lagi biru, hitam pekat awan bergumul, di sini di Indonesia ini, Sandera politik, politik disandera, tokoh Agama di ormas dan di majelis ulama lantang suaranya dusta ketimbang cinta, kebebasan dijatah, Ohhhhh Mereka tak lagi waras senantiasa “pecah-belah kuasai”, jiwanya kesakitan, lebih parah dari sakit jiwa, kini rakyat lebih cerdas lebih peka… Ohhh mereka hanyalah orang pesimis, bermental budak menebar dusta dengan topeng-topeng kepalsuan.

Jadi jika kalian sudah menyatakan untuk demo kembali, maka Indonesia pun siap menyatakan untuk Bubarkan FPI. Pak tani mau mencangkul dengan tenang bung FPI bukan takbir rusuh dan hanya kepuasan urat syaraf yang penuh dusta. Mau demo kembali, ya silakan. Setelah itu jangan menangis jika kemudian rakyat membubarkan ormas kalian, karena rakyat bersatu tak bisa dikalahkan. Dan semua sudah benar-benar jenuh.

@losa

Prabowo Janji Tak Jegal Jokowi, SBY Bagaimana?

DUNIA HAWA - Kedatangan Prabowo ke Istana tidak bisa lepas dari rencana demo 2511. Meski secara kebetulan memang kedatangannya untuk membalas kunjungan Presiden ke Hambalang menjelang 411.


“Jadi, bukan untuk hadapi (isu demo tanggal) 25 (November), setiap saat ada ketegangan, kita bekerja keras untuk menyejukkan,” kata Prabowo.

Kata kuncinya adalah ketegangan dan menyejukkan. Ini mengkonfirmasi opini masyarakat bahwa kedatangan Jokowi ke Hambalang dan Prabowo ke Istana merupakan upaya menyejukkan ketegangan.

Bedanya, jika di Hambalang hanya muncul pernyataan sinyal positif dukungan Prabowo pada Jokowi. Tapi di Istana ada pernyataan jelas dan lugas.

“Saya tidak akan menjegal bapak (Jokowi), karena bapak merah putih. Jadi, kritik itu bagus asal tidak destruktif dan tidak mengarah kepada kekerasan,” ungkap Prabowo.

Pernyataan Prabowo ini menjawab isu yang sekarang sedang bergulir, melengserkan Jokowi. Jadi sekarang jelas bahwa upaya melengserkan Jokowi yang disuarakan oleh tukang demo FPI, sama sekali bukan instruksi atau kemauan Prabowo. Lalu pertanyaanya kemudian, siapa yang mau menjegal Jokowi? Siapa yang menggerakkan FPI? Soal modus-modus dan analisa, serahkan pada Pakar Mantan. Hoho

Begini. Jika ada bertanya siapa yang ingin menjegal atau melengserkan Jokowi? Maka jawabnya adalah Demokrat. Partai Cikeas ini menjadi satu-satunya partai yang bereaksi setelah Presiden Jokowi berikan keterangan pers pasca demo 411 dan menyebut aksi tersebut sudah ditunggangi aktor politik.

“Nanti kalau tokoh yang dimaksud tidak terbukti di pengadilan itu bisa berarti Pak Jokowi bisa di katakan mencemarkan nama baik dan kalau itu terjadi bisa masuk di pasal impeachment,” kata Syarief di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/11).

Pernyataan ini ada di hampir semua media mainstream. Demokrat menjadi satu-satunya partai yang menyinggung soal ancaman melengserkan Presiden Jokowi.

Oke lanjut. Ketika Presiden Jokowi menemui Prabowo, otomatis suasana politik jadi sedikit cair. Namun sebaliknya, SBY malah memprovokasi dan mengancam negara ini.

“Mari kita bertanya apa yang kita hadapi. Di Jakarta dan di wilayah lain ada protes. Itu semua pasti ada sebabnya. Tidak mungkin tidak ada, ribuan rakyat berkumpu untuk hepi-hepi, jalan-jalan sudah lama ga lihat jakarta, misalnya seperti itu. Barang kali merasa yang diprotes itu dan tuntutannya itu tidak didengar. Nah kalau sama sekali tidak didengar, sampai lebaran kuda masih akan ada unjuk rasa,” kata SBY.

Sangat jelas dan mudah dipahami bahwa hampir semua pernyataan SBY justru memanaskan kembali, padahal sebelumnya sudah didinginkan oleh Jokowi dan Prabowo. Saya enggan menyebutnya kebetulan bahwa SBY berikan keterangan curcol pers setelah Jokowi ke Hambalang. Saya melihatnya ini justru respon SBY melihat suasana yang mulai sejuk harus segera dipanaskan kembali.

Dengan kenyataan seperti ini, sulit bagi kita untuk tidak menyimpulkan bahwa SBY ingin agar situasi politik tetap panas. Sekalipun SBY membantah dokumen yang mengindikaskan dirinya aktor politik di balik 411, tapi siapa yang bisa membantah bahwa SBY memprovokasi suasana yang sudah didinginkan oleh Jokowi dan Prabowo. Siapa yang bisa bantah? Mari gunakan logka sederhana saja. Lalu pertanyaannya kemudian, untuk apa memprovokasi dan memanas-manasi jika memang tidak punya tujuan dan keinginan untuk menjegal Ahok dan Jokowi secara bersamaan melalui FPI?

FPI pasca 411 kemudian mendeklarasikan diri sebagai pendukung Agus Sylviana. Dengan alasan pemimpin muslim. Padahal Anies dan Sandi juga muslim. Siapa yang bisa bantah bahwa ini bukan soal Islam? Ini soal politik dan kekuasaan di balik jubah putih keagamaan.

Di saat saya sedang bertanya-tanya, pagi ini ada chat WA masuk terkait catatan Mas Andi Setiono Mangoenprasodjo. Supaya jelas, mungkin sebaiknya saya copas secara utuh:

BUNGKUS TUH MASALAH I


Secara pribadi saya tidak pernah mengejek atau mengomentari Soetan Batoegana (SB), sebetapapun pada masa jayanya ia sedemikian petentang petenteng di depan publik. Di luar saya sadar ia hanya sekedar pion, saya sudah iba sejak melihat tampangnya, yang seolah memakai topeng berlapis itu!  “Bungkus tuh masalah”. Seolah segala persoalan sedemikian mudah ditanggapi, diselesaikan secara ringkas. Berkali ia membelai partainya, yang sekalipun selalu berteriak: Katakan Tidak Pada Korupsi, tapi nyatanya satu persatu kader-kadernya dari yang tertinggi sampai terendah terciduk kasus maling uang negara. Itu di masa ketika partai-nya masih berkuasa. Tak luput, bahkan dirinya, diciduk di rumah mewahnya di Bogor yang sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Ironik, hanya istri-nya yang pasang badan membelai untuk dirinya.

Kemana para petinggi partainya itu? Si Pak Mantan, tentu masih ribet berpikir bagaimana kekuasaan sepuluh tahunnya tetap aman. Ia ingin dicatat sebagai Presiden RI pertama yang tidak berhenti atau diberhentikan di tengah jalan. Ini menjelaskan kenapa, ia sekarang justru bercita-cita menghentikan Presiden yang menggantikan secara konstitusional. Mega korupsi apalagi yang ia dustkan, mimpi buruk jadi maling uang rakyat itulah yang selalu menghantui kepalanya.  Orang pasti akan menganggap saya, sebagai orang yang selalu nyinyir terhadap SBY.

Tapi saya juga harus jelaskan bahwa saya bertahun-tahun mencatat, mendokumentasi dan menganalisis seluruh sepak terjangnya. Kelak buku ini kalau terbit akan saya juduli “orde los stang: 10 tahun mimpi buruk di bawah SBY.” Saya akan ungkapkan betapa buruk Indonesiaa di bawah si Raja Tega ini, lebih buruk dari 32 taun masa Orde Baru yang seolah dianggap sebagai periode paling gelap itu.

Untuk teman-teman, yang masih ada di dalam Partai Demokrat, atau hari-hari ini masih berani berkaok-kaok menjadi bampernya. Mungkin potret sakitnya SB (akibat kanker hati itu) yang dirawat RS Bogor menjadi peringatan. Siapa sosok buruk yang masih kalian belai itu. Sudikah si kebo itu menjenguk SB saat dirawat di RS atau setelah ia kembali ke LP Soekamiskin? Tidak sepadan dengan apa yang telah ia berikan untuk Pak Mantan itu! Not worth it!

Soetan Batugana, another long story. Fakta bahwa SBY tak mau menjenguk orang yang dulu mati-matian membela Demokrat, tak ada yang bisa membantah. Kalau opini negatif terhadap SBY kemudian dianggap berlebihan, itu pendapat masing-masing orang. Tapi bagi saya, memang hanya hati yang terlalu hitam, yang kemudian membiarkan teman seperjuangannya mendekam di penjara tanpa sedikitpun rasa prihatin.

Di luar soal Soetan, satu hal yang menarik dan kemudian mungkin bisa menjawab serangkaian pertanyaan mengapa SBY malah memprovokasi? Padahal Prabowo dan Jokowi sudah mendinginkan suasana. Mungkin jawabannya ada di catatan Mas Andi.

SBY ingin menjadi Presiden RI pertama yang tidak berhenti atau diberhentikan di tengah jalan. Ini menjelaskan kenapa, ia sekarang justru bercita-cita menghentikan Presiden yang menggantikan secara konstitusional.

Jika membuka beberapa catatan ke belakang, opini ini sangat masuk akal. SBY dalam banyak kesempatan, selalu membangga-banggakan dirinya memimpin 10 tahun. SBY selalu mengulang kalimat “kalau saya dulu” dengan penuh kebanggaan. SBY ingin tetap dikenang dan disanjung-sanjung. Dijadikan tokoh yang paling dihargai dan dianggap keberadaannya.

Tapi bagaimanapun itu hanya opini. Faktanya kita akan lihat beberapa hari ke depan. Apakah SBY akan melakukan keterangan pers lagi dan memanaskan suasana yang sudah dingin? Kalau saya pribadi memprediksi tak akan ada keterangan pers lagi. Sekalipun ada, SBY tak akan berani mengakui bahwa dirinya tak akan menjegal Jokowi. Sebab setiap kata yang keluar dari mulut SBY akan sangat titik-titik pada titik-titiknya.

Begitulah kura-kura

@alifurrahman

Tangkap dan Penjarakan Basuki !!! #2


DUNIA HAWA - Ekspresi kekesalan mereka cukup beragam dan pada akhirnya saya belajar banyak dari mereka-mereka ini. Yang paling terkini, sekitar dua hari yang lalu saya menerima pesan dari salah seorang kawan. Dia berterus terang begini:

“…Jujur aku lebih bahagia dan ngerasa lebih damai ketika aku gak beragama. Iya aku tau, Islam itu indah, tapi realita yang aku lihat justru kebalikannya. Justru temen-temenku, para Scientist dan Researchers yang kebanyakan atheist, mereka lebih waras dan humanis daripada yang mengaku beragama…”


Ada juga yang pernah mengirim pesan seperti ini: “…Sejujurnya mas, karena kasus Ahok, awalnya saya malah semakin benci Islam dan ingin masuk Agama lain. Bahkan teman saya bilang saya goblok dan tak tahu arti al-Quran jika membela Ahok…”.

Selain dua pesan ini masih banyak pesan yang lain lagi. Saya tak mungkin melampirkan semuanya di sini. Ini hanya sekadar bukti saja barangkali ada di antara ustaz-ustaz yang meragukan apa yang saya sampaikan tadi.

Sekarang izinkan saya bertanya kepada para pembela kitab suci: Apa kira-kira kesan yang pertama kali mendarat di kepala anda ketika menyimak pesan-pesan semacam ini?

Orang yang pura-pura waras tentu tak akan peduli. Tapi, setidaknya kalau kita masih dianugerahi setetes kewarasan kita akan merasa malu dan berupaya untuk memperbaiki wajah Agama ini dengan apa yang kita miliki.

Itupun kalau kita masih peduli. Kalau tidak ya sudah biarkan saja. Hitung-hitung kita menyuburkan kemurtadan di negeri sendiri. Kita kan lebih mementingkan urusan politik ketimbang mendakwahkan Agama sendiri. Kita kan lebih memilih memenjarakan Basuki ketimbang memperbaiki wajah Agama ini.    

Masih beranikah anda menuduh Basuki kafir sementara anda sendiri telah menyuburkan kemurtadaan di negeri ini? Masih sudikah anda berkoar-koar meneriakan dia sebagai penista kitab suci padahal anda sendiri tidak peduli dengan aksi-aksi teror yang jelas-jelas menodai kesucian Agama ini?  

Apa sebetulnya yang anda inginkan selama ini? Mau membela kitab suci apa melampiaskan syahwat politik yang keji? Mau membela kitab suci apa mau melukai hati saudara sendiri? Mau membela kitab suci apa berharap Agus-Anies menang dalam kontes Pilgub DKI? Mau membela kitab suci apa berharap Jokowi lengser dari kekuasaannya saat ini?

Tidakkah para pembela kita suci yang saleh ini malu dengan lantunan ayat suci yang mereka baca setiap hari? Tidakkah mereka malu dengan akhlak Nabi Muhammad yang welas asih dan pemaaf kepada orang-orang yang pernah bertahun-tahun membuatnya sakit hati?

Tidakkah mereka malu dengan gelar keulamaan yang mereka terima dari masyarakat secara gratis tanpa dibeli? Tidakkah mereka khawatir akan perpecahan yang lebih besar jika hal semacam ini terus dibiarkan terjadi?

Halo ustaz-ustaz MUI, FPI, HTI, PKS, Wahabi, yang kami hormati, kami minta pasang nurani anda saja untuk masalah ini. Di mana suara anda ketika Gereja dibom sampai hancur dan anak kecil terbunuh serta terlukai? Di mana rasa keadilan anda ketika anda menuduh Basuki sebagai musuh Islam dan penista kitab suci padahal dia sendiri sudah minta maaf dan tak bermaksud sama sekali?

Di mana suara anda ketika salah seorang atasan MUI mengutip hukum mutilasi depan tivi padahal hukuman tersebut tak pantas dilayangkan kepada orang seperti Basuki? Tidakkah anda memandang orang yang melayangkan hukum bunuh itu juga sebagai penista kitab suci?

Atau memang anda sengaja memelihara orang-orang semacam ini di MUI demi menyuburkan intoleransi dan kebencian di negeri yang kita cintai? Jangan salahkan masyarakat ya kalau kelak tidak akan ada lagi yang percaya dengan MUI.

Salah anda sendiri memelihara orang-orang seperti tadi. Sudah error, dijadikan atasan lagi. Ya sudah. Hilanglah sudah wibawa MUI. Saya yakin, masih banyak masyarakat Indonesia yang waras dan memiliki nurani. Dan mereka tentu tak akan pernah sudi melihat Agamanya tercoreng dengan prilaku orang-orang semacam ini.

Saya tidak mau menyebut merek. Karena kalau saya menyebut merek, ulama-ulama sejati ini pasti marah-marahan, merasa tersinggung, dan ujung-ujungnya bisa-bisa saya dituduh menistakan ulama, seperti yang dialamatkan kepada Basuki. 

Saya heran sampai sekarang ini. Apa sebetulnya yang mendorong ulama-ulama sejati ini ngotot menuduh Basuki sebagai penista kitab suci dan ingin menjebloskannya kedalam bui padahal dia sendiri hanya “terpeleset” satu kali?

Andai kata orang-orang Ateis yang kadang otaknya lebih canggih itu memerhatikan kelakuan para Pemuka Agama kita ini, paling-paling mereka hanya ketawa-ketiwi sambil mengerenyitkan dahi. Kok, bisa ada orang beragama tapi cara berpikirnya dangkal sekali. Terlalu murah tuduhan penistaan kitab suci itu untuk dilayangkan kepada Basuki. Kecuali kalau Basuki menginjak, merobek, meludahi atau membakar kitab suci, baru itu namanya penistaan kitab suci.

Dan kalau itu terjadi, anda boleh kerahkan seluruh masyarakat Muslim Indonesia, termasuk saya, untuk membaringkan Basuki di atas papan konstitusi. Tapi kalau hanya kaya kemarin. Aduh. Anda ini ko mudah sekali terprovokasi.

Coba pikir sekali lagi. Orang cuma salah bicara dan sudah minta maaf tapi tuntutannya setengah mati. Orang cuma kepleset satu kali tapi didemo sampai meneriakan kata-kata anj**g ba*i. Apa sebetulnya maunya anda ini?   

Anda puas ketika Basuki sudah ditetapkan sebagai tersangka seperti berita yang beredar sekarang ini? Anda puas ketika elektabilitas Basuki hancur hanya karena ketidak-adilan yang anda lakukan selama ini? Anda puas jika Anies-Agus menang dalam Pilkada nanti dan Basuki dijebloaskan ke dalam bui? Betulkah anda puas dengan semua ini wahai para pembela kitab suci?

Hmm, baiklah kalau begitu. Sudah, mulai sekarang penjarakan saja Basuki kalau memang nurani anda sudah terpenjara dalam jeruji kebencian kepada sesama hamba Yang Mahasuci. Penjarakanlah Basuki jika anda memang betul-betul berharap agar Agama kita dipandang sebagai Agama kezaliman yang sarat dengan rasa benci.

Penjarakanlah Basuki jika anda rela Agama yang dulu diperjuangkan Nabi Muhammad itu dinilai sebagai Agama yang miskin toleransi. Penjarakanlah Basuki jika anda rela NKRI yang dulu dibangun dengan kucuran darah dan keringat ini dikuasai oleh orang-orang tengil yang suka merasa benar sendiri.

Penjarakanlah Basuki jika memang di hati anda sudah tak tersisa lagi rasa empati. Penjarakanlah Basuki karena dia itu kafir sementara anda adalah manusia tersuci di dunia ini. Penjarakanlah Basuki karena memang anda senang melihat saudara sendiri dibui di balik jeruji besi.

Penjarakanlah Basuki agar Agus-Anies menang tanpa hambatan lagi. Penjarakanlah Basuki karena memang itulah yang anda inginkan selama ini. Penjarakanlah Basuki. Penjarakanlah Basuki. Dan silakan penjarakan Basuki!

Tapi ingat, kalau anda ingin memenjarakan Basuki, penjarakan juga “ulama-ulama” yang sudah meneriakan hukum bunuh dengan mengatasnamakan ayat suci. Karena sejujurnya tindakan mereka itulah yang menodai kemuliaan kitab suci, bukan Basuki. Berani?

Kairo, Medinat Nasr-Saqar Quraish, 17 November 2016

Muhammad Naruddin


Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar. 

Tangkap dan Penjarakan Basuki !!!

DUNIA HAWA - Kunjungan Anggota Dewan Mufti Mesir, Syekh Amru Wardani, ke Indonesia tempo hari memunculkan kerusuhan baru dalam kasus Ahok yang makin hari makin memanas dan makin memantik emosi.


Sudah saya duga sebelumnya bahwa kedatangan ulama al-Azhar yang satu ini hanya akan menimbulkan kerusuhan baru dan tak akan menyelesaikan persoalan sama sekali. Alih-alih menuntaskan persoalan Basuki, ulama yang satu ini justru mendapat hujanan caci maki dari para pembela kitab suci yang saleh dan penuh teladan ini.  

Tega-teganya para pembela kitab suci itu melayangkan kata-kata sopan nan aduhai kepada ulama moderat yang satu ini. Ternyata, oh ternyata, dendam kesumat pasca runtuhnya kekuasaan Mursi tak kunjung punah dan tampaknya masih terasa hingga saat ini. Entah makhluk halus model apa yang menggelayut di balik dada mereka ini.

Mereka mengaku Azhari, tapi kebencian mereka kepada para pembesar al-Azhar seolah tak kunjung terobati. Mereka membenci al-Sisi, padahal mereka juga sadar bahwa di masa al-Sisi lah para pelajar asing itu mulai tenang dan tak merasakan kerusuhan seperti di zaman Mursi.

Mereka mengaku sebagai para pemangku Islam Wasathiy, tapi yang mereka perjuangkan sejujurnya adalah Islam Ikhwaniy yang oleh al-Azhar sendiri ditolak dan tidak diamini. Tapi itulah cerminan akhlak para pembela kitab suci. Ulama mumpuni pun dilabeli dengan kata-kata yang tak beretika sama sekali.

Singkat cerita, berkat selembaran surat MUI, Syekh Amru pun kembali merayapkan kaki ke bumi para Nabi atas instruksi Syekh Ahmad al-Thayyib, Grand Syekh al-Azhar saat ini.

Saya yakin. Mereka pasti gembira ria sekali melihat ulama itu pergi kembali. Sebab, seandainya Syekh Amru itu tahu fatwa MUI yang melarang memilih gubernur non-Muslim seperti Basuki, niscaya ulama yang Ahli fikih dan Ushul Fikih itu akan mengernyitkan dahi sambil ketawa-ketiwi.

Hanya di Indonesia saja fatwa diskriminatif semacam itu dibela sampai mati. “Pokoknya ini fatwa MUI harus kita hormati. Mereka ini adalah ulama-ulama kita yang lebih tahu persoalan yang terjadi. Sudahlah, anda jangan kurang ajar kepada ulama-ulama kami. Mereka itu adalah pewaris para nabi. Anda ini siapa? Kok berani-beraninya merendahkan MUI!” Begitulah kira-kira kicauan para pembela kitab suci manakala kita mengkritik fatwa MUI.

Memang sepertinya kita harus belajar memaklumi, karena ustaz-ustaz saleh dan penuh teladan ini tampaknya belum mampu membedakan mana ulama sejati dan mana ulama setengah politisi. Mereka belum bisa membedakan mana fatwa yang senafas dengan spiriti kitab suci, dan mana fatwa yang sarat akan ketidak-adilan dan diskriminasi.

Maklum saja kalau mereka kebakaran jenggot manakala ada orang-orang yang berani “merobek” lembaran fatwa MUI. Karena bagi mereka MUI itu adalah kumpulan ulama-ulama sejati. Fatwa mereka pokoknya harus dijadikan rujukan secara pasti. Sebab, fatwa mereka ini adalah fatwa yang—meminjam ungkapan al-Quran—la ya’tihi al-Bathil min baini yadaihi wa la min khalfihi (kitab yang tidak ada kabatilan nya sama sekali).

Kalau anda berani mengkritik fatwa suci buatan mereka ini, hati-hati, seketika itu juga anda akan dipandang sebagai Muslim edan yang tak hormat kepada para pewaris Nabi. Kalau anda berani sedikit saja mencubit fatwa MUI, mereka akan segera menuduh anda sebagai Muslim bejat yang tak beretika sama sekali.

Itulah kira-kira sekilas mengenai potret kecerdasan umat Islam saat ini. Ulama yang suka marah-marahan dan menebar diskriminasi dipandang sebagai ulama sejati yang tak boleh diingkari, sedangkan ulama yang suka menebar kedamaian dan keteduhan dipandang sebagai ulama sesat dan tak dihiraukan sama sekali. Cerdas sekali memang saudara-saudara kita ini.

Orang yang sudah jelas-jelas melayangkan hukum mutilasi kepada Basuki bagi mereka adalah ulama sejati. Alasannya mudah: karena dia termasuk atasan MUI. Orang yang mengatakan kasus pengeboman di Samarinda sebagai pengalihan isu Basuki bagi mereka adalah ulama sejati. Alasannya sederhana: karena orang yang berkata adalah orang MUI.

Kala Basuki “menghina” satu petikan ayat suci mereka tampil berbondong-bondong sebagai para Mujahid sakti yang sudah rela hati jika kelak terbaring mati. Tapi kala mendengar ada pengeboman yang menewaskan anak tak berdosa, entah kenapa, nurani mereka seolah redup dan suara mereka tak terdengar sama sekali. Inikah contoh ulama sejati yang patut dijadikan teladan di negeri ini, wahai para pembela kitab suci? 

Betapa lucunya ulama sejati panutan kita ini. Mereka ngotot ingin menuntut Basuki, tapi giliran gereja di bom dan anak kecil terbunuh mereka seolah tak peduli sama sekali. Tak terpikir bagi mereka untuk demo membela anak kecil terbunuh seperti demo pembelaan kitab suci tempo hari. Tak ada juga kicauan dari mereka yang setidaknya menunjukan rasa empati tinggi kepada keluarga korban yang hatinya mungkin terlukai.

Tapi tak perlu heran, soalnya bagi mereka gereja itu adalah tempat berteduh bagi orang-orang kafir yang menjadi kandidat penghuni neraka di hari nanti. Dan karena gereja merupakan tempat berteduh orang kafir, maka ketika ia dihancurkan kita tak perlu bersedih hati.

Soal ada anak mati ya biarkan saja. Toh dia sudah mendapatkan garansi surga dan dia juga pasti kembali kepada Penciptanya dalam keadaan rida dan diridai. Sudah. Kita jangan gagal fokus menghadapi masalah besar yang tengah menghancurkan Agama ini!

Kita harus mengerahkan seluruh daya, upaya bahkan kalau perlu nyawa kita untuk mengawal kasus Basuki yang sudah menghina kitab suci. Karena ini lebih mulia dan suci, ketimbang mengurusi gereja yang bukan milik kita sendiri.

Pokoknya kita ingin agar orang ini segera dibui. Dan setelah orang ini dibui, tidak apa-apa, biarkan saja wajah Agama ini dipandang buruk oleh orang-orang non-Muslim, terutama umat Kristiani. Mereka mau memandang baik ataupun buruk tak ada gunanya sama sekali. Karena toh mereka ini adalah calon penghuni nereka di hari nanti.

Yang penting Basuki di bui. Atau, paling tidak, dia kalah dalam kontes Pilkada nanti. Biar Anies dan Agus saja yang boleh bertahta di DKI. Karena mereka Muslim. Dan seburuk-buruknya Muslim adalah sebaik-baiknya orang “kafir” seperti Basuki. Apalagi al-Maidah 51 sudah jelas melarang orang-orang non-Muslim untuk dijadikan pemimpin, termasuk menjadi pemimpin di DKI.

Tidak usah pikirkan konstitusi. Sudah. Yang penting kita mentaati perintah kitab suci. Konstitusi itu buatan manusia, sementara kitab suci itu buatan Tuhan Yang MahaTinggi. Mendahulukan konstitusi daripada kitab suci itu adalah kufur tingkat tinggi.

Ayat al-Qurannya sudah jelas sekali: "Barang siapa yang tak berhukum dengan hukum Allah maka dia termasuk orang-orang kafir” (QS: [5]: 44). Ayatnya di al-Maidah lagi. Ah. Sudah. Kalau menggunakan ilmu cocokologi, kokohlah sudah keyakinan kita bahwa orang “kafir” seperti Basuki memang tak boleh dijadikan pemimpin di negeri ini, apalagi untuk mengurus DKI.

Tidak perlu taat kepada konstitusi. Karena kita sudah memiliki kitab suci. Kalau perlu nanti konstitusi pun kita rubah secara perlahan dengan butiran ayat suci. Semoga saja kalau konstitusi itu dirubah dengan butiran ayat suci, negeri ini akan aman dan maju seperti zaman Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali. Bukankah kita semua merindukan negeri seperti yang dipimpin oleh mereka-mereka ini?

Lihatlah, saudara-saudara yang beriman, betapa derasnya kedunguan di negeri ini. Betapa banyaknya orang yang beragama dengan kulit, tapi tak mampu mengunyah isi. Betapa banyaknya orang yang mudah mengutip ayat suci, tapi mereka tak mampu memberikan kedamaian sejati.

Betapa banyaknya orang yang memiliki gairah keislaman tinggi, tapi mereka tak peduli dengan keutuhan NKRI. Betapa banyaknya orang yang mendaku sebagai para pembela kita suci, tapi giliran anak kecil terbunuh, dan gereja terbakar, para pembela kitab suci yang penuh teladan ini hampir tak bersuara sama sekali.

Padahal al-Quran jelas-jelas mengutuk keras perbuatan semacam ini. Tapi mengapa mereka tidak berkoar-koar padahal tindakan seperti inilah yang sejujurnya bertentangan dengan kemuliaan kitab suci? Yang ada kejadian tersebut malah diyakini sebagai pengalihan isu Basuki!   

Fenomena ini semakin menunjukan bahwa keindahan Agama ini mulai gagal dikunyah oleh para pemeluknya sendiri. Banyak orang yang hafal ayat suci, tapi mudah mengobral kata kafir kepada saudara sendiri. Banyak orang yang rajin berzikir, tapi mudah sekali menebar kata-kata benci. 

Lucu sekali. Ustaz-ustaz saleh dan penuh teladan ini seringkali meneriakan kata-kata kafir kepada orang-orang non-Muslim, tapi dalam saat yang sama, mereka sendiri lupa bahwa tindakan mereka itulah sebetulnya yang menyuburkan kemurtadan di negeri ini.

Terus terang, selama ini saya banyak menerima pesan yang mengeluhkan sikap para Pemuka Agama di negeri yang kita cintai. Baik dari umat Muslim, maupun dari umat Kristiani. Mereka kesal dengan kelakuan saudara-saudara kita ini.(bersambung)


Muhammad Naruddin


Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar. 

Semua Karena Ahok

DUNIA HAWA - Saya teringat jawaban Ahok saat ditanya Najwa dalam program Mata Najwa pada tanggal 18 Juni lalu: “Jika tak terpilih jadi Gubernur, Pak Ahok mau apa?” Ahok menjawab, “Stand up comedy-lah di MetroTV. Saya ‘kan lucu.”


Jawaban Ahok mengena sekali melihat negeri ini yang kian lucu dan cenderung ngeri. Ketika negeri ini mulai berbenah, mulai bangun dari keterpurukan moral, mulai menapaki dan percaya bahwa kejujuran menyelamatkan, kini harus bersinggungan dengan banyak korban yang akhirnya dipaksa tumbang.

Kasus penistaan agama yang akhirnya menyeret Ahok sebagai tersangka adalah kelucuan negeri yang katanya berbhinneka ini. Agama tidak perlu dibela, tuan-tuan yang terhormat.

Agama dekat dengan kedamaian, dekat dengan Tuhan sebagai penciptanya, tidak mungkin agama yang demikian mulia merasa tersinggung hanya karena ucapan Ahok yang ibarat pion. Arahkan semangat pembelaanmu pada kasus kemanusiaan yang terus mengusik nurani di negeri ini.

Intan, seorang anak yang dalam senyumnya dipaksa ikhlas untuk memaafkan pelaku pengeboman Gereja di Samarinda. Mengapa tidak datang mencerahkan otak pelaku pengeboman ini bersama gerombolan yang mengaku kaum pembela agama? Di tempat ini seharusnya semangat lebih dikobarkan, lebih difungsikan.

Ketika saya menyaksikan pemutaran film dokumenter Kementerian Pendidikan yang diluncurkan 11 November lalu, film berkisah tentang perjuangan Soekarno ini berhasil membuat saya menangis. Apa yang dilakukannya seperti sia-sia, jika melihat Indonesia yang rentan pecah ini.

Pengasingan selama bertahun-tahun hidup Soekarno dan akhirnya berlabuh juga di Ende, dalam kondisi terserang Malaria, ia merumuskan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu dasar negara ini.

Soekarno dalam pengasingannya dibantu pendeta di Ende dan belajar banyak dari bacaan-bacaan yang diberikan Pendeta tersebut. Bacaan tersebut membuka pemikirannya tentang masa depan Indonesia. Beliau memeluk hangat para pendeta dan meminta restu untuk memerdekakan Indonesia.

Dari tempatnya terbaring lemah, ia melihat bangunan dua agama berdiri kokoh dan memancarkan kedamaian pada dirinya. Di tempat inilah, toleransi yang demikian hebat menjadi inspirasi Soekarno menuliskan kalimat ajaib “Ketuhanan Yang Maha Esa“ sebagai dasar negara.

Melihat negeri ini kini, adakah harapan Soekarno ikut terkubur di sisinya? Memeluknya hangat dan menangisi perpecahan yang sama sekali tak diinginkannya?

Semua karena Ahok. Siaran televisi, media cetak, bahkan paling riuh di media sosial selalu menyebut Ahok. Ah, okay. Ada juga yang memelesetkan ganyang Cina. Melihat mata Ahok yang seolah tegar, dia membatin, “Apakah agamaku tidak membelaku saat aku dinistakan begini?”

Ahok tidak membawa rombongan, ia menjalani sendiri seperti apa yang akan terjadi padanya. Sebutan tersangka, kafir, Cina busuk, ganyang Ahok, menempatkannya sebagai manusia tertuduh dan paling hina, mungkin.

Ahok beragama, namun agamanya tidak ikut sibuk mengurusi masalah pembelaan. Sebab, Ahok telah dan sangat tahu ia berperang bukan atas atau untuk agama, melainkan amanat untuk menyelamatkan negeri ini dari para bedebah yang sukar menerima pembenahan. Lalu, banyak orang merasa Ahok harus mundur dari pencalonan karena sudah menjadi tersangka yang konotasinya selalu buruk, dalam kasus apa pun.

Semua opini yang mendukung kejahatan Ahok diumbar tanpa ampun. Menyerang Ahok, mentalnya, hingga menyerang keberaniannya. Namun Ahok masih berdiri tegak di tempat seharusnya. Sebab, ia tahu ada jutaan orang yang masih percaya padanya, masih percaya bahwa bangsa yang besar yang bernama Indonesia ini akan berbenah menuju kebangkitan. Ahok tetap melawan, namun bukan melawan agama.

Ahok tidak akan pernah selamat. Jika ia bebas nanti, jutaan masyarakat yang mendukungnya ini akan menagih bukti untuk membuat Jakarta maupun Indonesia lebih baik. Dan ini sangat susah jika Ahok hanya sendiri. Jika ia terpaksa di penjara, pemikiran Ahok tidak akan pernah lepas dari program-program yang telah dirancangnya. Hidup Ahok seakan di ujung tanduk. Ia melawan dan tidak akan pernah berhenti melawan.

Keluar masuk penjara mungkin harus dilakukan Ahok. Sebab, pemimpin hebat terdahulu juga lahir dari jeruji penjara. Soekarno, salah satunya hingga penjara akhirnya bosan mengurung pemikirannya yang selalu liar.

Jika memang penjara nanti begitu dingin, ingatlah bahwa Ahok tidak dipenjara karena kasus korupsi, melainkan dipaksa beristirahat untuk menghimpun kekuatan yang maha agung. Penjara atau cacian memang menyakitkan, namun mereka mengajarkan kebesaran hati. Pemimpin yang hebat tidak dilahirkan dengan mudah. Ia harus melawan yang menjadi racun dalam tubuhnya sendiri.

Semua karena Ahok. Ahok yang dicaci juga dicinta banyak orang. Jika Jakarta tak memberimu kedamaian, cobalah singgah ke Bali. Banyak yang menantimu sesuai dengan kerja tulusmu.

@ni nyoman ayu suciartini

Membela Islam Sebenarnya

DUNIA HAWA - Pagi tadi, warga umat Muslim dari mesjid At-Taqwa mendatangi Gereja Oikumene Samarinda, yakni tempat terjadinya tragedi serangan terorisme "JIHAD way of life" yang menewaskan seorang balita intan olivia.


Mereka bergotong royong membantu membetulkan Gereja, mengecat atau sekedar merapihkan batu batu yang berserakan.

Mereka sejatinya adalah PEMBELA ISLAM yang sebenarnya. Bukan pembela politik Pilkada yang turun ke jalan menjual islam.

Karena mereka sedang membela REPUTASI ISLAM dari pembusukan yang dilakukan oleh aliran internal islam sendiri, yakni aliran islam ekstrim yang mengharamkan hormat bendera & menghalalkan darah saudara sebangsanya.

Mereka membela MARWAH (martabat) islam dari penistaan yang dilakukan oleh oknum Muslim yang berperilaku barbar biadab jauh dari akhlakul karimah Nabi.

Subhanallah wal hamduliah wala ilaha ilallah Allahu akbar barokallah

INILAH SEBENAR BENARNYA JIHAD

yakni menebar BASAMUH, cinfa & kasih sayang kepada siapa pun tanpa melihat agama atau etnisnya apa.

Semoga mereka bisa jadi Suri Tauladan bagi ulama, habib dan ustadz yang saat ini sibuk ngurusin Pilgub DKI dengan dalih urusan agama.


Gus Permadi Arya/ Ustad Abu Janda al- Boliwudi ( Muslim Nahdliyin )