Thursday, November 17, 2016

MUI Menghimbau Jangan Ada Lagi Aksi Damai, Aktor Politik Kebingungan

DUNIA HAWA - Aksi damai 4 November 2016, yang berakhir rusuh, sudah membuahkan hasil dengan ditetapkannya Ahok menjadi tersangka, walau belum memuaskan karena ingin Ahok sebenarnya ditangkap (saya berharap bukan dibunuh tujuannya). Karena itu, tidak ada lagi alasan yang bisa dipakai untuk melakukan aksi damai (katanya) 25 November 2016. Permintaan untuk segera menetapkan status Ahok sudah dilakukan pemerintah.


“Kami menyambut baik dengan penuh rasa syukur keputusan Polri tentang status Basuki Tjahaja Purnama, gubernur DKI Jakarta nonaktif. Ini merupakan hasil proses hukum yang memenuhi keadilan masyarakat,” kata Ketum PB Al Washliyah, Yusnar Yusuf Rangkuti.

“Kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan tinggi ke Presiden Joko Widodo atas tingkat kenegarawanan dengan tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum dan tidak melindungi Basuki Tjahaja Purnama,” ungkapnya.

Menyikapi penetapan Ahok menjadi tersangka, MUI pun menghimbau supaya tidak ada lagi aksi damai 25 November. Karena sekarang perjuangan sudah dialihkan ke persidangan.

“Menyikapi rencana demo tanggal 25 November, MUI mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk mengurungkan niatnya melakukan aksi damai kembali,” kata Wakil Ketua MUI Pusat Zainut Tauhid dalam keterangannya, Rabu (16/11/2016).

“Proses hukum masalah ini masih cukup panjang sehingga dibutuhkan kesabaran, kekuatan dan kesungguhan. Sehingga keputusan hakim di pengadilan nanti benar-benar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” sambungnya.

Akhirnya pernyataan meneduhkan disampaikan oleh MUI. Pernyataan ini tentu saja akan memberi keteduhan dan ketenangan kepada umat. Tentu saja umat yang saya menghormati dan menghargai pernyataan MUI. Jika sebelumnya sangat taat dengan pernyataan agama MUI mengenai kasus Ahok, maka sudah sepatutnya himbauan ini diindahkan oleh umat. Supaya tidak perlu lagi ada aksi damai 25 November.

Pernyataan MUI ini juga pada akhirnya memisahkan aksi damai 25 November, jika tetap dilakukan, dari isu kasus Ahok. Karena kasus Ahok sudah masuk dalam ranah hukum dan tidak perlu lagi mendesak pemerintah dan Jokowi yang diduga sebelumnya berusaha melindungi Ahok. Hal inilah yang sebelumnya ditunggangi oleh aktor politik yang menyeret-nyeret nama Jokowi.

Ditetapkannya Ahok menjadi tersangka pada akhirnya menutup keran aksi damai dan menjadi filter untuk melihat siapa dan apa sebenarnya tujuan aksi damai 25 November. Kalau murni ingin mempersoalkan kasus Ahok, maka demo harus dihentikan. Tetapi jika tetap dijalankan, maka ada modus lain di dalamnya.

Penetapan Ahok sepertinya tidak diduga oleh aktor politik yang menunggangi isu ini. Mereka kebingungan apa alasan yang tepat untuk melakukan demo 25 November. MUI dan para pemimpin ormas Islam lainnya sudah tenang dan tidak bisa lagi digerakkan. Paling hanya FPI saja yang bisa digunakan. Itu pun biayanya bisa mahal karena Habib bakalan minta mobil baru lagi.

Akhirnya, marilah kita bekerja lagi, berkarya lagi, dan bermasyarakat lagi. Tinggalkan dan jangan ikuti mereka yang gila demo demi sesuap nasi bungkus dan uang ratusan ribu demi menggulingkan pemerintah dan memecah belah NKRI. Terlalu mahal dan berat resikonya bagi negara ini. Mari gunakan energi kita untuk hal-hal yang positif.

Pesan saya untuk aktor politik. Gunakanlah sarana Pilkada dan Pilpres untuk merebut kekuasaan. Hentikan cara-cara barbar dan primitif demi merebut kekuasaan.

Salam Bingung.

palti hutabarat

Tim Ahok Bisa Manfaatkan SBY, Fahri, Rizieq dan Desmond untuk Kampanye

DUNIA HAWA - Setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, yang menjadi pertanyaan menarik setelahnya bukan lagi soal apakah Ahok akan dipenjara atau tidak? Sebab itu merupakan konsekuensi hukum yang kurang bisa kita suarakan untuk menolak atau menerima putusan. Karena kita semua sepakat untuk menghormati keputusan hukum. 


Belajar dari Antasari, meski tak bersalah, namun tetap menerima hukuman tersebut dengan lapang dada karena beliau ingin memberi contoh bahwa hukum di negeri ini harus bisa diterima oleh siapapun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang-orang selain Ahok juga akan diproses hukum?

Fahri Hamzah


Pada 4 November lalu Fahri Hamzah sempat ikut berorasi di hadapan para demonstran. Salah satu janji Fahri kepada demonstran adalah akan membuka gedung DPR agar massa masuk jika Presiden tidak menemui mereka. Malam harinya, Fahri sudah meminta Fadli Zon untuk lakukan negosiasi agar massa bisa masuk. Janji dan apa yang dilakukan Fahri ini dianggap berupaya lakukan makar. Apalagi saat orasi Fahri juga memotivasi demonstran bahwa Presiden bisa dilengserkan oleh parlemen jalanan. *Sudah dilaporkan ke kepolisian

SBY


Dari sekian banyak kasus yang mungkin bisa mengarah pada SBY, salah satu yang sulit untuk dibantah dan dapat membuatnya dipenjara adalah soal dokumen TPF pembunuhan Munir. Dokumen tersebut hilang dan sekarang tidak tau ke mana. Tapi jelas Yusril mengatakan bahwa dokumen asli diberikan langsung kepada SBY tanpa melalui perantara setneg. *Belum dilaporkan ke kepolisian

Rizieq FPI


Saat memimpin demo, Rizieq sempat melakukan beberapa ancaman. Ancaman untuk membunuh Gubernur Jakarta. Ancaman untuk menduduki Balai Kota, DPR dan Istana lalu mengambil alih pemerintahan (Makar). *Belum dilaporkan ke kepolisian

Munarman FPI


Jubir FPI ini memprovokasi ummat nya untuk melakukan aksi bela Islam III jika si kutil babi (Ahok) tidak ditangkap. Munarman juga mengatakan bahwa ummatnya sudah siap syahid (mati) berperang melawan mereka yang bersenjata (TNI). *Belum dilaporkan ke kepolisian

Desmond Gerindra


Politisi Gerindra ini sempat meledek bahwa Ahok sebaiknya mengundang Nabi Muhammad untuk menjadi saksi ahli. Selanjutnya menjadi tugas Ahok untuk menghidupkan kembali Nabi Muhammad. Pernyataan ini pelecehan yang sangat luar biasa. *Sudah dilaporkan ke kepolisian.

Satu rakyat Indonesia tau bahwa mereka semua adalah orang-orang yang layak dijadikan tersangka dan kasusnya dimasukkan ke pengadilan. Namun meski begitu, meski bukti-buktinya sudah ada dan lengkap, sampai sekarang kasus mereka belum sampai ke gelar perkara.

Bagi rakyat biasa seperti saya, mereka mau ditindak atau dibiarkan, itu jadi tak terlalu penting lagi. Sebab di luar soal hukum pidana, ada yang namanya hukum sosial. Mereka dihukum atau tidak, yang jelas namanya akan menjadi sejarah buruk. Menjadi lebih buruk lagi karena mereka semua ini dapat dimanfaatkan oleh Ahok untuk kepentingan Pilgub 2017.

Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama. Padahal satu Indonesia tau bahwa videonya itu menjadi viral karena transkrip yang salah dan tambahan kalimat provokatif dari Buni Yani. Tapi tak masalah, sekarang Ahok sudah dijadikan tersangka dan menyatakan siap menghadapi proses pengadilan. Ahok menolak untuk melakukan praperadilan.

Jika kemudian nama-nama tadi tidak kunjung diproses hukum, tidak dilakukan gelar perkara, tidak dilaporkan atau tidak dijadikan tersangka, maka otomatis Ahok akan berada di posisi orang yang didzolimi. Jika ada istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka sekarang hukum hanya tajam ke Ahok dan tumpul kepada SBY, Fahri, Rizieq, Munarman dan Desmond yang statusnya sekarang merupakan pendukung Cagub lawan Ahok.

Kerennya, Ahok tak mengemis simpati atau empati pada rakyat Jakarta. Dengan bijak Ahok menginstruksikan kepada relawannya bahwa proses hukum harus dihormati dan siap menuju pengadilan. Siapa yang tak terpesona dengan pernyataan ini? Sementara di sisi lain, Fahri dan Desmond yang merupakan partai pendukung Anies mungkin masih akan berbelit dan tak diproses. SBY, Rizieq dan Munarman satu gerbong pendukung Agus juga tak ada yang mempermasalahkan kasus-kasusnya.

Dengan kenyataan seperti ini, maka tak ada alasan rakyat Jakarta untuk memilih Cagub yang diusung oleh orang-orang kebal hukum. Karena selanjutnya menjadi mudah dibayangkan, jika pendukungnya kebal hukum, bagaimana dengan yang diusung? Mending memilih Ahok yang sudah jelas-jelas berani menghadapi kasus hukum yang menimpanya dan membuktikan secara terbuka. Bukan yang ngeles sana sini.

Terakhir, Ahok bisa saja dipermainkan, namun juga bisa mempermainkan lawan-lawannnya. Itulah politik. Pertanyaanya adalah, sejauh mana permainan tersebut akan berdampak secara positif atau negatif. Ahok masih memiliki peluang untuk menang di pengadilan, sebab kasusnya memang soal pemahaman, perasaan dan tafsir. Sementara apa yang dilakukan SBY, Fahri, Desmond dan Rizieq adalah sesuatu yang sangat jelas dan mudah dibuktikan untuk kemudian dinyatakan bersalah. Dan kalau mereka jadi tersangka, 90% saya prediksi pasti akan melakukan praperadilan dan menunda-nunda sampai publik lupa.

Begitulah kura-kura

alifurrahman


Beredar Chat Donatur Demo 25 Nov Beri Instruksi

DUNIA HAWA - Setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah tentang donatur demo. Mereka ini cukup jeli atau mungkin sudah mendapat bocoran tentang sikap kepolisian terhadap kasus Ahok.

Sebelum Ahok ditetapkan sebgai tersangka, sudah ada pengkondisian bahwa KSPI akan turun untuk berdemo pada 25 November nanti, bergabung dengan aksi Bela Islam. KSPI ini terkenal sebagai kelompok tukang demo, meskipun sejatinya organisasi buruh. Dari soal tax amnesty sampai demonya para guru dan PNS mereka bisa ikut meramaikan. Seperti yang sudah saya analisa sebelumnya, kalaupun Ahok tersangka, pertunjukan demonstrasi tetap harus jalan. Alasannya dana sudah mengalir. Dan jika Ahok tersangka, artinya mereka ini tidak bisa lagi membodoh-bodohi orang untuk ikut turun ke jalan dalam rangka aksi Bela Islam. Sebab tuntutan mereka sudah terpenuhi, inilah kenapa KSPI adalah alternatif yang harus diturunkan, demi tercapainya kemeriahan demonstrasi demo Ahok.

Nah, setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, maka demo 25 November tetap bisa berlangsung dengan meriah, sebab sudah menggandeng KSPI. Jadi dana yang sudah terlanjur disalurkan akan tetap mendapat kan demonstran sesuai pesanan.

Yang menarik adalah, sekarang mulai beredar chat yang menunjukkan bahwa donatur Cikeas sedang kelabakan. Kemudian memberi instruksi pada relawannya pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Anda bisa lihat sendiri gambar yang saya terima dari puluhan orang di chat dan group WA. Sangat jelas tertulis, jadi 2511 harus lanjut sebab logistik sudah tidak mungkin ditarik balik, mereka para pendemo tau itu.


Kemudian setelahnya ada juga instruksi Choel Mallarangeng agar para pendukung Agus Sylviana tidak mengejek Ahok, pencitraan. Tapi di relawan tidak resminya ya tetap diprovokasi.

Mungkin teman-teman sedang bertanya-tanya siapa Choel Mallarangeng? Dan apa hubungannya dengan Agus Sylviana? Mari saya coba jawab.

Choel Mallarangeng nama aslinya adalah Zulkarnain Mallarangeng, adik mantan Menpora Andi Mallaranengeng, koruptor proyek pusat pendidikan dan olahraga Hambalang serta menteri dari Demokrat.

Choel adalah orang yang disebut menjadi perantara atau penyalur dana-dana korupsi di partai Demokrat. Satu kasus yang kemudian menjadikan Choel sebagai tersangka adalah sebagai penyalur fee korupsi kepada Andi Mallarangeng. Choel disebut menjadi perantara penerima fee USD 550 ribu terhadap Andi Mallarangeng karena sudah meloloskan PT Adhi Karya sebagai pemenang tender. Andi juga mendapat fee sebesar 2 miliar rupiah dari PT Global Daya Manunggal karen menjadikan perusahaan tersebut sebagai subkontraktor Hambalang, penyaluran fee tersebut juga melalui Choel. Untuk hal ini Choel sudah menjadi tersangka sejak 21 Desember 2015.

Namun hebatnya memang sampai sekarang Choel belum ditindak lanjuti lagi. Dengan tanpa rasa bersalah Choel sudah menyerahkan dana USD 550 ribu kepada KPK. Sementara 2 miliar sudah dikembalikan pada Herman Pranoto (pihak penyuap) yang kemudian juga diserahkan kepada KPK. Anda bisa bayangkan, kurang hebat apa seorang Choel, sudah mengembalikan uangnya, jelas ada, tapi sampai sekarang belum juga ditahan. Padahal kasus ini sudah nyaris setahun.

Itulah sedikit gambaran seorang Choel. Saya yakin sampai di sini pembaca sudah paham siapa dia dan apa hubungannya dengan Demokrat. Kalau harus diberi label, saya akan gunakan istilah SBY, invisible hand.

Klarifikasi SBY dan Choel


Sekarang gambar chat tersebut sudah tersebar di sosial media. Entah siapa yang lebih dulu menyebarkannya, sebab saya mendapat gambar tersebut dari 3 group berbeda dan beberapa orang secara pribadi.

Untuk itu menjadi penting bagi SBY, Choel dan Demokrat untuk segera mengklarifikasi beredarnya gambar percakapan tersebut. Sebab dari banyak faktor, SBY cukup dicurigai sebagai dalang atau aktor politik di balik demo aksi bela Islam. Jika ini tidak segera diklarifikasi, maka itu artinya memang Demokratlah yang berada di balik demo terhadap Ahok.

Jika sebelumnya kita hanya curiga kepada SBY yang mendadak sensi dan memprovokasi massa pendemo, dengan adanya gambar tersebut maka sampai di sini semuanya jadi terkonfirmasi. Cikeas adalah donatur dan aktor politik di balik demo aksi bela Islam.

Klarifikasi atau bantahan dari Cikeas menjadi sangat penting di masa-masa seperti sekarang ini. Sebab rakyat sudah diprovokasi sedemikan hebatnya. Nama baik Islam sudah dijelek-jelekkan oleh segelintir provokator. Banyak anggota polisi mengalami cidera dan luka-luka. Tentu saja harus ada yang bertanggung jawab dengan semua ini.

Jika Cikeas memilih bungkam, itu hak mereka. Namun itu akan membuat saya berpikir bawha kali ini Cikeas sudah keterlaluan dalam melakukan manuver politik, hanya untuk tujuan memenangkan anak putra mahkota mereka rela mengadu domba rakyat dan ummat muslim di Indonesia.

Terakhir, di luar soal klarifikasi, ini menjadi tugas intelijen untuk menyelidiki dan mengumpulkan bukti-bukti terkait donatur dan aktor politik yang menunggangi demo 4 November lalu, kemudian rencana pada 25 November nanti. Dan salah satu yang perlu diselidiki, kaitannya dengan gambar ini adalah Choel Mallarangeng.

Begitulah kura-kura

alifurrahman

Tragedi Di Atas Tragedi, Saat Menyebut Bom Molotov Sebagai Pengalihan Isu

DUNIA HAWA - Tragedi kemanusiaan dalam histori peradaban manusia sepanjang zaman selalu berulang. Akar dari semua tragedi itu erat kaitannya dengan kebencian.


Kebencian melahirkan perseteruan. Perseteruan melahirkan peperangan. Peperangan melahirkan pembunuhan, penyiksaan dan penghancuran. Selalu begitu urutannya.

Sayangnya semua tragedi itu selalu memakan korban anak anak dan perempuan. Ada banyak catatan sejarah penderitaan yang dialami anak anak dan perempuan dalam tragedi peperangan.

Kita pernah mendengar catatan harian Anne Frank, seorang anak yang dipaksa masuk camp konsentrasi Nazi pada Perang Dunia 2. Anne Frank menulis kisah penderitaannya bersama ribuan anak anak lainnya saat disiksa di kamp konsentrasi Auschwitz.

Catatan buku harian Anne Frank berjudul The Diary of Young Girl menjadi saksi sebuah tragedi betapa manusia bisa begitu kejam dan brutal memperlakukan sesama manusia lainnya.

Kisah tak kalah tragisnya juga berlangsung belum lama ini. Gadis kecil asal Afghanistan Malala Yousafzai, lahir di Mingora, Distrik (Lembah) Swat, Pakistan, 12 Juli 1997 ditembak penyerangnya hanya karena mereka tidak ingin melihat Malala sekolah.

Pada 9 Oktober 2012, sebuah truk yang dimodifikasi sebagai bus Sekolah “Khushal” – sekolah milik ayah Malala — di kota Mingora, sedang membawa sejumlah murid perempuan pulang dari sekolah mereka, salah satunya adalah Malala.

Tiba-tiba sekolah itu dihadang oleh dua laki-laki muda bersenjata dari Taliban. Pemuda Taliban itu menembaknya dua kali, tembakan pertama mengena kepala di dekat mata kirinya, dan yang kedua mengena lehernya. Malala roboh bermandikan darahnya sendiri.

Kisah tragis Malala terjadi hanya karena Malala ingin berkeras ingin sekolah, sementara Taliban melarang keras anak perempuan bersekolah.

Tragedi lain tidak kalah menyayat hati kita lihat saat ratusan ribu pengungsi Suriah meninggalkan negaranya melewati laut menuju Eropa. Seorang ayah menggendong bayinya yang tewas menangis di tengah guyuran hujan deras. Seorang bayi terdampar di tepi pantai karena kapal yang ditumpangi orang tuanya karam dihantam ombak.

Tragedi kemanusiaan pengungsi Suriah ini lagi lagi terjadi karena peperangan di dalam negeri sendiri.
Jutaan anak anak tewas dan cacat akibat peperangan yang lahir dari kebencian para orang dewasa.

Hari Minggu lalu, empat orang anak balita harus menerima kobaran kebencian dalam bentuk api. Kobaran api melahap tubuh tubuh tak berdosa mereka.

Mereka anak anak polos suci harus menderita terbakar wajah dan tubuhnya karena seorang pria gondrong berkaos oblong melemparkan bom api ke tengah tengah anak balita ini.

Tragis sekali akhir hidup bayi Intan yang masih berumur 2.5 tahun saat api melahap habis tubuhnya. Ia terbakar bukan di medan perang. Ia terbakar di rumah Tuhan, Rumah Suci tempat doa dan puji kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dipanjatkan. Rumah doa tempat orang memuji Tuhan Yang Maha Penyayang.

Tiga anak balita teman Intan Olivia lainnya, sampai saat ini berada dalam kondisi sekarat. Trinity Hutahaean (4) masih berjuang untuk hidup. Wajah dan badannya habis terbakar. Alat kelaminnya terkena pecahan kaca.

Alvaro Sinaga menjerit kesakitan saat kulit wajahnya melepuh terkena api panas. Kupingnya hancur terkena serpihan ledakan kaca. Wajah gantengnya berubah menjadi gosong hitam mengerikan.

Anak anak kecil yang masih balita ini akan menderita seumur hidup karena kebencian pelaku bom molotov Juhanda yang memiliki keyakinan bahwa membunuh anak anak tak berdosa ini adalah panggilan dan tugas suci teologi yang diyakininya.

Mereka menjadi korban bukan karena hutang piutang, perebutan lahan atau perselisihan bisnis melainkan karena keyakinan iman Juhanda. Kita jadi bertanya seperti apa sih sebenarnya rupa dan bentuk Wajah Ilahi itu? Berwajah Maha Pengasih atau pembenci jahat?

Setiap tragedi selalu memunculkan pertanyaan filosofis.

“Mengapa Tuhan membiarkan anak anak menderita? Mengapa Tuhan membiarkan tragedi menimpa anak anak? Mengapa Tuhan membiarkan hal-hal semacam ini terjadi pada kami? Anak-anak tidak bersalah apa-apa.” tanya seorang anak bernama Palomar sambil sesunggukan kepada Paus Fransiskus.

Glyzelle Palomar adalah seorang anak gelandangan asal Philipina hidupnya tercampak karena kemiskinan dan penderitaan. Ia menemui Paus dan bertanya saat Paus Fransikus mengunjungi kotanya pada 2012 lalu.

Paus tertegun dan terdiam. Lalu Paus menjawab lirih “Inti dari pertanyaanmu anakku… hampir tidak punya jawabannya.”

“Dia hanyalah salah seorang yang mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak ada jawabannya dan dia bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata tetapi dengan tangisan,” kata Paus lebih lanjut.

“Ada sejumlah realitas tertentu dalam hidup, yang kita hanya bisa lihat melalui mata yang dibersihkan dengan air mata kita,” kata Paus.

Rasanya apa yang diungkapkan Paus Fransiskus memang tidak ada jawabannya. Tapi satu hal yang pasti cara kita menyikapi tragedi atas nama kebencian itu bisa memutus tragedi kemanusiaan baru atau memperparah tragedi baru.

Apakah peperangan melahirkan peperangan baru. Apakah korban kemanusiaan menimbulkan korban kemanusiaan baru. Apakah api kebencian memunculkan dengan api kebencian baru.

Pengampunan Ibunda Intan Olivia, Ibunda Trinity dan Bapak Gembala HKBP Samarinda Pdt. Edmon Rumah Horbo kepada pelaku bom molotov itu dan mendoakannya telah memutus rangkaian tragedi lanjutan. Iman mengampuni mereka telah memutus peperangan baru. Mata ganti mata membuat dunia buta.

Diana Susan Ibunda Intan Olivia ikhlas menerima kematian anak semata wayangnya meski dadanya remuk redam menahan perih tak terkira. Diana Susan percaya pada imannya bahwa kasihilah musuhmu. Berdoalah bagi dia karena dia tidak tahu apa yang dia perbuat.

Tragedi kemanusiaan yang merenggut anak anak ini tidak akan pernah berakhir. Ia akan selalu ada ketika kebencian itu masih ada. Maka tepatlah jawaban Paus Fransiskus bahwa tidak ada jawaban atas pertanyaan mengapa Tuhan membiarkan penderitaan menimpa anak anak.

Hanya orang yang bisa menangis dan punya air mata yang bisa menjawabnya. Dan kita bisa melihat semakin jarang orang menangis meski tragedi itu menimpa anak anak. Malah yang kita dengar adalah suara prasangka baru bahwa tragedi itu hanya pengalihan isu.


Prasangka jahat pengalihan isu inilah sesungguhnya tragedi di atas tragedi. Tragedi terbesar ketika rasa empati kemanusiaan lenyap saat melihat kobaran api menjilat tubuh bayi bayi tak berdosa. Tragedi di atas tragedi itu saat manusia  telah mati rasa kemanusiaannya sekalipun didepannya Ia melihat anak kecil melolong perih terbakar. Mengerikan.

birgaldo sinaga

Kemanusiaan Dinistakan, FPI Diam Seribu Bahasa

DUNIA HAWA - Fenomena penistaan agama yang di dengungkan oleh FPI (Front Pembela Islam), ternyata telah mendapatkan dukungan, padahal persoalan itu berbau politik dan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Tidak sedikit umat Islam yang terbuai ajakan dari FPI untuk berunjuk rasa menuntut Ahok. Tuntutan atas tuduhan pelecehan agama ternyata dibarengi dengan demontrasi besar-besaran atas nama “Aksi Bela Islam”.


Demontrasi pada tanggal 4 November lalu, ternyata merupakan bentuk dukungan dari seluruh umat Islam. Dukungan itu diwujudkan dengan melakukan aksi sehari penuh dan juga mendapatkan dukungan dari anggota DPR, seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Aksi tersebut, seakan memperkuat adanya indikasi muatan politik menjelang Pilkada DKI 2017.

Umat Islam sebenarnya dihadapkan dengan pilhan yang sulit yang dikemas atas fatwa ulama. Mayoritas masyarakat Indonesia memang beragama Islam, sehingga mudah saja digerakkan dari sosok ulama dari ormasnya. Hal inilah yang menjadi keprihatinan dari Indonesia,  terkadang masyarakat hanya dijadikan alat politik dari kelompok tertentu untuk memuluskan tujuannya.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai organisasi ulama Indonesia, seakan kedudukannya goyah akan unsur internal sendiri terkait isu penistaan agama. Goyahnya MUI juga diimbangi dengan ketidakpercayaan masyarakat dengan lembaga tersebut. Mereka yang sudah tidak memperhatikan atau apatis dengan fatwa  MUI, menjelma masyarakat cerdas yang tidak mudah terhasut isu penistaan agama.

Seharusnya hal itu, sebagai petunjuk untuk MUI agar mampu kembali menjadi organisasi ulama yang utuh, terlepas dari kepentingan politik, sosial, dan ekonomi. Karena jikalau MUI sudah terindikasi praktek politik praktis, akan mencoreng nama ulama Indonesia. Tentunya, umat muslim sulit untuk mempercayai fatwa-fatwanya MUI.

Isu penistaan agama ternyata masih perkasa, meski ada isu kemanusiaan yang dilecehkan oleh oknum umat Islam atas nama “Jihad”. Oknum pelaku jihad yang melempar bom molotov di sebuah gereja, telah menewaskan seorang anak berusia 2 tahun di Samarinda. Sebetulnya, aksi jihad itu sejatinya merupakan penistaan agama yang sebenarnya dan luar biasa.

Lucunya, FPI dan kawan-kawannya diam seribu bahasa yang tak mampu berucap dan berkoar-koar memperjuangkan keadilan bagi korban “jihad”, layaknya pada kasus penistaan agama. Ketidak berdayaan FPI dan golongannya semakin merucut bahwa penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok sarat kepentingan politik semata. Ada apa dengan FPI beserta golongannya?

Kemanusiaan sebenarnya mempunyai kedudukan tertinggi yang harus diperjuangkan sesuai perintah Nabi. Tolong menolong dalam hal kebaikan telah menjadi budaya umat Islam, lantas dimana sifat belas kasihnya FPI dan kelompoknya? Mampukah FPI memperjuangkan keadilan korban bom gereja seperti yang mereka lakukan menuntut keadilan penistaan agama kepada Ahok?

Nabi SAW menjunjung tinggi akan rasa kemanusiaan, kepada mereka yang sedang dilanda musibah dan kesusahan. Dimana masa demo 4 November ? Mereka hanya mampu berdemo untuk kepentingan ulama ormasnya sendiri dan melalaikan masalah kemanusiaan yang sedang melanda Indonesia tercinta.

Absurb sekali kondisi umat muslim Indonesia yang hanya mampu mendengungkan penistaan agama untuk kepentingan kelompok dan individu semata. Padahal kasus pelemparan bom “jihad” telah mencoreng Islam. Kenapa tidak pada demo atas penistaan agama pada bom itu? Di mana kalian pendemo 4 November? Kita ini Indonesia bukan golongan-golongan ormas.

Padahal kemanusiaan telah dihina, dilecehkan, dan dinistakan oleh oknum orang beragama Islam yang berdalih berjihad, padahal jihadnya dengan cara melempar bom molotov dan memakan korban jiwa. Tindakan keji itu, harusnya mengetuk pintu hati nurani para ulama yang berdemo atas nama penistaan agama. Mereka sebenarnya ketakutan bersembunyi dan berdalih macam-macam atas peristiwa bom molotov Samarinda.

Sejatinya umat Islam Indonesia itu yang ramah, seperti halnya para Ulama NU dan Muhammadiyah. Sampai sekarang ulama kedua ormas Islam tersebut, masih komit dan istiqomah menjaga NKRI dan menomor satukan kemanusiaan. Bukan ulama yang sibuk memikirkan kekuasaan dalam pentas politik praktis. Hati nurani umat Islam yang berdemo kemana itu?

Tuhan saja menurunkan Rasul SAW untuk memperbaikai akhlak, bukan untuk pemicu perpecahan.  Pendemo penistaan agama kemarin akhlaknya kamana? Apa ikut akhlak Nabi SAW? Penistaan agama yang berbalut politik memang pada dasarnya licik bin tipu muslihat. Tapi kalau penistaan dilakukan dengan kata “jihad” kok pada diem semua.

Cukup jelas mana yang pelaku penistaan agama berbalut politik kekuasaan, dengan pejuang penistaan agama sejati. Indonesia yang kaya akan keberagaman, mudah sekali masyarakatnya terutama umat Islam dimasuki doktrinisasi atas seruan dari ulama ormasnya. Masyarkat awam juga harusnya lebih berhati-hati dan mawas agar tidak terjerumus kedalam politik atas nama agama.

Kemanusiaan hakekatnya menjadi landasan utama dari akhlakul karimah dari seorang muslim. Sebenarnya akhlak-lah yang harus menjadi tonggak berdikarinya muslim nusantara menjadi muslim ramah, bukan muslim marah. Ego, individualisme, dan fanatisme kepada ormas bentuk dari hawa nafsu yang tidak terjaga.

Mereka yang bersorak-sorak atas penistaan agama pada surat Al-Maidah ayat 51, perlu membuka mata dan hati. Penistaan agama atas nama “Jihad” dengan membunuh orang-orang, itu seharusnya didengungkan dan diperjuangkan agar Islam benar-benar murni agama yang rahmatal lil ‘alamin.

Ulama yang tergabung pada MUI, juga harus tunduk akan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bukan seenaknya sendiri membuat fatwa, yang ternyata malah mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Mari jaga NKRI ini dengan akhlak yang baik dan saling bertenggang rasa.

Ketika penistaan agama merebak, masyarakat harus bersatu.

ekha rifki fauzi

Ahok dan Gun Dur, Anomali Manusia Indonesia

DUNIA HAWA - ”Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.” -- Bung Karno


Tak mudah menemukan keaslian dalam wajah perpolitikan di tanah air. Para politikus biasanya cenderung berbicara normatif, hati-hati, bercitra dan berada di menara gading yang terpisah jauh dari rakyatnya. Namun, hal ini tidak berlaku bagi mantan presiden keempat Indonesia, Gus Dur, dan Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Mereka adalah “anomali” yang berbeda dari tipikal politikus dan pejabat di tanah air. Bahkan keduanya bisa dikatakan mirip dalam beberapa hal.

Dalam bukunya yang berjudul The Presentational of Self in Everyday Life, Erving Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi. Menurutnya, kehidupan sosial seperti penampilan teateris. Ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Di panggung depan, orang cenderung memerankan seseorang yang bukan dirinya. Ia berusaha menampilkan citranya. Sementara yang mengetahui kondisi sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Inilah yang disebut panggung belakang (back stage).

Konsep dramaturgi Goffman benar-benar dipraktikkan dalam wajah politik kita. Citra atau image yang berusaha ditampilkan di tengah konstituen atau masyarakat biasanya diatur. Pola kemasan komunikasi, gaya bicara hingga sikap tubuh dirancang sedemikian rupa sehingga mengesankan bahwa sang komunikator adalah tokoh yang memihak rakyat, peduli pada nasib wong cilik dan seabrek sifat terpuji lainnya.

Tetapi dalam realitasnya, citra yang hendak dibentuk tersebut bertolak belakang secara diametral dengan wajah asli yang mereka sembunyikan. Logika Pramoedya Ananta Toer (alm) ada benarnya. Menurut sastrawan penulis “Tetralogi dari Pulau Buru” ini, untuk memahami elite kekuasaan di Indonesia harus memakai rumus X adalah minus X.

Apa yang mereka katakan di depan televisi, surat kabar atau media sosial adalah “kesan” dan bukan pesan sesungguhnya. Rumus atau logika Pram ini Ia dapatkan dari pengalamannya selama puluhan tahun ketika berhadapan dengan elite politik Orde Baru.

Senada dengan Pram, Mochtar Lubis (alm) lebih jauh melakukan otokritik. Wartawan dan sastrawan senior ini pernah mengungkapkan tentang ciri-ciri dan karakteristik manusia Indonesia. Setidaknya ada enam ciri manusia Indonesia, yakni, hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik dan memiliki karakter yang lemah. Namun, dalam kaitan artikel ini, penulis hanya mengulas empat ciri yang dianggap relevan.

Ciri pertama, hipokrit atau munafik. “Suka berpura-pura. Lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama,” ungkap Mochtar. Namun, ciri ini sulit kita temukan pada sosok Gus Dur dan Ahok. Pemikiran dan tindak-tanduk keduanya tidak memperlihatkan ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Gaya bahasa mereka natural, apa adanya, dan tidak dibuat-buat.

Gus Dur selain pernah menjadi Ketua PBNU (1984-1999) adalah aktivis yang beroposisi dengan rezim Orde Baru. Ketika menjabat Presiden, Gus Dur tidak sungkan untuk membubarkan Departemen Penerangan yang begitu jumawa di zaman Orde Baru. Ia juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Komitmen Gus Dur merawat kemajemukan dan keberpihakannya pada kaum minoritas di negeri ini semisal minoritas Tionghoa, kelompok Ahmadiyah, Syiah tidak perlu diragukan. Ketika sentimen anti Tionghoa masih membekas setelah kerusuhan Mei 1998 lalu, Gus Dur justru pada Januari 2001 mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Bagaimana dengan rekam jejak Ahok? Setelah Ali Sadikin, Jakarta kembali menemukan sosok Gubernur yang tegas. Reformasi birokrasi yang dilakukannya mulai membuahkan hasil. Rantai birokrasi yang lamban, gemuk dan korup mulai dikikis habis. Apapun yang menghalangi atau tidak mengimbangi kecepatan kerjanya akan dia libas. Citra dirinya adalah kerja. Ia tak segan menyemprot bawahannya jika ditemukan penyimpangan.

Di bawah kendalinya, Jakarta mulai berbenah. Gunungan sampah di sungai-sungai yang sering menjadi biang kerok banjir mulai hilang. Perumahan kumuh yang kurang manusiawi ia gusur dan penghuninya direlokasi. Mungkin yang belum adalah soal kemacetan, tapi Ahok tidak menyerah. Beragam paket solusi tentang hal ini terus digodok seperti penambahan armada transportasi masal, pembatasan lalu lintas ganjil genap dan lainnya.

Ciri Kedua manusia Indonesia versi Mochtar Lubis adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan keputusan, kelakuan dan pikirirannya. Alih-alih mengakui kesalahan, mereka cenderung mengungkapkan jawaban “bukan saya” sembari melemparkan kesalahan kepada bawahan atau mencari alasan untuk dikambinghitamkan.

Nah, sikap ini pun seakan tidak ditemukan dalam sosok Gus Dur dan Ahok. Apapun konsekuensinya, betapapun kebijakan mereka berdua dianggap tidak populer atau dapat memengaruhi peraihan suara di pemilu mendatang tidak memengaruhi sikap dan ritme kerja mereka.

Ciri ketiga adalah jiwa feodalnya. Feodalisme yang kental di kalangan manusia Indonesia melahirkan sebuah sikap yang sering disingkat “asal bapak senang “(ABS). Sikap ABS ini melahirkan kebiasaan menjilat dari bawahan kepada atasan. Sebaliknya dari sisi penguasa, “mereka selalu ingin dihormati dan antikritik.”

Namun, sifat ini sulit ditemukan pada diri Gus Dur dan Ahok. Keduanya tidak gila hormat. Di masanya, Gus Dur menjadikan Istana Negara menjadi istana rakyat. Rakyat yang bersendal jepit dapat masuk ke dalam Istana. Begitu pula sebaliknya, Gus Dur tak jarang menemui mereka dengan celana pendek dan sandal jepitnya.

Ahok pun tak berbakat jadi feodal. Setiap pagi ia menemui warganya di Balai Kota yang mengeluhkan beragam hal atau sekadar meminta foto bersama. Seperti juga Jokowi, ia sering turun ke bawah mengecek pekerjaan pegawainya hingga ke detail terkecil.

Ciri keempat, manusia Indonesia memiliki karakter yang lemah. Ciri ini masih berlangsung hingga sekarang. “Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi survive bersedia mengubah keyakinannya." Gus Dur dijatuhkan karena ia konsisten dengan sikapnya. Begitu pula Ahok dikritik keras lawan-lawannya tapi tak membuatnya bergeming sedikit pun.

Dus, di sinilah kita melihat keunikan Gus Dur dan Ahok. Keduanya merupakan kebalikan dari apa-apa yang disampaikan Mochtar Lubis sebagai kecenderungan ciri-ciri manusia Indonesia. Merekalah “anomali” yang tidak mudah ditemukan padanannya dalam wajah politik kita. Tepatlah apa yang dikatakan Bung Karno, tipe Gus Dur dan Ahok adalah tipe “Elang yang terbang sendirian di tengah bebek yang jalan beriringan.”


akhmad faizal reza

Amnesty International Minta Polri Hentikan Pengusutan Kasus Pidato Ahok

DUNIA HAWA - Polisi sudah menjadikan calon gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Kasus ini bermula dari pidato kontroversial Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu. Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, bereaksi. 


"Kepolisian Republik Indonesia harus segera menghentikan investigasi kriminal terhadap Gubernur Jakarta terkati kasus dugaan penistaan agama," kata Amnesty International dalam keterangan tertulis, Kamis (17/11/2016).

Sikap Amnesty International ini memang dikhususkan sebagai tanggapan dari keputusan Polri menyematkan status tersangka terhadap Ahok, pada Rabu (16/11) kemarin. Amnesty International menyebut kasus ini diusut atas laporan kelompok-kelompok keagamaan. 

"Ahok, seorang Kristiani, adalah warga Indonesia dari etnis Tionghoa pertama yang terpilih sebagai Gubernur Jakarta," kata Amnesty International menjelaskan soal Ahok yang dulu terpilih menjadi Wakil Gubernur Jakarta itu.

Amnesty International menilai sikap Polri yang mengusut kasus Ahok adalah tanda bahwa Polri terpengaruh oleh desakan kelompok keagamaan. Seharusnya, Polri lebih mengutamakan perlindungan hak asasi manusia.

"Dengan melanjutkan mengusutan investigasi kriminal dan menyatakan Ahok sebagai tersangka, otoritas telah menunjukkan bahwa mereka lebih risau terhadap kelompok keagamaan garis keras ketimbang menghormati perlindungan hak asai manusia untuk semua," kata Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Rafendi Djamin.

Rafendi menjelaskan, opini polisi dalam gelar perkara menunjukkan adanya perbedaan. Ketidakbulatan sikap penyelidik dalam gelar perkara menunjukkan keputusan peningkatan ke penyidikan adalah keputusan kontroversial.

"Di antara polisi, pendapat terbagi soal apakah kasus ini harus diprosees, ini menunjukkan keputusan untuk membuka investigasi terhadap Ahok adalah sebuah langkah kontroversial," ujar Rafendi.

[detik]

Gus Nuril Siap Pimpin 100 Ribu Massa Parade Bhinneka Tunggal Ika

DUNIA HAWA - Sekelompok masyarakat yang ingin merawat pancasila, UUD 1945, dan kebhinnekaan Indonesia menggelar Parade Bhinneka Tunggal Ika pada 19 November 2016 mendatang. Acara ini akan diikuti 100.000 peserta.


Hal ini disampaikan inisiator acara pada konferensi pers di Bakoel Koffie, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2016). Hadir dalam konferensi pers tersebut sebagai narasumber KH. Nuril Arifin (Gus Nuril), Pendeta Amos Sugianto, dan Nong Darol Mahmada.

"Massa setelah dihitung lagi sekitar 100.000 massa rielnya. Namun kami mengundang acara ini secara publik, dan banyak komunitas yang memberikan antusias," sebut salah satu narasumber yang juga salah satu inisiator acara Nong Darol Mahmada.

Parade ini akan dimulai dari Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat menuju titik inti acara di Bundaran Hotel Indonesia. Acara akan berlangsung mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 12.00 siang. Sebelumnya, panitia merencanakan parade dimulai dari Monas dan berakhir pukul 16.00 WIB. Namun perubahan dilakukan setelah melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian.

Kegiatan ini dilakukan untuk menunjukan kembali identitas bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika, serta untuk menciptakan suasana yang damai. "Kami akan tampilkan kekayaan budaya Indonesia. Jadi besok ada reok Ponorogo, kesenian, tarian, dan sebagainya," kata narasumber lainnya Pendeta Amos Sugianto.

Gus Nuril selaku narasumber dan inisiator acara mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menegakkan Pancasila sebagai dasar negara. Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak perbedaan menerima berbagai budaya masuk ke wilayahnya. Namun Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat diubah. Dia mengibaratkan Indonesia sebagai Pasar.

"Silakan berdagang, jangan bakar pasar, kalau bakar pasar, kita akan pertahankan. Dasarnya ini kita melakukan parade," tegas Gus Nuril.

[detik]

Rani Juliani Ditemukan, Antasari Bakal Lakukan Ini. Siapa Dibidik....??

DUNIA HAWA -  Mantan Ketua KPK Antasari Azhar akan melakukan ibadah umroh Januari mendatang. Di sana ia akan meminta petunjuk Allah SWT mengenai jalan hidup yang akan ditempuhnya, termasuk rencana membongkar kembali kasus yang menyebabkan dirinya masuk penjara.

Mereka menyebut ada skenario besar menjatuhkan Antasari yang saat itu galak menangkapi koruptor kakap. Ada yang terganggu dengan sepak terjang sang bos KPK kala itu. Dimunculkanlah kisah untuk mematikan karakter Antasari. "Bos KPK itu ternyata doyan main perempuan'.

Rani sendiri langsung menghilang setelah tampil di persidangan. Dia meninggalkan rumahnya di Jalan Kampung Kosong Panunggang, Pinang, Kota Tangerang. Selama beberapa bulan Rani 'disembunyikan' di apartemen. Cuma penyidik yang bisa bertemu dengannya. Setelah itu, tak ada lagi yang tahu di mana Rani berada.


Istri Antasari, Ida Laskmiwati, juga meyakini cerita ini bohong. "Dibilang main perempuan? Ya ampun, nggak mungkin deh. Pak Antasari itu kaku sekali," kata Ida dalam buku Antasari Azhar Saya Dikorbankan yang ditulis Tofik Pram dan diterbitkan Penerbit Imania.

Ida yang terus mencari kabar soal Rani ini juga memperoleh informasi yang mengejutkan.

"Saya juga tahu, bagaimana Rani Juliani kini sudah punya restoran sendiri, punya mobil," kata Ida.

Rani Juliani. Dari seorang caddy golf, naik jadi istri siri pejabat dan kini punya restoran.

Sementara Antasari mengaku tahu dimana keberadaan Rani. Antasari mendapat kabar dari temannya soal Rani. Kini Rani tinggal di Serang, Banten.

"Dia sudah tidak tinggal di daerah Kebun Nanas, Kota Tangerang lagi, tapi di daerah Serang. Sudah punya mobil tiga, kata teman saya," ujar Antasari saat ditemui di kediamannya, Selasa (15/11/16).

Keinginan untuk membongkar kembali kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, diakui Antasari masih ada. Sebab, menurutnya bukan dirinya saja, masyarakat Indonesia juga ingin kejelasan masalah tersebut. Namun, Antasari butuh waktu.

“Tetapi beri kesempatan saya selama tiga bulan bersama keluarga menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru ini, kehidupan yang saya tinggalkan hampir selama 8 tahun. Saya butuh ketenangan hati, dengan demikian saya harus ikhlaskan dahulu. Tapi setelah 3 bulan, kita lihat nanti,” kata Antasari ketika ditanya apakah benar sudah mengikhlaskan semua kasusnya saat telewicara dengan kompas tv.

Untuk membongkar kasusnya, Antasari berharap didorong dengan kemauan dari pemerintah dan penegak hukum. Sebab jika tidak usahanya akan sia-sia.

“Kalau presiden berkeinginan, kenapa tidak, supaya kebenaran materil tuntas, tidak ada lagi misteri kasus dalam perkara ini,” kata Antasari.

[dh©]

Jokowi Undang Prabowo Makan Siang di Istana

DUNIA HAWA - Presiden Joko Widodo mengundang Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk makan siang di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (17/11/2016) siang ini.


"Betul, rencana pukul 14.00 WIB diundang Presiden makan siang di Istana," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo saat dihubungi, Kamis (17/11/2016).

Kegiatan makan siang dengan Prabowo ini tidak ada didalam agenda resmi Presiden.

Edhy juga tak mengungkapkan apa agenda pertemuan tersebut. Namun, belakangan Jokowi memang melakukan konsolidasi politik, termasuk bertemu dengan para elite parpol.

Konsolidasi dilakukan usai demonstrasi 4 November yang menuntut calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diproses hukum karena dugaan penistaan agama.

Jokowi diketahui sudah berkunjung ke acara yang digelar oleh PPP, PAN dan PKB.

Sebelum demonstrasi 4 November, Jokowi juga sempat menemui Prabowo di kediamannya di Hambalang, Bogor.


Pada Rabu (16/11/2016) kemarin, Bareskrim Polri sudah menetapkan Ahok sebagai tersangka.

[okezone]


Habis Sindir SBY, Ahok Sindir Pedas Fadli Zon

DUNIA HAWA - Gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, melontarkan sindiran keras kepada Fadli Zon terkait foto selfienya dengan Donald Trump.

“Ada tuh anggota DPR ‎yang terhormat, yang ngoceh-ngoceh bilangnya enggak mau teman nista agama, macam-macam, enggak tahu foto ketawa-ketawa sama Donald Trump,” kata Ahok di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/11).


Ahok menganggap tindakan tersebut sebagai hal yang memalukan.

“Malu-maluin aja, iya enggak?” tukasnya.

Eks Bupati Belitung Timur itu kemudian mengutip ucapan promotor Tinju Don King. Yakni, kemunafikan adalah ibu dari segala kejahatan. Sedangkan prasangka rasial adalah anak kesayangan si ibu.

“Munafik udah lah,” tandasnya.

Seperti diketahui, Donald Trump dikenal dengan pribadi yang anti islam. Sementara, anggota DPR yang dimaksud Ahok diduga adalah Fadli Zon yang sangat kontra dengan Ahok.

Sebelumnya  Ahok mempertanyakan, kenapa ada pihak yang menyebut 'Lebaran Kuda' tapi tak diproses hukum, seperti dirinya yang sedang terbelit kasus dugaan penistaan agama.

"Itu lebaran islam, apa itu tidak menghina agama? Masa lebaran, disebut lebaran kuda. Kalau Ahok yang ngomong lebaran kuda, pasti langsung demo lagi," imbuh Ahok.

Puluhan pendukung yang memenuhi Rumah Lembang tertawa mendengar pernyataan Ahok tersebut.

Tapi, Ahok langsung mengklarifikasi bahwa istilah lebaran kuda bukan datang darinya.

"Aku tidak pernah ngomong 'Lebaran Kuda' ya, yang ngomong 'Pak Prihatin'. Bukan saya ngomong ya, saya tak pernah ngomong 'Lebaran Kuda', ini saya dapat dari yang suka ngomong, 'saya prihatin'," tutup Ahok disambut tawa.

[dh©]

Terorisme di Indonesia dan Saudi

DUNIA HAWA - Saudi dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama rawan terhadap terorisme. Sudah puluhan kali terjadi aksi bom bunuh diri di kedua negara ini yang dilakukan oleh kelompok teroris. Di Saudi, sasaran terorisme bukan hanya masjid-masjid Syiah saja tetapi juga properti milik pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu wajar jika kedua negara ini belakangan menandatangani perjanjian kerjasama bertajuk "Defense Cooperation Agreement" (DCA) yang antara lain untuk menangani masalah terorisme dan "konter-terorisme" di kedua negara.  


Yang menarik adalah setiap terjadi aksi-aksi terorisme, para ulama dan kelompok agama di Saudi selalu ramai-ramai mengecam aksi brutal para teroris. Ketika terjadi aksi bom bunuh diri yang menyasar sejumlah masjid Syiah di Qatif, Saihat, Khobar, atau Ahsa, yang menewaskan puluhan orang tak berdosa itu, para ulama juga ramai-ramai mengecam keras.

Bahkan Mufti Besar Saudi Shaikh Abdulaziz bin Abdullah Al Shyaikh menganggap terorisme sebagai bentuk "kejahatan kemanusian terbesar" dimana para pelakunya adalah para kriminal yang kelak akan menjadi "bahan bakar neraka". Bukan hanya itu, para ulama dan pemerintah biasanya secepatnya mengunjungi lokasi kejadian dan menyambangi para korban. 

Mereka juga menggelar pertemuan dengan para ulama Syiah berpengaruh untuk diajak sama-sama memerangi terorisme yang menjadi "musuh bersama" Saudi. Mereka bukan mengsyukuri karena warga Syiah, yang sering dipersepsikan sebagai "musuh Wahabi", telah menjadi korban serangan kaum teroris. Para ulama juga tidak menganggap pengeboman sebagai "pengalihan isu". 

Ada sekitar 10-15 % penduduk Saudi adalah warga Syiah yang tersebar di berbagai kawasan. Menariknya lagi, setiap kali terjadi pengeboman, baik warga Syiah maupun non-Syiah yang saya temui menganggap para pelaku sebagai "para bigot pengecut" tanpa memberi embel-embel agama atau aliran agama tertentu. Warga Syiah tidak menuduh Sunni sebagai pelakunya. Warga Sunni juga menolak pelaku pengeboman bunuh diri sebagai "Sunni". Kaum Salafi juga sama, tidak mengakui tindakan terorisme sebagai "aksi legal" yang mendapat legitimasi agama. Buat mereka, terorisme tidak punya agama. 

Memang, saya sendiri berkeyakinan bahwa jika ada orang beragama tetapi melakukan tindakan terorisme yang mengorbankan masyarakat sipil tak berdosa, maka perlu dievaluasi pemahaman agama mereka. JIka ada umat Islam yang begitu bangganya dengan terorisme dan aneka kekerasan dan kejahatan kemansusiaan, maka layak kita pertanyakan kualitas keislaman mereka. 

Jika ada orang yang merasa diri sebagai ulama tetapi malah "cengegesan" dengan kejahatan dan kebiadaban kaum teroris, tidak berempati dengan para korban terorisme, dan justru sibuk mengurusi yang lain, maka perlu kita pertanyakan kualitas keulamaannya. 


Pula, jika ada umat Islam yang menganggap Tuhan Allah ikut menjadi "suporter" aksi-aksi terorisme dan kekerasan terhadap non-Muslim, maka sejatinya mereka telah mengfitnah, mencemarkan, dan mendiskreditkan Tuhan sebagai Zat pencipta dan pelindung alam semesta berserta semua mahluk-Nya. Orang-orang sejenis ini pada hakikatnya jauh lebih buruk daripada setan yang sering mereka kambinghitamkan itu. 

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Panggung Pertunjukan Ahok

DUNIA HAWA - Pertanyaan menarik hari ini adalah "apakah status tersangka Ahok akan mempengaruhi elektabilitasnya?"

Saya mengamati gerak Ahok sejak ia menjadi Gubernur menggantikan Jokowi. Belum pernah - setahu saya - ada pejabat publik yang mampu memainkan orkestra di media selihai Ahok.


Pada posisi Ahok, ia bisa saja memainkan model yang sama seperti banyak pejabat lainnya, dengan memajang fotonya di bilboard bilboard dan media luar ruang di setiap sudut kota Jakarta. Itu legal karena bisa disembunyikan dengan bahasa proyek "sosialisasi program".

Tetapi Ahok tidak menggunakan "cara lama" itu. Ia paham, ada kerinduan sebagian masyarakat akan sosok pemimpin yang tegas, jujur, berani tapi juga perduli orang kecil. Dia "memainkan" kerinduan itu dengan sangat pintar.

Langkah langkah Ahok menjadi fenomenal ketika ia berantem dengan DPRD dan mengamankan anggaran trilyunan rupiah APBD DKI yang biasanya diperkosa beramai-ramsi oleh eksekutif dan legislatif.

Dan ia memainkannya dengan cantik ketika ia bertemu dengan warga setiap pagi di tempat kerjanya, menaikkan gaji para pasukan pembersih dan memberangkatkan umroh para penjaga masjid.

Media melahap langkah-langkahnya dengan suka cita karena ia santapan yang menarik. Media sosial sibuk membicarakannya dengan pandangan pro dan kontra, yang malah mengangkat namanya jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan banyak orang.

Ahok tidak dibesarkan oleh media, malah banyak media yang dibesarkan ketika mengamati langkah-langkahnya. Ketidak-pedulian Ahok terhadap dampak dari kerasnya ia membongkar tatanan mapan yang selama ini terjaga, membuatnya seperti seorang perenang yang menentang arus yang kuat.

Begitulah caranya menjadi besar. Ia "berbeda" dan orang suka melihat perubahan setelah sekian lama apatis terhadap pemerintahan yang gitu gutu aja.

Inilah yang ditakutkan lawan politiknya, sehingga merekapun menyerangnya melalui media juga. Dahsyatnya, apa yang dilakukan lawan politiknya malah menjadikan nama Ahok terangkat keatas.

Ahok tidak perlu membayar mahal para buzzer yang bertebaran di medsos. Banyak orang yang sepandangan dengannya, bersedia menjadi relawan lepas karena simpati pada apa yang dilakukannya.

Begitulah cara Ahok memainkan "perangnya" terlepas ia sadar atau tidak terhadap dampak dari apa yang dilakukannya.

Kembali ke status tersangka Ahok, ia akan kembali menunjukkan kelihaiannya. Status tersangka ini akn dijadikannya kampanye gratisnya. Sekali lagi - tanpa harus membayar uang banyak untuk pencitraan diri - Ahok akan menjadikan pengadilan nanti sebagai panggungnya.

Ahok pasti akan selalu hadir dalam persidangan, karena dimana lagi mendapat sorotan gratis dari mata kamera nasional selain disana?

Dan pembelaan-pembelanya nanti di pengadilan, akan menarik banyak simpati kepadanya. Tanpa bermain sebagai korban, ia sudah dianggap menjadi korban dari ketidak-adilan. Mereka yang sempat tidak ingin memilihnya karena "pandangan terhadap pemimpin non muslim", bisa berubah karena ingin membelanya.

Dan jumlah mereka ini jauh lebih banyak daripada mereka yang aktif di medsos dan berkoar koar menjelekkan namanya.

Lihat saja demo kemarin, berapa persen warga Jakarta - pemilih potensial - yang hadir sehingga harus menambah jumlah peserta demo dari luar daerah yang notabene tidak punya hak memilih?

Jadi jangan salah... status tersangka dan prosesnya di pengadilan ini justru akan menaikkan nama Ahok di mata pemilih. Cagub lain boleh menjanjikan bagi2 uang 1 miliar tiap RW, boleh saja terus mengkritik kebijakan Ahok sebelumnya, tapi mereka sendiri tahu, sulit sekali mengalahkan Ahok di pilkada kali ini.

Jika tidak sulit, tentu mereka akan bertarung secara fair..

Sambil minum kopi, saya berani bertaruh sebulan gak pake celana dalam, bahwa Ahok akan menang - mungkin malah satu putaran. Panggung ini milik Ahok dan ia adalah dirijen yang piawai...

"Pak Ahok berani sebulan gak pake celana dalam?"

"Berani.. dah lama gua gak pake.. gada bedanya..."

Arrggggh...

[denny siregar]