Thursday, November 10, 2016

Ulama, Mufti dan Qadi

DUNIA HAWA - Seperti saya jelaskan pada tulisa sebelumnya [lihat_disini], pada masa awal perkembangan Islam, "ulama" merupakan "istilah generik" untuk para ilmuwan, baik ilmuwan ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan / keislaman. Kata ini bukanlah sebuah "gelar akademik" yang dicapai melalui sebuah pendidikan tertentu. Dulu umat Islam belum mempunyai universitas. Yang ada adalah madrasah. Itu pun baru muncul pada abad ke-11 di era Dinasti Saljuq untuk menandingi sistem pendidikan Syiah sekaligus membendung gerakan Syiah yang dipelopori oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir. 


Sebelum pendirian madrasah ini, umat Islam belajar ilmu apa saja secara informal di masjid, di rumah-rumah para shaikh, atau di perpustakaan. Meski belajar informal, ada cukup banyak yang serius yang akhirnya menjadi ilmuwan (ulama) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan menulis banyak kitab (buku) di berbagai bidang, tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga ilmu-ilmu umum. Dulu tidak ada perbedaan antara "ilmu kapir" dan "ilmu agama". Semua ilmu pengetahuan itu dianggap sebagai "Islami" atau "religius" karena bersumber dari Zat yang sama, yaitu Tuhan. 

Singkatnya, kata "ulama" ini merupakan sebutan umum dan biasa saja yang diberikan oleh publik atau masyarakat kepada orang-orang tertentu yang dianggap telah menguasai ilmu pengetahuan yang ditujukkan dengan karya-karya maupun kepandaian mereka dalam mengajar para murid mereka. "Ulama" bukanlah gelar formal yang diberikan pemerintah atau kerajaan misalnya. Kualifikasi seorang ulama adalah kedalaman penguasaan atas ilmu pengetahuan bukan sekedar bisa mengaji Al-Qur'an dan ceramah pletar-pletor kayak "bakul obat". Yang terakhir ini namanya "dai" atau "mubalig". 

Dulu, ulama juga tidak ada kaitannya dengan pemberian fatwa. Ulama itu urusannya dengan ilmu pengetahuan sebagaimana seorang ilmuwan dewasa ini. Tukang memberi "fatwa" itu namanya "mufti" atau "muftu" dalam Bahasa Turki. Mufti ini biasanya dilakukan oleh "faqih" atau ahli hukum Islam (jamak: fuqaha). 

Fatwa itu biasa saja seperti sebuah pendapat tentang masalah sosial-keagamaan, tidak memiliki "ikatan hukum" dan tidak mengikat publik. Setiap faqih bisa mengeluarkan fatwa. Namanya saja pendapat. Nah, kalau sebuah fatwa yang semula merupakan pendapat individual para fuqaha itu kemudian "dinaikkan statusnya" menjadi sebuah keputusan hukum, baru dapat "mengikat" publik Muslim. Yang bertugas "melegalkan" sebuah fatwa itu bernama qadi atau "hakim syariat". Karena qadi ini adalah "pegawai kerajaan" maka tidak jarang keputusan-keputusan hukum itu dilakukan atas keinginan rezim penguasa politik. 

Beda dengan ulama, qadi ini "jabatan" yang diberikan oleh khalifah, dan bersifat hierarkhi. Qadi yang paling tinggi tingkatannya bernama "qadi qudlat" atau Hakim Agung yang selalu berpartner dengan "raja" atau apapun namanya. Struktur Hakim Agung ini kelak, di zaman Dinasti Turki Usmani (Ottoman) di abad ke-13/14, dihapus diganti dengan Shaikhul Islam. Rezim Turki Usmani juga melakukan perombakan besar-besaran mengenai struktur atau lembaga keulamaan ini (bersambung). 

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Surga dan Neraka ; Mengajarkan Pluralisme pada Anak

DUNIA HAWA - Banyak orang tua muslim yang bingung saat ditanya anaknya,"Apakah non muslim itu masuk neraka?" Terlebih bila ada dari kalangan dekat mereka yang non muslim. Misalnya, kalau kebetulan ada paman yang non-muslim, apakah paman masuk neraka? Atau, kalau ada guru yang non muslim, apakah guru itu akan masuk neraka?

Ada orang tua yang tidak bingung menjawab pertanyaan itu. Mereka dengan yakin akan bilang,"Ya, non muslim itu kafir. Mereka akan masuk neraka." Ia akan terus mendidikkan prinsip itu kepada anak-anaknya. Anda bisa mencontoh itu kalau mau. Tulisan ini saya buat untuk yang merasa tidak nyaman dengan jawaban itu.



Seperti biasa, jawaban atas pertanyaan kritis anak terhadap soal yang sensitif tidak sederhana. Maka jawaban kali ini pun akan panjang. Jawabannya mungkin juga akan bervariasi tergantung usia dan pengalaman anak.

Pertama kita harus jelaskan dulu soal iman dan Tuhan. Kita percaya atau beriman pada Tuhan. Tuhan kita Allah. Yang tidak beriman pada Allah disebut kafir atau ingkar. Menurut firman Allah, orang-orang kafir memang akan disiksa di neraka.

Kemudian kita harus jelaskan juga bahwa orang lain juga punya konsep iman seperti kita, kurang lebih. Mereka percaya pada Tuhan mereka. Yang tidak percaya dengan Tuhan mereka mungkin juga akan dianggap ingkar. 

Ini iman kita. Itu iman mereka. Iman kita berbeda dengan iman mereka. Kita tidak bisa mengubah iman mereka, mereka juga tidak bisa mengubah iman kita. Ini pilihan kita masing-masing. 

Apakah mereka akan masuk neraka? Ya, menurut firman Allah begitu. Tapi neraka itu soal gaib. Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya bentuknya. Yang terpenting, neraka bukan urusan kita. Surga dan neraka itu urusan Tuhan. 

Kita dijanjikan surga dan neraka, sebenarnya lebih sebagai pengingat kepada kita untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Neraka, khususnya, adalah ancaman dan peringatan untuk diri kita sendiri. Siapa yang sebenarnya akan masuk neraka, kita tidak tahu, karena itu urusan Tuhan. Maka, tidak patut kita menuding orang lain (secara personal) akan masuk neraka atau tidak. Itupun bukan bagian dari perintah Allah.

Yang diperintahkan Allah pada kita adalah berlaku baik. Termasuk kepada orang-orang yang tidak seiman dengan kita. Bergaullah dengan mereka, tanpa perlu memikirkan apakah mereka akan masuk surga, neraka, atau apapun. Jadi, sekali lagi, neraka itu adalah peringatan untuk kita.


Saya sendiri mengajarkan pada anak-anak saya bahwa surga dan neraka itu adalah metafora. Ia ada untuk keperluan penjelasan soal baik dan buruk, kepada orang-orang zaman dulu. Kita bisa membangun kebaikan dalam diri kita tanpa perlu berpikir soal surga dan neraka.

[hasanudin abdurakhman, phd]

Tuhan Tidak Menciptakan Kamu untuk DIA Zalimi

DUNIA HAWA - Pergi kuliah ke luar negeri adalah cita-cita saya sejak kecil. Boleh dikata, selama masa remaja hanya itu yang saya fikirkan. Saya ngotot untuk ikut kursus bahasa Inggris, padahal orang tua saya tak sanggup mengongkosi. Untunglah akhirnya guru saya waktu di madrasah tsanawiyah mau membiayai kursus saya.

Sekitar 3 tahun, 3 kali seminggu saya mengayuh sepeda ke tempat kursus. Ini tempat kursus orang-orang kaya. Mereka datang naik mobol atau sepeda motor. Hanya saya yang naik sepeda butut.


Selama SMA secara rutin saya memantau berita di koran, menumpang baca di rumah teman, untuk mengumpulkan informasi tentang kesempatan untuk sekolah ke luar negeri. Hanya itu yang saya fikirkan. Ada sisi baiknya. Saya berkawan dengan anak-anak nakal yang suka balapan sepeda motor, serta minum minuman keras. Saya tahu kalau semua itu saya lakukan, ada kemungkinan saya tidak akan bisa meraih mimpi saya. Maka, saya tidak pernah mau ikut-ikutan nakal seperti mereka. Saya tetap bergaul dengan mereka, tapi saya punya prinsip garis batas yang jelas, yang tak boleh saya lampaui.

Setelah perjalanan panjang itu, tahun 1987 saat lulus SMA saya mendapat kesempatan untuk ikut tes di Overseas Fellowship Program (OFP) yang diselenggarakan Habibie. Tapi saya gagal. Saya tidak lulus pada tes tahap pertama. Hati saya hancur. Saya merasa perjuangan selama ini sia-sia. Saya juga merasa sangat malu pada guru yang telah membiayai kursus bahasa Inggris saya.

Saya tulis surat permintaan maaf kepada guru saya itu. Tapi dia membalas, "Tak apa nak. Jalanmu masih panjang. Apa yang sudah kau usahakan selama ini pasti akan ada manfaatnya kelak."

Saya sedikit terhibur, tapi masih galau. Kemudian datan lagi surat dari abang saya, membalas keluh kesah saya. Singkat saja.

"Allah tidak menciptakanmu untuk Dia zalimi. Dia memberimu nikmat, juga kegagalan, semata untuk menguji kamu. Bukan untuk menyakiti."


Kalimat-kalimat singkat itu adalah tenaga yang luar biasa besar, yang membuat saya bersemangat kembali mengejar cita-cita saya, hingga akhirnya saya berhasil. Tujuh tahun lagi saya harus bersabar hingga saya bisa kuliah ke luar negeri. 

Tapi ujian yang saya hadapi bukan apa-apa dibanding Ni Wayan Trisnawati, pengusaha Kacang Disco, Bali. Ibunya bunuh diri saat ia berumur 1 bulan. Ia hidup di panti asuhan, di mana ia dibenci teman-temannya, karena ia sakit jantung sehingga tidak bisa ikut kerja bakti seperti anak lain. Ia pindah ke sana sini, namun hanya mendapatkan penolakan. Kalau dilihat hidup dia saat itu, sepertinya tak ada tempat bagi dia di dunia ini. Tapi dia bertahan, berjuang, melawan. Akhirnya ia bisa keluar dari berbagai kesulitan, termasuk sembuh dari penyakit jantungnya.

Things that do not kill you make you stronger!

[hasanudin abdurakhman, phd]

Mitos-Mitos Islam

DUNIA HAWA - Ada banyak mitos yang dipercaya oleh umat Islam, baik yang menyangkut sejarah masa lalu maupun keadaan masa kini. Mitos-mitos ini selalu dikumandangkan dalam berbagai kesempatan, di pengajian, pelajaran sekolah, juga dalam obrolan. Sebagian besar dari umat Islam itu tidak mengaji dengan benar, juga tidak membaca buku. Mereka mempercayai begitu saja mitos-mitos itu, tanpa pernah mau memeriksanya. Sebaliknya, bila kita ungkapkan pandangan versi lain, mereka akan marah. 

Mitos-mitos ini membentuk pola pikir, bingkai bagi mereka dalam melihat segala sesuatu. Maka, sering kali mereka melihat dengan cara yang salah. Salah satu produk kesalahan bingkai ini adalah sikap tidak toleran terhadap agama lain. 

Bagi saya mitos-mitos ini harus dibongkar. Fakta-fakta sebenarnya harus dibukakan. Atau setidaknya, sudut pandang lain harus disampaikan kepada mereka. Perubahan sudut pandang diharapkan bisa pula mengubah sikap, ke arah yang lebih toleran. 

Berikut beberapa mitos yang dipercaya oleh umat Islam.

1. Mitos Perang Defensif

Umat Islam percaya bahwa pihak Islam tidak pernah memulai perang, atau melakukan perang ofensif. Perang hanya dilakukan untuk membela diri. Ini keliru. 

Boleh dibilang bahwa perang-perang defensif hanya terjadi pada masa awal sejarah Islam, seperti Perang Badar, Perang Uhid, dan Perang Khandaq. Perang-perang lain lebih banyak merupakan perang ofensif, di mana umat Islam pergi keluar dari Madinah, untuk menyerbu posisi lawan. 


Contohnya adalah perang dengan Bani Qaunuqa. Perang ini terjadi tak lama setelah Perang Badar. Umat Islam yang menang dalam perang yang tak seimbang itu menjadi sangat percaya diri. Nabi Muhammad pergi ke pasar di kampung Bani Qaunuqa, menyampaikan ultimatum, agar kaum Yahudi Bani Qaunuqa masuk Islam. Bila tidak, nasib mereka akan seperti orang-orang Quraisy Mekah.

Ultimatum itu ditolak oleh Bani Qaunuqa. Para penulis sejarah Islam menyebut mereka congkak dengan penolakan itu. Sudut pandang inilah yang dianut oleh umat Islam hingga kini. Padahal, siapakah yang memberi ultimatum?

Penolakan atas uktimatum itu menimbulkan suasana tegang. Hanya diperlukan percikan kecil, untuk menyulutnya menjadi perang. Seorang tukang emas Yahudi iseng mengaitkan kerudung seorang muslimah di pasar, sehingga kerudungnya terlepas. Ia dibunuh oleh seorang lelaki muslim yang ada di situ, kemudian ia dibalas bunuh. Meletuslah perang.

Perang-perang lain adalah perang ofensif, atau setidaknya dalam istilah sekarang bisa disebut pre-emptive strike. Menyerang duluan terhadap musuh yang hendak melakukan serangan ofensif. Misalnya Ekspedisi Mu'ta dan perang dengan Bani Mustaliq.

Dalam sejarah selanjutnya di masa khalifah, tentara Islam bergerak jauh keluar dari jazirah Arab, menaklukkan Syiria, Palestina, Persia, hingga Mesir. Di masa selanjutnya bahkan sampai mencapai daratan Eropa. Bagaimana kita bisa mengatakan orang Madinah mempertahankan diri dengan menaklukkan Persia dan Mesir?

2. Kristen dan Penjajahan

Orang Islam terbiasa menganggap penjelajahan samudera yang kemudian diikuti dengan penjajahan adalah bagian dari misi Kristen. Karenanya mereka sering memandang Kristen sebagai musuh, karena mereka dulu penjajah. 

Pandangan di atas tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Kerajaan-kerajaan Eropa pada abad pertengahan memang merupakan kerajaan Kristen. Mereka menjelajahi dunia, menaklukkan, kemudian menjajah. Tujuan utamanya, menguasai wilayah, mengambil keuntungan dari berbagai sumber daya alam di daerah taklukan. 


Itu semua adalah motif ekonomi belaka. Kebetulan agama resmi kerajaan adalah Kristen, maka misi Kristen juga terbawa dalam kegiatan itu. 

Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang Islam. Seperti saya tulis di atas, pasukan khalifah Islam menaklukkan berbagai wilayah, kemudian menguasainya. Orang-orang Islam menceritakan sejarah ini dengan bangga. Tapi mereka tidak menyebut penaklukan ini sebagai penjajahan. Mereka menyebutnya dakwah Islam.

3. Minoritas Muslim Dizalimi

Orang-orang Islam Indonesia selalu mengulangi frasa yang sama,"Umat Islam di negara mayoritas non muslim selalu dizalimi." Itu dijadikan pembenaran saat mereka menzalimi umat lain di Indonesia. Kata mereka, perlakuan yang kalian terima masih mendingan dibanding dengan kaum muslim di negara non muslim.

Kalau menyebut contoh, mereka selalu merujuk ke Palestina dan Myanmar. Padahal keduanya sama sekali tak cocok untuk dipadankan dengan keadaan Indonesia. Palestina sedang dalam konflik militer dengan Israel. Itu yang membuat mereka sengsara. Keadaan itu tak ada hubungannya dengan soal minoritas. Muslim di Palestina adalah mayoritas.

Muslim minoritas di Myanmar memang tertekan. Tapi itu tak membenarkan kesimpulan bahwa seluruh muslim minoritas tertekan dan terzalimi.


Di negara-negara Eropa dan Amerika kaum muslim mendapat ruang gerak yang luas. Mereka bisa berimigrasi, menjadi warga negara, dan mendapatkan hak-hak sebagaimana warga negara lain. Bahkan tidak jarang pula mereka menjadi politikus dan pemimpin. Saat ini setidaknya ada 2 muslim yang menjadi walikota di Eropa, yaitu di London dan Rotterdam. Demikian pula halnya dengan di Amerika dan Kanada.

Ironisnya, tak sedikit muslim yang menderita justru di negeri sendiri, di mana mereka mayoritas, di bawah pemimpin yang muslim pula. Contohnya adalah kaum muslim di kawasan yang terus bergolak, yaitu Syiria, Irak, dan Yaman. Setiap hari mereka terbunuh, terluka, dan terusir. 


Itulah beberapa mitos yang dipercayai oleh umat Islam. Masih ada banyak mitos lain. Semua harus dibuka, agar kaum muslim dapat melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas.

[hasanudin abdurakhman, phd]

Penistaan Agama, Prespektif Minoritas

DUNIA HAWA - Pernahkah puluhan ribu orang yang berdemo 4 November tempo hari membayangkan bagaimana posisi dan perasaan kaum minoritas soal penistaan agama? Sadarkah bahwa penistaan terhadap agama minoritas terjadi hampir tiap hari, dan pelakunya berasal dari kalangan Islam? Mungkin sebagian dari para pengunjuk rasa itu adalah pelakunya, tapi mereka tidak merasa salah.

Coba perhatikan posisi orang Kristen. Agama Kristen dianggap agama sesat. Ini adalah agama yang dituduh sebagai produk penyelewengan ajaran Isa (Yesus). Kitab suci mereka dituduh sebagai kitab palsu. Kitab suci asli, katanya, disembunyikan di suatu tempat di Vatican, agar tidak diketahui orang banyak. Lucunya, banyak orang Islam yang tahu. Umat Kristen, kata mereka, sudah ditipu.


Umat Islam mempunya pengajiam khusus yang membahas soal kesesatan Kristen, yang disebut kristologi. Ada beberapa ustaz spesialis di bidang ini. Ia laris diundang berceramah ke mana-mana. 

Kajian dilakukan di mesjid-mesjid dengan pengeras suara bertenaga besar, menyampaikan isi kajian ke segenap penjuru. Juga dilakukan kajian yang sama di berbagai stasiun TV, terbuka luas tanpa saringan.

Orang-orang pribadi juga tak jarang menista dalam ruang kehidupan mereka. Mereka dengan enteng mengumbar isi kajian-kajian tadi depan orang-orang Kristen. Mereka menjadikan ajaran agama orang lain sebagai olok-olok.


Minoritas dari kalangan Islam seperti Syiah dan Ahmadiyah 
lebih mengenaskan lagi nasibnya. Tidak hanya ajaran mereka yang dicerca, tapi mereka juga dizalimi secara fisik. Mesjid mereka diserang, mereka diusir, bahkan ada yang dibunuh. Semua itu tidak pernah dianggap sebagai penistaan. Semua itu dianggap sebagai kebenaran, menegakkan ajaran Allah.

Maukah puluhan ribu orang itu, dan ratusan juta muslim lain mencubit diri mereka, untuk menyadari bahwa dicubit itu sakit, kemudian menghayatinya, dengan berhenti mencubit orang lain?

[hasanudin abdurakhman, phd]

Maafkan Kami, Pahlawan ku

DUNIA HAWA - Mereka yang dulu gugur sedang menangis sekarang ini...

Apa yang mereka perjuangkan, dengan darah dan airmata kehilangan, begitu mudah dikoyak oleh kebanggaan. Kebanggaan semu yang mengatas-namakan Tuhan tapi mencabik keadilan.

Tidak ada siapapun yang boleh mengklaim kemerdekaan di bumi pertiwi ini kecuali mereka yang menumpahkan darah di atasnya. Mereka yang tidak memperdulikan apa agama mereka, apa suku dan ras mereka, mereka mempunyai kewajiban yang sama yaitu mempertahankan tanah air mereka.


Mereka juga mempunyai hak yang sama terhadap negeri ini. Tidak ada sejengkalpun tanah di bumi ini yang bukan merupakan hak mereka. Begitu juga terhadap keturunan mereka, yaitu kita.

Lalu siapakah kita yang sibuk berbicara mayoritas dan minoritas? Siapakah kita yang sibuk berbicara angka dihadapan kubur mereka yang sudah mengorbankan semua?

Kita tinggal menjaga dan menikmati dengan baik apa yang sudah mereka rebut dan pertahankan untuk kita. Kita tinggal membangun apa yang sudah mereka mulai. Tetapi kita malah sibuk bertengkar siapa yang berhak atas siapa.

Dimana rasa malu kita?

Mereka dulu juga punya banyak perbedaan pandangan. Tetapi jika itu menyangkut Indonesia, mereka mempunyai satu tujuan. Peluru tidak mengenal apa agama mereka. Mereka harus saling melindungi, saling menjaga supaya mereka tetap hidup dan terus berjuang.

Apakah menjadikan negara kesatuan itu mudah?

Lihat negara lain masih dalam konsep serikat, kesultanan, kerajaan tapi tidak mudah menjadikannya satu kesatuan. Sekian pulau, sekian suku dan ras, sekian agama, sekian pandangan politik, mereka ikatkan menjadi satu Indonesia.

Tidakkah itu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita? Kapan kita bisa sedikit pintar hanya untuk memahami hal sederhana ini saja?

Maafkan kami, pahlawanku..

Kami yang bodoh ini tidak pernah belajar apapun darimu.. Kami menjadi orang yang egois, mementingkan diri sendiri hanya demi segenggam materi di dunia ini..

Maafkan kami Wolter Monginsidi
Maafkan kami Gatot Subroto
Maafkan kami Pangeran Diponegoro
Maafkan kami I Gusti Ngurah Rai..
Maafkan kami...

Mungkin kami sedang belajar berjalan, kami sedang belajar bicara sehingga kami selalu berisik terhadap apapun juga..

Tunggulah kami di perjalanan kedua dan ceritakan tentang betapa serunya bertempur membela negara.. dengan secangkir kopi tentunya..

[denny siregar]


Ulama dalam Sejarah Islam

DUNIA HAWA - Siapa sih ulama itu? Apa kriteria orang bisa disebut sebagai ulama? Apakah seorang yang rajin ceramah di tipi-tipi misalnya bisa disebut sebagai ulama? Apakah ulama hanya mereka yang "pinter" dalam hal studi-studi keislaman? Kapan ulama ini muncul menjadi "primadona" dalam masyarakat Islam? Apakah semua negara yang mayoritas berpenduduk Muslim mempunyai lembaga keulamaan seperti MUI? Mari kita kaji bersama. 

Kata "ulama" adalah jamak / plural dari kata "alim" (dari kata "'ilm" : علم‎‎ "knowledge" yang berarti "pengetahuan") yang berarti "orang-orang berilmu pengetahuan" atau "orang-orang terdidik", atau kira-kira, seperti sarjana. Pada zaman dahulu kala, kata atau sebutan "ulama" atau "alim" ini tidak populer. Sangking tidak populernya, Al-Qur'an sendiri hanya menyebut dua kali saja kata "ulama" ini (misalnya dalam Surat Fathir Ayat 28). Hadis Nabi Muhammad yang menyebut cukup banyak kata "ulama". 


Pada awal sejarah perkembangan Islam, banyak istilah yang dipakai untuk "komunitas sarjana" ini, dan pada umumnya lebih spesifik, misalnya "muhaditsun" untuk para ahli hadis, "mutakallimun" untuk para ahli ilmu kalam atau "teologi Islam", "mufassirun" untuk ahli tafsir, atau "fuqaha" untuk ahli hukum Islam. Bahkan kata "fuqaha" inipun awalnya bermakna" para ahli agama atau yang paham dengan seluk-beluk keislaman, tidak melulu tentang hukum Islam. 

Kata "ulama" dulu tidak mengacu pada spesifik makna, yaitu "orang-orang yang ahli ilmu agama Islam" seperti yang berkembang dewasa ini, melainkan sebuah "istilah generik" untuk para ilmuwan diluar ilmu-ilmu keislaman seperti kimia, fisika, ekonomi, matematika, dlsb. Jadi ulama itu merujuk pada insinyur, ekonom, kimiawan, fisikawan, matematikawan, atau mungkin antropolog he he. 

Al-Qur'an sendiri secara eksplisit menyebut kata "ulama" sebagai "komunitas ilmuwan" ini, khususnya para ilmuwan hard sciences tadi untuk menunjukkan penghargaan yang tinggi Al-Qur'an terhadap perkembangan ilmu-ilmu non-keagamaan. Perlu juga dicatat kalau dulu tidak ada sekat-sekat keilmuan: sekuler atau religius. 

Karena itu para sarjana Muslim hebat dulu menguasai berbagai ilmu pengetahuan atau biasa disebut sebagai "sarjana polymath" yang tidak hanya ahli ilmu-ilmu keislaman saja (seperti fiqih, hadis, ushul fiqih, dlsb) tetapi juga ilmu-ilmu yang lain termasuk kedokteran, ekonomi, astronomi, politik, filsafat, sejarah, biologi, dan bahkan antropologi. Abu Raihan Al-Biruni, misalnya, ia bukan hanya ahli matematika dan astronomi tapi juga seorang antropolog yang bukunya, Kitab al-Hind, bercerita tentang masyarakat Hindu dan Yogi di India. Begitu pula para ulama lain pada waktu itu bisa dipastikan seorang sarjana polymath. Mereka berprinsip kalau semua ilmu pengetahuan itu bersumber dari Tuhan karena itu tidak ada istilah sekuler-religius. 

Ada pula yang berargumen, bahwa kata "ulama" itu mengacu pada para sarjana ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan (keislaman). Tentang asal-muasal penggunaan "gelar" ulama ini bisa dilihat di The New Encyclopedia of Islam atau The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought. 

Nah, sejak kapan kata "ulama" itu kemudian menjadi bermakna "orang-orang yang ahli agama Islam" saja? Yang mempopulerkan sebutan ulama untuk para "sarjana agama" (Islam) adalah Turki Usmani sejak abad ke-14 M. Para rezim Turki Usmani pula yang "melembagakan ulama" ini untuk kepentingan-kepentingan politik-pemerintahan (bersambung).

Jabal Dhahran


Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Fakta: Al Maidah 51 Memang Tidak Melarang Memilih Pemimpin Nasrani

DUNIA HAWA - Mereka yang menyatakan bahwa melalui Al Maidah 51, Allah melarang umat Islam memilih pemimpin Nasrani nampaknya harus membaca ulang Al Quran.

Tanpa membaca lagi Al Quran, kita akan terus menyebarkan kebohongan bahwa menurut Al Maidah 51, umat Islam tidak boleh memilih pemimpin Nasrani.

Gara-gara kebohongan ini Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thajaja Purnama (Ahok), sampai diperkarakan secara hukum.
Padahal, apa yang dikatakan Ahok tidaklah salah.

Coba buka terjemahan Al Maidah dalam kitab terjemahan Quran Versi Departemen Agama RI, dan Anda akan menemukan menemukan kalimat ini:


“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) . .”

Jadi tidak ada larangan memilih pemimpin dalam ayat tersebut.

Terjemahan ini ditulis sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Lajnah Pentafshih Mushaf Al Quran Departemen Agama Republik Indonesia, sebuah kepanitiaan yang menjaga dan memeriksa kebenaran setiap terjemahan Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia.

Memang saya memperoleh informasi bahwa di era Soeharto, terjemahan itu pernah diubah menjadi larangan menjadi orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘pemimpin’. Tapi alasannya ketika itu politis.

Yang penting, di masa ini, terjemahan resmi Al Quran di Indonesia tidak memuat larangan memilih pemimpin Nasrani.

Soal larangan menjadikan umat Nasrani sebagai ‘teman setia’ ini sebenarnya juga mengandung konteks tersendiri.

Banyak tafsir yang menjelaskan bahwa larangan itu diturunkan Allah terkait dengan suasana perang yang dihadapi umat Islam di masanya. Ketika itu, karena diperlukan soliditas dan kekompakan umat Islam menghadapi kaum Quraisy, turunlah perintah untuk tidak menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi sebagai sekutu dalam perang. Masalahnya, kaum Nasrani saat itu terbelah: ada yang pro dan ada yang anti Nabi Muhammad. Jadi, supaya tidak ada keraguan, turun perintah agar umat islam berperang tanpa melibatkan mereka. Bagaimanapun, ini adalah perintah yang bersifat kontekstual dan situasional.

Dengan demikian, jelas bahwa menurut Al Maidah 51, tidak ada larangan memilih pemimpin Nasrani. Jadi mereka yang berusaha mempengaruhi publik bahwa ada larangan untuk memilih pemimpin Nasrani dalam Al Maidah 51, orang itu sebenarnya pembohong atau setidaknya tidak jujur karena tidak mengakui bahwa larangan itu tidak ada dalam terjemahan resmi Al Quran di Indonesia.

Kesimpulan: Al Maidah tidak bohong. Yang bohong adalah yang bilang Al Maidah 51 memuat larangan memilih pemimpin Nasrani.

[ade armando via madinaonline]