Friday, November 4, 2016

Pejuang Agama kok Gitu!


DUNIA HAWA - Ratusan ribu umat yang ngakunya beragama, dan ngakunya agama Islam berkumpul di Jakarta. Katanya mau demo. Ngakunya bela Islam. Katanya cuma pengen menuntut Ahok diproses secara hukum.

Sudah diingatkan dari awal, demo kali ini bahaya. Rawan ditunggangi berbagai kepentingan. Tapi kalian merasa paling tahu, paling benar sendiri. Masa pembela agama kok gitu. Masa Islam kok gitu.

Dampak perbuatan kalian, kedamaian warga Jakarta terenggut. Ricuh. Mobil dibakarin, toko dijarahin. Masa, beragama kok gitu. Masa, pejuang islam kok gitum Masa, Islam kok gitu. 

Kalian pikir, itu karena perbuatan siapa? Mau nyalahin Ahok? Ahok sudah minta maaf, padahal dia salah kan itu menurut pendapat kalian. Kalian bisa saja salah menilai. Masa kalian ngga mungkin salah. Emang kalian tuhan?

Biar hukum yang memutuskan. Kita sepakat. Pemerintah juga udah turutin mau kalian. Ahok diproses hukum secepatnya. Oke. Mau apa lagi? Kok minta Ahok ditangkap saat ini juga. Semena-mena kalian. Pejuang agama kok gitu. Islam kok gitu

Malah pake nuntut turunin Jokowi segala. Kalian yakin pejuang agama? Demo cuma mau bela agama? Cuma pengen minta Ahok diproses hukum saja?

Beragama kok gitu. Pejuang agama kok gitu. Islam kok gitu.

[nurul indra]

Demo Ahok Berubah Jadi Tuntutan Turunkan Jokowi


DUNIA HAWA - Massa pendemo dari sejumlah ormas keagamaan yang semula membubarkan diri, kini justru semakin banyak yang kembali ke kawasan silang Monas. Salah satunya terlihat di depan Balai Kota DKI Jakarta.

Jumlah massa di depan kantor gubernur DKI meningkat jumlahnya. Diperkirakan mencapai ribuan. Massa yang dipukul mundur dari depan Istana Merdeka, bergerak dari arah patung kuda kemudian melintas di depan Balai Kota.

Mereka membawa bambu panjang dan mulai berteriak-teriak. Massa yang semula meneriakkan agar calon petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) diproses hukum atas kasus dugaan penistaan agama, kini berubah menjadi tuntutan menurunkan Presiden Joko Widodo.

"Turunkan Jokowi sekarang juga," teriak massa yang melintas di depan Balai Kota.

Massa menyemut di jalan Medan Merdeka Selatan atau persis di depan Balai Kota DKI Jakarta. Pengamanan pun diperketat. Brimob yang semula sudah beristirahat, mulai bersiaga kembali di dalam gedung Balai Kota. Brimob bersiaga dengan tameng hitam, tanpa senjata.

[merdeka]

4 November dan Politik Massa Berbasis Fatwa


DUNIA HAWA - Aksi “bela Islam II” yang dilaksanakan pada 4 November 2016 ini oleh ormas Islam menghadirkan gelombang massa yang sangat massif. Mereka berdatangan dari berbagai daerah dengan satu komando untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap telah melakukan penistaan agama.

Bahkan, untuk mendorong pentingnya aksi ini, ada banyak pihak (termasuk beberapa agamawan) yang menjadi buzzer untuk mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat agar mau terlibat dalam aksi ini. Tak sedikit pula dari para buzzer yang mengonstruksi aneka macam seruan dan anjuran berbentuk fatwa demi menegaskan bahwa aksi ini adalah untuk membela agama Islam.

Gelombang fatwa yang dirangkai secara sistemik dijadikan sebagai instrumen teologis untuk mengkanalisasi berbagai isu keagamaan, meski sebenarnya di dalam pusarannya sarat dengan muatan politik. Apalagi dalam tindakan ini berjalin secara kelindan dengan momentum Pilkada Jakarta yang akan berlangsung pada tahun 2017 di mana Ahok menjadi salah satu kontestannya.

Mencermati fenomena ini, kita patut bertanya, mengapa aksi 4 November sangat bergelinjang di ruang publik, baik yang nyata maupun yang maya? Mengapa banyak para pihak, terutama kalangan agamawan, mengeluarkan fatwa yang mempertegas pentingnya dukungan ribuan massa untuk hadir dalam aksi ini?

Politik Atas Nama


Kuntowijoyo pernah mengutarakan istilah “politik atas nama” untuk menguraikan sebuah fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakat, terutama kelompok beragama yang sangat getol merekonstruksi ajaran-ajaran berbau agama sebagai penegas sebuah pembelaan terhadap kepentingan yang ingin diraih. Utamanya kepentingan yang berafiliasi kuat dengan ranah kekuasaan.

Bagi masyarakat Indonesia, yang secara sosio-kultural masih menganggap keberadaan agamawan sebagai “wakil Tuhan” yang kharismatik, pesan-pesan keagamaan yang disampaikan seringkali dianggap sebagai jalan kebenaran. Tak heran bila berbagai seruan yang menggema di berbagai lini kehidupan, apalagi momentumnya berdekatan dengan hajatan politik, pesan-pesan keagamaan ini dimetamorfosis dengan rumusan fatwa yang diniscayakan sebagai pembelaan terhadap ajaran yang wajib ditegaskan maupun penentangan terhadap perilaku sosial yang dianggap menyimpang dari bingkai ajaran agama.

Apalagi yang dianggap melakukan penyimpangan adalah pihak yang berbeda keyakinan dan keimanan seperti Ahok, yang ditengarai oleh beberapa pihak kelompok Islam dianggap menghina al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51. Tak pelak, gugusan fatwa yang diyakini sebagai peringatan keras dan penanda seruan moral dianggap sebuah kelaziman untuk disampaikan, termasuk fatwa mobilisasi massa pada 4 November.

Dari sini, 4 November menjadi ikon pergerakan yang menyebar ke berbagai media, baik elektronik, cetak, dan media sosial untuk menjaring dukungan sebesar mungkin dari berbagai kalangan umat beragama, terutama lapisan umat yang aliran pemikirannya satu nafas dengan ideologi yang diemban. Semisal kelompok-kelompok keagamaan yang selama ini sangat getol menyerukan slogan “amar ma’ruf nahi munkar” dengan cara-cara emosional.


Slogan ini lalu dikembangkan sebagai rintisan fatwa untuk mendukung penuh aksi 4 November yang disertai dengan penisbatan ayat-ayat yang berkaitan dengan seruan jihad.

Pada titik ini, dari gugusan fatwa yang berkembang sebagai seruan jihad semakin dibesarkan ruang geraknya bahwa siapa pun yang bersedia bergabung dalam aksi 4 November dan bila keterlibatan mereka dimungkinkan berujung pada risiko jatuhnya korban, maka akan dianggap sebagai mati syahid. Dalam kaitan ini, kesyahidan dijadikan sebagai the ultimate concern yang penuh dengan misi kesucian.

Namun, bila ditelisik lebih jauh denga kritis, bukankah aksi 4 November yang sangat beresonansi di ruang publik dan ruang maya, dan yang disasar hanyalah seorang Ahok yang secara formal sudah meminta maaf dan pihak kepolisian telah memprosesnya melalui jalur hukum, dan dimungkinkan pula di lingkaran peristiwa berdiri para komprador politik sarat kepentingan, justru akan menimbulkan sebuah kemudlaratan besar bagi masyarakat secara keseluruhan.

Gerakan massa yang didorong oleh gugusan fatwa dan ditegaskan sebagai sebentuk jihad bisa jadi akan berkembang ke mana-mana yang lepas dari inti persoalannya. Bisa jadi pula cara politik atas nama atau politik representasi yang digunakan sebagai cara sistemik untuk menuntut Ahok lewat aksi 4 November sesungguhnya menjadi untuk menjegal Ahok di tengah jalan sambil memberikan ruang leluasa kepada calon lain.

Bila anggapan ini yang terjadi, maka sesungguhnya gerakan massa yang memuncak pada 4 November dan selama ini didorong oleh serial fatwa oleh kelompok-kelompok tertentu, tak lebih sebagai lakon dramartugis yang segala sesuatunya sudah didesain oleh para komprador politik di balik layar.

Dramaturgi Fatwa


Secara sosiologis, ada dua mekanisme untuk menjelaskan bagaimana fatwa dihadirkan ke permukaan dan diterima sebagai penggerak massa. Yaitu, panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam buku The Presentation of Self in Every Day, Ervin Goffman menguraikan keberadaan “panggung depan” sebagai peristiwa sosial yang memunculkan gaya atau peran formal seseorang. Dalam peran maupun gaya tersebut bisa hadir beragam bentuk ekspresi dan improvisasi emosionalitas dalam menunjukkan reportoir teatrikalnya.


4 November yang menjadi panggung depan kehadiran sebuah fatwa untuk menggerakkan massa adalah improvisasi seruan yang dilakukan oleh kelompok agamawan tertentu. Melalui jaringan ideologisnya, fatwa ini menggelinding ke berbagai permukaan media lalu membentuk arus informasi bahwa keterlibatan dalam aksi adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, fatwa ini dikaitkan dengan penisbatan hukum kewajiban bagi umat Islam untuk hadir dalam aksi ini.

Lalu, apakah fatwa ini hanya bergerak di panggung depan untuk menggerakkan massa? Di sinilah yang patut dicermati lebih lanjut. Setidaknya, pembacaan ulang tentang sebuah fatwa yang diserukan untuk kepentingan tertentu yang momentumnya berdekatan dengan hajatan politik dapat memberikan gambaran menyeluruh ihwal perumusan sebuah fatwa.

Karena itu, ada aspek lain yang dapat ditelusuri untuk menganalisis bagaimana sebuah fatwa terbentuk. Dalam kaitan ini, panggung belakang menjadi landasan epistemologis untuk menguraikan berbagai motivasi munculnya fatwa. Siapa saja yang terlibat dalam perumusan fatwa; dalam konteks apa sebuah fatwa di sampaikan; dan bagaimana fatwa itu disepakati sebagai instrumen teologis untuk merespons sebuah persoalan.

Beberapa pertanyaan ini bersifat lazim dikemukakan agar kita tidak serta merta silau dengan adanya sebuah fatwa yang efeknya selalu dianggap bersifat mengikat.

Dalam kaitan ini, bila fatwa pergerakan massa dalam aksi 4 November dibaca melalui aspek panggung belakang, kira-kira gambarannya adalah bahwa di balik aksi ini dimungkinkan ada kekuatan tangan tak tampak (invisible hand) yang bisa jadi ingin membuat kekisruhan sehingga Jakarta menjadi tidak aman. Dan bila Jakarta tidak aman, maka dibutuhkan sosok yang bisa menciptakan keamanan.

Dengan demikian, di balik perumusan fatwa ini sesungguhnya terselip politik representasi yang melibatkan beberapa pihak untuk berkontestasi di dunia politik. Lalu, bila aksi ini masih dianggap sebagai murni pembelaan umat Islam, siapa pun menjadi mafhum bahwa dalam konteks kekuasan yang abadi hanyalah kepentingan. Sementara umat Islam selalu dijadikan bamper oleh pihak-pihak tertentu untuk menuju kursi jabatan.

Fathorrahman Ghufron

Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta

Foto Ribuan Demonstran Berkumpul di Istiqlal, Itu HOAX !!!


DUNIA HAWA - Kepala Bagian Protokol Masjid Istiqlal Abu Hurairah Abdulsalam membantah ada demonstran berjumlah besar seperti yang tampak pada foto foto yang viral di media sosial. 

"Hoax itu," katanya saat ditemui di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis, 3 November 2016. Dia menjelaskan, ribuan orang yang terlihat dalam foto itu memang ada di Istiqlal, tapi itu merupakan foto mereka pada Senin malam lalu. "Itu acara rutin MR (Majelis Rasulullah)." 






Dalam foto yang viral di media sosial itu, terlihat ribuan umat yang berpakaian putih-putih sedang berdiri dan berkumpul di tempat salat. Jemaah tampak memenuhi ruangan salat hingga ke lantai atas Masjid Istiqlal. Berdasarkan pantauan di lokasi, pagi tadi belum ada peserta unjuk rasa dalam jumlah besar. Namun beberapa orang dari luar kota sudah berdatangan dalam kelompok kecil. 


Salah satunya sejumlah santri dari Banten. Mereka tiba di Istiqlal sejak pukul 01.00 tadi. Ada pula seorang pengurus Pondok Pesantren Babussalam, Riau, yang mengaku sudah ada di Jakarta sejak kemarin. 

Semakin sore, jumlah peserta unjuk rasa yang datang ke Istiqlal semakin ramai. Mereka berencana bermalam di masjid hingga esok hari. "Ini sudah mulai ramai, tidak seperti magrib yang biasanya," ujar Didi, seorang staf bagian protokol. 

Pengurus Istiqlal mempersilakan para peserta unjuk rasa bermalam di sini asalkan menaati aturan dan menjaga ketertiban, yaitu berhemat menggunakan air dan listrik. 

[tempo]


Erdogan Dukung Aksi Demo 4 Nov, Hoax !!!


DUNIA HAWA - Duta Besar Turki untuk Indonesia, Sander Grbz mengklarifikasi fotonya yang beredar viral di media sosial.

Dalam foto tersebut, dia terlihat berada di tengah kerumunan para peserta demo Ahok yang berada di Masjid Istiqlal.

Sander mengatakan dia bersama dengan Wakil Menteri Pertahanan Turki uay Alpay, hanya mengunjungi Monas dan Masjid Istiqlal, kemarin.

Dia mengatakan, kunjungan yang dilakukan di masjid terbesar Jakarta itu hanya sebentar saja.

"Tentu saja tidak benar," katanya.

"Wakil Menteri Pertahanan Turki uay Alpay, yang sedang berkunjung ke Jakarta untuk menghadiri pameran INDO DEFENCE, mengunjungi Monas dan Masjid Istiqlal untuk melihat-lihat keindahan masjid itu dari luar, kemarin," lanjut Sander dalam pesan singkatnya.

Sementara itu, di luar masjid memang dipenuhi orang-orang yang menggunakan pakaian putih dengan syal hijau bertulis huruf Arab. Sander mengatakan mereka melihat bendera Turki dari mobil dinasnya dan mengambil foto bersamanya.

"Orang-orang yang melihat bendera Turki dari mobil dinas saya, meminta berfoto bersama dengan Wamen Turki uay Alpay dan saya," lanjut dia.

Menurut Sander, acara jalan-jalan keliling Monas dan Masjid Istiqlal yang dia dan pejabat Turki lakukan kemarin itu tidak ada hubungannya dengan rencana demo besar-besaran di Jakata hari ini. Namun, di media sosial Indonesia, foto-fotonya jalan di depan Istiqlal menjadi viral.

Salah seorang pengguna Facebook, Said Anshar, mengklaim kedatangan Sander dan Wamen Pertahanan Turki sebagai dukungan dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk melaksanakan demo ini.


"Road to Istana. ucapan salam dukungan dari Mr. Erdogan yang disampaikan staff kedubes Turki kepada peserta Aksi Bela Qur'an #BelaQuran #DukungAksi4November," demikian dikutip dari sosial medianya.

Sander mengatakan, Turki tidak berniat untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

"Republik Turki tidak memiliki niat untuk mencampuri masalah dalam negeri Indonesia. Kami memiliki hubungan yang sangat baik pada semua tingkatan dengan Indonesia," pungkasnya.

[merdeka]

Blunder SBY mengenai Demonstrasi 4 November

Kejanggalan Pidato SBY tentang Demonstrasi


DUNIA HAWA - Tulisan ini menggunakan analisis retorika untuk melihat bagaimana SBY menyampaikan pidatonya di Puri Cikeas. Caranya adalah membedah kalimat dalam isi pidato dan membahas bagaimana overall arguments, pengaturan ide, dan istilah penting yang selalu diulang.

Tetapi, saya tekankan, it doesn’t need to take a genius untuk memahami banyaknya keganjilan di pidato SBY.

Jangan pula membaca kata “retorika” ini menjadi sekedar lips service, sebab retorika merupakan sebuah seni untuk menyampaikan pesan. Begitu pula dengan SBY, pidatonya memang memiliki makna yang dalam untuk berbagai publik yang terbagi dalam tiga kubu. Mereka yang pro dengan demontrasi, mereka yang netral, dan mereka yang kontra pada demonstrasi karena melihat berbagai macam indikasi.

Hampir 50% isi pidatonya, yakni selama 35 menit, SBY berusaha menjelaskan mengenai demonstrasi 4 November dan kasus Ahok. Oleh karena itu, inilah poin yang akan dibahas dalam analisis ini.

Blunder SBY mengenai Demonstrasi 4 November


1. SBY mengulang sebanyak dua kali bahwa “Unjuk rasa bukan kejahatan politik.” Kemudian, ia menekankan bahwa unjuk rasa pada masa pemerintahannya selalu ada dan SBY selalu meminta ajudannya untuk mencatat permohonan dalam tema unjuk rasa.

Pada kesempatan ini, SBY seolah menunjukkan persetujuannya pada demonstrasi, apa pun bentuknya. Demonstrasi bukan kejahatan politik. Ini sebenarnya adalah pernyataan yang cukup utopis atau terlalu idealis. Demonstrasi boleh dilakukan, tetapi yang menjadi permasalah sebenarnnya adalah content atau isi demo-nya.

SBY mengatakan bahwa pada masa pemerintahannya, ajudannya akan mencatat tema dan isu demo untuk dijadikan pertimbangan pengambilan kebijakan. Tidak dijelaskan, mana yang akhirnya dijadikan kebijakan, mana yang demo-nya tidak perlu digubris, mana yang demo-nya dijadikan indikasi ada sesuatu yang lebih besar agendanya. Di sini, SBY gagal melakukan karakterisasi bentuk demonstrasi yang bermacam-macam.

Sebaliknya, statement pendek Jokowi, justru berhasil membuka tabir, bahwa content dari demo adalah masalahnya. Jokowi mengidentifikasi bahwa demonstrasi boleh, tetapi demonstrasi bukanlah hak untuk memaksakan kehendak maupun hak untuk merusak.

2. Pada kesempatan berikutnya, SBY pun menyebut JK untuk mengingatkan bahwa polisi jangan main tembak agar tidak terjadi hal yang sama dengan tahun 66 dan 98 yang mengubah sejarah.

Kalimat ini cukup unik. SBY mungkin mendengar bahwa ada upaya tembak di tempat sebagai usaha terakhir jika demonstrasi berakhir rusuh dan tidak terkendali. Bukankah ini prosedur yang sudah ia ketahui selama 10 tahun? Mengapa tiba-tiba ia khawatir polisi akan asal tembak?

SBY gagal menangkap bahwa ini adalah sebuah rumor. Seperti yang disampaikan oleh Polri, "Di Polri tidak ada perintah untuk menembak di tempat dalam pelaksanaan pengamanan demo," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (30/10).

Bisa juga, statement itu dikeluarkan untuk membawa rasa aman bagi demonstran agar tidak perlu takut maju karena SBY pun sudah memperingatkan polri.

Anehnya, SBY mengaitkan demonstrasi ini dengan tahun 66 dan 98, yang mana pesan dan pelaku demo-nya pun berbeda. Apalagi, pemerintahannya juga berbeda. Pada saat itu, demo dilakukan oleh para mahasiswa untuk melepaskan diri dari tirani pemerintah. Tetapi kini, siapa dan apa pesan demonstran?

Pertama, demo kali ini dilakukan oleh ormas Islam yang cukup radikal, bersama dengan mereka yang mendukungnya. Kedua, kata-kata berbahaya dalam demo seperti, “Bunuh, Bakar, Pancung, Penggal, dan lain-lain” seolah dilupakan atau dinihilkan oleh SBY.

Ketiga demo kali ini juga seolah menekan penegak hukum untuk manut dengan keinginan mereka, alih-alih membiarkan proses berjalan seperti apa adanya. Demo ini seperti sekedar pemuas nafsu dan amarah mereka-mereka yang berkepentingan. Entah SBY is missing the point atau is trying to miss the point.

3. Ketiga, SBY juga kembali membahas intelejen yang tidak boleh sembarang menuduh, karena itu sama saja dengan fitnah. SBY juga menjelaskan bahwa jika urusannya adalah masalah nurani, tidak perlu menggunakan uang. Apalagi, akidah, yang banyak orang di dunia ini bersedia mati untuk itu.

Zaman SBY, ia selalu mengagungkan informasi intelejen. Bahkan dalam pidatonya usai Bom Mariott, SBY menyatakan bahwa ia menjadi target teroris. “Ini data intelejen!” Seolah-olah itu adalah data paling sahih. Pada waktu itu, kritik menyampaikan bagaimana SBY blunder karena tidak bersimpati terhadap korban, malah meminta simpati berdasarkan data intelejen. Kini, ia membredel kekuatan dan kemampuan intelejen, bahwa mereka asal tuduh.

Selain itu, kalimat berikutnya seolah meyakini bahwa bisa saja demonstrasi tanggal 4 November itu tidak menggunakan uang, tetapi karena akidah. Disini SBY gagal membaca demo lebih jauh atau bisa juga SBY sedang berusaha keras untuk berdalih.

Pada beberapa kesempatan terbuka yang diliput oleh media, informasi dana demonstrasinya jelas. Misalnya menurut Bachtiar, dari GNPF_MUI, total dana untuk demonstrasi kasus penistaan agama Ahok, Jumat (4/11/2016), mencapai Rp 100 miliar. "Bukan hanya Rp 10 miliar, nyatanya, mungkin lebih Rp 100 miliar. Kami disubsidi lebih dari Rp 100 miliar," ungkap Bachtiar di hadapan awak media. Disinilah kejanggalan yang disinyalir oleh pemerintah bahwa ada penyandang dana demonstrasi ini. SBY pun menihilkan rekaman ini di media massa.

4. Lalu, statement yang lebih kontroversial lagi adalah SBY membahas Arab Spring. SBY menyebut bahwa itu adalah sebuah leaderless revolution. “Jadi jangan menyimpulkan ini yang menggerakkan, ini yang mendanai.”

Pada poin tersebut SBY berperan seperti anak yang polos. Ia menganalisis bahwa Arab Spring terjadi tanpa pemimpin tetapi karena kekuatan media sosial. Ia juga melarang penyimpulan penggerakan demo dan pendanaan demo. Ada dua poin yang ganjil sekaligus sangat berbahaya disini.

Pertama, SBY lupa atau mungkin sengaja mengarahkan informasi mengenai Arab Spring sebagai bentuk protes yang generic dan natural. Padahal latar belakang Arab Spring adalah pemberontakan by designed yang mengandung kekerasan massal pada pemerintah otoriter selama puluhan tahun dan ditunggai oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, salah satunya di Mesir.

Mereka menggunakan simbol rabia atau empat jari, yang saat ini juga sudah beredar terang-terangan di seputar demonstrasi tanggal 4. Ini sangat berbahaya karena menunjukkan bagaimana demonstrasi ini punya ancaman seperti Arab Spring yang sangat berbeda konteksnya dengan Indonesia.





Kedua, SBY justru seolah melegitimasi jika sampai demonstrasi ini nantinya akan berujung seperti Arab Spring, dengan menyatakan bahwa ini adalah leaderless revolution. Pelarangan untuk menyimpulkan bahwa demo ini digerakkan dan didanai justru adalah pernyataan tumpul seorang mantan Presiden yang tidak mampu melihat resiko besar dari sebuah agenda demonstrasi.

5. Dalam membahas semua hal di atas, SBY tidak sekedar bicara. Ia mencari informasi dari pengemban negara. Baru ia bicara. Dari sini, SBY memulai dengan membahas tentang intellegent failure dan intelligent error. SBY terlihat mengangkat rumor dan desas-desus keterlibatannya dalam demonstrasi tanggal 4 November ini  dengan mengkritisi intelligent, agar tidak ngawur dan tidak asal tuduh. Menurutnya, ini sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara.

Pada poin tersebut, SBY berusaha mengidentifikasi dan menyimpulkan bagaimana informasi ini ia peroleh. Lucunya, tidak pernah ada data intelejen yang bocor. Tidak pernah ada statement ke public yang muncul dan menggatakan SBY terlibat.

Yang muncul adalah simbol-simbol politis yang muncul dan membuat orang berpikir mengenai keterlibatan SBY. Paling banter yang viral adalah prediksi para ahli bukan-bukan seperti Denny Siregar, Aliffurahman, dan Kang Hasan. Siapa mereka? Bukan BIN. Hanya penulis populer yang suka berpikir liar. Justru dengan kalimat ini, SBY sedang menyatakan diri bahwa ia memang dicurigai intelejen.

Bisa saja, SBY mengelak dengan menunjukkan kegagalan intelejen. Tetapi, intel juga tidak akan gegabah. Pemikiran intel adalah pemikiran yang memuat possibilities atau hypothesis. Apakah itu salah? Menurut SBY itu error jika menyangkut dirinya.

Lebih lucu lagi, justru disini SBY blak-blakan bahwa ia dicurigai intel. Padahal intel tentu punya banyak teori, mengapa harus takut? Mengapa harus sampai memandulkan kemampuan perangkat negara dengan menganggap mereka ngawur?

Rekomendasi Melankolis Ala SBY


6. Rekomendasi menyikapi Demonstrasi 4 November ala SBY-SBY-nan adalah lebih baik lagi jika demonstrasi tidak perlu dilakukan jika masalahnya diselesaikan. Lalu apa masalahnya versi SBY? Barangkali menurutnya, karena mereka merasa tuntutannya tidak didengar. SBY menekankan “sama sekali tidak didengar dan diabaikan.” Lalu baru muncul, bahkan sampai lebaran kuda pun unjuk rasa masih ada.

Lagi-lagi, disini SBY menutup mata pada data yang menyebutkan bahwa polisi sudah meminta keterangan banyak saksi, Ahok sendiri menghadap ke kepolisian, dan justru FPI sebagai saksi yang memperlama prosesnya. FPI minta ditunda untuk bersaksi di kepolisian.

Kata “sama sekali tidak didengar dan diabaikan” menjadi sangat tendensius untuk melegitimasi demonstrasi. Kata-kata ini sangat menyolot api untuk mendukung kelompok senggol bacok, yang gampang emosi. Ini untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi tidak melakukan apa-apa. Padahal terang di media massa, proses sedang berlangsung.

Lebaran kuda pun disinggung untuk memecah suasana yang tegang. Tentu ini sangat politis, karena sedang menyinggung pertemuan “tumben” antara lawan politik Jokowi dan Prabowo. Justru, ini menunjukkan kecemburuan dan ketidaknyamanan SBY pada pertemuan mereka.


Lebih lagi, ini mendorong asumsi yang menyebutkan bahwa Prabowo tidak terlibat. Dengan kata lain, SBY seolah mengancam, “Bahkan Jokowi dan Prabowo maaf-maafan seperti lebaran pun, demonstrasi ini akan tetap ada.” Kenapa SBY bisa yakin demonstrasi ini akan terus ada? Tahu darimana? Jangan-jangan… Get it?


Desideria Cempaka Wijaya Murti via Qureta

Lagi Demo Besar, Ahok Tetap Santai Blusukan


DUNIA HAWA- Calon pejawat gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan blusukan di kawasan Jalan Muara Karang Elok, Penjaringan, Jakarta Utara. Blusukan ini dilakukan pada Jumat (4/11) saat demonstrasi besar tengah terjadi di pusat Jakarta untuk menuntut proses hukum terhadap Ahok terkait kasus dugaan penistaan agama.

Di kawasan Muara Karang, Ahok menyapa para warga. Warga banyak mengeluhkan soal trotoar. Hal ini karena trotoar tersebut berposisi lebih tinggi dibanding jalan.

"Harusnya rata sama jalan, harusnya bisa masuk mobil, tapi nggak bisa," kata salah satu warga di kawasan tersebut.

Sementara itu, Ahok berjanji untuk memperbaiki trotoar. Ia ingin agar trotoar tersebut bisa dipergunakan dengan baik. Ahok pun bersalaman dengan warga. Ia juga berfoto bersama para warga.

Sebelumnya Ahok menegaskan akan tetap melakukan blusukan pada Jumat (4/11) saat ada demonstrasi besar di Ibu Kota menuntut proses hukum terhadap dirinya terkait kasus dugaan penistaan agama. Sejauh ini, ia sudah melakukan blusukan di kawasan Jagakarsa, Rawa Belong, dan Pejaten Timur.

[beritateratas]
C