Saturday, October 22, 2016

Jessica Ungkit Misteri Plastik dari Suami Mirna ke Rangga Olivier


DUNIA HAWA - Jessica Kumala Wongso memberikan jawabannya atas replik jaksa penuntut umum (JPU). Dalam dupliknya itu, Jessica mengaku mendapat informasi jika suami Wayan Mirna Salihin, Arief Setiawan Soemarko, pernah bertemu salah satu pelayan Kafe Olivier.

Demikian disampaikan Jessica di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2016). Informasi tersebut ia dapat dari salah satu penasihat hukumnya, Hidayat Mustar.

"Ada salah satu orang Mochtar Amir mengaku melihat Arif (suami Wayan Mirna Salihin) memberikan bungkusan plastik hitam ke kepada Rangga, sehari sebelum Mirna meninggal (Selasa, 5 Januari 2016). Tepatnya jam 15.50," ujar Jessica.

Wayan Mirna Salihin meninggal pada 6 Januari 2016 lalu di kafe Olivier. Ia meninggal usai minum Kopi es Vietnam. 

Ketika bertemu dengan Arief, Jessica melanjutkan, Rangga mengenakan kemeja kotak-kotak. "Pernah ada satu orang yang menunggu untuk bertemu dengan Arief Soemarko," beber Jessica lagi.

Sebelumnya, Otto menyebutkan saksi Rangga selaku barista atau peracik kopi di Kafe Olivier, sempat didatangi orang misterius untuk membunuh Mirna. 

Orang tak dikenal itu disebut-sebut berpakaian loreng saat mendatangi Kafe Olivier, sebelum insiden 'kopi sianida' terjadi.

Otto mengungkapkan, ‎fakta tersebut ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang diajukan JPU dan polisi. 

Dalam BAP itu, kata Otto, ada seseorang yang menitipkan uang Rp 140 juta, diduga dari suami Mirna, Arief Soemarko.

‎"Rangga itu mengaku sama dokter waktu diperiksa, dia juga mengiyakan kalau dia menerima transfer dari Arief untuk bunuh Mirna. Rangga mengiyakan, dan itu ada dalam BAP polisi. Kami bukan mengada-ada," ujar Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 27 Juli 2016.

Sumpah Serapah Ayah Mirna Salihin Hingga Pertaruhkan Ferarri Untuk Jessica Wongso


Kasus kematian Mirna Salihin belum usai sidang akan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis mendatang. nampaknya sidang yang tak kunjung usai membuat ayah korban geram.

Setelah menghadiri persidangan ke-31 Dermawan Slihin mengucapkan janji-janjinya kepada tersangka. Ia mengatakan bahwa akan mencium kaki Jessica Wongso jika benar Arief yang telah membunuh Mirna.


Tak hanya mencium kaki Jessica bahkan ayah dari korban mengatakan akan mencincang habis Arief di depan kuasa hukum tersangka. Selain itu Dermawan juga memberikan tanggapan tas duplik dari Jessica yang menyebutkan tentang tante dari Mirna.

Selain itu jawaban atas replik yang telah dibacakan oleh Jessica juga menyangkut bungkusan hitam yang diberikan oleh suami dari Mirna Salihin. Dalam persidangan Dermawan juga mengungkapkan akan memberikan hadiah mobil Ferrari baru miliknya untuk Mocthar Amir Papalia jika mau datang dan memberikan kesaksian.

Pemberian mobil mewah tersebut juga berkaitan erat dengan keterangan dari tersangka yang menyebutkan adanya wartawan yang bertugas melihat Arief memberi bungkusan. Papalia adalah seorang wartawan yang bertugas di Kepolisian yang dianggap Jessica melihat bahwa Arief Soemarko memberikan uang kepada Rangga.

Ayah dari Mirna Salihin ini juga mengatkan bahwa, Amir telah memfitnah Arief dan Rangga. Keterangan palsu juga diberikan kepada tim penasihat hukum dari kubu tersangka kasus es kopi Vietnam.

Dermawan mengatakan bahwa Arief sempat merasa kesal karena pernyataan yang telah dibuat oleh Jessica dan tim kuasa hukumnya. Sidang ke-31 sendiri diagendakan memberikan bacaan duplik atas replik dari jaksa penuntut umum.

Saat dipersidangan Jessica mengatakan bahwa ada seseorang yang bernama Amir melihat Arif memberikan bungkusan hitam kepada Rangga. Arief memberikan bungkusan hitam kepada Rangga saat berada di parkiran Sarinah satu hari sebelum Mirna meninggal.

Jessica Kumala Wongso sendiri sebenarnya telah dituntut oleh jaksa hukuman selama 20 tahun. Kurungan ini dikarenakan melakukan pembunuhan berencana kepada Mirna Salihin.

[liputan6]

Jago Ngeles Nomor Satu se-DUNIA


DUNIA HAWA - Ternyata dogma memang bisa mematikan akal sehat dan hati nurani. Dan berdasar pengalaman sejarah, mungkin memang benar bahwa masih butuh waktu setidaknya hingga 400 tahun lagi bagi Kaum Gagal Paham untuk bisa menjadi lebih cerdas dan dewasa. Mayoritas mereka adalah anak muda yang emosinya labil, mereka yang minim wawasan dan mereka yang IQnya di bawah rata-rata hehe...

Selain itu Kaum Gagal Paham ini juga terbukti pinter sekali ngeles untuk menyembunyikan kebodohan mereka yang mulai terlihat. Saat awal ISIS muncul dan mampu menaklukkan kota kota di Irak dan Suriah mereka berteriak gegap gempita dan siap menyambut datangnya kemenangan Khilafah Dunia Islam yang baru. Bendera ISIS dikibarkan dimana-mana mulai dari Bundaran HI hingga kampung kampung sekedar untuk menunjukkan dukungan mereka. Bahkan ada juga yang berparade dengan membawa bendera ISIS di jalan-jalan kota Solo.

Setelah ISIS mulai terdesak dan kalah dimana-mana dan bukti kebiadaban ISIS terekspose (misal penggal dan mutilasi anak usia 4 tahun, perkosa anak usia 8 tahun dan kebiadaban di luar akal sehat yang lainnya) mereka tiba tiba ganti berkata : ISIS bukan Islam. Padahal jelas sekali ISIS selalu teriak takbir saat penggal ribuan korbannya. Tidak hanya itu, bukannya melakukan instropeksi tapi mereka malah mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain dengan mengatakan bahwa ISIS itu buatan Amerika dan Yahudi.

Memang Amerika memiliki peran dalam munculnya ISIS tapi golongan radikal itu memang sudah terlebih dulu ada dan Amerika sekedar menunggangi dan memanfaatkan kebodohan mereka demi kepentingan politik dan ekonomi Amerika sendiri. Orang bodoh, keras kepala, anti kritik, suka memaksakan kehendak dan mau menang sendiri memang paling gampang buat ditipu, dipancing, dibodohin dan dimanfaatkan.

Terus ada juga Geng Senggol Bacok FPI yang menista Pancasila dengan mengatakan Pancasila haram, Pancasila thaghut, diplesetkan jadi Panca Gila, bahkan dibilang kalo Pancasila Sukarno letaknya ada di pantat dan lain-lain. Tapi saat muncul wacana pembubaran ormas anti Pancasila mereka langsung bilang : Kami adalah pendukung Pancasila dan NKRI.

Saat Prabowo kalah mereka juga menuding terjadi banyak kecurangan tapi terbukti ternyata merekalah yang telah membuat polling, survey dan quick count palsu dan abal-abal untuk menipu dan membodohi rakyat. Ini namanya maling teriak maling. Tidak hanya itu, meski Pilpres sudah lewat 2 tahun tapi mereka terus saja merasa sakit hati dan menghina dan mencari-cari kesalahan Jokowi tanpa mau mengakui prestasi yang sudah Jokowi lakukan untuk membenahi kebobrokan bangsa ini yang diwarisi dari mertua Prabowo sendiri.

Saat ada “ulama” nongol di TV dengan hasutan “Seharusnya dia (Ahok) dibunuh, disalib, dipotong dan diusir” dan kemudian “ulama” ini dibully mereka ngamuk dan protes bahwa tidak semestinya ulama dibully (termasuk juga si Ucup yang sampai nangis tersedu-sedu). Tapi mereka diam saja saat ulama yang asli seperti Gus Dur dihina oleh preman Rezek Brizik dengan sebutan buta mata dan buta hati atau saat ulama ulama besar lain seperti Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, Mustofa Bisri, Gus Nuril, MH Ainun Nadjib dan lain-lain mereka hina. Rupanya otak mereka sudah konslet. Provokator justru dibilang “ulama” sedang ulama yang asli malah mereka rendahkan.

Kemudian kemarin saat terjadi peristiwa penusukan 3 orang polisi oleh simpatisan ISIS mereka malah bilang itu adalah strategi mengalihkan isu yang dilakukan oleh pemerintah saja. Emang dipikirnya pemerintah ini sudah segila Hitler kali ya? Alasan mereka, mana ada teroris yang alamatnya di komples kepolisian. Ini pasti polisi sendiri yang nyamar untuk jatuhkan nama Islam.

Belakangan terbukti pemuda usia 21 tahun antek ISIS tersebut memang tinggal bersama kakaknya yang seorang polisi. Bahkan ada juga rekaman video sesaat sebelum dia mati karena kehabisan darah akibat tembakan polisi yang berupa pengakuan bahwa dia adalah pendukung ISIS yang hanya mengakui Al Baghdadi sebagai Khalifah / pemimpinnya. Mana ada orang di ambang kematian masih bisa bersandiwara lagi? Jangan-jangan setelah mati nanti muncul isu konyol mayatnya berbau wangi lagi hihihi....

Pasti habis ini banyak yang kejang-kejang. Padahal tulisanku ini sekedar teguran kasih sayang agar akal sehat dan hati nurani mereka bisa berfungsi secara normal kembali. Tapi mau gimana lagi..... Memang begitulah watak para Mukidi.... Pokoknya diri sendiri pasti benar. Orang lain pasti yang salah.

Salam Waras

NB : Kaum Mukidi terdiri dari geng Sumbu Pendek, geng Senggol Bacok, geng Partai Ajaib dan geng Khilaf ahh...

[ muhanmad zazuli]

Rahasia Kesaktian Geng Senggol Bacok

Kenapa FPI Hingga Saat Ini Susah Dibubarkan ?

DUNIA HAWA - FPI adalah ormas yang paling fenomenal dan kontroversial di Indonesia. Dicaci-maki oleh rakyat tapi dibutuhkan penguasa. FPI itu bukan ormas agama. Bukan ormas Islam. FPI itu ormas biasa yang dibentuk oleh pemerintah kita sendiri dan TNI/Polri pasca reformasi. Cikal bakal FPI adalah Pam Swakarsa yg dirikan Panglima ABRI (Pangab) Jend Wiranto beserta pucuk pimpinan Polri. Tujuannya : mencegah konflik vertikal.

Konflik vertikal itu adalah konflik antara massa dengan Pemerintah. Aparat keamanan : Polri dan TNI. Konflik vertikal ini dianggap merugikan. Konflik vertikal merugikan dan merusak citra polisi dan TNI karena cenderung menimbulkan citra bahwa Polri dan TNI itu musuh rakyat. Ini berbahaya. Sebab itu Wiranto cs membuat Pam Swakarsa.

Massa demo mahasiswa/aktivis dihadapi oleh massa sipil juga. Pamswakarsa ini komandani aktivis mahasiswa. Tapi Pamswakarsa punya kelemahan mendasar. Mudah ditebak sebagai antek Pemerintah dan dibayar. Maka harus ditransformasi ke ormas yg lebih tepat. Maka lahirlah Front Pembela Islam. Semula mau dinamakan Front Pembela Indonesia. Kata “Islam” dipakai karena lebih “strategis”

Biaya awal pendirian FPI adalah Rp 250 juta untuk sewa markas dan rekrut anggota. Biaya bulanan tidak tentu,antara 50-100 juta. Sumber dana dari TNI dan Polri. Tujuan utama pendirian FPI : garda terdepan pasukan Polisi, pembuat isu, maintain (maintenance) isu, kelola konflik, pengumpul informasi dan sebagainya. Peran FPI ini persis konsep BanPol (pembantu polisi) dan Babinsa (bintara pembina desa). Dengan kata lain,FPI menjadi “pasukan marinirnya” Polisi.


FPI bergerak berdasarkan sistem komando. Atas dasar instruksi dari petinggi Polri dan TNI. Agendanya jelas dan terarah. Diawal berdirinya FPI sempat ada “kesalahapahaman” antara anggota FPI dengan aparat polisi yang belum tahu bahwa FPI itu “adik kandung” polisi. Ada cerita lucu, pimpinan FPI ditangkap polisi, bawa mobil ga ada SIM dan STNK. Kemudian datang pasukan ke polres, seisi Polres ditampar.

Atau cerita lucu yang terbaru : Munarman ditilang Polisi..Polisi yang menilang yang ditampar abis habisam oleh Munarman. Munarmannya gak diapa-apain. Jadi FPI itu adalah Front Polisi Indonesia yang menyamar sebagai Ormas Islam. Agenda FPI adalah agenda polisi. Berdasarkan laporan CIA malah BIN juga ikut membantu. Publik pernah membaca laporan CIA, bhw BIN (Badan Intelejen Negara) membantu milyaran Rupiah setiap tahun ke FPI. FPI itu asset pemerintah untuk “berhadapan” dengan rakyat.

Untuk menipu publik, pimpinan FPI dipasang sosok “ulama dan tokoh agama”, kata “Islam” dipakai sebagai perisai FPI dari serangan/ktritik publik. Tidak ada satu kata atau satu kalimatpun dalam tujuan pendirian FPI untuk : Dakwah, syiar Islam, Amar Maruf dan seterusnya…sama sekali tidak ada!! FPI hanya alat. Pemerintah tahu persis risikonya jika aparat polisi/TNI yang menyerang atau menangkap aktivitas aktivitas elemen rakyat yg dinilai “membahayakan”. Pemerintah khawatir dengan citra Polri/TNI dan pemerintah di mata internasional.

Terkait isu HAM, demokrasi dan sebagainya FPI yang “dimajukan” kedepan. Sesekali FPI memang Offiside atau Abused of Power. Serang serang warung maksiat atau judi judi “tak berizin”. Sengaja dibiarkan supaya ada legitimasi. Anggota anggota FPI yang Offside itu kadang ditangkap dan ditahan jika banyak sorotan publik, tapi langsung dilepas lagi jika sorotan publik sudah reda

Pemerintah dan FPI butuh “legitimasi” agar FPI benar benar dipercaya publik sebagai ormas agama. Bukan sebagai ormas bentukan Polri/TNI. Padahal FPI ditujukan untuk agenda dan tujuan politik praktis pemerintah. Itu sebabnya setiap aksi “pesanan”, Polisi selalu hadir dibelakang FPI. Aggota/kader-kader rendahan FPI sama sekali tidak tahu bahwa FPI itu bentukan, ditunggangi dan jalankan agenda Polisi/Pemerintah.

Sentimen mereka dimainkan. Sekarang ini biaya operasional FPI itu rutin dari pemerintah dan dari setoran bandar-bandar narkoba/prostitusi yang sudah “dicuci” dan juga dari hasil pemerasan. Sesekali FPI dibolehkan jalankan “aksi sendiri” utk maintain eksistensi FPI. Tapi aksi utama FPI tetap sebagai kepanjangan tangan Polri

Siapakah yang rugi? Jawabnya : Umat islam. Kata “Islam” yang melekat pada FPI memperburuk citra Islam di dalam negeri dan luar negeri. pemerintah aman. Bersih. Tuntutan pembubaran FPI kepada Pemerintah, sampai kiamat tidak akan dipenuhi Pemerintah. Karena FPI itu memang bagian dari strategi Pemerintah. FPI tetap dibutuhkan Pemerintah dalam “penyelesaian kasus-kasus tertentu” yang sensitif, abu abu, rawan dan potensial timbulkan konflik horizontal. Satu-satunya cara adalah : ajukan gugatan class action ke MA utk merubah nama FPI dengan cabut kata Islam di FPI atau batalkan SK pendiriannya.

Sudah lama nama Islam dirusak, dicemarkan, dimanfaatkan dan ditunggangi oleh FPI/Pemerintah.Sudah saatnya hal itu diluruskan. Umat Islam rugi besar gara-gara itu. Adakah yang meraih keuntungan di balik FPI? Jelas ada, yang untung ya Polri dan Pemerintah, nama mereka bersih, rakyat diadu-domba, nama islam tercemar. Isu isu strategis terkendali.

[islamnkri]

Santri: Dari Pesantren Untuk Bangsa dan Agama


DUNIA HAWA - Santri adalah siswa pesantren, salah satu (atau mungkin satu-satunya) institusi pendidikan Islam tertua di Jawa. Penggagasnya adalah para kiai-Jawa yang kelak banyak bergabung di ormas Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ada yang bilang lembaga dan sistem pendidikan pesantren itu dipengaruhi oleh tradisi Budha. Ada pula yang mengatakan dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan cara belajar-mengajar di Masjidil Haram, Makah. Apapun sejarah dan asal-usul pembentukannya, yang jelas pesantren memiliki kontribusi sangat besar bukan hanya bagi perkembangan Islam saja tetapi juga bagi bangsa, negara, dan umat pada umumnya. 

Para santri di pesantren-pesantren tradisional NU tidak hanya diajari mengaji tetapi juga mengkaji Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman klasik. Para santri bukan hanya dididik untuk memperdalam keimanan dan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga bertoleransi dengan masyarakat sekitar. Pesantren bukan hanya sebatas institusi pendidikan saja tetapi juga lembaga pemberdayaan masyarakat yang turut terlibat dalam penanganan problem-problem sosial keumatan. 

Pesantren bahkan bukan hanya “tempat pengajian” saja tetapi juga benteng pertahanan umat dari penjajahan Belanda dan Jepang. 
Jelasnya, santri bukan hanya diajari untuk membela agama saja tetapi juga membela umat manusia, bangsa dan negara kita tercinta.

Dulu, pada zaman penjajah, kiai dan santri bersama para komponen bangsa lain, berkobar-kobar melawan bangsa kolonial untuk mempertahankan Tanah Air tercinta. Perang Jawa, Pemberontakan Banten, dan sejumlah perlawanan sengit melawan Belanda dan Jepang di sepanjang Pulau Jawa di awal abad ke-20 adalah tidak lepas dari pengorbanan dan perjuangan para santri ini. 

Kiai Abdul Karim menjadi salah satu penggerak utama “Pemberontakan Banten” pada 1888, Kiai Mojo alias Kiai Muslim Muhammad Khalifah, salah satu putra dari Kiai Khatib Imam Arif yang juga guru Pangeran Diponegoro, selain Kiai Hasan Besari, menjadi “ruh spiritual” dalam Perang Jawa, sementara Kiai Hashim Asy’ari (kakek Gus Dur) menjadi motor Resolusi Jihad dan inspirator Bung Tomo. 

Karena itu para santri tentu saja tidak akan terima jika Negara Indonesia beserta fondasi kenegaraan bangsa yang sudah dengan susah payah mereka perjuangkan itu kemudian dilecehkan seenak perutnya sendiri oleh para ormas Islam anyaran “kacung kampret” yang sama sekali tidak memiliki kontribusi kesejarahan atas pendirian bangsa ini. Tentu saja para santri tidak terima atas propaganda politik HTI untuk mengganti Pancasila dengan sistem politik khilaf bernama Khilafah, atau kaum “Salafi ekstrim” yang ingin mengubah dasar-dasar kenegaraan dengan sistem politik-pemerintahan “bermerk Islam”. Santri tidak terima karena mereka tahu kalau umat non-Muslim juga turut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah.  

Bagi santri, membela negara bukan berarti mengabaikan agama seperti yang biasa dituduhkan oleh “kaum unyu-unyu”. Justru dengan perjuangan membela negara dari tangan-tangan kolonial penjajah itulah, umat agama bisa dengan leluasa mengekspresikan nilai-niai keagamaan dan mempraktekkan ajaran-ajaran keislaman. 

Jika sekarang, para pendatang baru dan “pecundang kesiangan” semacam HTI dkk bisa mendompleng kayak “upil” di Negara Indonesia ini, antara lain, karena jasa para kiai dan santri. Sungguh aneh bin ajaib jika kemudian “mereka” malah mengatakan para kiai-pahlawan dan pejuang bangsa itu telah wafat sia-sia. Sudah “ngupil” gak tahu diri pula. 

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Selamat Hari Santri, NU...

"Kenapa pemerintah diam saja menghadapi radikalis berbaju agama itu?", seorang teman bertanya.


DUNIA HAWA - Ah, rasanya saya pernah bahas ini dulu, dan kebetulan tepat setahun hari santri 22 Oktober, kita buka lagi strategi perang yang jenius ini.

Untuk memahami strategi ini, kita kembali dulu ke Suriah. Kesalahan utama Bashar Assad dalam memerangi radikalisme agama di Suriah adalah dengan melakukan tekanan kepada mereka.

Dan Bashar masuk jebakan, ketika ia melakukan tekanan maka kaum radikalis itu bermain strategi playing victim. Mereka teriak ke internasional yang semakin memperbuas keadaan di Suriah.

Pemerintah Indonesia bermain cantik. Mereka menggandeng NU sebagai partner untuk memainkan soft war, perang lunak.

Yang radikal bukannya di hajar. Pemerintah menyusup ke dalam tubuh mereka dan terus mengangkat keradikalan mereka ke permukaan, tetapi tetap mengontrolnya supaya tidak terjadi chaos.

Modelnya mirip ketika pemerintah memecah partai partai yang dulu tergabung dalam satu koalisi menjadi beberapa bagian dan masing masing bertarung di dalamnya.

Ketika kaum radikalis semakin tampak radikal, NU kemudian memunculkan konsep Islam Nusantara, sebagai tandingan. Islam Nusantara yang sejuk adalah antitesa dari Islam radikal.

Dengan begitu, masyarakat - berbagai agama - akan mampu melihat mana yang sejuk dan mana yang ekstrim. Yang ekstrim, akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat yang perlahan-lahan melek situasi dan tidak menggeneralisasi bahwa radikal adalah Islam.

Sesudah itu, lahirlah hari santri.

Kelahiran hari santri diperkuat dengan dikirimnya ribuan santri ke daerah perbatasan untuk melakukan "pembersihan" otak dari virus radikal yang sudah menyebar. Para santri mengenalkan konsep Islam toleran, membangun pesantren pesantren dan masjid masjid untuk mengimbangi tumbuhnya virus radikal.

Sebagai catatan, perbatasan adalah kantung pertama tumbuhnya radikalisme. Suriah juga awal konfliknya dari perbatasan, yang kemudian melebar dan pelan pelan mengepung pusat.

Inilah perang strategi diam atau silent operation yang jenius. Pemerintah dan NU bukannya memasang badan untuk menghadapi mereka, malah semakin dekat dengan masuk ke dalam tubuh organisasi oeganisasi radikal itu.

"Keep your friend close, but your enemy closer " Kata Don Vito Corleone dalam The Godfather.

Dan sekarang, menghadapi dekatnya dis-integrasi bangsa yang dilakukan kelompok radikal dengan melakukan demo dimana-mana menunggangi "penistaan agama", para santri berperang dengan mengangkat tema 1 miliar shalawat.

1 miliar shalawat dilakukan oleh ribuan orang di 10 ribu titik dan memenuhi trending topik di twitter. Inilah cara perang NU menunjukkan pada kaum radikalis berbaju agama bahwa "NU ada dan siap sedia".

Selamat hari santri, NU...

Kalian-lah garda terdepan penjaga NKRI dari musuh musuh di dalam tubuh negara tercinta ini. Saya angkat secangkir kopi untuk kalian semua.

Salute...

[denny siregar]

Emak versi Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby

Dialog Sang Anak Dengan Ibunya 



DUNIA HAWA - Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD di sebuah desa di kecamatan tetangga di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. SD di kampungku hanya sampai kelas 4. Jadi saya harus melanjutkan “kuliah SD” di desa lain supaya dapat ijazah. Tidak seperti biasanya, hari itu ibuku ngomong dengan nada dan mimik serius kepadaku. Kami ngobrol dengan menggunakan Bahasa Jawa tentunya karena ibuku tidak bisa Bahasa Indonesia (waktu itu) karena pernah sekolah saja nggak. Sekarang mungkin paham kali dikit-dikit he he. 

Kira-kira begini dialognya (saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia): 

Ibu: “Saya mau jualan bumbu-bumbu masak dan buka warung gorengan di rumah.”
Saya: “Jualan untuk apa to bu?” 
Ibu: “Ya supaya kamu dan kita semua sekeluarga bisa makan sedikit enak dan tidak perlu beli ke warung karena susah mencari uang.” 

Memang benar sebagai keluarga miskin, uang kami memang pas-pasan. Makan dengan lauk ala kadarnya pakai garam, sambel atau kuah sayuran. Kadang, kalau musim hujan tiba, kami (dan juga warga kampung) berburu ulat jati dan kepompongnya (enthung) untuk dijadikan lauk-pauk. Dulu, saya juga sering mencari kayu bakar di hutan atau daun pisang di kebun untuk saya tukar dengan gorengan tempe, tahu, "tempe gembus" (bongkrek), atau ikan teri di warung. Kadang kami menukar beras atau telur ayam dengan lauk-pauk ala kadarnya. Semacam “sistem barter” lah. 

Saya: “Apa ibu punya uang untuk jualan?”
Ibu: “Ada, tapi sedikit”. 
Saya: “Saya punya tabungan untuk ibu saja”.

Sejurus kemudian saya masuk ke kamar dan bongkar tabunganku yang saya simpan di kaleng dan saya tanam di bawah ranjang. Gubug kami dulu beralas tanah, jadi uang saku sekolah, uang jajan tontonan, atau pemberian orang-orang yang baik hati, sering saya simpan di kaleng dan saya tanam di bawah ranjang itu supaya tidak ketahuan orang lain. Saya tidak tahu persis berapa jumlah uang recehan Rp. 25, 50 dan 100 itu yang saya kumpulkan waktu itu. Yang jelas semuanya saya berikan ke ibu untuk menambah “modal bisnis” warung gorengan di kampung. 

Sejak itulah ibu jualan. Kalau belanja ke pasar di kota harus jalan kaki berkilo-kilo meter. Tapi ibu tetap “semangat 45”. Pulangnya almarhum ayah dulu jemput ibu sambil membawa keranjang dan pikulan untuk membawa belanjaan. Saya jarang jemput karena harus sekolah dan menggembala kambing di hutan. Sampai sekarang ibu masih jualan gorengan. Tidak mau berhenti. Meskipun hidupnya sudah saya jamin. Rumah pun sudah saya buatkan yang permanen, tidak gubuk reot lagi seperti dulu. Katanya badannya pegal-pegal kalau tidak jualan. Semoga beliau tetap sehat…

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi