Thursday, October 13, 2016

Himbawan Ketua Lakpesdam PBNU : "Waspadai Adu Domba"

Waspadai Skenario Adu Domba di Jakarta!



DUNIA HAWA - Pilkada DKI telah berkembang ke arah yang cukup mengkhawatirkan. Bukan saja soal Cagub petahana, Basuka Tjahaya Purnama (Ahok) yang pernyataannya di Kepulauan Seribu yang memicu kontroversi, tapi juga respon sebagian kelompok yang sengaja memanfaatkan isu ini untuk tujuan-tujuan lain di luar Pilkada DKI.

Sebenarnya situasi pasca kontroversi pernyataan Ahok mengenai Surat al-Maidah sudah mulai mereda setelah Ahok minta maaf secara terbuka atas ucapannya yang dianggap menyinggung umat Islam. Tokoh-tokoh agama ternama juga menanggapi positif permintaan maaf itu. Semua itu menjadikan situasi yang semua penuh ketegangan mulai mereda.

Tapi belakangan situasi kembali memanas, terutama setelah MUI mengeluarkan pernyataan sikap yang pada intinya menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama. Situasi tambah semakin memanas karena sebuah stasiun TV swasta menggelar acara dialog secara live kurang lebih 4 jam, dengan tema “Setelah Ahok Minta Maaf”. Berkembang juga berita, besok pagi, Jumat 14 Oktober 2016 akan ada aksi besar yang dimulai dari Masjid Istiqlal, dengan tema “Tangkap Ahok Penista Agama”. Situasi ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran, sehingga Gereja Katedral yang letaknya di sebelah masjid Istiqlal merasa perlu membuat himbauan khusus kepada Jemaatnya agar besok hari itu tidak mendekat ke kawasan Katedral jika tidak ada keperluan mendesak.



Saya menduga ada kelompok-kelompok yang mengambil untung dari situasi untuk merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Hal ini dilakukan dengan mengadu domba antara umat Islam dan non-Islam, bahkan antar sesama umat Islam yang mempunyai halauan yang berbeda. Mereka akan menunggangi organisasi-organisasi keagamaan, untuk memuluskan agenda adu dombanya.

Siapakah kelompok itu? Sebenarnya tidak terlalu sulit dikenali. Mereka bukan saja benci pada Ahok, tapi juga benci tatanan Negara ini, benci pada Pancasila, benci pada NKRI dan seterusnya yang dianggap sebagai sistem Negara thagut. Anasir-anasir kelompok radikal akan berkumpul dengan memanfaatkan persoalan Ahok menjadi pintu masuknya. Namun, yang dituju bukan soal Ahok, tapi lebih besar dari itu.

Karena itu, waspada dengan skenario adu domba yang sudah mulai terasa. Bukan soal Ahok dan Pilkada DKI, tapi ini soal keutuhan bangsa.

Rumadi Ahmad

Ketua Lakpesdam PBNU


[Catatan: Silakan disebarluaskan jika berkenan demi keutuhan bangsa dan negara]

Ada SBY Dibalik Sengkarut Kasus Pembunuhan Munir


DUNIA HAWA - Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (MK KIP) memutuskan bahwa hasil Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir harus dibuka kepada publik. Sidang yang dipimpin Evy Trisulo beranggotakan Yhannu Setyawan dan Dyah Aryani dengan mediator John Fresly bersama Panitera Pengganti Afrial Sibarani itu membacakan putusan sengketa informasi dengan register 025/IV/KIP-PS/2016 antara Pemohon KontraS dengan Termohon Kemensesneg.

Ada beberapa alasan MK KIP memutuskan agar hasil TPF itu disebarkan kepada publik. Pertama, pemerintah segara mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan TPF kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat. Dengan demikian, permohonan informasi dilakukan KontraS terhadap Kemensesneg adalah terbuka.

Kedua, alasan Pemerintah Republik Indonesia belum mengumumkan hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir sebagaimana tercantum dalam penetapan Kesembilan Keppres No. 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir adalah informasi wajib diumumkan untuk publik.

MK KIP dalam keputusannya juga memerintahkan Kemensesneg mengumumkan informasi berupa pernyataan, sebagaimana tertuang dalam Tanggapan Atas Keberatan Permohonan Informasi Publik, melalui media elektronik dan non elektronik. Selanjutnya, memerintahkan Kemensesneg untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU KIP sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap.

Koordinator Kontras, Haris Azhar Haris, menyatakan tidak kaget dengan putusan MK KIP. "Sudah selayaknya putusan KIP seperti itu karena sudah ada Keppres 111," kata Hariz, Senin (10/10) lalu.

Lebih lanjut dia mengatakan memang sudah ada terdakwa Polycarpus dalam pembunuhan Munir tapi yakin bukan dia seorang terdakwanya. "Ada banyak bukti-bukti pelanggaran tapi kenapa hanya Poli yang terdakwa bukan atasannya?," tanya Haris.

Menurutnya laporan TPF jadi sangat penting, namun baru satu tahap saja terlewati dengan menjadikan Poly sebagai tersangka, masih ada sejumlah tahapan yang harus diselesaikan. "Jika tidak diumumkan maka pemerintah bisa dianggap suportif terhadap kematian munir," tegasnya.

Haris juga mengatakan memegang dokumen TPF. Tetapi, perlu disampaikan ke publik lewat lembaga resmi pemerintah karena tidak ada alasan lagi tutup kasus Munir.

Untuk itu, dia mengatakan jika akhirnya ada banding terhadap putusan MK KIP ini maka diminta semua pihak melakukan membaca bersama hasil TPF karena laporan itu sudah beredar luas. Di hasil TPF itu ada kesalahan pidana dan administrasi. Banyak pihak terlibat, mulai dari perusahaan penerbangan Garuda, bandara, dan beberapa level pejabat di BIN.

Sedangkan istri almarhum Munir, Suciwati, meminta Jokowi harus inisiatif umumkan agar pemerintah tidak jadi tumpukan kasus. "Dorong dan kawal tidak hanya diumumkan namun segera ditindaklanjuti, harus ada pengadilan lagi kasus munir," terang Suci.

Namun ternyata dokumen hasil TPF itu tidak ada di Kemensesneg. Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Alex Lay menegaskan, Kemensesneg tidak bisa mengumumkan isi dokumen hasil investigasi TFP kasus Munir.

"Fakta persidangan dengan pembuktian dari Kemensesneg bahwa memang di 2005 Kemensesneg tidak pernah menerima laporan TPF. Dibuktikan juga dalam daftar surat masuk di 2005, enggak ada dokumen laporan TPF," ungkap Alex di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (12/10). 

Alex menjelaskan, berdasarkan keterangan dari mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dokumen investigasi TPF sudah diserahkan kepada Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak tahun 2005. Namun, hingga saat ini, dokumen tersebut tidak sampai ke Kemensesneg. 


"Yang menerima Pak SBY, sejumlah eksemplar dan sesneg-seskab tidak memegang arsipnya. Itu yang terungkap baik di persidangan maupun publik," terangnya. 

Alex juga mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pengecekan dokumen investigasi TPF Munir berulang-ulang, namun dokumen tersebut tidak juga ditemukan di kantor Kemensesneg. 

"Kita cek di dokumen enggak nemu, tanya pegawai yang kurang lebih bekerja di masa itu mereka mengatakan kita tidak mengadministrasi penerbitan keppres tersebut, tidak juga mengurus administrasi, termasuk tidak day to day dengan TPF," papar Alex.

Dengan demikian, menurut Alex, Kemensesneg tidak berhak menyampaikan isi dokumen investigasi TPF sebagaimana dalam berita yang beredar bahwa Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) memerintahkan Kemensesneg untuk mengumumkan Laporan TPF kasus Munir. 

"Kan enggak mungkin satu lembaga mengumumkan dokumen yang bukan berasal dari arsipnya dia. Bukannya Kemensesneg ini menutupi dari pihak dan sebagainya," tuntasnya.

Sebelumnya, dalam sidang sengketa informasi terkait dengan belum dibukanya hasil investigasi pembunuhan aktivis Munir, saksi pertama, Hendardi mengatakan TPF sudah memberikan laporan hasil investigasi kepada SBY selaku Presiden periode 2004-2009. Namun sejak laporan tersebut diserahkan, SBY belum pernah secara terbuka mengungkapkan hasil investigasi TPF.

"Saya memberikan kesaksian bahwa laporan TPF itu diberikan kepada Presiden melalui ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi," ujar Hendardi di Gedung PPI, Jakarta, Selasa (2/8/2016) lalu.

Menurutnya, Presiden seharusnya memberitahukan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh TPF. Dia menuturkan TPF saat itu meminta maaf karena tak bisa mengungkapkan seluruh hasil investigasi. Munir dibunuh saat melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada September 2004, melalui racun arsenik. 

Saksi kedua yang dihadirkan dalam persidangan adalah Usman Hamid. Usman Hamid menyatakan TPF sudah melakukan pertemuan lima kali dengan Presiden SBY. Pada pertemuan pertama yakni pada 3 Maret 2005, dihadiri oleh Ketua Komnas Perempuan Kumala Chandra, Retno Marsudi yang saat ini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Ketua dan Wakil Ketua TPF.

"Semua laporan kami berikan pada SBY, namun kewenangan untuk mempublikasikan tetap berdasarkan dari SBY," kata Usman.
Menurut dia, setiap nama yang diduga terlibat dalam rencana pembunuhan Munir sudah masuk dalam dokumen yang diserahkan kepada SBY itu. Namun, publikasi terhadap masyarakat tetap berada di SBY yang saat itu menjabat sebagai presiden.

Lalu benarkah SBY masih menyimpan dokumen hasil TPF tersebut? Dan mengapa SBY enggan membuka kepada publik?

Ingin Kasus Munir Dituntaskan, Jokowi Perintahkan Jaksa Agung Cari Dokumen TPF


Presiden Jokowi ingin agar kasus pembunuhan Munir Thalib dibuka kembali. Langkah pertama yang diambil, Jokowi meminta Jaksa Agung Prasetyo untuk mencari dokumen Tim Pencari Fakta (TPF).

"Presiden mendengar mengenai apa yang menjadi pembicaraan di publik termasuk berkaitan dengan dokumen hasil dari TPF. Presiden menyampaikan telah memerintahkan Jaksa Agung, yang pertama untuk menelusuri keberadaan TPF itu," ujar Jubir Presiden Johan Budi SP di Jakarta, Kamis (13/10/2016).

Dokumen yang dimaksud adalah dokumen hasil kerja TPF yang telah melakukan investigasi soal pembunuhan Munir. Menurut para anggota TPF, dokumen ini telah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan 2005. Namun pihak Setneg maupun Setkab menyatakan tidak memegang dokumen ini.

"Sehingga bisa ditelurusi lebih lanjut apakah ada novum baru yang kemudian bisa ditindaklanjuti," ujar Johan.

Johan mengatakan perintah Jokowi ini terkait dengan Paket Kebijakan Hukum yang dicanangkan oleh sang kepala negara. Di sisi lain, Komisi Informasi Publik (KIP) juga telah memerintahkan pemerintah untuk membuka dokumen hasil TPF tersebut. 

Sementara itu, Mantan Anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir, Usman Hamid, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mencari dokumen hasil kerja TPF.

Dokumen tersebut kini tidak ada di Kementerian Sekretaris Negara meskipun TPF sudah menyerahkan ke Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat Presiden pada 2005 lalu.

Padahal, Komisi Informasi Publik sudah memenangkan gugatan Kontras dan meminta pemerintah segera mengumumkan isi dokumen tersebut.

"Sikap Presiden memerintahkan Jaksa Agung mencari dokumen tersebut memperkuat arti penting pernyataan Presiden dua pekan lalu, yang menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan kasus Munir," kata Usman Hamid.


[merdeka/beritateratas]



Mengapa Mata Bayi Lengket?


DUNIA HAWA - Ketika bayi anda terbangun di pagi hari, bayi anda mendapati kesulitan ketika membuka matanya bahkan terdapat seperti cairan yang keruh dimatanya. Normalkah keadaan ini dialami oleh bayi anda? Sebelum anda panik sebaiknya anda melihat gejala yang dialaminya sehingga dapat memberikan penangan pada bayi dengan tepat.

1. Kontaminasi saat Persalinan


Mata lengket pada bayi dapat diakibatkan karena adanya kontaminasi cairan ketuban atau darah saat persalinan yang mengakibatkan mata terlihat keruh dan mengalami kecoklatan kemudian biasanya mata bayi terinfeksi yang tidak berbau. Bagi anda yang mengalami kondisi seperti ini anda dapat membersihkan mata bayi sehingga terhindar dari infeksi. Dalam pemberian obat, anda perlu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan tetes mata yang cocok untuk bayi agar kuman kuman yang terdapat di dalam mata bayi cepat mati.

2. Infeksi kuman saat persalinan


Beberapa kondisi kesehatan ibu saat persalinan dapat memicu mata bayi lengket seperti misalnya infeksi yang terjadi pada saat persalinan disebabkan karena kewanitaan ibu sedang mengalami infeksi. Bagi bayi yang mendapatkan infeksi saat persalinan dari ibu biasanya ditandai dengan kondisi mata yang terlihat kekuningan atau bahkan hingga kehijauan dan mata yang terinfeksi berbau, pada kondisi tertentu mengalami bengkak dan kemerahan akibat radang. Adapun cara untuk mengatasinya adalah dengan membersihkan mata bayi dengan menggunakan obat sesuai resep dokter.

3. Gangguan Anatomis


Sedangkan yang ketiga yang menyebabkan mata bayi lengket adalah tersumbat oleh air mata yang berada di saluran penghubung antara kantung mata dengan rongga hidung. Akibatnya adalah air mata tergenang dan menyebabkan debu menempel di mata bayi anda menyebabkan terjadinya infeksi. Gejala yang ditimbulkan adalah mata selalu berair dan menimbulkan belek di pagi hari, sedangkan mata yang terinfeksi tidak mengalami bau. Untuk mengatasinya anda dapat membersihkan mata dan apabila kondisinya semakin parah anda dapat membawanya ke dokter untuk mendapatkan resep dari dokter. Pada umumnya mata bayi harus mendapatkan perawatan baik dalam keadaan normal atau sedang berada dalam kondisi yang tidak sehat.

Berikut adalah tips untuk membersihkan mata bayi :


1. Awali dengan mencuci tangan anda terlebih dahulu untuk menghindari infeksi yang semakin berat.

2
 Anda dapat membersihkan mata bayi ketika sedang mandi.

3. Gunakan bahan yang lembut seperti kapas yang dicelupkan pada air hangat untuk membersihkan mata bayi.

4. Bersihkan dari bagian tengah kebagian arah luar mata dan perhatiakan ketika membersihkan sebaiknya kapas diganti.

5. Gunakan asi untuk menghindari 
infeksi dikarenakan dengan asi memiliki kandungan antibodi yang ampuh. Anda cukup menggunakannya dengan menyusui secara teratur bayi anda.

6. Apabila anda mendapatkan kotoran yang lebih banyak, anda dapat mengompresnya dengan kapas yang dicelupkan ke dalam air yang hangat.

7. Hindari bayi anda dari debu atau kotoran yang membuat infeksinya semakin parah.

8. Usahakan ruangan bayi anda selalu dibersihkankan dan mendapatkan pergantian udara yang cukup.

9. Segera bawa ke dokter apabila mata bayi anda mengalami infeksi lebih dari tiga hari meskipun gejalanya ringan akan tetapi pemeriksaan dokter akan membantu anda dalam menanganinya.

Demikian adalah cara yang terbaik dalam memberikan penanganan pada mata bayi anda yang lengket tentu saja anda harus mengenali gejalanya terlebih dahulu sebelum melakukan pengobatan baik secara perawatan dirumah maupun secara medis.

[dh©]

Masker Buah untuk Menghilangkan Bekas Jerawat


DUNIA HAWA - Nggak cuma jerawat saja yang menggangu, noda bekas jerawat atau biasa disebut flek hitam pun bikin kita jadi nggak percaya diri. But, now worry! Bekas jerawat dengan mudah hilang lewat pemakaian tiga masker buah yang bisa kamu aplikasikan sendiri. 

Masker Alpukat


Buah alpukat yang mengandung asam amino dan kaya akan serat ini, ternyata baik buat kesehatan kulit. Selain dapat mengangkal radikal bebas, alpukat bisa digunakan sebagai masker pelembap alami. Caranya, siapkan dua buah daging alpukat yang telah dihaluskan. Kemudian, campur dengan yogurt dan madu sampai merata. Lalu, aplikasikan masker alpukat pada wajah dan diamkan selama kurang lebih 15 menit. Kulit wajah pun akan terasa lebih lembap dan bekas jerawat yang mengering akan segera menghilang.

Masker Lemon


Lemon memang sudah dipercaya sejak dulu untuk menghilangkan noda hitam dan mencerahkan kulit. Kandungan vitamin C pada lemon dapat menyamarkan bintik hitam yang membekas pada kulit. Cara membuatnya, haluskan 2-3 buah lemon dalam blender sampai membentuk adonan, lalu oleskan pada bagian kulit yang terdapat bekas jerawat. Diamkan selama 10 menit, kemudian bilas dengan air bersih. Lakukan secara rutin sebanyak tiga kali dalam seminggu.

Masker Nanas


Nggak cuma menghilangkan bekas jerawat, buah nanas juga dapat mencegah warna kulit supaya nggak belang. Cara membuat masker nanas, awali dengan parut setengah  buah nanas, lalu satu buah mentimun. Haluskan di dalam blender kedua bahan tersebut, lalu campurkan dengan satu sendok makan madu. Setelah membentuk adonan masker, aplikasikan pada wajah dan pijat secara perlahan.

[dh©]

Hilangkan Jerawat Dengan Beras


DUNIA HAWA - Kata siapa mengobati jerawat harus dengan perawatan mahal? Kamu juga bisa kok, mengatasi jerawat bahkan hingga bekas-bekasnya dengan bahan alami yang bisa kamu temukan di dapur. 

Salah satunya, beras! Beras mengandung berbagai vitamin mulai dari B1, C hingga E yang dapat mencerahkan dan meratakan warna kulit. Selain itu ada kandungan antioksidan dari asam ferulic-nya yang ampuh mengatasi jerawat serta masalah kulit lainnya akibat radikal bebas dari polusi lingkungan. Serunya, kita bisa olah beras ini jadi masker untuk kecantikanmu!

Alat & Bahan:

• 1 cup beras organik
• Air matang
• 1 sdm minyak zaitun
• Blender
• Mixture bowl
• Kuas masker

Cara Membuat:

1. Rendam beras di air matang semalaman, lalu blender hingga halus.

2. Tuangkan ke mixture bowl dan campurkan dengan minyak zaitun, aduk rata.

3. Cuci wajah terlebih dahulu, lalu oleskan masker beras menggunakan kuas masker.

4. Diamkan selama kurang lebih setengah jam dan bilas bersih.

Nah kalau jerawat kamu sudah teratasi dan ingin menghilangkan bekas jerawat yang tertinggal, caranya siapkan air bekas mencuci beras, lalu kamu cukup mencuci wajahmu dengan air bekas cucian beras tersebut setiap pagi.

[dh©]

Trik Unik Memakai Kuteks


DUNIA HAWA - Bosen ya, dengan kuku yang polos. Selalu ada saat-saat tertentu yang bikin kita pengen banget mewarnai kuku. Biar pemakaian kuteks semakin advance, coba ikuti yuk, tiga trik unik memakai cat kuku berikut yang mungkin belum pernah kamu tahu!

1. Oleskan Petroleum Jelly 


Sebelum mengoleskan kuteks favorit kamu ke kuku, lapisi kulit di samping-samping kuku dan kutikula kamu dengan menggunakan sedikit petroleum jelly terlebih dahulu. Petroleum jelly bermanfaat untuk melindungi kulit kamu dari kuteks yang meleber, jadi lebih mudah dibersihkan.

2. Kuteks Matte dengan Eyeshadow


Kehabisan kuteks? Nggak perlu khawatir. Kamu bisa kok, bikin kuteks baru sendiri di rumah. Tinggal masukkan bubuk eyeshadow ke dalam tube kuteks bening, lalu campurkan sampai benar-benar merata. Your new matte nail polish is done! Asyik banget kan, kalau bisa bikin warna kuteks sesuai dengan yang kamu mau. Perhatikan juga ya, cara penyimpanan kuteks supaya tahan lama.

3. Kuas eyeliner untuk memakai kuteks


Coba bongkar isi makeup storage kamu dan temukan liquid eyeliner yang mungkin sudah lama expired dan tidak dipakai. Eits, jangan langsung dibuang, ya! Ambil dan bersihkan kuasnya dari sisa-sisa eyeliner yang masih menempel, kemudian gunakan sebagai nail art tools kamu. Kuas eyeliner yang tipis bisa banget untuk membuat trendy stripes nail art, lho.

[dh©]

Duet Sumbang Buat Presiden Jokowi


DUNIA HAWA - Saat membaca komenltar 'duet sumbang' Fahry Hamzah dan Fadli Zon dua wakil ketua DPR RI atas kehadiran Presiden Jokowi ke Kementerian Perhubungan terkait OTT pelaku pungli, timbul pertanyaan aneh di kepala, "Sejak kapan Fahri Hamzah dan Fadli Zon merangkap kerja jadi petugas protokoler yang mengatur kunjungan presiden ke suatu tempat?"

Ini mungkin pertanyaan nyinyir, sama nyinyirnya dengan pernyataan kedua wakil ketua DPR itu. Tapi meski nyinyir setidaknya pertanyaan soal alih profesi atau tambahan profesi sebagai petugas protokoler oleh kedua orang terhormat itu masih mendapat pembenaran. Alasannya sederhana, keduanya kan mengatur-atur kunjungan presiden ke suatu tempat. Itu biasanya dilakukan petugas protokoler.

Nah, mari kita perhatikan pernyataan keduanya dengan seksama agar bisa merenungi dan menangkap udang di balik batunya.

FAHRI HAMZAH: "Tak ada urgensinya presiden hadir OTT di Kemenhub terlebih uang pungli yang disita hanya puluhan juta. Itu hanya gejala dan bisa terjadi di mana-mana, di RT, di desa juga ada. "Apa presiden mau keliling 73 ribu desa untuk ngurusin uang puluhan juta". 

FADLI ZON: Pemberantasan pungli seharusnya dilakukan secara sistemik. Presiden merumuskan roadmap serta aturan yang jelas. Kehadiran Presiden di lokasi tangkap tangan tak ada urgensinya. "Kehadiran Presiden itu jika ada kejadian yang luar biasa sehingga kehadirannya itu membuat orang gagal fokus. Gagal fokusnya itu, orang akan bertanya, ini mau menutupi isu apa?" (kompas.com, 11/10/2016) 

Jadi baik menurut Fahri Hamzah maupun Fadli Zon, kehadiran Presiden Jokowi ke lokasi OTT di Kementerian Perhubungan tidak ada urgensinya. Sebabnya, kata Fahri, pungli itu baru gejala dan uangnya juga hanya puluhan juta. Fadli Zon menilai kunjungan itu membuat orang gagal fokus dan untuk menutupi isu.

Kalau mengikuti nalar Fahri Hamzah, presiden itu ngurusi yang besar-besar bukan pungli yang kecil seperti itu. Sementara nalar Fadli Zon agak berbeda yaitu presiden itu cukup duduk manis merumuskan roadmap serta aturan jelas. Presiden tak perlu datang ke lokasi OTT karena tak ada kejadian luar biasa.

Pertanyaannya kemudian, adakah hukum yang dilanggar presiden ketika datang lokasi OTT pungli di Kemenhub; adakah larangan presiden untuk datang ke sebuah lokasi yang ada kejadian yang dinilai kecil; sejak kapan presiden hanya bisa datang ke kejadian yang besar-besar; sejak kapan lembaga DPR mengurusi kegiatan protokoler presiden.

Pertanyaan itu cukup penting dijawab, sehingga misalnya suatu saat jika presiden datang ke rumah Mukidi dan Markonah untuk men-support agar mereka terus menggembirakan rakyat Indonesia, dengan kisah humornya, duet Fahri Hamzah dan Fadli Zon ini tak menyanyikan lagu sumbang lagi.

Misalnya, "Buat apa presiden datang ke rumah Mukidi, itu tak ada urgensinya. Itu hanya pencitraan saja. Presiden kan cukup membuat roadmap dan aturan jelas untuk mengembangkan dunia humor. Ini pasti pengalih perhatian dari isu yang ada".

Ya, tuduhan pencitraan, pengalihan isu, atau suara sumbang atas apa saja yang dilakukan Presiden Jokowi, memang sudah sangat sering terlontar dari kedua tokoh itu. Buktinya, silakan googling saja, nanti akan muncul aneka hal yang pernah dilontarkan keduanya. Fadli Zon, misalnya, baru beberapa hari lalu saat berbicara di FISIP UI juga sudah menyindir presiden. Ibaratnya, ucapan nyinyir, syak wasangka, tuduhan kepada presiden itu sudah seperti makanan lalapan politik mereka.

Kembali ke urusan OTT di Kemenhub. Pernyataan duet sumbang itu sungguh memprihatinkan karena menunjukkan mereka sepertinya tak punya rasa peduli yang lebih terhadap urusan pungli. Praktek yang sudah berjalan masif, bahkan di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi itu, memerlukan perhatian khusus agar bisa direm, dihilangkan, dan ditindak secara hukum.

Inilah yang mungkin tidak ditangkap oleh Fahri Hamzah maupun Fadli Zon, karena sifat dan sikap prasangka buruk dan nyinyirnya itu. Kehadiran presiden adalah pemberi perhatian lebih itu, yang diharapkan bisa menyemangati dan mendorong upaya pemberantasam pungli di Indonesia. Langkah itu juga diambil setelah satu jam sebelumnya presiden mencanangkan Operasi Pemberantasan Pungli.

Jadi, kehadiran presiden di Kemenhub itu bukannya tanpa makna, terlebih hanya sebagai pengalih perhatian. Kehadiran presiden adalah simbol peperangan terhadap pungli telah dimulai, beriringan dengan perang melawan korupsi yang digeber KPK. Dan, ini sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mulai dijalankan pemerintah. Pencitraan? Jelas bukan; ini kerja.

OTT di Kemenhub itu hasil sitaannya juga tidak kecil-kecil amat. Uang tunainya Rp 17.270.000 ditambah Rp 34 juta ditambah Rp 61 juta. Totalnya, jumlahkan sendiri. Selain itu ada juga buku tabungan yang bersaldo Rp 1 miliar. Yang paling penting, pungli itu menyasar izin yang seharusnya sudah selesai secara online, tapi dilanjut di meja petugas. Kalau tak mau bayar, izin tak keluar.

Ini model pungli yang (maaf) biasa terjadi saat ini. Sistem boleh online, bayar tetap saja bisa dibuat dua tempat, satu di bank sesusi sistem online; dua dia di kantong petugas sesuai sistem pungli yang sudah mentradisi.Nah, inilah urgensinya menghentikan pungli yang korbannya menyasar masyarakat Indonesia secara luas.

Ya, namanya pungli, uangnya juga terhitung recehan di mata koruptor. Pungli itu pungutan liar, yang mengumpulkan mel-melan dari uang Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu atau lebih. Sedikit demi sedikit akhirnya jadi bukit; karena punglinya sudah jadi bukit, pastilah korbannya tidak sedikit. Karena itu, pungli harus disikat habis.

Namanya pungli itu tidak hanya di Kemenhub, tapi banyak juga di sentra-sentra pelayanan masyarakat. Kata Ombudsman, pelayanan SIM dan Samsat itu juga banyak laporan pungli, ada juga di jembatan timbang, pengurusan KTP, sertifikat tanah, dll. Jadi, pungli itu memang menyasar masyarakat yang butuh pelayanan pemerintah.

Karena menyangkut pelayanan maka korbannya bisa dipastikan banyak atau berjamaah. Sebabnya sederhana, rakyat yang butuh pelayanan itu memang banyak karena jumlah penduduk Indonesia juga banyak. Karena itu, keresahan dan kerugian akibat pungli juga banyak. Ekonomi biaya tinggi, masyarakat terbebani, kesejahteraan menurun.

Itulah pungli, meski uangnya kecil tapi jika ditumpuk bisa jadi bukit. Kalau uangnya langsung gedebuk satu koper 50 miliar dolar Singapura, itu namanya sogokan atau upeti dan tidak lagi disebut pungli. Karena sifat merugikannya yang masal, menyasar khalayak luas, pemerintah bertekat menggelorakan lagi Operasi Pemberantasan Pungli di bawah koordinasi Menkopolhujam.

Inilah suasana kebatinan yang harus dipahami Fahri Hamzah dan Fadli Zon ketika melihat dan mendengar Presiden Jokowi hadir di OTT pungli di Kemenkumham. Itu adalah langkah penegasan bahwa pungli harus diberantas habis. Jadi ini tak ada kaitannya dengan presiden harus mengunjungi 73 ribu desa untuk melihat hal semacam itu.

Ini juga tak ada kaitannya dengan pengalihan isu atau keharusan presiden cukup duduk manis di belakang meja sambil mengagumi roadmap OPP dan rencana detailnya. Itu namanya tak nalar, tidak bisa menangkap suasana kebatinan betapa pungli sudah begitu parah dan harus diberantas habis.

Terus terang, mengherankan juga sikap dua petinggi DPR itu. Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka bisa merasakan suasana hati rakyat yang dipungli dan dampaknya bagi perekenomian bangsa. Seharusnya OPP yang digelorakan kembali oleh pemerintahan Jokowi, mereka sambut dengan gembira. Lho, lagu yang dinyanyikan kok malah "Halo-Halo Ahok....kita ketemu lagi di Sumbet Waras dan reklamasi." Itu lagu usang dan sumbang, yang terus diulang-ulang. Menjemukan, tidak kreatif dan mendidik.

Ini perlu jadi perhatian Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Nanti kalau tiba-tiba Presiden Jokowi nongol di kantor Samsat atau jembatan timbang, atau di pelabuhan, atau di tempat lain, jangan lagi ada nyanyian sumbang yang itu-itu saja. Sedikit cerdas dong.

Presiden Jokowi itu presidennya rakyat Indonedia. Semua rakyat berhak mendapat perhatiannya. Semua tempat di bumi Nusantara ini juga wajar saja didatanginya sesuai keperluan dan tujuan mengemong bangsa. Jadi nanti misalnya, presiden Indonesia memandang perlu untuk datang ke sebuah warteg, kampung kumuh, mendatangi Mbah Karjo yang sudah uzur, atau mungkin menyempatkan diri menengok Mukidi dan Markonah, itu sah-sah saja. Tak usah nyinyirlah. Sudah ada protokoler yang mengatur semua itu. Jadi Fahri Hamzah atau Fadli Zon tak usah ikut repot mengurusi. Kan lebih baik mengurui tugas-tugas di DPR yang perlu "disempurnakan" itu.

Memang sih, politikus itu suka bertindak sesuai logika politik yang berlaku. Kata K'er Felix Tani, orang Batak yang njawani itu, "Politisi itu boleh bohong tapi tak boleh salah". Artinya dia boleh bohong dengan merujuk fakta/data yang bias kepentingannya sebagai dasar pernyataan politiknya.

Dia harus melakukan itu agar pernyataannya tidak bertentangan atau menegasikan nilai/kepentingan partai pengusungnya. Kalau ini terjadi, maka dia telah melakukan kesalahan secara politis. Padahal politisi tak boleh salah.

Ketika saya tanya, apakah ini berarti politisi bisa menyebut bola itu kotak karena sesuai dengan sikap dan kepentingan partainyai, Felix menjawab, betul dan kita hanya perlu menggunan cara pandang tertentu sehingga bola yang bundar itu terlihat kotak.

Bisa saja pernyataan Felix itu benar dan bisa diterapkan dalam soal duet sumbang buat Presiden Jokowi ini. Sehingga, menjadi sebuah kesalahan jika Fahri Hamzah atau Fadli Zon memuji-muji kunjungan Presiden Jokowi di OTT di Kemenhub, karena tak sesuai dengan sikap dan kepentingan partainya. Politisi kan tidak boleh salah.

Sayangnya, rakyat banyak yang memilih para politisi sehingga bisa duduk di DPR itu tak mengenal kebenaran semacam itu. Bola itu, sampai kiamat pun bentuknya bundar dan bukan kotak. Itulah logika rakyat.

[muhammad mustain]

Polemik Ahok, Semangat Agama atau Semangat Politik?


DUNIA HAWA - Diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) yang digelar oleh salah satu stasiun televisi swasta yang membahas soal kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta sekaligus petahana di Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok semakin berbuntut panjang. Kondisi ini terjadi karena adanya silang pendapat antara kelompok yang menganggap bahwa Ahok telah melakukan tindak penistaan agama dengan menyatakan “dibodohi pake surat al-Maidah 51 dan macem-macem…” dan kelompok lain yang menganggap ada unsur kesengajaan dari lawan politik Ahok untuk menyebar fitnah dan kebencian yang dipolitisir sedemikian rupa melalui pernyataan Ahok yang tersebar luas melalui berbagai akun di media sosial.

Saya menyebut adanya dua kutub politik karena masing-masing dari kelompok ini adalah mereka yang secara politik pendukung dan non pendukung calon petahana. Bagi non pendukung petahana, pernyataan Ahok yang menyetir surat al-Maidah 51 saat kunjungan kerja dirinya ke Kepulauan Seribu serasa menjadi amunisi baru untuk menjatuhkan kredibilitas petahana dengan momentum yang sangat tepat. 

Rasa kebencian yang sudah tertanam sejak awal bagi mereka yang memang kontra Ahok bak gayung bersambut dengan cepat menggunakan pernyataan Ahok sebagai bentuk propaganda mereka dalam membangun image di masyarakat bahwa Ahok bersikap intoleran bahkan telah dianggap menghina dan melecehkan ulama serta agama Islam. 

Disisi lain, kelompok politik pendukung petahana tetap beranggapan bahwa pernyataan Ahok selama kunjungan kerja resminya adalah hal biasa dan tidak ada unsur penistaan terhadap agama.

Pro-kontra mengenai pernyataan Ahok ini justru tambah diperumit oleh hadirnya berbagai tokoh agama Islam yang justru memiliki latar belakang pemahaman keagamaan secara berbeda. Saya melihat, ada unsur keagamaan Islam dengan latar belakang berbeda seperti unsur NU dan  Muhammadiyah. Unsur NU-pun nampaknya bisa diwakili oleh kalangan NU “liberal” dan NU “konservatif”, Muhammadiyah-pun nampak sama mewakili kedua model seperti yang ada pada organisasi NU. 

Sebagaimana diketahui, NU “konservatif” diwakili oleh salah satu mustasyar-nya yaitu KH Saifuddin Amsir yang dikenal sebagai ulama berpengaruh di Jakarta. KH Saifuddin nampak memberi komentar yang tajam dan kritis terhadap kondisi polemik pernyataan Ahok. 

Tidak secara langsung kyai betawi ini “menghukumi” Ahok, tetapi lebih ke arah penyadaran agar umat selalu introspeksi dengan kondisi kebangsaan yang dinilai kisruh ini. Ahok bagi kyai Amsir bukanlah sosok yang harus dikagumi secara berlebihan karena masih banyak di Indonesia sosok-sosok lain yang lebih dapat dilihat sebagai calon pemimpin ketimbang terus menerus membela Ahok.

Kalangan NU “liberal” yang diwakili juga oleh salah satu pengurus suriyah PBNU, KH Ishomuddin nampak lebih terlihat “ambigu” ketika berupaya memposisikan dirinya untuk netral terhadap polemik pernyataan Ahok. KH Ishomuddin justru lebih melihat secara lebih besar kepada persoalan hubungan yang harus terbangun secara kemanusiaan dimana konsep ukhuwah basyariyah harus lebih dikedepankan dalam memandang polemik soal Ahok. Kalaupun Ahok disaat mengeluarkan pernyataannya disengaja, maka ia telah berbuat dzalim kepada umat dan kedzaliman dapat terselesaikan melalui bentuk nyata saling memaafkan. 

Kyai satu ini justru merasa bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang dilakukan Ahok ketika membuat pernyataan tendensius kepada agama Islam. KH Ishomuddin nampaknya sangat kental membawa paradigma pluralisme yang cenderung liberal dengan menganggap bahwa semua manusia terlahir dalam “fithrah”nya masing-masing.

Kalangan muda Muhammadiyah yang melaporkan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok nampak terlihat cenderung berparadigma konservatif dalam memandang soal polemik ini. Dahnil Anzar yang merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah tetap berkomitmen untuk mengawal proses hukum yang saat ini sedang dalam proses pengumpulan bukti-bukti dan saksi yang didalami pihak kepolisian. 

Danhil menganggap bahwa ketika terjadi perbuatan yang mencederai konteks keberagamaan dalam masyarakat maka perlu ditindaklanjuti secara hukum karena perbuatan ini jelas mengancam kehidupan keberagamaan yang ada dalam masyarakat. Artinya, bahwa meskipun Ahok sudah meminta maaf kepada publik soal perbuatannya, namun proses hukum tetap harus dilanjutkan sebagai efek jera karena telah membuat kondisi keberagamaan menjadi tidak kondusif.

Sikap konservatisme lainnya lebih terlihat menonjol ketika MUI memberikan paparan soal polemik Ahok. MUI secara tegas memberikan pendapatnya sesuai dengan kesepakatan hasil kajian bersama unsur-unsur yang ada didalamnya, bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Hal ini dijelaskan dengan dasar pernyataan Ahok yang seakan-akan sengaja menghina ulama sebagai penafsir al-Quran dan juga kitab suci al-Quran itu sendiri sebagai pedoman umat Islam. 

Pihak MUI yang diwakili oleh KH Tengku Zulkarnain membacakan 5 sikap berupa pendapat keagamaan MUI yang salah satunya menghukumi Ahok sebagai orang yang telah melakukan penistaan terhadap ulama dan agama Islam. MUI menyisir dua kata, yaitu “dibohongi” dan “dibodohi” yang dikaitkan dengan surat al-Maidah yang secara sengaja diucapkan Ahok. Ditambah lagi bahwa ada upaya terselubung sebagai bagian dari mencuri start kampanye yang dilakukan Ahok disaat kunjungan kerja dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta ke Kepulauan Seribu.

Sikap yang lebih bijak nampaknya ditunjukkan oleh Buya Syafi’i Ma’arif, salah satu mantan ketua PP Muhammadiyah, agar umat tidak berlarut-larut dalam kubangan konflik yang justru akan memicu kebencian lebih besar yang justru dapat menghancurkan sendi-sendi keberagaman masyarakat . Buya Syafi’i beralasan bahwa Ahok bukanlah sosok yang dinilai oleh sebagian orang sebagai pribadi yang negatif yang secara sengaja memicu konflik dan akan memecah-belah persatuan bangsa ini. “Ahok bukan orang jahat” demikian penggalan kalimat Buya ketika ditanya soal polemik Ahok yang dianggap telah menistakan agama. 

Bagi saya, Buya nampaknya cenderung tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam soal polemik ini, karena ketika para agamawan atau tokoh masyarakat terlibat terlalu jauh, maka permasalahan ini justru akan semakin membesar sehingga pada akhirnya sulit ditemukan solusinya. Nampak sekali bahwa ungkapan-ungkapannya dalam hal menyikapi polemik soal Ahok ini, semakin menunjukkan kematangan berpikir dan bersikap sebagai sosok guru bangsa yang cenderung menjauhi konflik dan memberikan hal-hal yang solutif kepada umat.

Asumsi saya adalah justru polemik soal penistaan agama oleh Ahok ini bercampur-baur antara semangat keagamaan dan semangat politik. Hanya saja nuansa politisnya lebih kental karena serasa berhadap-hadapan antara pendukung dan non pendukung petahana ditengah memanasnya kontestasi Pilkada Jakarta. Kuatnya arus desakan masyarakat yang resistensi terhadap Ahok justru menjadi pemicu utama dalam menyikapi soal polemik ini. Semangat keagamaan yang dimunculkan seakan-akan hanyalah salah satu bentuk pembenaran yang “legal” untuk menjegal Ahok di Pilkada Jakarta. 

Walaupun demikian, semangat politik yang ditunjukkan oleh para pendukung petahana juga terlampau “subjektif” sehingga terkadang rasionalisasi pembelaan terhadap Ahok hanyalah dorongan kepentingan politik tanpa memandang objektivitas persoalannya. Saya kira, sikap objektif dalam memandang polemik ini didasarkan pada asumsi causalitas bahwa Ahok memang melakukan kesalahan dan dia harus tegar dan siap mempertanggungjawabkan seluruh konsekuensinya.  

Wallahu a'lam bisshawab

[syahirul alim]