Wednesday, June 15, 2016

Surat Cinta Buat Kang Aher dan Kang Deddy


Dunia Hawa – Yusuf Muhammad dalam akun facebooknya menulis sebuah surat yang ditujukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, berikut tulisannya:

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Selamat Berbuka puasa Kang Aher dan Kang Deddy. Pasti buka pakai sosis ya? Jangan lupa minumnya larutan yang ada badaknya kang.

Mungkin kang Aher dan kang Deddy pernah dengar kisah ini. Ketika suatu malam, Rasulullah SAW mendatangi istrinya, Aisyah ra. Dan terjadi dialog pendek, ketika itu Rasulullah SAW bangun dari tidurnya dan menanyakan kepada Aisyah ra.

“Wahai istriku Aisyah ra, bolehkah aku melakukan shalat tahajud malam ini?”

“Wahai Nabi, aku senang ketika engkau sedang bersamaku, akan tetapi aku juga senang jika engkau melakukan apapun yang engkau sukai.”

Mengapa Rasulullah SAW bertanya dan meminta izin kepada Aisyah ra. untuk menunaikan sholat tahajud?

Perlu diketahui bahwa malam itu adalah malam dimana hak Aisyah ra. bersama Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW sangat menghargai haknya dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Aisyah ra. untuk melakukan shalat tahajud.
Mungkin kang Aher dan kang Deddy pernah tahu kisah ini. Semoga mereka dapat mentauladani dari kisah ini, bahwa betapa pentingnya menghargai hak-hak orang lain.

Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, sudah selayaknya mereka bekerja keras untuk memenuhi hak-hak warga Jabar yang masih belum terpenuhi. Masih banyak jalan rusak, masih banyak kotoran sampah, makin tinggi juga angka kemiskinan disana.

Kang Aher, dan kang Deddy, segeralah penuhi hak-hak mereka semua dengan adil. Bukan malah dengan membangun masjid 1 triliun rupiah yang diambil murni dari APBD. (Baca juga: Dua Periode PKS Pimpin Jabar, Tingkat Kemiskinan Semakin Naik)
Kalian tahu-kan bahwa uang APBD itu milik semua warga Jabar, bukan uang milik satu agama atau golongan saja. Lantas mengapa dengan enteng anda bilang sumber dana 1 Triliun pembangunan masjid itu murni dari APBD?

Sekali lagi, kang Aher dan kang Deddy, penuhilah hak-hak semua warga. Jangan abaikan hak mereka. Apakah Tuhan akan senang dengan Masjid yang nilainya triliunan? Sedangkan masih banyak hak warga yang kalian abaikan.

Sudah dulu ya kang, saya mau pamit tarawih dulu, saya mau berdo’a banyak-banyak saat di masjid nanti. Semoga angka kemiskinan di Jabar turun, sampah-sampah hilang, banjirnya surut dan jalan-jalan berubah jadi mulus. 

Wa’alaikumsalam. Wr. Wb.

Yusuf Muhammad

[yusuf muhammad/ facebooker]

Ahok Resmi Menang di Sumber Waras, BPK Terpojok dan Cinta Maut Golkar


Dunia Hawa - Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada pertengahan bulan Juni 2016 ini. Kedua peristiwa itu mempunyai efek bagi kontestasi dan konstelasi politik di ibu kota. Pertama, pernyataan KPK yang mengatakan bahwa Ahok tidak terbukti korupsi dalam pembelian lahan di Sumber Waras. Kedua, pernyataan dukungan resmi Golkar kepada Ahok untuk maju pada Pilkada 2017 mendatang.

Pernyataan KPK bahwa Ahok clear di Sumber Waras, jelas menjadi pukulan telak bagi lawan-lawan Ahok. Skenario awal para petinggi BPK yang memang berlatar belakang politikus untuk menjegal Ahok dalam Pilkada DKI 2017 mendatang, tak berjalan mulus dan gagal total. Bahkan karena pembelian lahan Sumber Waras yang sebetulnya tidak bermasalah namun justru terus-menerus digoreng, ditumis, dan kadang dipanggang oleh para lawan Ahok, termasuk BPK yang sarat tujuan politis, akhirnya berakhir dengan gosong. Dengan kata lain, hasil audit yang dikeluarkan BPK itu justru akhirnya berbalik menyerang BPK itu sendiri, membuka boroknya dan terpaksa diam ketika dicap ngaco oleh Ahok.

Tekanan bertubi-tubi para anggota DPRD DKI Jakarta yang didukung sebagian besar Komisi III DPR Senayan kepada KPK agar Ahok dijadikan tersangka, tidak membuahkan hasil. Harapan lawan Ahok untuk menyelamatkan muka BPK sekaligus menjegal Ahok dengan penetapan tersangka oleh KPK, justru berakhir dengan pedih-perih.  Pun tekanan berbagai LSM, aktivis pongah semacam Ratna Sarumpaet dan cagub lucu-lucuan Ahmad Dhani, bukan saja tidak bergigi tetapi juga mengundang cemoohan berbagai pihak.

Pernyataan Ketua KPK, Agus Rahardjo, bahwa KPK tidak menemukan indikasi korupsi di Sumber Waras dalam rapat dengan DPR (Selasa 14 Juni 2016), memang sesuai dengan fakta hukum. Hasil audit dan investigasi BPK yang telah disampaikan kepada KPK, dengan gambalang ditemukan banyak kejanggalan. Akibatnya, kesimpulan BPK yang mengatakan ada kerugian negara dalam kasus pembelian Sumber Waras, dapat dengan mudah dipatahkan dengan fakta-fakta di lapangan. Fakta-fakta di lapangan yang berbeda dengan temuan BPK inilah yang kemudian membuat KPK sulit menetapkan Ahok tersangka.

Pasca kemenangan Ahok di Sumber Waras, jelas kepercayaan publik kepada BPK jatuh ke titik nadir. Semua hasil-hasil audit BPK pada masa lalu pun mendapat pembenaran untuk diragukan. Dugaan publik bahwa selama ini BPK selalu bermain politik dalam memberi penilaian keuangan setiap pemerintah daerah, akhirnya terbukti. 

Hasil-hasil audit yang telah dilakukan oleh BPK pada masa lalu dan juga pada masa depan (jika BPK gagal mereformasi diri), tidak lagi begitu diacuhkan oleh pemerintah daerah apalagi publik karena sarat dengan nuansa politik. Dan itu memang hukuman yang layak diterima institusi sebesar BPK. Apa yang telah ditanam maka akan juga dipanen. Itu adalah hukum alam. Ke depan, BPK sudah harus mengevalusi diri dan tidak tunduk lagi kepada intervensi partai politik.

Jika BPK terpojok, dan lawan-lawan Ahok gigit jari dan bahkan ada yang tidak waras lagi, tidak demikian halnya dengan Ahok. Pasca kemenangan di Sumber Waras itu, maka jelas posisi Ahok semakin kuat. Namanya yang sebelumnya sedikit diperguncingkan dan menimbulkan keraguan di benak banyak orang, kini berbalik arah. Publik Jakarta dan lebih-lebih para pendukung Ahok yang sebelumnya memang yakin bahwa Ahok memang tidak bersalah di Sumber Waras, kini semakin percaya dan mendukung Ahok.

Ahok jelas, masih yang terbaik di ibu kota. Karakter Ahok yang sangat tegas, kasar dan berteriang maling, brengsek kepada para maling, preman, pedagang liar, pemukiman liar, koruptor, dan para pelanggar aturan itu justru disukai publik. Ahok jelas tidak kasar dan galak kepada mereka yang baik dan taat aturan. Ahok justru hanya kasar dan galak kepada mereka yang tidak beradab dan munafik. Kepada mereka yang korup atau mencuri uang negara, maka kata yang paling pas adalah maling, brengsek dan kurang ajar.

Karakter tegas tanpa takut Ahok yang disertai dengan hasil kinerja yang bagus inilah yang membuat publik semakin simpati kepada Ahok. Publik tak henti-hentinya mengapresiasi hasil kerja Ahok dalam membenahi carut-marut ibu kota. Hasil-hasil survei pun membuktikan bahwa elektabilitas Ahok masih tetap yang tertinggi. Jumlah KTP yang sebentar lagi mencapai angka satu juta, adalah bukti tak terbantahkan. Sebelumnya tak ada politikus yang mampu mengumpulkan KTP sebanyak itu dalam waktu tiga bulan.

Tentu saja adanya dukungan masif publik kepada Ahok, membuat berbagai partai politik takut, kagum dan termangu. Jelas ketika Ahok menyatakan maju secara indenden, maka sebagian besar partai politik kelabakan dan kebakaran jenggot. Ahok pun dijadikan public enemy partai politik dan melakukan segala cara untuk menjegalnya. Kasus Sumber Waras, reklamasi, hak diskresi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hingga revisi UU Pilkada adalah bukti-bukti penjegalan Ahok. Namun ketika Ahok masih kuat bertarung, beberapa partai politik pun berbalik arah.

Ada tiga karakter yang terlihat dari partai politik berhadapan dengan Ahok. Pertama, mereka yang melihat dirinya ibarat gadis cantik yang mencintai Ahok dan bersikap pasif untuk dilamar. Namun ketika Ahok tidak kunjung datang melamar, partai-partai itu akhirnya berubah menjadi pembenci Ahok. Ya, benci tapi cinta. Cinta tetapi benci. Sikap seperti ini bisa dilihat dalam diri partai Gerinda, PKS, PPP, PAN, PKB dan Demokrat.

Kedua, partai melihat dirinya ibarat gadis yang sangat cantik dan memang faktanya sangat cantik namun jual mahal untuk menyatakan cintanya kepada Ahok. Partai sejenis ini dari hari ke hari menunggu lamaran Ahok, sambil terus menggoda dan memakai perantara agar Ahok datang melamar. Ketika Ahok tidak kunjung datang, partai inipun mengancam akan jatuh hati ke lain lubuk dan akan meninggalkan Ahok. Celakanya, jatuh hati kepada lubuk lain itu tidak jelas. Sikap seperti ini bisa dilihat dalam diri PDIP yang terus menjaga gengsi untuk melamar sedndiri Ahok.

Ketiga, partai yang melihat dirinya gadis cantik dan memang juga faktanya cantik, agresif, berani, tanpa malu datang sendiri melamar Ahok. Mereka pun datang mengungkapkan cinta mautnya kepada Ahok yang disambut Ahok dengan tangan terbuka. Tujuannya jelas untuk meraih masa depan yang lebih cerah, memulihkan nama baik dan menebeng pada popularitas Ahok. Partai-partai seperti ini bisa dilihat dalam diri Nasdem, Hanura dan terakhir Golkar yang sudah menyatakan cinta mautnya kepada Ahok.

Cinta maut ketiga partai ini sangat kental dalam diri Golkar misalnya. Ketika Golkar terpuruk di era Aburizal Bakri karena tersandung kasus lumpur Lapindo, dililit kasus Papa Minta Saham dengan aktor, Setya Novanto, ketua DPR yang juga dari Golkar, maka Golkar butuh pemulihan. Sikap realitis para elit Golkar semacam Yorris, Agung Laksono dan bahkan ketua Golkar sendiri Setya Novanto, untuk mendukung Ahok adalah buktinya. Golkar akhirnya secara resmi telah menyatakan dukungan kepada Ahok. Dengan mendukung Ahok, maka Golkar dapat meraih simpati dari satu juta KTP yang dikumpulkan Teman Ahok. Inilah awal kampanye Golkar memulihkan nama baik.

Tentu dengan adanya dukungan dari Nasdem, Hanura dan Golkar dan raihan KTP sejuta oleh Teman Ahok, maka Ahok mempunyai tiga pilihan yang memungkinkan dia maju dalam Pilgub 2017 mendatang. Pertama, maju secara independen dengan bertarung pada verfikasi KPU dan didukung oleh ketiga partai di atas. Kedua, maju lewat partai Nasdem, Hanura dan Golkar yang mempunyai 24 kursi di DPRD DKI dan berkolaborasi dengan Teman Ahok. Ketiga, maju lewat PDIP berpasangan dengan Djarot lewat win-win solution dengan Teman Ahok di mana kuncinya pada Heru dan dukungan ‘sayang’ Megawati serta saran yang bersifat strategis dari Jokowi.

Sekarang kendali ada di tangan Ahok. Setiap keputusan yang dipilihnya pasti ada konsekuensinya termasuk cinta maut Golkar yang bisa berubah menjadi jebakan Batman. Bagi publik Jakarta dan para pendukung Ahok, yang penting dipahami adalah bahwa tidak penting apakah Ahok maju dari jalur independen atau dari jalur parpol. Yang paling penting adalah Ahok akan berhasil menjadi gubernur untuk periode kedua dan tetap independen ketika dia mengeluarkan kebijakan-kebijakannya. Artinya Ahok bisa saja maju dari jalur Parpol namun tetap independen menjalankan kebijakannya. Atau Ahok maju dari jalur independen, namun tetap juga independen dalam mengeluarkan kebijakan.

Selanjutnya hal lain cukup paling penting adalah Ahok harus tetap menjaga namanya sebagai seorang petarung, tetap membuat pertarungan menarik, tak mudah menyerah dan didikte, terus membuat Parpol termangu, tetap cerdik seperti ular dan tulus seperti matahari. Bahwa nantinya Ahok akan zigzag di antara Teman Ahok dan Parpol, termasuk berdamai dengan parpol, hal itu harus dapat dipahami dalam konteks strategi meraih kemenangan gemilang. Dalam dunia politik, kadang strategi jalan memutar jauh lebih jitu ketimbang jalan berhadap-hadapan.


[asaaro lahagu/ kompasioner]

Mengapa Jilbab Tak Lagi Wajib (Gugurnya Perintah Hijab)


Dunia Hawa - “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 59)

Seringkali kita mendengar dalam ceramah di masjid dan televisi tentang wajibnya perempuan berjilbab. Konon perempuan yang tidak mau berjilbab akan disiksa di dalam kuburnya, dibakar rambutnya, dan dimasukkan ke dalam api neraka. Seram sekali ya.. Tapi benarkah ancaman semacam itu ada dasarnya? Bagaimana bisa selembar kain berkaitan dengan moralitas atau pun dosa pahala?

Ayat 59 surat Al-Ahzaab umumnya menjadi dalil bagi mereka yang mewajibkan jilbab (jilbab dalam Bahasa Arab merupakan kain lebar yang menutup seluruh tubuh). Ayat tersebut memang benar adanya kita dapati dalam Al-Qur’an. Namun jika kita telisik lebih dalam mengenai sebab turunnya (Asbabun Nuzul), kita akan mendapati bahwa ayat ini sesungguhnya memiliki tujuan khusus. Diceritakan bahwa istri-istri Nabi saat keluar rumah seringkali diganggu oleh para pria jahiliyah hidung belang di Madinah. Saat para pria itu ditegur, mereka berkilah dengan mengatakan bahwa mereka kira istri-istri Nabi itu adalah budak, sehingga mereka boleh mengganggunya (Pada masa itu masih ada budak. Mereka tidak dihormati dan lazim dilecehkan). Atas kejadian ini lah, maka istri-istri Nabi dan para muslimah di Madinah diperintahkan untuk berjilbab sebagai identitas yang membedakan mereka dari budak. Sehingga para pria hidung belang tidak lagi memiliki alasan untuk mengganggu mereka.

Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan lebih lanjut perihal ayat ini: “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana perempuan merdeka. Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab dan berkata: jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak dilecehkan.. Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba berpakaian seperti perempuan merdeka!”.. seorang budak perempuan diperlakukan (dengan tidak hormat oleh lelaki lain), dan Allah melarang perempuan merdeka untuk disamakan dengan budak perempuan.”

Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah identitas muslimah, melainkan identitas perempuan merdeka pada zaman itu. Hal ini ditegaskan oleh keputusan di masa Khalifah Umar yang melarang budak perempuan untuk berjilbab. Karena jilbab adalah pakaian khusus untuk perempuan merdeka. Dalam 4 Madzhab Fiqih, batasan aurat seluruh badan hanya lah untuk perempuan merdeka. Sedangkan budak perempuan (meski muslimah sekali pun) auratnya sama seperti laki-laki, hanya dari lutut sampai pusar. Maka keliru sekali jika dikatakan bahwa jilbab identitas muslimah. Kata “agar mudah dikenali” dalam Al-Qur’an berarti agar mudah dikenali bahwa dia perempuan merdeka, bukan muslimah.

Kebijakan pakaian sebagai pembeda status ini tidak hanya ada di Arab, tapi juga di seluruh dunia, namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Di Romawi kuno, para budak menggunakan kalung besi khusus yang ditulisi nama pemiliknya. Di India, kasta ksatria menggunakan tali melintang di dada yang disebut ‘upawita’. Ada pun di Tiongkok, para budak dan suku-suku minoritas dilarang memakai beberapa jenis pakaian maupun aksesoris tertentu. Sedangkan di Jepang, hanya perempuan bangsawan yang boleh memakai kimono khusus yang disebut ‘uchikake’.


Kebijakan yang sama juga ditemukan di banyak daerah di Nusantara. Di Yogyakarta, pada tahun 1792 dan 1798 dikeluarkan peraturan keraton yang melarang rakyat jelata menggunakan beberapa motif batik seperti Parang Rusak dan Udan Liris. Aturan yang mirip juga terdapat di Tanah Batak di Sumatera Utara, di mana kain ulos tertentu seperti Ulos Gobar hanya boleh dikenakan bangsawan. Sementara di Bugis, baju bodo berwarna hijau khusus dikenakan oleh perempuan bangsawan saja.

Jilbab juga bukan berfungsi untuk menahan hasrat lelaki seperti banyak dikemukakan. Karena jika para lelaki mau, mereka bisa saja tetap mengganggu wanita yang berjilbab sekali pun (saat ini pun banyak juga kejadian wanita berjilbab masih diganggu). Jilbab hanyalah sekedar penanda di zaman Nabi bahwa seorang perempuan itu merdeka. Sehingga jika ada pria yang masih berani mengganggunya, maka para pria lain dapat mengambil tindakan tegas dengan menghukum pria pengganggu itu.

Lalu mengapa jilbab kini tak wajib lagi? Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya.

1. Budak sudah tidak ada lagi

Ayat yang menyuruh perempuan berjilbab pada hakikatnya memiliki semangat proteksi. Ayat ini merupakan bentuk perlindungan terhadap martabat perempuan merdeka di masa Nabi agar mereka mudah dikenali sehingga tidak dilecehkan seperti budak-budak perempuan yang kerap digoda saat keluar rumah majikannya. Maka sejalan dengan penghapusan perbudakan di seluruh dunia, sebab ayat ini pun menjadi hilang sehingga perintahnya pun gugur. Batalnya suatu syariat yang disebabkan oleh perubahan keadaan merupakan keniscayaan yang diamini oleh para pemimpin Islam di masa lalu, seperti Umar yang menggugurkan hak muallaf menerima bagian zakat karena perubahan situasi politik. Bahkan sebelum sistem perbudakan dihapuskan, ayat ini sudah tidak lagi memiliki relevansi pada kondisi lain yang menjadi alasan kedua, yaitu —

2. Islam telah memasuki budaya lain

Jilbab berfungsi sebagai penanda perempuan merdeka di Arab pada masa Nabi. Namun budaya-budaya lain memiliki caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Budaya-budaya Nusantara misalnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, memiliki cara berupa penggunaan motif kain yang berbeda untuk status sosial yang berbeda. Begitu juga budaya-budaya lain di seluruh dunia punya caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Sehingga jilbab tidak memiliki relevansi di luar Arab bahkan sejak sistem perbudakan masih ada. Karena tujuan yang dimaksud bukanlah jilbabnya melainkan fungsinya sebagai pembeda antara perempuan merdeka dan budak, sehingga yang merdeka tidak bisa diganggu. Sementara budaya lain di luar Arab memiliki caranya masing-masing dalam memenuhi fungsi pembeda itu.

Dalam masa modern saat ini, ketika budak sudah dihapuskan, maka baik jilbab maupun motif kain sebagai pembeda status sama-sama telah kehilangan relevansinya. Karena kini tidak ada lagi merdeka atau budak, bangsawan atau rakyat biasa. Semua orang kini sama. Setara.


Di luar itu, setiap budaya juga memiliki standar kesopanannya masing-masing yang berbeda. Bagi kita bangsa Indonesia, perempuan berambut dan bahu terbuka adalah hal yang lumrah dan sopan-sopan saja. Di desa-desa, perempuan mandi di kali dengan berbalut kain atau sarung saja adalah hal biasa. Hal itu tidak menjadi alasan bagi laki-laki di desa untuk berbuat kurang ajar.

Perbedaan budaya ini sangat dipahami oleh para wali serta ulama di Nusantara pada zaman dahulu. Itu lah mengapa kita tidak mendapati nenek-nenek kita berjilbab. Para ulama Nusantara hanya meminta perempuan untuk menutup tubuhnya saat sembahyang, sehingga kita mengenal alat salat yang bernama mukena. Pakaian mukena ini tidak terlalu dikenal di Arab yang memang sehari-hari sudah berpakaian tertutup. Ini ijtihad para wali dalam menghormati adat Nusantara. Mereka tidak dengan angkuhnya mengancam para nenek kita dulu yang berpakaian terbuka.

Berjilbab atau pun tidak bukanlah ukuran untuk menilai kebaikan diri seseorang. Semua kembali pada menata pikiran dan menjaga hati masing-masing. Al-Qur’an telah menyuruh laki-laki untuk “menahan pandangan” dan “menjaga kemaluan”. Bukan menyalahkan perempuan apalagi memaksanya berjilbab, karena pakaian selebar apa pun tidak akan cukup jika laki-laki tidak mengendalikan dirinya sendiri.

Al-Ahzab ayat 59 menyimpulkan motif perintah jilbab itu dengan sangat lugas, “karena itu mereka tidak diganggu”. Ini lah tujuan tertinggi (maqasid) yang dimaksud ayat tersebut, yaitu melindungi wanita merdeka dari gangguan pria jahat pada masa di mana perbudakan masih merajalela dan konsep pidana pelecehan seksual sama sekali belum dikenal. Namun kini, perbudakan sudah dihapuskan dan perlindungan wanita telah diformalkan dalam Undang-Undang yang ditegakkan negara. Maka setiap muslim harus menjadi pembela terdepan dari perlindungan wanita sebagaimana semangat ayat agung ini. Bukan sebaliknya merasa berhak melecehkan mereka yang tidak berjilbab.

Pada akhirnya, bukan lah selembar kain yang menentukan siapa yang paling mulia, melainkan hati dan amal perbuatannya. Dan hanya Tuhan lah yang paling berhak menilainya. Tugas kita hanya lah menjalani hidup dengan baik, saling menghormati dan saling melindungi sesama. Sesederhana itu

[islamreformis.wordpress.com]

Tubuh Wanita adalah Kuil Tuhan


Dunia Hawa - Di Negeri ini, Setiap Senti Tubuh Perempuan adalah Aurat. 

Mungkin sudah waktunya para perempuan berpikir untuk pindah ke planet lain. Di sini setiap senti tubuhnya adalah aurat. Yang kalau terlihat di depan umum, bisa berurusan dengan hukum. 

Saya tidak sedang bercanda. Sebentar lagi Kota Banjarmasin akan membentuk Satpol PP khusus untuk merazia dan menggaruk perempuan yang dianggap berpakaian seksi, termasuk yang masih menjalani aktivitas di luar rumah setelah berkumandangnya azan magrib. Satuan ini mereka namai Satpol PP Syariah. 

Ini menyusul 365 perda diskriminatif terdahulu, yang telah berlaku di berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, sebagian wilayah Sulawesi, Lombok dan lain-lain. Dengan alasan mengontrol moral masyarakat, pemda setempat merasa penting untuk mengatur warganya yang berjenis kelamin perempuan dalam beraktivitas. Mulai dari cara berpakaian, berwisata, jam pulang, hingga cara duduk di atas motor.  

Semua ini tentu menimbulkan pertanyaan, sudah sebegitu tak bermoralnyakah perempuan di negeri ini sehingga perlu dibuatkan aturan tentang tata cara mereka menjalani hidup? Mengapa perempuan yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta, untuk tampak cantik dan menarik di mata lawan jenis, harus menanggung kutuk atas kodrat mereka?  

Tubuhmu adalah kuil Tuhan, kata sebuah aforisme. Saya kira banyak perempuan yang meyakini ungkapan indah ini sebagai suatu kebenaran. Itu tercemin dari cara mereka merawat tubuh, memelihara kencantikan, dan memilih busana sesuai dengan keindahan tubuh mereka. 

Hanya orang-orang yang berpikiran kotorlah yang tidak mampu melihat kesucian kuil Tuhan itu. Lalu mereka menempelinya dengan cap dosa di semua bagian. Mereka menganggap setiap senti tubuh perempuan adalah aurat yang kotor dan harus ditutupi. Harus dibungkus, dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

Saya bukan seorang ahli agama dan saya tidak akan bisa mendebat jika seseorang menyodorkan hadist tentang pentingnya menutupi tubuh perempuan. Tentang dosa yang ditanggung ayah dan suami jika anak atau istrinya tidak berhijab. 

Saya hanya ingin mengatakan adalah sangat tidak adil bila semua urusan moral ditimpakan pada tubuh perempuan. Sementara otak para lelaki di mana pikiran-pikiran kotor itu tumbuh dan berkembang, sama sekali tak disentuh dalam perda. 

Alasan bahwa peraturan ini dibuat untuk menjaga moralitas masyarakat serta melindungi perempuan dari tindak kekerasan seksual, pun terasa tidak tepat dan mengada-ngada. Karena yang disasar hanya perempuanya, korbannya, bukan pelaku kekerasannya. 

Pemerintah pusat, dalam hal ini Mendagri, seharusnya bisa bersikap tegas dan mencabut perda yang diskriminatif, melanggar HAM, dan merendahkan harkat manusia. Kecuali untuk daerah khusus, semua perda seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada. Ini penting untuk menjaga hak-hak perempuan, agar mereka merasa terlindungi, dan tidak berpikir untuk minggat ke planet lain. 

Oh, ya… kalau akhirnya pada minggat juga, tolong kabar-kabari. Saya mau ikut. Tidak dapat saya bayangkan bagaimana hidup tanpa kalian. 

[jim b aditya]