Friday, June 10, 2016

Gerakan Cuti Bersama Demi Ahok di Pilkada DKI 2017


Dunia Hawa - Disahkannya UU Pilkada yang mengatur bahwa verifikasi pendukung calon independen dilakukan dalam jangka waktu terbatas, seakan ingin menghadang calon independen untuk ikut berpartisipasi dalam gelaran Pilkada 2017 mendatang. Agak janggal memang ketika UU Pilkada begitu lama memutuskan dan mengalami tarik ulur dalam pengesahannya, yang bisa jadi karena adanya fenomena kuat relawan dari salah satu calon independen di Pilkada DKI 2017 yaitu teman Ahok. 

Demi mengganjal sang petahana yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang hampir kemungkinan besar maju melalui jalur independen dengan dukungan dari Teman Ahok dan bukan lewat partai politik, maka tentu memunculkan berbagai asumsi yang berkembang dan salah satunya adalah partai politik menggunakan kewenangan dalam pembuatan UU di legislatif untuk melakukan pengganjalan terhadap calon independen yang tidak diusung oleh partai politik. Hal ini ditambah dengan elektabilitas Ahok yang masih tinggi dibandingkan kandidat lainnya yang saat ini muncul sebagai penantang petahana dari partai politik. Apalagi Ahok sendiri juga sudah menyatakan akan maju melalui jalur independen dalam Pilkada 2017 tidak menggunakan kendaraan partai politik, meski sebenarnya jika menggunakan kendaraan parpol kemungkinan besar akan cukup banyak parpol yang akan mengusungnya. 

Munculnya Gerakan Cuti Bersama demi Ahok ini dikarenakan bahwa waktu verifikasi para pendukung yang mengumpulkan KTP kurang lebih hanya 3 hari dari sebelumnya selama 14 hari. Jika saat didatangi oleh PPS (Petugas Pemungutan Suara) dan sang pendukung tidak berada di tempat, maka pendukung diminta untuk mendatangi kantor PPS di tiap wilayahnya. 

Jika dalam waktu yang ditentukan yaitu kurang lebih 3 hari tersebut, pendukung tidak ada di tempat atau tidak mendatangi, maka otomatis dukungannya dapat digugurkan dan tentu saja dapat berdampak pada jumlah minimal persyaratan maju menjadi bakal calon gubernur dalam Pilkada 2017 mendatang. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya Gerakan Cuti Bersama Demi Ahok dari para relawan yang mendukung Ahok demi dapat maju dari jalur independen, meski mendapat "hambatan formal yang seakan dibuat-buat melalui UU Pilkada" dan tentu kita tahu siapa yang merumuskan suatu undang-undang tersebut.

Gerakan cuti bersama ini dapat diartikan pula sebagai bentuk perlawanan dari masyarakat terhadap oligarki partai politik yang selalu mengatasnamakan membawa suara dari masyarakat, tetapi yang terjadi justru hanya suara partai baik itu elit maupun ketua partai saja yang didengar dan bukan menerima aspirasi masyarakat. Selain itu, hal ini seharusnya membuat partai bercermin diri karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi parpol, karena hingga saat ini para elit partai lebih mementingkan kepentingan kelompok / faksi dalam partainya dibandingkan dengan mendengarkan aspirasi publik dan membuat menjadi suatu kebijakan yang mementingkan publik atau masyarakat. 

Menjadi suatu pertanyaan, kira-kira apakah Gerakan ini dapat menjadi semacam bola salju yang makin bergulung sehingga membuat banyak masyarakat berada di belakangnya dan justru akan menjadi suatu gerakan perlawanan terhadap dominasi parpol saat ini ? Dengan kata lain dapat diartikan sekarang sedang terjadi pertarungan antara rakyat vs parpol dalam Pilkada DKI 2017, karena beberapa hal yang terjadi seolah-olah memperlihatkan bahwa kepercayaan (trust) masyarakat di DKI khususnya menurun terhadap institusi partai politik, sehingga mereka dengan sukarela bersedia mengumpulkan KTP untuk mendukung majunya Ahok menjadi calon independen dan tidak melalui partai politik. 

Makin menarik untuk dicermati, apakah Ahok akan tetap "setia" dengan Teman Ahok yang begitu menggebu-gebu untuk mendukungnya meski diganjal oleh beberapa hal atau justru kemudian menerima pinangan partai politik dan maju lewat jalur parpol ? Mari kita tunggu.

[danny prasetyo/ kompasioner]

Kasus Pembunuhan Eno: Siapa Sebenarnya Dimas?


Dunia Hawa - Kasus pembunuhan Eno Fariah, memasuki babak baru setelah kasusnya disidangkan di pengadilan. Berbagai alibi baru muncul di pengadilan. Salah satu alibi baru tersebut tak lain adalah salah satu saksi mahkota R, menyebut bahwa RA bukan otak dibalik terbunuhnya Eno. Bahkan R menyebut Dimas adalah aktor intelektual dibalik terbunuhnya Eno pada Jumat malam, 13 Mei 2016.

Bahkan alibi ini pun  terus diciptakan. Ayah terdakwa RA, pacar Eno, yang secara terang-terangan menyebut bahwa pada malam itu, RA ada di rumah dan tidak kemana-mana. ‘’Anak saya tidur di sebelah saya. Demi allah, ini bulan puasa. Saya ini muslim, saya tidak bohong’’ kata Nahjudin, ayah RA (16), pacar Eno. Bahkan alibi lain yang terungkap pula dipersidangan disebut bahwa Eno menjual handphone nya kepada Dimas dengan harga Rp. 10.000.

Namun majelis hakim yang memimpin sidang kasus ini dengan terdakwa RA tak perlu terkecoh akibat munculnya alibi-alibi baru tersebut. Karena dari kronologi awal diketahui bahwa pada Jumat malam, 13 Mei 2016, RA mengirim pesan kepada Eno, pacarnya, bahwa ia ingin bermain di kamarnya Eno. Pesan itu kemudian berbalas Eno mengizinkan pacarnya RA masuk ke dalam kamar dan Eno pun memberi tahu kepada RA bahwa kamarnya yang tak tertutup rapat.

Setelah tiba, di dalam kamar, RA langsung bercumbu mesra dengan Eno, Tetapi ketika RA mengajak pacarnya berhubungan badan, Eno menolaknya lalu kemudian RA ke luar kamar dan di luar kamar RA bertemu dengan R dan IH. Setelah itu salah satu pria yang ditemuinya di luar kamar , IH langsung masuk dan membekap Eno, R memegangi kaki Eno, dan RA disuruh IH mencari pisau ke dapur tetapi RA kembali dengan tangan kosong. 

RA kemudian disuruh mencari apa saja yang ada di luar untuk di bawa masuk ke dalam kamar, dan ditemukanlah cangkul , oleh RA di bawa masuk dan ditancapkannya di organ vital pacarnya sendiri. Ini sedikit flash back.

Nah, Pada Jumat malam, 13 Mei 2016, Jelas-jelas RA tidak sedang berada di rumahnya dan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dialibikan oleh ayahnya. Buktinya , pada malam itu, RA dan Eno sempat berkirim pesan pendek (SMS), dan Eno mengizinkan RA yang merupakan pacarnya masuk ke dalam kamarnya bahkan hingga keduanya bercumbu mesra di dalam kamar itu.

Nah sekarang kalau di persidangan dimunculkan alibi baru lagi, pada Jumat malam, 13 Mei 2016, RA tidak berada didalam kamar itu, maka pertanyaannya adalah siapakah yang bercumbu mesra dengan Eno pada malam itu?

Apakah itu pria lain selain RA? Menurut saya ini sangat di luar akal sehat dan terlalu prematur untuk mengatakannya. Eno justru tidak akan mengizinkan pria manapun masuk ke dalam kamarnya kecuali pacarnya, karena Eno sangat pemilih soal pacar, terlebih lagi sudah ini pukul 23:30 Wib.

Terlebih lagi diketahui bahwa semasa hidupnya, Eno disukai oleh para pria, itu artinya parasnya cukup lumayan cantik. Tetapi mesikpun Eno disukai oleh banyak pria, Eno tak asal terima cinta dari para pria yang mendekatinya tersebut. Eno adalah sosok yang sangat pemilih soal pacar. Ini terlihat dari IH dan R yang mengaku sakit hati dengan Eno lantaran cintanya bertepuk sebelah tangan. Dan pacar Eno hanya RA.

Berangkat dari alibi baru yang diciptakan oleh ayah RA membuat saya kembali berpikir bahwa ini adalah kebiasaan untuk meloloskan seseorang dari jeratan hukum. Tak masalah mau mengatakan bahwa pada malam itu RA tidur di sampingnya (ayahnya) dan tidak ke luar rumah, tetapi apakah ini bisa dibuktikan bahwa pada Jumat malam sekitar pukul 23:30 , RA masih tidur di samping ayahnya, dan tidak ke luar rumah setelah ayahnya tertidur pulas? Tak ada jaminan.

Ayah RA harusnya mengingat betul apakah RA benar-benar tidak ke luar rumah sama sekali pada Jumat malam, 13 Mei 2016? Ayah RA harus pula kembali mengingat dan mengatakan dengan jujur pukul berapa ia tidur pada malam itu (Jumat malam, 13 Mei 2016) ?

Jika ia mengatakan bahwa RA tidur di sampingnya, Apakah ayah RA yakin bahwa RA benar-benar tidur di sampingnya dengan tertidur pulas  atau hanya berpura-pura tidur? Kalau ayahnya tahu menyebut bahwa RA tidur di sampingnya, maka pertanyaannya adalah darimana ayahnya tahu kalau RA ini sudah tertidur?

Atau justru yang terjadi, RA hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk bisa ke luar rumah ( menuju ke kamar pacarnya Eno di mes karyawati PT Polyta Global Mandiri, Kosambi, Kabupaten Tangerang), yakni setelah ayahnya tertidur pulas?  Tetapi sampai saat ini saya masih sangat meragukan keterangan ayah RA.

Menjadi ragu karena pada Jumat malam, 13 Mei 2016, RA ada di kamar Eno dan sedang bercumbu dengan pacarnya itu. Tak masuk diakal kalau Eno tak mneyadari dengan siapa ia bercumbu pada malam itu, tak masuk diakal.

Saya yakin pada malam itu, hanya RA yang berada di kamar Eno (sebelum RA bertemu IH dan R di depan kamar Eno). Dan sebelum  RA masuk ke dalam kamar Eno, saya yakin lampu yang ada di kamar, masih dinyalakan dan belum dimatikan. Sehingga saya yakin betul Eno menyadari sepenuhnya yakni bercumbu mesra dengan RA, pacarnya.

Kemudian soal keterangan yang sangat mengejutkan dari salah satu saksi mahkota yang juga tersangka lainnya, R yang secara mengejutkan menarik keterangannya dalam BAP sebelumnya yang pernah menyebut RA otak dibalik kematian Eno, menjadi bukan RA otak dibalik matinya Eno melainkan otaknya adalah Dimas, sungguh membuat saya tidak terkejut sama sekali. Dari awal kasus ini mencuat saya yakin RA bukan dader intelektual/aktor intelektual dibalik terbunuhnya Eno.

Sebab, dari awal saya sudah sangat berkeyakinan bahwa RA yang merupakan pacar Eno, secara akal sehat tidak masuk di akal membunuh dengan berencana pada Jumat malam itu hanya karena ditolak ajakan untuk berhubungan badan oleh kekasihnya itu.

Karena kalau pembunuhan berencana sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya, sedangkan kalau harus membunuh mengapa harus bercumbu dulu? Ini yang membuat saya yakin RA bukan dader intelektualnya.

Karena pada Jumat malam, 13 Mei hubungan RA dan Eno masih sangat harmonis. Ini terlihat dari kemeseraan keduanya yang bercumbu. Justru yang terlihat seolah-olah perannya sudah direncanakan adalah peran IH yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan langsung membekap Eno.

Yang menjadi tanda tanya besar hingga saat ini adalah mengapa IH langsung membekap Eno? Memerintahkan R memegangi kaki Eno?, dan memerintahkan RA mencari pisau, tak dapat pisau , disuruh mencari apa saja di luar? Ada apa dengan IH, Ini aneh!

Keanehan yang luar biasa kalau R yang hanya diperintahkan oleh IH untuk memegangi kaki saja, lalu kemudian ikut memperkosa tanpa menancapkan gagang cangkul ke alat vital gadis malang itu, lalu kini secara tiba-tiba tiba-tiba menyebut bahwa otak dibalik terbunuhnya Eno adalah Dimas. Ini aneh dan janggal, seolah-olah ingin meloloskan semua yang terlibat dalam pembunuhan sadis ini.

Mudah dipahami bahwa alibi baru R ini memang masuk di akal dan terkesan ingin terlihat cerdik, yakni dalam hukum pidana hanya yang menyuruh melakukan kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan yang disuruh melakukan kejahatan tak bisa dipidana. R sebagai saksi mahkota ini cukup cerdik dengan alibi ini.

Dan yang paling tidak masuk di akal dalam alibi baru ini adalah Eno yang disebut menjual handphone nya kepada Dimas. Lha, Handphone itu lah yang digunakan Eno saat berkirim pesan singkat (SMS) kepada pacarnya RA pada Jumat malam, 13 Mei sekitar pukul 23:30 Wib, Sehingga dimana logikanya Eno bisa berkirim pesan kepada RA kalau handphonenya sudah dijual kepada Dimas?

Tetapi sekali lagi upaya R untuk lolos dan meloloskan RA dan IH dari jerat pidana mustahil bisa terjadi sebab ada hasil visum  yang menyatakan bahwa air liur RA menempel pada dada sebelah kiri Eno, serta keterangan ahli bahwa darah gadis malang itu ada di tangan RA.

[ricky vinando/ kompasioner

Puasa Itu Pedih, Jendral ...


Dunia Hawa - Saya juga heran ketika bapak kita tercinta, mantan Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono merasa pedih kita merasakan lapar dan haus saat berpuasa...

Bulan Ramadhan itu adalah bulan suci bagi umat Islam, dimana selama sebulan itu Tuhan memberikan remisi bagi manusia untuk membersihkan jiwanya dari kotoran atau dosa2 yang selama ini melekat. Salah satu cara paling efektif supaya kotoran itu mudah dibersihkan adalah dengan mengekang nafsu, dan puasa menahan lapar dan haus itu adalah media untuk mengekang nafsu.

Lalu ketika menahan lapar dan haus itu media untuk membersihkan jiwa, kenapa menjadi pedih ? Seharusnya gembira ria, karena ini fasilitas yang disediakan untuk manusia pada bulan ini.

Pak SBY mungkin belum memahami makna bulan Ramadhan ini sesungguhnya, karena itu beliau hanya fokus pada kepedihan. Atau memang kebiasaan beliau berpedih -pedih dalam segala hal, terutama saat memimpin negara ini selama 10 tahun lamanya. Karena itu, wajar saja beliau selalu prihatin.

Mungkin karena rasa pedih itu juga yang membuat beliau harus berhutang triliunan dari asing untuk mengucurkan Bantuan Langsung Tunai dan dibagikan kepada masyarakat supaya konsumtif. Daripada pedih, nih saya kasih duit ya.. Begitulah kira2.

Atau beliau pedih juga saat melihat banyak proyek mangkrak di masanya dan baru terlihat saat sudah pensiun. Pedih, kenapa baru tahu sekarang ? Seharusnya dulu aku bisa bla bla...

Pedihnya beliau juga mungkin sangat terasa ketika harus menghabiskan dana 40 miliar saat pernikahan anak kesayangannya. Pedih karena seharusnya uang sebesar itu bisa buat hal yang berguna, tapi gimana lagi, nanti bisa2 di lecehkan mosok anak Presiden pernikahannya sederhana. Seperti makan buah simalakama, di makan bapak pedih, gak dimakan emak yang pedih.

Jadi, tidak usah dipersoalkan lagi kepedihan pak SBY karena kita juga merasakan kepedihan yang begitu panjang, 10 tahun lamanya, ketika negara ini dikeruk habis2an dan dilemahkan sehingga tidak bisa berkembang bahkan untuk mengalahkan negara sekecil Singapura saja.

Mari kita jadikan Ramadhan ini bulan kepedihan mengenang betapa kita banyak membuang waktu untuk sekedar bangkit saja. Kita harus terus merangkak dalam waktu selama itu, menundukkan kepala ketika berada di negara lain, karena kita tidak punya kebanggaan terhadap negeri sendiri...

Kita berpuasa begitu lama dan itu sangat pedih... 

Puasa itu pedih, Jenderal... 

Sepedih Fahri Hamzah yang harus membela mati2an kedudukannya di DPR meski sudah dipecat.. Gimana gak pedih, lha trus ntar anak istrinya makan apa ?

Pedih, ada rokok gak ada korek.. Pedihhh.. 

Seperti judul buku Jonru. "Cowok di seberang jendela.." Itu cowok pedih banget. Ngapain juga dia di seberang jendela.. Kayak orang ngintip dan anunya kejepit..

Seruput dulu, pak Jenderal....

[denny siregar]

Agama di Dunia Maya


Dunia Hawa - Pernah saya berdiskusi dengan seorang ustaz di rumah saya. Saya sampaikan hal-hal yang menjadi pertanyaan saya tentang Islam. Setelah itu kami salat berjamaah, dan saya persilakan dia untuk menjadi imam. Usai salat dia bercerita. “Waktu diskusi tadi sebenarnya saya sedang berusaha keras menahan emosi. Hampir saja Pak Hasan saya terjang dan saya pukuli, kalau saya tidak berpikir panjang,” katanya.

“Kenapa begitu?” tanya saya.

“Apa yang Bapak pertanyakan, apa yang Bapak kritikkan itu adalah hal-hal yang selama ini saya baca di internet. Setiap kali saya baca, saya sangat marah, rasanya ingin saya tinju monitor komputer saya. Nah, kini hal-hal yang saya baca itu saya dengar langsung dari orangnya sendiri, hadir di depan muka saya,” jelasnya. Saya memang menanyakan, tepatnya mempertanyakan banyak hal dalam Islam secara kritis. Untungnya di akhir diskusi dia akhirnya paham bahwa saya tidak sedang menghina Islam, melainkan sedang berusaha memahami. Di akhir cerita, dia menyarankan saya untuk berdiskusi dengan ulama lain, yang dia anggap lebih mumpuni. “Doktor harus dihadapkan dengan doktor,” kata dia. Saya datangi ulama yang dia sarankan, tapi diskusi tidak berkembang baik. Ulama itu menjawab singkat,”Saya tidak pernah berpikir tentang hal itu.” Selesai.

Internet membuat dunia menjadi seakan tanpa batas. Media sosial membongkar batas-batas yang selama ini masih tersisa di dunia internet, menjadi benar-benar tanpa batas. Kita yang biasanya bergaul dengan orang dari kalangan yang sangat terbatas, kini dicampurkan dalam suatu bak besar bernama media sosial. Topik-topik sensitif yang biasanya enggan kita bahas di ruang nyata, menjadi hal yang tak lagi tabu dibahas di ruang maya. Interaksi yang memuat kejutan seperti yang terjadi antara saya dengan ustaz tadi, berlangsung hampir setiap menit di ruang maya.

Yang terjadi di dunia maya adalah manusia-manusia yang nyaris tanpa profil, saling berinteraksi. Manusia-manusia yang tak saling kenal satu sama lain, berbicara tanpa batas. Lebih pelik lagi, jalur komunikasi yang dipakai adalah bahasa tulis, yang sering kali gagal menyampaikan maksud secara utuh. Maka media sosial adalah dunia yang sangat rawan konflik.

Tidak hanya itu. Dunia sosial juga menghilangkan strata sosial dan segmen usia. Seorang cendekia dengan posisi terhormat di dunia nyata, bisa berinteraksi dengan anak SMP, atau buruh kasar di proyek konstruksi. Kiyai besar dengan ilmu mendalam, bisa berinteraksi dengan anak kemarin sore yang baru belajar agama lewat majelis halaqah. Perbedaan status sosial, level pengetahuan, dan sebagainya juga bisa menimbulkan konflik.

Pernah saya ungkapkan suatu fakta sejarah tentang rumah tangga nabi, yaitu konflik antara nabi dengan istri-istri beliau terkait kehadiran Maria Qibtiyah. Fakta itu sebenarnya tertulis di kitab-kitab tafsir, sesuatu yang biasa didiskusikan. Masalahnya, sangat banyak orang yang berislam tanpa belajar. Mereka hanya mendengar secuil doktrin, dan mempercayainya tanpa periksa. Kontan mereka marah dengan fakta yang saya ungkap tadi, dan menuduh saya memfitnah dan menghina nabi.

Semua itu menjadi tambah panas bisa bercampur dengan kepentingan politik. Politik kita masih sebatas politik emosi. Laksana penonton bola, publik kita melihat politik dengan bingkai nalar “yang penting pihak saya menang”, bukan atas kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar seperti terpenuhinya hak-hak dia sebagai warga negara. Akibatnya, semangat untuk menang lebih mendominasi pola komunikasi.

Ketika pikiran kita sudah dipenuhi oleh keberpihakan berbasis emosi, maka tidak ada lagi objektivitas. Tadi saya membaca posting orang yang memuat kritik saya terhadap Aa Gym, soal anjing pelacak di bandara. Ia menuduh saya bersikap kurang ajar. Kata-kata saya dia anggap kurang ajar. Tapi persis di bawah posting itu, ia memuat posting yang memaki-maki Ahok. Padahal kritik saya terhadap Aa Gym hanya berupa sindiran satire, tanpa makian. Bahkan, menurut teman saya yang berteman dengan dia, orang ini sebenarnya biasa memaki orang lain.

Apakah saya selalu objektif? Saya tidak berani mengklaim begitu. Yang bisa saya klaim adalah saya berusaha untuk selalu objektif. Obejektivitas, sayangnya, sering ditetapkan secara subjektif. Itulah peliknya.

Jadi bagaimana? Saya menetapkan platform dalam bermedia sosial, agar tidak larut dalam konflik, meski konflik sering kali memang tidak bisa dihindari. Pertama, saya menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Dalam hal ini saya bahkan terpaksa berbenturan dengan admin Facebook sendiri, apa boleh buat. Kedua, saya bermedia dengan basis pengetahuan dan fakta. Sering saya merevisi atau menghapus sebuah posting yang kemudian saya sadari tidak kuat basis faktanya. Ketiga, saya tidak berminat mengubah pandangan orang-orang yang memang sudah diametral pertentangannya dengan saya. Yang bisa saya lakukan hanya membuka dialog untuk saling memahami. Bila pun itu tidak tercapai, minimal saya memberi kepercayaan diri kepada orang-orang yang sepaham dengan saya. Banyak orang yang punya pendirian tertentu tapi tidak tahu cara mempertahankan pendiriannya itu dengan argumen yang akurat. Saya menyediakan itu bagi mereka.

Facebook bagi saya hanyalah media untuk bertaaruf dengan jujur. Inilah saya. Sosok saya, atau apa yang saya pikirkan tidak selalu menyenangkan bagi orang lain. Dalam dunia nyata pun sebenarnya demikian. Hanya saja, saya tidak berinteraksi di dunia nyata sebanyak interaksi saya di dunia maya.

[abdurakhman.com]