Thursday, May 26, 2016

Ahok Dipastikan Tidak Akan Jadi Tersangka


Dunia Hawa - Banyak lawan politik Ahok bertanya, sudah hampir setahun sejak Agustus 2015, Ahok digonjang ganjingkan dugaan Korupsi RS Sumber Waras. Kok sampai sekarang KPK tidak menetapkan Ahok sebagai tersangka.?

Ada apa ?

Jawabnya :

Memang Ahok tidak akan jadi tersangka

Alasannya :

Pada kasus RS Sumber Waras

Memang hingga kini, KPK belum menemukan adanya kerugian negara dan niat jahat Ahok pada pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemrov DKI 2014 lalu sebagaimana yang ditudingkan BPK DKI.

Soal Letak tanah RS Sumber Waras yang menentukan di Jl Kyai Tapa adalah BPN DKI, soal NJOP yang menentukan besarannya adalah Dirjen Pajak. KPK mengikuti pendapat BPN DKI dan Dirjen Pajak Kementerian keuangan.

Menurut KPK, Ahok sudah benar membayar lahan RS Sumber Waras tersebut dengan NJOP Kyai Tapa dengan nilai sebesar NJOP Rp.20,7 juta /meter. Sehingga Ahok dinilai KPK tidak merugikan keuangan negara. Karena negara tidak dirugikan , maka KPK juga menilai Ahok tidak memiliki niat jahat untuk memenuhi koceknya, mencuri dana dari pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Prov DKI 2014.

“ Maka tidak sederhana mengusut kasus ini, ada kerugian negara, niat buruk, perhitungan yang dilakukan. Ini yang kita harus lebih dibuka, ini kasus ujungnya pidana atau tidak." Ujar Wakil ketua KPK Saut Situmorang.

Sampai sekarang, menurut Saut Situmorang KPK belum juga menemukan adanya kerugian keuangan negara dan niat jahat Ahok pada pembelian lahan RS Sumber Waras dimaksud. Akibatnya sampai sekarang KPK tidak beralasan hukum untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus R Sumber Waras.

Sampai disini Ahok clear .

Pada Kasus Reklamsi

Soal Diskresi

Semua Pakar hukum adminstrasi negara , sepakat bahwa perbuatan diskresi Ahok kepada para perusahaan pengembang Reklamsi Pantai Utara , terkait kontribusi tambahan pengembang reklansi pantai utara Kota Jakarta sudah tepat dan benar..

” ketentuan itu sudah cocok untuk menangani stagnasi kebijakan lantaran belum ada regulasi yang mengaturnya “ Kata  Dian, pakar hukum administrasi dan juga yang sehari harinya juga dikenal sebagai Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Lalu pada kasus Reklamsi Pantai Utara Jakarta, negara tidak dirugikan sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 UU 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Tipikor , malah negara diuntungkan dengan ada penambahan aset Pemprov DKI dari pemberian PT. Agung Podomoro Land , berupa Rusun di Daan mogot, Jalan Inspeksi di Kalijodoh dan Furnuture unuk Rumah Susun.

Pada Kasus Reklamsi Pantai Utara Jakarta, tidak ada niat Jahat Ahok, untuk mengambil keuntungan pribadi dari pemberian PT. Agung Podomoro Land, karena pemberian itu lebih kepada pemberian kepada Ahok sebagai Guburnur DKI , bukan kepada Ahok sebagai pribadi. Semua pemberian PT.Agung Podomoro tersebut diatas, seluruhnya tercatat sebagai aset milik pemprov DKI/negara. Bukan atas nama pribadi Ahok.

Dengan kata lain sampai disini, pada Kasus Reklamsi Ahok tidak merugikan keuangan negara, malah negara diuntungkan dan juga ngak ada niat jahat Ahok, karena semua aset yang diberikan oleh PT.Agung Podomoro di catatkan pada daftar inventaris barang milik pemprov DKI. serta merta , menjadi aset milik pemprov DKI, bukan atasa nama pribadi Ahok. Tidak ada niat jahat Ahok untuk memiliki atau mencuri aset yang diberikan PT.Agung Podomoro kepada dirinya selaku Gubernur DKI.

Berdasarkan fakta dilapangan dan uraian tersebut diatas, dipastikan KPK tidak beralasan hukum untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka pada Kasus RS Sumber Waras dan Reklamsi Pantai Utara Jakarta.

Ahok Clear, Ahok dipastikan tidak akan jadi tersangka.

[andi ansyori/ kompasioner]

Belajar dari Bebek


Dunia Hawa - Siapakah bebek? Sejenis unggas yang kerjanya makan, bertelur, mandi di sungai, dan eek. Cuek nggak pernah mikirin penampilan, dan malah ketawa ketika dimaki-maki manusia karena eek sembarangan. Kwek kwek kwek kwek kwek!

Meski begitu, manusia butuh bebek. Rela ngejar-ngejar bebek demi bisa makan daging bebek. Rela sibuk kasih makan agar bisa nikmatin telur bebek. Bahkan saking kagumnya, membuat kendaraan yang mirip bodi bebek dan juga diberi nama motor bebek.

Sama seperti Jokowi yang terus membangun. Membangun infrastruktur, membangun sistem, membangun diplomasi, demi bangsa Indonesia. Nggak peduli meski tiap hari dimaki-maki haters. Jokowi cuek. Tahu-tahu, tol laut, pasar, pelabuhan, dan berbagai infrastruktur sudah jadi. Tahu-tahu, tukang buli menyerah.

Demikian pula Ahok. Tiap hari dihujat, dikatain cina kafir, preman, koruptor padahal nggak ada bukti dan semacamnya. Ia tetap cuek seperti bebek. Nggak peduli dibuli karena Jakarta lebih macet, yang penting pembangunan transportasi massal yang bertahun-tahun mangkrak cepat selesai. Nggak peduli dikatain kasar, yang penting ikin pejabat yang niat korupsi dan anggota dewan yang main suap atau membegal anggaran nggak bikin ulah.

Sama seperti bebek, Jokowi dan Ahok adalah orang-orang yang cuek, nggak peduli dengan reputasi. Mereka hanya peduli dengan apa yang harus mereka lakukan, maka reputasi itu datang dengan sendirinya. Meski punya reputasi, namun mereka tidak pernah peduli dengan reputasinya. 

Beda dengan politikus dan parpol yang nggak cuek seperti bebek, dan gila reputasi. Macam Politikus yang tiba-tiba pake kaos mickeymouse dan cari reputasi ke pasar. Atau parpol anu yang demi reputasinya sebagai partai islami yang melayani, ngambek kalo aktifitas pelayanannya nggak diliput media. Lalu, jamaahnya menggunakan retorika islami untuk mengintimidasi sambil memaksakan pendapatnya.

Reputasi itu hanyalah efek. Tak pernah perlu dikejar, tak perlu dipikirkan, dan tak perlu dijadikan beban.

[nurul indra]


Nurul Indra

Benarkah Orang yang Bersyukur Akan Semakin Sukses?


Dunia Hawa - Kita dengar ayat ini sering dibacakan (QS Ibrahim:7): "Sungguh jikalau kamu bersyukur niscaya akan Kami tambahkan (nikmat) untukmu." Namun benarkah demikian? 

Ibn Katsir menyodorkan kisah nyata implementasi ayat di atas: diriwayatkan oleh Imam Ahmad ada seorang pengemis yang diberi sebutir kurma oleh Nabi, namun pengemis tersebut menolak karena merasa pemberian itu hanya sebutir biji kurma. Datang pengemis lain, Nabi berikan sebutir biji kurma. Terdengar ucapan terima kasih dan rasa syukur mendapat pemberian dari Nabi meski hanya sebutir kurma. Mendengar rasa syukur pengemis kedua ini, maka Nabi tambahkan 40 dirham untuknya.

Orang yang bersyukur adalah orang yang tahu berterima kasih. Bukan sekedar banyak atau sedikitnya rejeki yang kita peroleh, tapi renungkan sejenak: yang memberi kita rejeki itu adalah Sang Maha Agung. Ini saja sudah pantas membuat kita bersyukur karena sedikit atau banyak kita masih diperhatikan dan diberi rejeki oleh Allah swt. Alhamdulillah

Orang yang bersyukur akan jauh lebih produktif. Kenapa?   
karena mereka tahu memanfaatkan resources dan peluang yang ada. Orang yang selalu mengeluh akan menghabiskan waktunya menyesali diri. Berlama-lama dalam nestapa membuat kita tidak siap menangkap peluang berikutnya. Orang yang bersyukur akan memanfaatlkan apa yang dimiliki saat ini, sekecil apapun itu, sebagai bekal untuk terus maju.

Orang yang bersyukur itu lebih bahagia dan optimis. Sementara orang yang pesimis akan sibuk meratapi kegagalan dan nyinyir akan kesuksesan orang lain, orang yang pandai bersyukur emosinya akan lebih stabil, sigap mencari solusi, melokalisir persoalan bukan melebarkannya kemana-mana, dan taktis mengatur strategi. Dengan segala keterbatasannya, orang yang bersyukur akan membuat skala prioritas.

Siapapun tidak akan suka dengan orang yang selalu mengeluh, dan kalau dia punya problem seolah hanya dia satu-satunya di dunia orang yang punya masalah, dan semua orang harus memperhatikan masalahnya. Orang seperti ini tidak akan produktif berkarya, dan tidak akan bertambah nikmat dari Allah. Ayat di atas itu sangat nyata dan membumi.

Allah berfirman dalam QS al-baqarah: 152

"Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku ingat kepadamu, bersyukurlah kepadaKu, dan jangan kufur (dari nikmatKu)."

Ayat ini begitu padat-bergizi menggabungkan tiga konsep sekaligus: dzikir, syukur dan kufur. Mengingat Allah (berdzikir) akan membawa kita kepada rasa syukur, sebaliknya orang yang lalai dari mengingat Allah, dimana setiap punya masalah dia menjadi kufur nikmat. Dia jadi lupa akan berbagai nikmat yang sudah Allah berikan sebelumnya.

Konsep syukur yang begitu dahsyat di atas, sayangnya begitu tiba ditengah-tengah kita menjadi dipalingkan maknanya. "Syukurin loe!" walhasil kata "syukur" berubah menjadi negatif, seolah bersyukur itu sama dengan mengejek kegagalan orang lain. Kita seolah mensyukuri kegagalan orang lain. Mungkin ini sebabnya kita sulit menjadi bangsa yang maju karena kita keliru menerapkan makna syukur. 


Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan dosen senior Monash Law School

Soal Perkosaan, Kenapa Perempuan Selalu Disalahkan?


Dunia Hawa - Dalam kasus-kasus perkosaan, kenapa perempuan yang sering, atau bahkan selalu, disalahkan? Bukankah mestinya laki-laki bejat itu yang harus dikutuk? Kenapa perempuan yang menjadi korban yang diolok-olok dan bukannya laki-laki si pelaku kejahatan itu yang harusnya dikucilkan? Kenapa sebagian masyarakat malah mencibir perempuan yang diperkosa, bukan laki-laki pemerkosa?

Saya perhatikan misalnya sejumlah pihak, khususnya kaum Muslim "tengil" yang rabun wawasan dan pikun pengetahuan, menuding perempuan tak berjilbab sebagai akar dari pemerkosaan. Dalam logika konyol mereka, kalau perempuan “menutup aurat”, maka pemerkosaan tidak akan terjadi. Ini adalah pendapat ngawur yang tidak memiliki bukti dan reasoning yang memadai. Pemerkosaan dalam banyak hal bukan karena “tubuh yang telanjang” melainkan karena “otak yang kotor”. Ingat dosa bukan karena “daging yang kotor” akan tetapi karena otak, hati, dan ruh kita yang penuh noda. Dengan indah, Paul Evdokimov menulis: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit.” 

Jika memang “sehelai pakaian” perempuan yang bernama jilbab, hijab, abaya, burqa, niqab, chador atau apapun namanya bisa menghindari perempuan dari kasus-kasus perkosaan, tentunya kejahatan kemanusiaan ini tidak akan terjadi di negara-negara yang mengatur ketat soal tata-busana perempuan. Tapi faktanya kasus-kasus perkosaan banyak terjadi di negara-negara berbasis Muslim seperti Pakistan, Afganistan, Mesir, Suriah, Sudan, Yordania, Saudi, dlsb, bukan hanya di negara-negara “non-Islam” saja. 

Seperti telah dicatat oleh Revolutionary Association of the Women of Afghanistan (RAWA), salah satu lembaga perempuan berpengaruh di Afganistan, sepanjang kekuasaan rezim Islamis-ekstrimis Taliban sejak 1994 telah terjadi ribuan kasus perkosaan, termasuk perkosaan terhadap anak-anak. 

Di Mesir, kasus perkosaan juga sangat tinggi yang menurut data dari Kementerian Dalam Negeri mencapai 20,000 kasus per tahun. Bahkan menurut sejumlah tokoh dan aktivis perempuan Mesir seperti Engy Ghoslan (pendiri Egyptian Center for Women’s Rights) atau Mona Eltahawy, kasus-kasus perkosaan di Mesir bisa mencapai 200,000 per tahun, 10 kali lipat dari data yang disajikan oleh Kementerian Dalam Negeri Mesir. Pada waktu “Revolusi Mesir” 2011 lalu, juga telah terjadi ratusan kasus “perkosaan perempuan di ruang publik”. Pada tahun 2008, Egyptian Center for Women’s Rights mengadakan survei nasional tentang perkosaan dan pelecehan seksual, dan hasilnya sangat mengejutkan: lebih dari 83% perempuan di Mesir mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Bahkan data dari United Nations Entity for Gender Equality tahun 2013 menyebut lebih dari 90% perempuan di Mesir mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Karena tingginya kasus perkosaan ditambah dengan tak terhitungnya peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual ini, sejumlah tokoh di Mesir menyebut perkosaan sebagai “kanker sosial” dan hijab penutup aurat tidak mampu mencegah para lelaki bejat. 

Bukan hanya Mesir dan Afganistan saja, di “negara-negara hijab” lain juga sama. Bukan rahasia lagi jika di “negara-negara konflik” seperti Irak dan Suriah telah terjadi ribuan kasus perkosaan atas perempuan berhijab (lagi-lagi, sialnya, termasuk anak-anak) yang dilakukan oleh para lelaki dan milisi Islamis-jihadis yang mengaku “menegakkan Islam” itu. Data tentang perkosaan di Irak maupun Suriah ini pernah ditulis dengan baik oleh Lauren Wolfe di The Atlantic dan juga dicatat oleh Euro Mediterranean Human Rights Network. Di Arab Saudi juga pernah terjadi kasus heboh “perkosaan massa” pada tahun 2006 dimana seorang perempuan Saudi diperkosa oleh tujuh laki-laki Saudi. Peristiwa heboh yang populer dengan sebutan “Kasus Perkosaan Qatif” ini berakhir pada hukuman cambuk dan penjara bagi pemerkosa.   

Apa yang saya tulis ini hanyalah sekedar contoh kecil untuk menegaskan bahwa perkosaan dan pelecehan seksual bukan karena “tubuh perempuan yang telanjang” melainkan karena “otak laki-laki yang kotor-njetor.” Ditutup serapat apapun tubuh perempuan tetap saja akan diganggu oleh laki-laki yang berotak ngeres dan berjiwa kotor seperti got empang. Bukan aurat perempuan, melainkan sahwat bejat laki-laki yang menyebabkan perkosaan dan kekerasan seksual. 

Jabal Dhahran, Arab Saudi

[prof. sumanto al qurtuby]

Islamis, Bukan Komunis


Dunia Hawa - Apa alasan dasar dari pemburuan komunis, seolah-olah para pendukung PKI masih berjaya dan para “cheerleaders” ideologi komunisme masih segar-bugar sehingga membahayakan tatanan sospol Indonesia? 

Saya heran kenapa sejumlah aparat keamanan, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, partai politik, dan ormas Islam di Indonesia begitu bergemuruh memburu kaum komunis yang sudah “mati suri” sementara membiarkan “kaum Islamis” yang terang-benderang bergentayangan dimana-mana. Dalam konteks negara-bangsa Indonesia dewasa ini, kelompok Islamis-lah yang justru jauh lebih berbahaya bagi fondasi kenegaraan dan kebangsaan kita, bukan “hantu” komunis yang sudah lama terkubur.

Sebelum saya jelaskan tentang “kelompok Islamis” (Islamist groups) itu, supaya tidak salah paham dan dituduh macam-macam, terlebih dulu saya ingin menegaskan bahwa saya bukanlah fans ideologi komunisme. Meskipun saya belajar dan mengajar tentang beberapa ide, konsep, dan teori-teori “duo” Karl Marx (1818 – 1883) dan Friedrich Engels (1820 – 1895) yang sangat brilian di kelas sosiologi dan antropologi yang saya ampu, tetapi saya sama sekali tidak berminat untuk mempraktikkan gagasan, konsep, ideologi, dasar-dasar politik, dan propaganda pendukung komunisme.

Saya membaca buku-buku Marx, Engels, dan beberapa pemikir Marxis seperti Antonio Gramsci, Maurice Bloch, Eric Wolf, atau Tan Malaka misalnya sebatas sebagai pengetahuan dan referensi akademik saja. Sebagai akademisi, bukan aktivis atau pegiat politik, saya harus mempelajari berbagai sumber pengetahuan supaya imbang dan luas dalam melihat sebuah persoalan. Keluarga dan leluhurku juga tidak memiliki tautan sejarah dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meskipun mengakui Marxisme sebagai sebuah teori dan konsep ekonomi-historis yang sangat luar biasa yang kemudian “dicuri” oleh para ideolog politik dan pendiri komunis seperti Vladimir Lenin (1970 – 1924), secara pribadi saya berpendapat bahwa gerakan komunisme dan ideologi politik komunis yang otoriter-totaliter itu tidak tepat dan memang berbahaya dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk.

Berlebihan dan mengada-ada

Tetapi masalahnya, kembali ke pertanyaan awal saya di tulisan ini: apa alasan fundamental dari pemburuan komunis seolah-olah para pendukung PKI masih berjaya dan para “cheerleaders” ideologi komunisme masih segar-bugar sehingga membahayakan tatanan sosial-politik negara Indonesia?

Jika alasannya karena “potensi makar”, saya kira terlalu berlebihan dan mengada-ada. Saat ini komunisme itu hidup segan mati tak mau. Uni Soviet sebagai negara asal-usul komunis sudah hancur berantakan berkeping-keping. Rusia, sebagai “pewaris” Soviet, tidak lagi berpartai tunggal (Partai Komunis) tetapi sistem demokrasi multi-partai. Rusia bahkan kini menjelma menjadi “negara agamis” dan Vladimir Putin (l. 1952) sendiri sebagai tokoh sentral Russia adalah seorang pengikut Kristen taat yang oleh Presiden Suriah Bashar Assad disebut sebagai “the sole defender of Christian civilization.” Kemudian China juga menjelma menjadi ‘negara gado-gado”: setengah komunis, setengah kapitalis.

Dulu, PKI banyak pengagumnya karena mereka “jualan” isu-isu yang menyentuh lapisan masyarakat bawah seperti buruh, petani, dan nelayan sehingga laris-manis. Tetapi sejak dibabat habis oleh rezim Orde Baru, para pendukung partai palu-arit ini nyaris tak tersisa lagi.

Lalu, apa sebetulnya yang dikhawatirkan dari “makhluk” yang bernama komunis ini? Komunis susah bangkit lagi di Indonesia karena masyarakat kini sudah cerdas, dewasa, dan lumayan makmur sehingga “dagangan” komunis akan susah laku. Sehingga kalaupun sisa-sisa aktivis dan simpatisan PKI membuat partai politik pun saat ini, saya yakin masyarakat tidak akan meliriknya. Catatan lagi, jika alasannya karena kaum komunis pernah membuat makar di Indonesia sehingga perlu diganyang dimana-mana, sejarah makar atau pemberontakan politik di Indonesia juga bukan hanya monopoli PKI.

Sejarah makar di tanah air

Ada sejumlah kelompok politik, termasuk yang berafiliasi ke ideologi Islam seperti DT/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tercatat pernah melakukan upaya makar terhadap pemerintah yang sah. Sejarah bahkan mencatat DI/TII sampai empat kali melakukan percobaan penggulingan kekuasaan, sementara PKI hanya dua kali. Sebagaimana PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan Komunisme, DI/TII juga sama ingin mengganti Pancasila dengan ideologi “Islamisme”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh para pentolan “partai Islamis” Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dulu ikut membekingi pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra. Sejak Masyumi dikendalikan oleh Muhammad Natsir (1908 – 1993), kelompok ini gencar mengusung konsep Negara Islam dan mengupayakan penggantian Pancasila dengan ideologi Islam sehingga Presiden Sukarno membubarkannya pada tahun 1960. Masyumi memang telah dibubarkan tetapi para aktivis dan simpatisannya masih bertebaran dimana-mana: di ormas-ormas keislaman, pemerintah, partai politik, dan bahkan aparat keamanan.

Bahkan kini, kaum Islamis atau para “cheerleaders” ideologi Islamisme yang sangat bernafsu mengganti tatanan sosial-politik-kenegaraan Indonesia yang mereka anggap “tidak Islami” untuk kemudian diganti dengan sistem kepolitikan-pemerintahan Islam semakin beragam. Bukan hanya para mantan aktivis dan pendukung Masyumi saja, tetapi dari berbagai kelompok keislaman lain seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sejumlah kelompok “Salafi ekstrim” yang bertebaran di berbagai tempat di Indonesia.

Meski mereka tidak memiliki kaitan sejarah dan afiliasi dengan Masyumi tetapi mereka memiliki semangat, pandangan, dan tujuan yang kurang lebih sama dengan Masyumi (atau DI/TII), yakni mengubah Indonesia menjadi “Negara Islam” (apapun bentuknya termasuk “Negara Khilafah” yang diusung HTI) serta mengganti ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang mereka anggap kafir-sesat-sekuler itu dengan sistem kepolitikan-pemerintahan-kenegaraan yang berbasis pada ajaran dan ideologi Islam.

Dengan demikian, jika komunis yang sudah menjadi “hantu kuburan” saja dianggap berbahaya apalagi kaum Islamis yang masih sehat wal afiat dan setiap hari kampanye dan propaganda jualan “Negara Islam” seraya mengutuk “Negara Indonesia”. Kaum Islamis inilah seharusnya yang harus disikat, bukan kaum komunis yang sudah di alam akhirat.

[sumanto al qurtuby/ dw.com]

Sumanto al Qurtuby, staf pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.

Kebodohan dan Kebencian


Dunia Hawa - Seseorang memasang bom di badannya. Kemudian ia pergi ke tengah kerumunan, lalu meledakkan diri. Ia mati, sekaligus ia membunuh sejumlah orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Ia begitu membenci orang-orang itu sampai ia tega membunuh mereka. Bahkan untuk bisa membunuh mereka, ia pun rela mati. Adakah kebencian yang lebih tinggi kadarnya dibanding dengan kebencian seperti ini?

Mengapa bisa membenci demikian parah? Orang-orang yang ia benci dan ia bunuh itu adalah orang-orang yang sama sekali tak ia kenal. Hidup dia tidak berinteraksi dengan hidup orang-orang itu secara langsung. Seharusnya tidak ada gangguan antara satu dengan yang lain. Lalu, apa pasalnya?

Orang itu diajarkan untuk membenci. Sumber ajarannya ada pada sejarah belasan abad yang lalu. Orang di masa itu punya sejarah konflik, atau memerlukan suatu ajaran untuk bertahan hidup. Karena kebodohan, situasi itu tidak sanggup dicerna oleh sekelompok orang saat ini. Mereka mengira permusuhan itu abadi sifatnya, atau harus diabadikan. Maka ia mengajarkan kebencian dan permusuhan. Yang menerima ajarannya adalah orang bodoh yang juga tak mampu memeriksa kebenaran ajaran. Maka ia ikut membentci.

Kebodohan menyebabkan kebencian. Lalu kebencian membuat orang jadi bodoh. Orang tak mau lagi berpikir panjang. Atau tak sanggup lagi. Kebodohan itu membuat ia makin membenci. Jadilah lingkaran setan kebodohan-kebencian. Kebodohan menguatkan kebencian, dan kebencian menguatkan kebodohan. 

Tugas kita semua adalah memutus mata rantai kebodohan itu.

Pertama dengan membangun kesadaran bahwa perbedaan tidak sama dengan permusuhan. Kita berbeda, tapi tidak bermusuhan. Kita tidak boleh membenci orang-orang yang berbeda dengan kita. Khususnya berbeda iman. Orang yang berbeda iman bukanlah target yang harus dimusuhi. Juga bukan target yang harus kita ubah agar menjadi sama dengan kita.

Kedua, berbeda dengan kita bukanlah kehinaan. Tidak perlu menghina mereka, juga tidak perlu mengarang-ngarang alasan untuk menghina mereka. Tidak perlu pula mengarang-ngarang fakta untuk membuktikan bahwa mereka itu hina.

Perbedaan iman hanyalah perbedaan pilihan soal siapa yang mau kita sembah, dan bagaimana cara kita hidup. Tak lebih dan tak kurang. Jadi, harus kita anggap biasa saja.

[hasanudin abdurakhman]