Tuesday, May 24, 2016

Menggandeng Etika dalam Kajian Hukum Islam


Dunia Hawa - Jikalau ada yang shalat di atas sajadah curian, bagaimana hukumnya? Kelompok pertama menjawab antara shalat dengan mencuri sajadah adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing harus dihukumi secara terpisah. Dia berdosa karena mencuri sajadah. Namun selama syarat dan rukun shalat terpenuhi maka shalatnya sah. 

Kelmpok kedua berbeda pandangan. Menurut ulama di kelompok kedua ini, perbuatan mencuri sajadah dan shalat terkait satu sama lain. Bukankah hikmah pensyariatan shalat itu untuk mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar ? Kalau dia shalat di atas sajadah hasil curian, maka shalatnya bertentangan dengan hikmah di atas. Oleh karena itu meski syarat dan rukun shalat telah terpenuhi namun shalatnya dianggap tidak sah.

Jawaban kelompok pertama adalah jawaban ahli fiqh yang formalistik, yang melulu melihat aspek legal-formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhi atau tidaknya aturan yang ada. Pertimbangan moral tidak menjadi bagian penting dalam memformulaiskan hukum. Sedangkan jawaban kelompok kedua adalah jawaban ahli fiqh yang memasukkan nilai etika dalam kajian fiqh. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, tapi kalau bertabrakan dengan nilai etika, maka kelompok kedua akan menentangnya. 

Kasus shalat dengan sajadah curian di atas bisa kita kembangkan dalam kasus lainnya. Misalnya, bagaimana hukumnya naik haji dengan uang korupsi? bagaimana hukumnya bersedekah dengan harta rampokan? Bagaimana hukumnya menerima gaji atau uang proyek yang pekerjaan tersebut didapat melalui katabelece atau sogokan? Bagaimana hukumnya menikah dengan mengelabui calon mempelai dan keluarganya? Bagaimana hukumnya berdakwah dengan materi kitab hasil fotokopian tanpa seijin pengarangnya? Bagaimana menjual makanan halal dengan menipu konsumen akan harga dan kualitas produknya? Bagaimana hukumnya berdakwah di parlemen dengan uang komisi impor sapi? Bagaimana hukumnya terpilih menjadi ketua ormas Islam lewat tipu menipu dan jual beli suara? Bagaimana hukumnya Bank Islam tidak mau menerima riba tapi menzalimi karyawannya lewat sistem rekrutan dan promosi yang berdasarkan nepotisme dan kolusi? Bagaimana hukumnya pergi menuntut ilmu ke majelis ta'lim tapi dalam perjalanan menerobos jalur busway?

Pemahaman fiqh yang legal-formal pada kelompok pertama dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum, namun sering diprotes sebagai pola kajian hukum yang kering dan kaku. Sementara itu kelompok kedua yang memiliki pemahaman fiqh yang melibatkan etika dianggap lebih bermoral dan sesuai dengan hikmatut tasyri', namun sering diprotes sebagai kajian yang melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda serta batasan moralnya menjadi kabur. 

Akibat pendekatan yang terlalu formalistik maka seringkali kita temui orang yang rajin shalat tapi pembohong kelas berat; atau rajin pergi ke tanah suci tapi korupsi jalan terus, atau mereka yg bersorban dan bergamis tapi sibuk mencari perempuan ke cianjur, dan paradoks lainnya. Terkesan Islam hanya berkisar soal aqidah dan syari'ah, dan lupa bahwa sejatinya nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. 

Kelompok pertama dianggap sebagai legalis-formal. Kelompok kedua dianggap sebagai legalis-moral. Di atas keduanya ada lagi kelompok ulama yang tidak hanya legalis, dan moralis tapi juga spiritualis. Inilah ulama yang menggabungkan antara dunia fiqh, etika dan spiritual.  

Tapi kelompok ketiga ini jarang muncul. Kalaupun anda berhasil menemuinya dan bertanya: apa hukumnya shalat di atas sajadah curian? Beliau akan lama terdiam, lalu menjawab pelan: "begitu teganya njenengan menanyakan masalah berat seperti itu kepada saya....apa salahku kali ini ya Allah, bukankah telah ku teguhkan berulang-ulang, sungguh shalatku, ibadahku, mati dan hidupku hanya untukMu?! Sudah...ambil sajadahku ini, njenengan bawa pulang saja!"

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan dosen senior Monash Law School

Pakaian dan Pikiran Seksual


Dunia Hawa - Hari ini saya melihat dua foto di Facebook. Keduanya tidak saling berhubungan satu sama lain. Tapi dalam pikiran saya kedua foto ini menyampaikan pesan yang sangat kuat soal ketelanjangan dan pelecehan seksual.

Foto pertama sebuah meme. Ada gambar cangkul di situ. Kemudian ada pesan tertulis: "Masih mau mengumbar aurat? Masih mau berkhalwat? Ingat, cangkul masih banyak." Kita yang membacanya langsung bisa menebak kandungan pesan di meme tersebut. Ini terkait dengan kasus perkosaan dan pembunuhan sadis, di mana pelaku menganiaya korbannya dengan cangkul. Pembuat meme hendak menyampaikan pesan bahwa perempuan diperkosa dan dilecehkan karena ia mengumbar aurat, termasuk dalam kasus pembunuhan sadis tadi.

Foto kedua adalah foto suasana Bali tahun 1941, di sebuah sekolah. Ada murid-murid perempuan yang memakai kain batik di bagian bawah seperti para perempuan memakai sarung batik saat ini. Bedanya, di bagian atas mereka tidak memakai apapun, alias bertelanjang dada. Foto semacam ini bisa kita temukan di banyak media, menggambarkan bahwa di Bali pada masa itu para wanita memang biasa bertelanjang dada.

Bila kepercayaan pembuat meme di atas adalah sebuah kebenaran, tentulah di Bali pada masa itu banyak pelecehan seksual, bukan? Bisa kita bayangkan kalau perempuan pakai rok mini saja menyebabkan perkosaan, tentulah perkosaan lebih intens di tempat di mana perempuan bertelanjang dada. Begitukah faktanya? Saya tidak tahu persis bagaimana suasanya sosial di Bali ketika itu. Tapi rasanya mustahil ada masyarakat di mana orang dengan enteng memperkosa begitu saja.

Di Papua pun kini masih banyak perempuan yang tidak pakai baju, atau pakai baju seadanya. Kita pun tidak mendengar perempuan sering diperkosa di sana. Di Singapura kita bisa menyaksikan perempuan berpakaian minim di tempat-tempat umum, bahkan sampai larut malam. Angka kejahatan perkosaan rendah di sana. Demikian pula di Jepang. 

Parahnya, orang-orang seperti pembuat meme ini jarang menyalahkan pelaku. Pemerkosa itu adalah manusia sinting. Ia tidak hidup dengan standar nalar dan tata krama manusia biasa. Ia memperkosa karena menganggap calon korbannya bisa diperkosa. Tidak peduli ia pakai rok mini atau pakai cadar. Bukankah di Jakarta ini pernah ada korban perkosaan yang pakai jilbab? Jadi tidak ada hubungan antara pakaian orang dengan perkosaan atau pelecehan seksual. Sebab utama perkosaan adalah adanya manusa bejat.

Nah, dari mana pikiran ini berasal? Salah satu sumbernya menurut dugaan saya adalah situasi Arab di abad ke 7. Saat itu untuk pergi berak saja pun orang harus keluar rumah. Di luar rumah itu padang pasir. Banyak begal berkeliaran di situ. Mereka mengincari budak-budak perempuan, untuk diganggu dan diperkosa. Maka pada waktu itu ada ajaran agar perempuan merdeka memakai kerudung. Kerudung ini memberi tanda bahwa mereka bukan budak, sehingga mereka tidak akan diganggu. Fakta itu kemudian direkam di dalam Quran, menjadi salah satu ayat yang dijadikan sandaran untuk mewajibkan pemakaian jilbab.

Pola pikir inilah sepertinya yang dianut pembuat meme tadi. Pola pikir dia adalah pola pikir begal Arab abad VII, yang selalu mengincar perempuan yang membuka auratnya. Boleh jadi ia pun akan bertingkah seperti begal itu bila ada kesempatan.

Bagi saya perkosaan bukan karena pakaian perempuan. Perkosaan itu terjadi karena masih ada laki-laki bermental begal. Sayangnya, banyak laki-laki dengan mental seperti ini hidup dalam posisi terhormat, berbungkus aksesori bersimbol agama. 

Tapi bukankah agama Islam mengajarkan untuk menutup aurat? Ya, tapi agama Islam juga mengajarkan untuk menjaga pandangan. Terlebih, agama Islam sangat ketat memerintahkan untuk menjaga kemaluan! Tidak ada ada dalam ajaran Islam hal yang membenarkan orang untuk melakukan pelecehan seksual hanya karena perempuan yang ia lihat tidak menutup aurat. Sekali lagi, hanya begal yang berperilaku begitu. 

[abdurakhman.com]