Wednesday, May 18, 2016

Jokowi, Kekerasan Seksual, dan Perppu Kebiri


Dunia Hawa - Fenomena kekerasan seksual akhir-akhir ini pasti mengoyak dan menyayat hati kita. Betapa perbuatan keji itu melindas nilai-nilai kemanusiaan dan mengendorkan semangat persaudaraan kita sebagai bangsa yang beradab. Yang lebih memprihatinkan kita, sasaran kekerasan seksual adalah kaum hawa kita yang masih di bawah umur.

Setelah kasus Yuyun di Bengkulu yang diperkosa oleh 14 remaja, hingga korban menemui ajalnya. Lalu berita duka datang dari Manado, seorang perempuan diperkosa belasan orang hingga korban mengalami tekanan psikologis atau trauma yang hebat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain, baik yang sempat diungkap oleh aparat penagak hukum dan ditayangkan media maupun yang belum diungkap.

Atas peristiwa yang memilukan ini, ada anggapan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Betapa tidak, perilaku keji itu menyebar di mana-mana hingga ke pelosok-pelosok desa. Karenanya, penanganan ekstra untuk menyelesaikan masalah pelik ini amat dibutuhkan. Dalam konteks demikian, pertanyaannya adalah apakah pemerintah mesti mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)? Dan bagaimana pula substansi Perppu tersebut?

Urgensi Perppu
Secara teoritis perspektif ketatanegaraan, Perppu dipercaya dibuat untuk menghadapi situasi dan kondisi yang memaksa. Di Indonesia, legalitas Perppu diatur dalam konstitusi, yakni Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: bahwa dalam keadaan memaksa Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Demikian juga dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa.

Dengan demikian Perppu hanya dapat diproduksi oleh Presiden manakala ada suatu kondisi atau situasi yang memaksa. Dalam kosa kata lain rasio logis penerbitan Perppu adalah jika ada suatu kejadian atau peristiwa yang menimbulkan keadaan darurat alias genting. Di luar alasan itu, Perppu tidak dapat diterbitkan.

Jadi, bila dilihat dari situasinya sebetulnya Perppu adalah antitesis dari undang-undang. Jika UU dikeluarkan dalam keadaan normal melalui persetujuan DPR, maka Perppu dibuat dalam keadaan yang sebaliknya, yakni tidak normal/darurat. Masa depan Perppu akhirnya di tangan DPR dalam masa sidang berikutnya (Pasal 22 ayat 2 UUD 1945).

Sayangnya, tolok ukur keadaan memaksa atau darurat tidak disebutkan dalam perundang-undangan. Namun Jimly Asshiddiqie (2007) menyebut tiga indikator: unsur ancaman yang membahayakan; kebutuhan yang mengharuskan; dan keterbatasan waktu.

Dari batasan Perppu tersebut, berikut tolok ukurnya, bila dihubungkan dengan peristiwa kekerasan seksual di beberapa daerah akhir-akhir ini, tampaknya bisa dikatakan bahwa kita memang sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Ada kepentingan yang memaksa agar Perppu kekerasan seksual diterbitkan, yakni kepentingan masa depan generasi bangsa ini baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, dalam kasus Yuyun, seorang anak desa yang sedang berjuang menggapai cita-citanya justru harus mati di tangan para lelaki biadab.

Intinya sangat relevan jika Presiden Jokowi menerbitakn Perppu kekerasan seksual. Di sisi yang lain, Perppu tersebut dapat menjadi sarana untuk menakut-nakuti pelaku kekerasan seksual agar tidak melakukan kejahatannya. Dalam bahasa von Feuerbach, ini disebut sebagai psycologischehezwang, membatasi hasrat manusia untuk berbuat jahat.

Sanksi Kebiri
Poin penting yang menjadi fokus perdebatan beberapa pihak soal Perppu kekerasan seksual adalah substansinya. Dalam hal ini sanksi pidana yang diatur dan diancamkan bagi pelaku kekerasan seksual. Salah satu sanksi yang mengemuka adalah sanksi kebiri.

Sanksi ini cukup menarik perhatian publik bahkan ada yang tidak sependapat karena mempertentangkan hak asasi manusia (HAM) dengan sanksi tersebut. Pasalnya, tindakan kebiri awal mulanya ditujukan kepada binatang untuk menekan hormon seksualnya sehingga tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam perkembangannya, tindakan kebiri ini diadopsi dalam sistem hukum berbagai negara menjadi sanksi kebiri bagi pelaku kekerasan seksual.

Lagi pula tampaknya kurang tepat mempertentangkan HAM dengan sanksi kebiri. Sebab, masih ada sanksi lain yang lebih berat, yakni sanksi pidana mati. Namun demikian, pidana mati sampai saat ini dilegalkan oleh negara. Padahal, di Belanda, yang notabene asal muasal hukum nasional, sejak tahun 1970 telah menghapus pidana mati. Karena itulah konstitusi kita mengenal pembatasan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945.

Dalam perspektif pemidanaan, sanksi kebiri adalah mengadopsi teori gabungan, yakni hukuman yang memberi efek jera sehingga menghilangkan kemampuan si pelaku dalam mengulangi perbuatannya, juga mendidik masyarakat agar tidak melakukan hal serupa (general preventie).

Dengan menggunakan pendekatan komparatif, yakni membandingkan suatu ketentuan dengan peraturan di negara lain, misalnya di Korea Selatan, sejak tahun 2011 mengadopsi sanksi kebiri kimia kepada pelaku pedofilia (baca: kekerasan seksual). Polandia sejak tahun 2009 memberi sanksi pidana berat dan sanksi kebiri kepada pelaku. Di Moldova, sanksi kebiri kimia menanti pelaku kekerasan seksual. Bahkan di negara tetangga kita, Malaysia, sejak 2013 telah mempertimbangkan sanksi kebiri bagi pelaku pedofilia dan pemerkosaan.

Di Eropa Barat, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, Swedia, Denmark, dan Ceko, pelaku kejahatan seksual dibolehkan memilih hukuman, pidana penjara dalam waktu yang lama (15-20 tahun) atau dikebiri kimia. Penting menjadi perhatian juga adalah hasil riset di Skandinavia (2015) yang menunjukkan sanksi kebiri kimia ternyata lebih efektif menekan laju kekerasan seksual dibanding sanksi pidana penjara.

Dengan demikian, meskipun sanksi kebiri adalah pranata hukum baru dalam sistem hukum nasional, jika dilihat dari faedahnya berdasarkan pengalaman negara lain, sanksi ini tampaknya akan lebih efektif menekan angka kekerasan seksual. Tentu kita tidak ingin setiap bangun pagi membaca koran atau menonton TV, berita soal kekerasan seksual terus terhampar di hadapan kita. Korban berjatuhan di mana-mana.

Maka, sanksi kebiri memang berat bagi pelaku tetapi penderitaan korban kekerasan seksual dan keluarganya tentu lebih berat lagi. Jadi, sanksi kebiri adalah hukuman yang sepadan untuk para pelaku kekerasan seksual.

Hariman Satria
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendar


Selamat buat kalian yang membuat aturan....


Inilah akibatnya, kalau guru hanya boleh memberi pelajaran akademik, karena ruang gerak guru juga dibatasi dg HAM, ada pelajaran moral yg sedikit keras, wali murid lgsung melapor ke LSM, hingga ke kantor Polisi, dan akhirnya guru dipenjara siswa semakin tak terarah.

Selamat.. usaha Anda merusak mental bangsa ini BERHASIL!!!
Murid jmn q dulu, pulang nangis gr2 di didik keras oleh guru, mengaduh ke orang tua, di rumah q malah di tambahi gamparan orang tua.
Sekarang??? Orang tua melapor ke polisi... 

Islam dan “Hantu” Komunis-Ateis


Dunia Hawa - Apa sebetulnya yang dikhawatirkan dari “makhluk” bernama komunis itu sehingga spanduk dan poster antikomunis dipajang di mana-mana? Diskusi-diskusi tentang sosialisme-komunisme dibubarkan, buku-buku yang ditulis para tokoh dan pemikir sosialis-komunis diberangus, anak-anak sekolah diwanti-wanti untuk tidak membaca ajaran komunisme, para khatib Jumat dan ulama bergemuruh menyerang komunis, laskar-laskar antikomunis juga dibentuk dengan gagahnya, dan lain sebagainya?

Pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, sepertinya begitu ketakutan dengan komunisme bak hantu yang bergentayangan sampai-sampai ada sebuah “laskar Islam” yang akan memburu anggota keluarga yang dicap memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu. Mungkinkah ini buah dari kebiasaan kita yang gemar menonton film-film klenik atau pocong, dan hobi dengan supernatural sehingga komunisme pun sampai “dihantukan” dan “diklenikkan”?

PKI memang sudah mati sejak puluhan tahun silam dan susah untuk “dibangkitkan dari kuburnya”. Jangankan PKI yang para pemimpinnya sudah dimusnahkan, para pemikirnya sudah diisolasi, dan para anggota partainya sudah diganyang di mana-mana, (Partai Islam) Masjumi yang para pentolannya masih banyak yang segar-bugar, kaum intelektualnya masih sehat wal afiat, dan penggemarnya juga masih lumayan banyak juga tidak mampu untuk bangkit lagi. Ideologi komunisme juga sudah sekarat, hidup segan mati tak mau, dibabat habis oleh rival-rivalnya, terutama kapitalisme dan Islamisme.

Pula, hampir semua negara-negara “berbasis komunis” sudah bangkrut. Mungkin hanya Kuba dan Korea Utara saja yang masih setia dengan komunisme, meski rakyatnya sudah bosan dan kelojotan karena hidup menderita dalam kemiskinan dan keterbelakangan serta muak melihat para pemimpin komunis yang korup dan kejam.

Sebagai negara pengekspor utama komunisme yang didirikan pada 1922 oleh Vladimir Lenin, Uni Sovyet sudah berantakan sejak revolusi tahun 1991 yang menyebabkan negara ini pecah berkeping-keping menjadi lima belas negara-negara kecil independen. Dengan tumbangnya Uni Soviet, lambang “palu arit” pun ikut-ikutan lenyap dikubur bersama “kuburan majikan”-nya.
Rusia sebagai “pewaris utama” Uni Soviet tidak memakai lambang “palu arit”, dan memang negara ini tidak lagi dipimpin oleh partai tunggal komunis, melainkan sistem multipartai.

Selain Partai Komunis, ada United Russia, Liberal Democratic Party, A Just Russia, dan lainnya, yang ikut berkompetisi dalam pemilu. Berbeda dengan Uni Soviet, Rusia berbentuk federasi dan mengikuti sistem semi presidensial di mana pemerintah federalnya terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif—persis seperti Amerika dan kebanyakan negara-negara demokrasi lain.

Bagaimana dengan Cina? “Negeri Panda” ini sekarang sudah menjadi “negara gado-gado” setengah komunis setengah kapitalis. Meski secara politik pemerintahan Cina masih berbentuk komunis-sosialis dan dipimpin oleh partai tunggal Komunis, secara ekonomi mengikuti sistem kapitalis di mana pasar dan swasta diberi ruang selebar-lebarnya untuk ikut mengelola perekonomian negara.

Meski sejak pendirian Republik Rakyat Cina pada 1949 sampai 1978, Cina mengikuti sistem perekonomian ala Soviet yang berpusat pada negara, sejak kepemimpinan Deng Xiaoping negara Tirai Bambu ini mengikuti sistem perekonomian model kapitalis yang bertumpu pada kekuatan pasar. Akibat perubahan kebijakan dan reformasi ekonomi ini, Cina sekarang menikmati pesatnya pertumbuhan ekonomi dengan total nominal produk domestik bruto (PDB) mencapai US$ 9.325 triliun. Dengan angka ini, perekonomian Cina berada di urutan kedua di dunia setelah Amerika.

Jadi, apanya yang ditakutkan dari paham komunisme itu? Ateisme? Hanya orang-orang yang “buta huruf” dan “pikun sejarah” yang menganggap komunisme = ateisme. Tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme. Karl Marx bukan anti-agama. Ia hanya mengkritik keras para pelaku agama yang mandul dan gagal menggunakan agama sebagai “kekuatan revolusioner” untuk melawan industrialisme-kapitalisme.

Marx geram dengan orang-orang yang hanya memakai agama sebagai “topeng monyet” untuk melegitimasi politik dan menutupi “borok-borok” kekuasaan, sementara spirit dan fungsi profetis agama yang membebaskan kaum teraniaya, mengangkat derajat dan martabat kaum miskin, serta mengimbangi praktik-praktik culas politik kekuasaan nyaris tak berbunyi. Dalam konteks inilah mestinya kita membaca statemennya tentang “agama sebagai candu”.

Semangat “Manifesto Komunis” model Marx inilah, antara lain, yang diadopsi oleh pemikir Islam revolusioner dan ideolog Syiah Ali Syariati di Iran yang pemikiran dan tulisan-tulisannya yang menggelora turut memuluskan jalan bagi penggulingan penguasa tiran antek Amerika, Shah Reza Pahlavi pada 1979. Sayang, Syariati keburu mati sebelum melihat aksi heroik Revolusi Iran.

Spirit komunisme yang membebaskan dan pembelaan Marx terhadap kaum buruh pabrik yang miskin itu pula yang mendorong Haji Mohamad Misbach (1876–1926) dari Surakarta untuk ikut bergabung dengan PKI sehingga kelak ia diberi julukan “Haji Merah.” Haji Misbach yang oleh Tjipto Mangunkusuma disebut “ksatria sejati” ini merupakan seorang Muslim taat-saleh, mubalig populis, ustadz yang bersih, pemimpin Islam pemberani, penulis ulung, selain pedagang batik.

Seperti Marx, Haji Misbach gusar melihat (sebagian) tokoh-tokoh Muslim waktu itu yang menggunakan agama sebagai kedok untuk menutupi keburukan, para dai yang hanya bisa membual tapi nol dalam perbuatan, para alim yang rajin korupsi, para pemimpin ormas Islam tapi pengecut tidak berani memimpin gerakan melawan penjajahan, para birokrat dan alim-ulama yang menjadi “badut-badut” Belanda, dan sebagainya.

Islam, bagi Haji Misbach, adalah agama revolusioner antikapitalisme dan kolonialisme yang menindas rakyat kecil, sebagai agama yang pro-wong cilik. Seperti Islam dan Nabi Muhammad yang berjuang keras membebaskan rakyat Mekkah dari kungkungan dan eksploitasi para pembesar Arab, maka demikianlah, dalam pandangan Haji Misbach, Islam harus mampu dijadikan sebagai instrumen untuk membangkitkan rakyat Hindia-Belanda guna melawan penindasan kaum penjajah.

Singkatnya, baginya, Islam adalah “agama komunis” yang syarat dengan spirit pembebasan bagi kaum yang terbelenggu untuk menciptakan sebuah sistem atau tatanan politik-ekonomi yang adil dan egaliter. Haji Misbach tidak sekadar berwacana, ia buktikan dengan tindakan nyata. Berkali-kali ia ditangkap oleh Belanda karena aksi-aksinya yang dipandang berbahaya sampai akhirnya ia dibuang ke Papua dan wafat di sana.

Berkali-kali ia terlibat perseteruan dengan para tokoh Muslim lain yang, menurutnya, tidak konsisten dan utuh dalam menjalankan pesan-pesan keislaman. Haji Misbach juga berpandangan bukanlah seorang Muslim jika ia masih korupsi, menjadi antek Belanda, dan melakukan tindakan-tindakan amoral yang mengkhianati cita-cita profetis Islam.

Sekilas info ini hanya ingin menegaskan bahwa tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme seperti yang selama ini telah salah kaprah dimengerti oleh banyak pihak: pemerintah, guru, politisi, ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam, dan lainnya. Rakyat kecil di perkotaan dan pedesaan yang menjadi pendukung utama dan simpatisan PKI waktu itu bukan lantaran ateisme atau Marxisme, tetapi karena partai ini berhasil meyakinkan mereka dengan “janji-janji populis”-nya yang membawa perubahan dan kemakmuran rakyat banyak.

Sayangnya belakangan visi PKI yang awalnya egaliter, pro wong cilik, dan penuh semangat pembebasan itu kemudian dinodai oleh elite-elite partai yang haus kekuasaan. Karena didorong oleh ambisi politik itu, sejumlah elite partai (seperti Musso, Amir Syarifudin, dan D.N. Aidit) dan nafsu kekuasaan untuk mendirikan negara komunis Indonesia cabang Soviet, PKI menggerakkan massa untuk melawan NKRI.

Dalam sebuah peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan “Tragedi Madiun” tahun 1948 itu (yang kemudian berhasil ditumpas oleh Sukarno), para milisi PKI melakukan pembunuhan terhadap para kiai NU, santri, tokoh Islam dan politik, pejabat pemerintah dan siapa saja yang melawan pendirian negara komunis. Inilah, antara lain, sisi gelap dari PKI.

Tetapi pembantaian dan kekerasan di Indonesia bukan hanya monopoli PKI. Kekejaman dan keangkaramurkaan tidak hanya dilakukan oleh pendukung ideologi komunisme. Para pengikut ideologi dan agama apa saja di dunia ini—sekularisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, Kristen, Yahudi, Buddha, Islam, Hindu, dan lainnya—pernah melakukan tindakan bengis dan biadab dalam sejarah kemanusiaan. Lalu, kenapa hanya PKI yang dikambinghitamkan sebagai “biang kerok” kekejaman? Kenapa Komunisme yang sudah tua-renta itu terus-menerus “diinteli”? Kenapa PKI yang sudah bubar jalan itu terus-menerus diwaspadai sebagai “bahaya laten” bagi bangsa ini?

Saya ingin mengingatkan dan “membangunkan” barangkali pemerintah dan semua pihak di Indonesia sedang tidur pulas: bukan ideologi komunisme yang membahayakan Indonesia yang majemuk saat ini serta mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan Islamisme yang diusung oleh sejumlah ormas Islam impor pendatang baru yang ingin mengubah negara ini menjadi sistem politik zaman batu yang bernama khilafah serta mengganti ideologi pluralis Pancasila dengan ideologi Islam.

Kelompok inilah yang mestinya diwaspadai oleh pemerintah. Bukannya malah terus memburu “hantu komunis” yang tidak jelas juntrungannya, sementara membiarkan sejumlah ormas Islam ekstrim berkeliaran seenaknya.

Pula, bukan PKI yang membuat onar saat ini—apalagi dipandang meresahkan warga—karena memang sudah mati sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi. Yang seharusnya diwaspadai oleh pemerintah adalah kaum teroris dan sejumlah kelompok “Islam pentungan” yang dengan seenaknya ingin mengatur negara ini seolah-seolah Indonesia ini adalah warisan nenek-moyang mereka.

Juga bukan kaum komunis yang berpotensi menghancurkan bangsa saat ini di masa depan, akan tetapi para pejabat rakus dan koruptor yang menilep uang rakyat dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya, serta para politisi kerdil yang hanya memikirkan partainya bukan rakyat yang menjadi konstituennya.

Terakhir, sekali lagi, bukan komunisme yang harus diberangus tetapi egoisme yang picik, nafsu politik yang serakah, serta hati dan pikiran yang kotor yang semestinya harus terus-menerus kita cuci dan bersihkan supaya menjadi “ksatria sejati” seperti Haji Misbach yang komunis itu.

Sumanto Al-Qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Memperoleh PhD dari Boston University

Islam Otentik ala Gus Dur dan Dawam Rahardjo


Dunia Hawa - Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang paling mewarnai sejarah bangsa kita. Pendirian NU dan Muhammadyah merupakan pergulatan suatu komunitas lokal, sebagai bagian dari bangsa ini, terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Kedua ormas ini telah melahirkan dua tokoh intelektual besar yang memiliki pemikiran otentik, yaitu almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan M. Dawam Rahardjo.

Di tengah tuduhan orientalis Barat bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan dan seksis, kemudian munculnya gelombang Neo-Khawarij ala kelompok Negara Islam (ISIS) yang penuh dengan kekerasan brutal, maka Islam moderat Gus Dur dan Dawam menjadi jawaban tegas terhadap semua tuduhan dan kekerasan tersebut.

Gus Dur dan Dawam menolak untuk menjadi wacana yang didefinisikan oleh Barat dan Neo-Khawarij, namun memilih menyajikan wacana yang otentik kepada bangsa ini dan dunia.

Di satu sisi, Gus Dur sudah terbiasa dikafirkan dan dilecehkan karena sikapnya mengadvokasi kelompok minoritas, misalnya memperjuangkan ekspresi budaya Tionghoa. Menurut Gus Dur, NU tidak akan memperjuangkan Negara Islam, karena hal tersebut tidak lebih dari sekadar utopia. Pancasila sudah final sebagai dasar negara kita dan harus selalu diperjuangkan.

Islam, bagi Gus Dur dan kyai NU, adalah “ruh” yang bersifat universal, sehingga tak perlu diformalkan dan semua sudah termaktub dalam Pancasila. Dalam episteme Gus Dur, formalisme dalam bentuk Negara Islam maupun Khilafah Islamiyah bukanlah suatu wacana yang lahir dari kearifan lokal maupun pergulatan bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga tidak perlu diterapkan di sini.

Di sisi lain, Dawam Rahardjo adalah sosok kontroversial karena mengundurkan diri sebagai pengurus Muhammadyah sebagai konsekuensi sikapnya yang membela Ahmadiyah maupun kelompok minoritas lain. Walaupun demikian, Dawam Raharjo tetap percaya bahwa “dalam hati, saya tetaplah Muhammadyah”.

Bagi Dawam, kebenaran bukanlah “narasi besar” yang bersifat hegemonik atau singular, namun tersebar di berbagai kalangan atau bersifat plural. Oleh karena itu, membela aspirasi mereka yang berbeda menjadi suatu keharusan. Jadi, seharusnya negara mengayomi dan melindungi semua agama, tidak hanya yang mayoritas saja.

Landasan episteme pluralisme Dawam Rahardjo bukanlah filsafat atau ideologi Barat, melainkan berangkat dari al-Qur’an sendiri pada surat al-Hujurat ayat 13, yang mengajak manusia dari berbagai suku dan bangsa untuk saling mengenal.

Islam otentik ala Gus Dur dan Dawam Rahardjo adalah Islam moderat, yang selalu percaya bahwa menunjukkan kekuatan dan kesolidan suatu kaum adalah dengan menyebarkan amal baik dan kasih sayang, bukan dengan mengumbar kebencian. Islam moderat bertentangan secara total dengan Khawarijme, yang percaya bahwa La Hukma illa Lillah (Tiada Hukum selain Hukum Allah) harus ditegakkan dengan pedang, namun tidak percaya dengan sifat lembut dan penyayang dari Nabi Muhammad SAW itu sendiri.

Bagi Gus Dur dan Dawam Rahardjo, bersahabat dengan agama maupun mazhab lain bukanlah tanda-tanda kelemahan sebagai seorang mukmin, namun justru itu menunjukkan kekuatan mereka sebagai nara sumber maupun sumber inspirasi nilai-nilai untuk mempengaruhi kelompok mana pun secara positif (soft power).

Islam otentik keduanya lahir dari pergulatan eksistensial yang mendalam terhadap berbagai masalah kemanusiaan dan keIndonesiaan yang bersifat kelokalan, namun memiliki kearifan global. Barat tidak bisa mendefinisikan mereka, karena episteme Barat punya dialektikanya sendiri pada konteks lokalitas mereka. Islam moderat bukan berangkat dari episteme Barat maupun “pihak luar” mana pun, namun dari para ulama yang bijak dan menghidupkan agama itu sendiri.

“Ulama adalah pewaris para Nabi”, begitu kata sebuah hadist. Karenanya, bermazhab mengikuti mereka adalah sesuatu yang sangat baik. Dalam hal ini, Gus Dur dan Dawam Rahardjo pantas untuk diikuti karena otentisitas mereka. Gus Dur dan Dawam juga telah mencontohkan bahwa kembali ke al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa dilakukan jika kita menguasai ilmu-ilmu dari para ulama. Sebab, tanpa ilmu tersebut, hasilnya hanya sikap ekstrim dalam beragama.

Baik Gus Dur atau Dawam selalu menggunakan referensi keilmuan yang sangat kuat: mengkaji al-Qur’an maupun Sunnah. Pemikiran keduanya menghasilkan wacana yang mencerahkan dan menyegarkan segenap pengikutnya.

Di tengah konflik berkepanjangan di Timur Tengah dan Afrika karena munculnya gerakan ekstrim Neo-Khawarij seperti ISIS, Boko Haram, dan Taliban, moderasi Gus Dur dan Dawam seakan menjadi pelita di dalam kegelapan. Terlepas dari basis teori konspiratif yang mengatakan bahwa gerakan ekstrim tersebut adalah buatan intelijen Barat dan Israel, otentisitas gerakan Islam di Indonesia berada di persimpangan jalan. Sebab, sikap yang jelas dan lugas terhadap ideologi ekstrim tersebut harus tersedia.

Islam memasuki kepulauan Nusantara dengan cara-cara damai dan perdagangan yang egaliter ala Wali Songo. Bukan dengan pedang dan bom ala Neo-Khawarij. Otentisitas Islam di Indonesia, yang menurut NU adalah Islam Nusantara dan menurut Muhammadyah adalah Islam berkemajuan, adalah Islam yang membuka diri terhadap dialog kemanusiaan dengan kelompok, agama, dan mazhab mana pun.


Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman