Tuesday, May 17, 2016

Ternyata Ini Dia Kedok Ratna Sarumpaet Cs


Dunia Hawa - Jauh sebelum puncak rusuh di dadap tanggal 10 Mei 2016, jauhh sebelum itu semua, tak ada terdengar sayup - sayup suara lantang Yusril membela rakyat miskin yang tergusur, tak terdengar suara lantang Ratna sarumpaet mengaung - ngaung seperti seekor macan yang hendak menerkam mangsanya, bahkan fulus seorang Habib Rizieq pun tak ada mengalir satu sen pun ke kampung Dadap tak seperti kampung luar batang yang menikmati 100 Juta bantuan dari sang Habieb. 

Kasihan sekali warga Dadap. Bahkan mereka yang terkena kekerasan dari aparat harus datang sendiri, melaporkan diri sendiri ke komnas HAM. Tanpa didampingi Yusril Ihza Mahendra, sang Profesor pembela rakyat miskin, bahkan si Razman Nasution pun tak tampak batang hidungnya yang bulat. 

Kondisi ini beda jauh dibandingkan Penggusuran kalijodo dan pasar ikan, jauh - jauh hari Trio Macan, Yusril-Ratna-Rizieq sudah pasang aksi. Mulai dari mendatangi DPR, mendatangi DPRD, mendatangi komnas HAM, bikin dialog terbuka, wahh...pokoknya Trio Macan sibuk minta ampun. Apalagi kalo pas hari H nya penggusuran, matahari belum terbit, perwakilan Trio Macan sudah standbye di pasar ikan sampe diamankan polisi segala. Haduhhh...


Sungguh beda jaaaauh dengan situasi penggusuran di dadap. 
Pastinya nanti setelah netizen rame membicarakan 'belang'nya Trio Macan, setelah Netizen rame pada protes kelakuannya Trio Macan,  baru deh satu persatu nongol di Dadap, mulai pasang aksi bikin pencitraan.

Lihat saja meski pecah pada Selasa 10 Mei 2016, penggusuran kawasan Dadap Cheng In, Kabupaten Tangerang, Banten, sudah menjadi sorotan netizen.

Bukan hanya karena bentrokan yang terjadi, netizen juga menyoroti ketidakhadiran para aktivis yang 'bernyanyi' saat penggusuran Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara.

"Dadap direlokasi rusuh loh. Aktivis yang kemarin rame-rame di kampung pulo sama luar batang kemana. Ngilang?" ujar salah seorang pengguna akun jejaring sosial Twitter bernama @singgihwidiyas.

Ada pula netizen yang bilang bahwa rakyat menjadi alat politisasi lantaran tidak adanya para 'pahlawan' Luar Batang saat penggusuran Kawasan Dadap.
"Rakyat jadi alat politisasi, lucunya Dadap membara tidak ada tuh para tokoh 'pembela' yg kemarin nongol di Luar Batang," kicau pengguna akun @lippuex.

Bahkan salah seorang netizen dengan akun @taswarvespa2014 'mencolek' akun Twitter @Yusrilihza_Mhd milik bakal calon Gubernur DKI Jakarta Yusril Ihza Mahendra yang saat itu hadir dalam penggusuran Luar Batang.
"Biar nggak ketahuan banget Anda itu bela warga Luar Batang karena syahwat politik, sebaiknya Anda bela juga warga Dadap Tangerang. Korban gusuran Dadap Tangerang bukan wilayah @basuki_btp, kira-kira bisa dibela nggak pak kayak warga Luar Batang. Salam untuk Prabowo," kicau @taswarvespa2014.

Sementara itu, seorang netizen @andrea_lisavira juga ikut menyindir Ratna Sarumpaet, aktivis yang cukup vokal bahkan sempat diangkut polisi saat penggusuran Kampung Luar Batang.


Dalam kicauannya, netizen itu mengunggah kicauan akun @RatnaSpaet yang menuliskan "Aku bukan Pengawal Anggaran/LSM. Aku Ratna Sarumpaet. Aku akan mengejar siapapun yg lecehkan/sakiti rakyat Indonesia."

Lalu, netizen itu menyindir Ratna dengan kicauan, "Oh gitu ya? Rakyat Indonesia itu cuma Luar Batang ya bu? Kalau yang digusur di Dadap Tangerang, itu rakyat mana ya?"

Ada juga netizen bernama @lantip yang membanding-bandingkan kehadiran 'para pahlawan' itu saat penggusuran di Luar Batang dan Dadap dengan membuat tabel.
Tak heran Ahok menjadi curiga dengan aksi trio Macan ini.
"Terus saya tanya di Dadap ada yang ribut enggak? Di Dadap itu,kagak kasih rusun, kagak kasih KJP, kagak kasih bus, kagak kasih modal, enggak ada yang ribut?" ujar Ahok di SD Santa Maria, Juanda, Senin (16/5/2016). 

Ahok berkomentar seperti itu karena menilai ada perbedaan sikap saat LSM atau kelompok masyarakat mengkritik penertiban di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Setelah ditertibkan, warga Pasar Ikan justru menerima banyak bantuan dari berbagai pihak sebagai bentuk protes terhadap penertiban tersebut.

Selain itu, banyak juga tokoh politik yang datang mengunjungi warga Pasar Ikan maupun warga Luar Batang yang tinggal di sekitar masjid keramat. Di antaranya adalah anggota DPR RITantowi Yahya, bakal cagub DKI dari Partai Gerindra Sandiaga Uno, Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik dan Abraham Lunggana, serta aktivis Ratna Sarumpaet yang juga aktif membela warga Pasar Ikan.

[beritateratas.com]

Mimpi Keadilan untuk Wanita yang Dihancurkan 50 Tahun Lalu


Dunia Hawa - Dapatkah kita membayangkan para wanita bergerak bersama-sama membangun kesadaran politik warga desa? Apakah kita sanggup, pertanyaannya, membayangkan perempuan mengorganisir diri dan menggalang aliansi internasional dalam menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dunia?

Saya ragu. Jangankan membayangkan sejauh itu, memperkenankan wanita berjalan sendiri malam hari saja nampaknya masih menjadi kesulitan tersendiri buat kita. Bayangan kita ihwal bagaimana menangani kejahatan yang dialami mereka masih sesempit mengatur ruang gerak serta keberadaan mereka agar tidak bersinggungan dengan ruang gerak dan keberadaan makhluk berjenis kelamin lainnya—lelaki.

Tetapi, pada satu episode sejarah yang menarik di negeri ini, wanita pernah mengambil andil dalam bentuk-bentuk pergerakan yang mungkin mengganggu imajinasi kita sekarang tentang perempuan itu sendiri. Nama wadah gerakan tersebut adalah Gerakan Wanita Indonesia—Gerwani.

Gerwani, yang banyak di antara kita sudah kenal terima kasih kepada pelajaran sejarah Orde Baru, adalah organisasi wanita sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia adalah perkumpulan wanita yang, masih menurut dramatisasi fantastis, mencekam, serta tak masuk akal rezim, beranggotakan perempuan-perempuan sundal yang menikmati penderitaan para jenderal yang ditangkap pada malam 30 September.

Tetapi, yang kita dapati dari studi Saskia Weiringa apabila kita mau mempelajari sejarahnya dengan benar, gerakan ini berawal dari enam organisasi wanita dari pelbagai wilayah. Nama awalnya adalah Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Para pendiri serta pegiat awalnya merupakan figur-figur yang sudah malang melintang dalam perjuangan nasional. Beberapa aktif dalam pergerakan bawah tanah. Ada yang terlibat pula mengangkat senjata.

Pergerakan pertama organisasi ini adalah melawan penjajahan Belanda. Ketika Konferensi Meja Bundar diselenggarakan, mereka menyatakan penolakan pula dengan pemikiran perjanjian ini akan memuluskan kembalinya modal asing ke Indonesia.

Setelah beralih ke dekade 1950-an kondisi berangsur ajek, garis serta strategi perjuangan organisasi yang memperjuangkan hak-hak wanita ini bergeser. Mereka berpartisipasi dalam pemberantasan buta huruf, pembangunan sekolah, serta penyelesaian masalah buruh tani perempuan di desa-desa dan banyak di antaranya perihal upah serta hak mereka.

Pada tahun-tahun ini, setidaknya menurut kesaksian salah seorang petingginya, jumlah anggota Gerwani bertambah hingga 1,5 juta. Hal ini, memang, tak lepas lantaran organisasi ini menjalin kerja sama yang berarti dengan Barisan Tani Indonesia. Namun, Gerwani pun berhasil mengambil hati orang-orang dengan kancahnya yang militan. Ia dipersepsikan sebagai satu-satunya organisasi yang dapat dan mau membantu menyelesaikan masalah kaum wanita.

Saya mungkin baru bercerita sedikit—sangat sedikit. Dan, kita tak bisa menafikan pula organisasi ini memiliki keringkihan serta konfliknya tersendiri—perebutan pengaruh antara kelompok feminis dan komunis adalah salah satunya. Namun, apabila kita bercermin dengan kondisi kita saat ini, sulit untuk tidak bersimpati setidaknya dengan fakta pernah ada sebuah organisasi perempuan yang jumlah anggotanya luar biasa, menyambangi persoalan nyata para anggotanya, dan secara politis disegani.

Coba kita besuk ingatan jangka pendek kita. Ibu-ibu petani Kendeng yang terancam penghidupannya oleh pabrik Semen belum lama ini harus datang sendiri ke ibu kota, merenggut perhatian publik dengan tubuhnya sendiri—lewat aksi membahayakan menyemen kakinya. Itu pun tanpa jaminan aspirasi mereka yang katanya sudah didengar presiden akan benar-benar digubrisnya.

Bertahun-tahun warga desa mereka melawan pembangunan pabrik di Kendeng. Tak ada yang menanggapi mereka serius. Yang mereka terima justru intimidasi. Cibiran bahwa perlu ada yang menjadi martir dulu dari antara mereka sudah menjadi pembicaraan jauh hari sebelum para ibu mengecor kakinya di depan Istana Presiden. Dan ini pun, lagi-lagi, saya yakin, hanya pucuk dari kemuskilan yang kini memperkeruh kehidupan para wanita di banyak tempat.

Pemblejetan Gerwani, di satu sisi, kita dapat katakan, menengarai dimulainya pengenyahan wadah politik yang berarti agar kepentingan wanita tak termamah turbulensi politik yang dikerumuni pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Namun, masih beruntung apabila dampaknya sebatas satu ini. Penghancuran gerakan perempuan ini, pasalnya, dilakukan dengan modus keji yang sekaligus menistakan dan melumpuhkan kedudukan sosial wanita dalam imajinasi kolektif kita.

Mengapa para anggota Gerwani bukan hanya disandangkan label simpatisan komunisme, yang mana hal ini sendiri sudah fatal, namun juga bejat dan binal? Mengapa mereka diceritakan menikmati para jenderal disiksa dengan penuh birahi dan mengekspresikan kepuasan masokisnya dengan tarian bugil serta pesta seks?

Dan keliru apabila kita beranggapan masyarakat cukup jeli untuk menganggap cerita tersebut terasa terlalu gaib untuk menjadi nyata. Salah seorang mantan pegiat Gerwani yang diwawancara Saskia Sassen menuturkan anaknya, pada satu waktu, bahkan jijik dengannya. Sekolah mengajarkan bahwa Gerwani tak ada bedanya dengan pelacur. Teman-temannya, yang mengetahui ibu sang anak Gerwani, menggunjingkannya.

Dengan pemahaman bahwa wanita dikodratkan bergeming, serba menerima, serta menjadi objek hasrat yang masih membebat masyarakat, hal paling mudah untuk dilakukan rezim yang berkepentingan meruntuhkan legitimasi organisasi ini memang adalah menyelewengkan citra gerakan wanita progresif menjadi kumpulan wanita subversif. Wanita kritis, alih-alih nrimo, cukup diselewengkan sedikit citranya, akan identik dengan pengganggu ketenangan. Diselewengkan sedikit lagi, ia pun identik dengan nakal, tak bermoral. Dan itulah yang terjadi.

Dalam penghancuran salah satu gerakan wanita terbesar yang pernah ada, Orde Baru pun memantapkan paham bahwa wanita baik-baik adalah mereka yang membiarkan urusan-urusan tertentu–perjuangan dan keputusan yang menyangkut hajat hidup khalayak—menjadi urusan laki-laki. Sebelum akhirnya, rezim menyempurnakan pendomestikasiannya melalui pembentukan berbagai organisasi yang menyemai pendamping suami sebagai citra wanita ideal.

Kini, ketika saya mendengar cibiran terhadap ibu-ibu Kendeng bahwa mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan para bapak atau mereka dimanfaatkan aktor intelektual tertentu,
saya seperti melihat ujung lain dari seutas perjuangan yang dulu digagalkan. Demikian juga ketika seorang wanita menjadi korban perkosaan namun wanitalah yang dianggap perlu diatur keleluasaan geraknya di ruang publik—menyiratkan mereka bersalah hanya karena mengganggu keleluasaan gerak lelaki yang memang tempatnya di sana.

Semua berhubungan. Berhubungan dalam satu ideologi yang diumbar sebuah rezim di masa silam untuk meredam perjuangan politik terbesar wanita Indonesia dalam ingatan: Lelaki bertindak, wanita cukup mengada belaka.

[geger riyanto/geotimes.co.id]

Geger Riyanto


Esais, peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha

Agama Agama Ibrahim


Dunia Hawa - Mereka yang aktif dalam dialog lintas agama, terutama antara Muslim dan Kristen, pasti kenal dengan istilah “agama Ibrahim.” Nabi Ibrahim dianggap sebagai figur pemersatu tiga agama yang acap kali bersitegang, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.

Istilah “agama-agama Ibrahim” (Abrahamic religions) diperkenalkan oleh sarjana Prancis, Louis Massignon, yang terkesima dengan tasawuf al-Hallaj. Romo yang lahir 25 Juli 1883 itu punya kontribusi signifikan terhadap rumusan dokumen penting Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, dan Nostra Aetate, yang mengubah sikap Gereja Katolik terhadap Islam.

Saya tidak bermaksud mendiskusikan pikiran dan kontribusi Massignon, tapi mengevaluasi sejauh mana “agama Ibrahim” dipersoalkan dalam kesarjanaan mutakhir. Sejak Konsili Vatikan II 1962-1965, figur Ibrahim begitu sering dimunculkan sebagai titik temu ketiga agama, baik dalam karya akademis maupun populer.

Benarkah Ibrahim itu figur pemersatu? Bagaimana “bapak agama monoteisme” itu berperan dalam sejarah perkembangan Yahudi, Kristen, dan Islam?

Figur Pemecah Belah?
Dalam lima tahun terakhir, minimal ada tiga karya serius yang mempersoalkan kegunaan kategori “agama Ibrahim” dalam wacana lintas agama. Pasalnya, figur Ibrahim digunakan oleh ketiga agama tersebut untuk berpolemik satu sama lain, bukan menyatukan.

Karya-karya tersebut ialah Inheriting Abraham: The Legacy of the Patriarch in Judaism, Christianity and Islam karya Jon Levenson (2012), Abrahamic Religions: On the Use and Abuse of History karya Aaron Hughes (2012) dan The Family of Abraham: Jewish, Christian, and Muslim Interpretations karya Carol Bakhos (2014).

Saya tidak memasukkan karya Michael Lodahl, Claiming Abraham: Reading the Bible and the Qur’an Side by Side (2010), karena buku itu tidak fokus pada figur Ibrahim. Lodahl hanya mendiskusikan bagaimana Ibrahim dipresentasikan dalam Bible dan al-Qur’an dalam satu bab. Selebihnya, dia membahas figur-figur lain.

Levenson adalah profesor di Harvard yang sebelumnya mengajar di Chicago. Tesisnya sebagai berikut: Walaupun agama Yahudi, Kristen, dan Islam menjadikan Ibrahim sebagai model seorang beriman sejati, tapi figur ini digambarkan begitu berbeda seolah-olah ketiga agama tersebut tidak berbicara orang yang sama.

Dalam perdebatan awal antara Yahudi dan Kristen, figur Ibrahim acap kali dijadikan acuan untuk mengeksklusi satu sama lain.

Bagi kaum Yahudi, Ibrahim ialah kakek-moyang mereka, bahkan disebut “seorang Yahudi pertama.” Mereka menyebutnya “bapak kami” dalam pengertian harfiah karena kaum Israil berasal dari keturunannya, Ishaq, dan cucunya, Ya’qub, yang kemudian diberi gelar “Isra’il.” Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada agama Yahudi tanpa Ibrahim.

Kristen juga menjalin koneksi dengan keturunan Ibrahim seperti halnya dalam tradisi Yahudi, tapi melalui Yesus. Umat Kristiani menganggap diri-mereka sebagai pewaris Ibrahim, bukan hanya karena Yesus lahir sebagai seorang Yahudi dan dari keluarga besar Yahudi, melainkan— yang lebih utama—karena mereka melihat Ibrahim sebagai model kesalehan atas dasar iman (faith). Sebelum 10 Firman Tuhan (Ten Commandments) diturunkan, Ibrahim terlebih dahulu mengedepankan keimanan. Dan model keimanan Ibrahim itu memungkinkan kalangan non-Yahudi (Gentiles) menjadi bagian dari kaum pilihan Tuhan.

Seperti kedua agama sebelumnya, Islam juga mengklaim Ibrahim khusus untuk dirinya. Walaupun garis keturunan Muhammad dapat dilacak pada Ismail, anak Ibrahim, Islam tidak menekankan aspek biologis, melainkan memposisikan dirinya untuk merestorasi ajaran Ibrahim yang mengalami “penyelewengan.” Dengan nada cukup polemis, al-Qur’an (QS 3:67) menepis bahwa Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, tapi seorang yang berserah diri (muslim).

Karena itu, menurut Levenson, menyebut ketiga agama itu “Abrahamic religions” sebagai upaya untuk mendorong dialog antar-agama sungguh tidak berdasar. Sebab, hal tersebut akan mengikis keunikan masing-masing agama dan menghalangi diskusi yang subtil terkait keyakinan yang berbeda secara fundamental.

Berikut saya kutipkan kesimpulan Levenson yang cukup tajam: “Given conflicting interpretations of the supposedly common figure, the claim that Abraham is a point of reconciliation among the three traditions increasingly called ‘Abrahamic’ is as simplistic as it is now widespread. Historically, Abraham has functioned much more as a point of differentiation among these three religious communities than as a node of commonality.”

Menimbang Kembali “Agama Ibrahim”
Memang, semakin kita mengenal narasi ketiga agama tersebut tentang Ibrahim, semakin kita menyadari bahwa figur penting itu tidak pernah digambarkan netral dari kepentingan ideologis. Poin inilah yang didiskusikan oleh Aaron Hughes dan Carol Bakhos.

Hughes mengambil sikap lebih radikal dibanding Bakhos. Bagi Hughes, istilah “agama Ibrahim” bukan hanya tidak pernah digunakan secara netral, tapi juga tidak berguna secara analitis maupun historis. Istilah tersebut murni bersifat ideologis. Ketika agama Yahudi, Kristen, dan Islam mengaitkan dengan Ibrahim sebagai pewarisnya, itu tak lebih dari klaim teologis yang tak punya basis historis. Sebagai argumen teologis, masing-masing agama ingin menonjolkan Ibrahim versi mereka lebih baik dari yang lain.

Melalui pelacakan historis, profesor Universitas Rochester ini menyorot adanya pergeseran dalam penggunaan figur Ibrahim pada pertengahan abad ke-20, yang dirintis oleh Massignon. Konsili Vatikan II yang bermaksud meningkatkan dialog lintas agama menggunakan Ibrahim dalam tiga fungsi: garis keturunan yang sama, titik temu agama-agama, dan kesamaan doktrin monoteisme.

Istilah “agama Ibrahim” menjadi lebih populer lagi setelah tragedi 11 September, sebagai dasar kerja-kerja ekumenis dan dialog antar-iman untuk menangkal ketegangan dan kebencian. Bagi Hughes, semua itu menggambarkan betapa problematiknya konsep “agama Ibrahim” karena penuh dengan muatan ideologis-teologis ketimbang analitis-historis.

Bakhos setuju dengan Hughes bahwa figur Ibrahim adalah mitos belaka. Tak bisa dibuktikan secara historis. Namun demikian, guru besar di University of California Los Angeles (UCLA) ini tidak sama sekali menampik kegunaan “agama Ibrahim” sebagai sebuah kategori analisis.

Sampai batas tertentu, Bakhos mencoba menemukan jalan tengah antara mereka yang menolak istilah “agama Ibrahim” dan mereka yang mempromosikannya. Di satu sisi, istilah tersebut memang sebuah modern invention yang dapat menyesatkan. Tapi, di sisi lain, ia dapat digunakan sebagai starting point bagi kajian perbandingan historis-teologis untuk menyingkap aspek kesamaan dan perbedaan.

Yang perlu dihindari, kata Bakhos, ialah homogenizing effects (dampak yang menyamaratakan) seolah-olah keunikan narasi dalam masing-masing tradisi keagamaan tidak signifikan bagi keragaman pengalaman spiritualitas. Dengan memperhatikan partikularitas itu, kita akan memahami bagaimana “narasi-narasi Bible dan al-Qur’an disesuaikan untuk konteks yang berbeda supaya bermakna dan relevan bagi audiensnya masing-masing.”

Dengan membeberkan problem “agama Ibrahim”, sebagaimana didiskusikan tiga sarjana di atas, saya tidak mengusulkan supaya kategori itu dibuang ke tong sampah saja. Tapi kita harus sadar bahwa mencari akar kesamaan pada figur Ibrahim menunjukkan kedangkalan paradigma dan tidak realistis. Saya kira akan lebih berguna apabila para penganut agama-agama belajar atau mencoba memahami perbedaan signifikan dalam tradisi mereka masing-masing untuk meningkatkan saling pengertian antar-agama.

Istilah “agama Ibrahim” itu muncul dalam konteks tertentu di tengah upaya mengawali babak baru hubungan Islam-Kristen yang dirintis Vatikan II. Yakni, mengeksplorasi hal-hal yang bisa menjadi titik temu, misalnya, dengan menelusuri kesamaan asal-usul pada figur Ibrahim.

Belakangan, keterbatasan paradigma ini mulai dirasakan sehingga dalam berbagai inisiatif dialog antar-agama, seperti dirintis Building Bridges Seminar yang digelar setiap tahun dalam 15 tahun terakhir di Universitas Georgetown, perbincangan mulai mengarah pada persoalan-persoalan yang lebih substantif.

Dalam Building Bridges Seminar yang saya ikuti baru-baru ini (6-11 Mei 2016) tidak sekalipun “agama Ibrahim” muncul dalam perbincangan. Kita justru berdiskusi serius untuk saling memahami kenapa Muslim dan Kristen meyakini apa yang mereka yakini dengan berbagai kompleksitasnya.

Ini bukan soal menerima apa yang diyakini komunitas agama lain, melainkan untuk mengerti (to make sense) bahwa yang mereka yakini memiliki argumen tekstual dan rasionalnya sendiri. Bukan sampah belaka! Jangan karena menghindari kompleksitas berteologi, kita memaksakan persamaan.

[mun'im sirry/ geotimes.co.id]


Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA