Tuesday, May 10, 2016

Ketika Ikan Louhan pun Jadi Komunis


Dunia Hawa - Itulah kenapa saya cinta sekali dengan negeri ini, yang kata orang gemah ripah loh jinawi.

Orangnya banyak yang lucu dan cenderung lugu. Mereka suka berkubang di manapun ada keramaian, membebek tanpa pernah tahu maksud dan tujuan, menuding tanpa paham apa yang dipermasalahkan. Sialnya Ya Tuhan, aparatnya pun banyak yang kayak begituan.

Ada awan berlafazkan Allah, mereka pun takbir bersaut-sautan. 

Di foto, di upload, di like, dibagikan sambil memaksa orang berkata amin dan ujungnya mengedarkan kotak sumbangan. Seakan Tuhan begitu kerdilnya sehingga harus menonjolkan nama-Nya dalam sebuah awan. Seakan Tuhan ingin terkenal dengan memasang iklan pada billboard di angkasa. 

Tuhan harus berwujud menurut mereka. Dan ketika ada yang bilang, "Ada Tuhan dalam secangkir kopi.." mereka marah. "Tuhan kok ada di secangkir kopi??" Ah, semestinya saya harus menyewa seorang barista untuk menulis nama Tuhan di atas busa kopi. Barulah mereka takbir kembali bersaut-sautan. Tuhan harus tertulis disana, jika tidak, itu bukan Tuhan !! 

Semakin cinta aku pada negeriku ketika banyak yang tidak bisa membedakan mana negara China dan mana etnis Cina di Indonesia. Buat mereka semua sama, sama cina-nya. Bahkan, entah bagaimana ada pete yang juga mereka cina-kan, pete cina. Mudah-mudahan ada yang iseng menuding "10 juta pete cina masuk ke Indonesia " supaya mereka bisa teriak, "Ganyang pete cina !!" Ah, tentu teriak teriak bisa membuat orang kelaparan, karena itu harus ada nasi bungkusnya. Karet dua selalu favorit, karena sambelnya agak banyakan.

Mereka bahkan tidak mampu membedakan komunis dan atheis. Buat mereka, yang akhiran - is pasti tak beragama. Begitu juga dengan tongs-is, kum-is dan margarito kam-is. Seandainya ada nasi bungkus lagi, mereka rela berdemo di terik matahari sambil membentangkan spanduk, "Ganyang Syahrin-is ! Maju mundur cantik adalah simbol kebangkitan PKI !! "

Yang menggemaskan dari negeriku adalah banyak yang menyukai simbol. 

Arab adalah simbol Islam. Mie instan adalah simbol Kristen. Ritual ibadah adalah simbol ketaatan. Gamis adalah simbol kesucian. Bahkan ada gelar yang dulu dipakai kolonial belanda untuk menandai para pemberontak yang biasanya pulang dari tanah suci, sekarang dijadikan simbol kebanggaan, itulah gelar haji. Semua yang berbentuk segitiga adalah simbol iluminati. Sempak pun jadi berbahaya karena bentuknya segitiga. Iluminati sudah merambah sampe ke "harta" yang paling vital. Mengerikan sekali jaringan mereka....

Simbol yang sulit mereka lupakan sampai saat ini, ternyata simbol palu arit. 

Simbol ini adalah simbol paling berbahaya dari semua simbol yg mereka kenal. Bahkan ketika mereka memegang palu, diusahakan tidak dekat2 ma arit. Bisa berbahaya, akidah mereka terancam. Mendadak komunis.

Saking paranoid-nya, sita semua yang gambarnya mirip mirip palu arit. Mereka tidak perduli apapun spesies-nya. Bahkan ikan louhan yang tidak bersalah harus ditangkap karena bergambarkan lambang komunis. Apalagi namanya Lou Han, pasti cina dan cina itu komunis dan komunis harus ditangkap, dibakar kalau bisa di pepes pake daun salam. Mereka lupa yang komunis itu sebenarnya bukan ikan louhan, tapi ikan Koi yang diambil dari kata Koingatkan kau, koingatkan... ( bahasa medannya : kutandai kau, kutandai..)

Jadi, bagaimana berbie ga pucing tinggal di negeri indah ini... Negeri indah dimana banyak orang senang menuding membabi-buta. Sudah babi, buta pulak..

Ah, capek kali pun awak tulis tulis malam ini... mana tak ada kopi. Warkop yg sering kuhutangi pun sudah pulak menuding aku Komunis, Kopimu mulai sekarang tidak manis.. mentang mentang aku sering ngutang, tak dikasinya pulak gula di kopiku... "Ganyang warkop kapitalis !!!!"

[dennysiregar.com]

Ketua HMI Konyol, Masyarakat Diminta Pahami Akasi Anarkis Mereka


Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa (HMI), Mulyadi P Tamsir, di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (9/5/2016).

Dunia Hawa - "Tapi, kadang harus dipahami, kadang emosional adik-adik ini, sebenarnya itu kemarahan mereka kepada Saut Situmorang, yang telah memfitnah, menciderai, merusak, membunuh karakter organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang sudah 69 tahun mengabdi untuk Republik Indonesia ini," kata Mulyadi usai menjadi pembicara diskusi di Gedung DPR, Jakarta.(tribunews.com)

Kutipan diatas diambil dari berita online dengan judul "Ketua Umum PB HMI Meminta Publik Dapat Memahami Aksi Perusakan di KPK"

Astaga, bagaimana bisa ketua umum himpunan mahasiswa sekaliber HMI meminta masyarakat untuk memahami aksi anarkis mereka terhadap KPK? Sebuah bentuk pembenaran bahwa apa yang dilakukan HMI senin (9/5) di gedung KPK dan lempar batu kepada aparat itu sah adanya.

Mahasiswa sebagai agen perubahan dan kelompok intelek ternyata lebih memilih untuk menggunakan jalur ‘otot’ daripada otak. Apakah toleransi terhadap aksi-aksi anarkis HMI bagian pengkaderan mereka? Masyarakat tentu tidak pernah lupa bagaimana HMI, atau sebut saja banyak oknum melakukan perusakan-perusakan fasilitas public di Pekanbaru beberapa waktu lalu.

Gedung KPK dan fasilitas public laiinnya adalah milik masyarakat, dibangun dari uang rakyat. Tetes keringat rakyat dalam bentuk pajak mereka. Kalau begini, apa bedanya HMI dengan ormas-ormas perusak lainnya? Jadi sama dong jika nanti ada ormas melakukan anarkis, lalu ketuanya tinggal meminta masyarakat untuk memahami. Benar-benar tidak masuk diakal.

Melihat berita di televisi, diberbagai daerah massa HMI berdemo membakar ban, menyandera truk tanki BBM. Apakah itu tidak mengganggu masyarakat? Apakah diajarkan di HMI bahwa untuk mencapai tujuan harus dibarengi dengan aksi-aksi anarkis?

Masyarakat kita sedang ‘sakit’, lihat saja kekerasan, kejahatan, pemerkosaan sampai tawuran antar warga hampir selalu ada beritanya di media. Mengerikan sekali. HMI bersetertu dengan Saut, mengapa harus melempari polisi dengan batu hingga luka?

Apakah HMI begitu kerdil? Katanya sudah berumur 69 tahun, tetapi sama sekali tidak menunjukan sebuah kedewasaan sebagai sebuah organasasi besar yang katanya banyak mencetak orang-orang terbaik bagi negeri ini. Sungguh konyol jika HMI yang begitu besar dan tua itu hanya akan ‘terbunuh’ oleh sebuah pernyataan seorang Saut.

Sebagai ketua, akan lebih bijak lebih mendinginkan. Menahan diri terhadap potensi-potensi yang bisa terjadi. Untuk apa demo ke KPK jika jalur hukum sudah ditempuh? Sebagai ketua pasti tahu bagaimana karakter-karakter anggota HMI yang ikut demo itu. Apakah spontanitas? Jika demo sudah bawa cat semprot bisa diasumsikan bahwa pendemo HMI sudah merencanakan corat-coret gedung KPK.

Di negeri ini ada tokoh yang sudah habis-habisan difitnah, dibunuh karakternya, dibuat meme yang tidak senonoh baik oleh sekelompok masyarakat maupun lawan poltiknya. Tapi ia menanggapinya dengan dingin dan bijaksana. Lihat, apa yang Tuhan berikan kepadanya? Dia sekarang ditinggikan dengan menajadi presiden negeri ini.

Ada baiknya HMI belajar dari beliau. Silakan keberatan dengan apa yang dilakukan Saut. Sikapi dengan elegan. Rakyat sudah sudah muak dengan aksi-aksi anarkis. Tolong hilangkan budaya anarkis dari HMI.

[venusgazer ep/ kompasiomer]

HMI dan Saut Situmorang Draw, Mau Apa Ke Depan?


Dunia Hawa - Saut Situmorang melakukan blunder dengan generalisasi kasus itu fakta. Kesalahan bagi seorang pejabat publik sangat tidaka bijaksana itu tidak bisa dibantah. HMI yang merasa tercemar nama baiknya merasa tersinggung, itu wajar dan pantas untuk melaporkan ke polisi, namun merusak, mencoret-coret di tempat mereka melakukan demo itu juga fakta yang memalukan apalagi kader muda, terpelajar, namun hampir selalu diaromai dengan kekerasan. Kedudukan seri, dan kasus bisa berhenti. Soal kasus mereka yang bertikai sudah dibahas oleh banyak pihak.

HMI. Berlebihan memang jika mengatakan lembaga sebagai contoh kasus, kecuali DPR yang tidak punya anggota yang akan marah, he...he...beda mereka sudah kebal, HMI, energi masih melimpah, reaktif ya wajar. Menarik adalah sikap mereka. Hampir selalu ada kekerasan dan kerusuhan setiap mereka melakukan aksi. Kongres pun diwarnai dengan noda-noda yang menciderai salah satu ciri mahasiswa yang berciri intelek, mengedepankan otak, ide, gagasan, bukannya otot dan ngotot. Ini sejarah terulang kog, tidak terbantahkan. Jangan lagi berdalih dengan mengatakan sebagai oknum, karena tidak ada perubahan yang siginifikan dari hari ke hari. Harusnya sebagai organisasi mahasiswa terbesar bukan hanya bangga dan senang akan besarnya, namun bagaimana memberikan kontribusi yang signifikan bagi bangsa dan negara pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya. Soal noda-noda dan tuba yang sudah ditorehkan para alumni tidak perlu diteladani itu jauh lebih penting, sikap mereka menyatakan kami malu memiliki pendahulu maling, atau merusak, membakar, atau mencoret-coret rumah, properti mereka, lha ini malah merusak gedung negara. Negara lagi yang harus memperbaiki lagi dan lagi uang negara untuk memfasilitasi “preman-preman” yang memaksakan kehendak (ingat bukan hanya HMI).

HMI vs Polisi.Kasihan sebenarnya membicara mahasiswa namun kualitas TK begini, tentu banyak yang masih ingat beberapa waktu lalu, ketika kongres di Riau mereka “kelaparan” dan makan kemudian ngacir dari rumah makan, diselesaikan oleh alumni (jangan-jangan uang nyolong sepeti tuduhan Suat, becanda, jangan ngamuk ya?), di lokasi polisi menjaga dan membagikan 2000 bungkus nasi dan diam. Apa artinya? Mereka masih taraf instingtif, lapar beringas itu hanya untuk anak-anak dan ciri makhluk hidup di bawahnya. Logika sederhananya adalah otak itu bisa bekerja, misalnya bantu cuci piring dan minta makan, bukan malah ngacir, mahasiswa lho, bukan preman pasar, kalau begitu apa bedanya? Polisi yang sudah baik hati dengan menyediakan nasi bungkus itu, entah dari mana dananya, bisa saja mereka juga “malak” tempat lain, eh  kali ini dilempari, jangan lagi berdalih oknum ya! Susah ketika orang sudah mengedepankan emosi, ngamuk, ngerusak, suatu saat jadi pejabat, apa yang terjadi, simpulkan sendiri.

Saut S.  Ucapannya sudah saya bahas sedikit di atas, karena sudah dibahas panjang lebar oleh rekan lain. Reaksi ketika ucapannya direspons oleh HMI (entah siapa ini, benar-benar mereka atau bukan) dengan anarki, menjawab dengan bahasa yang “memalukan”. Saya dekat dengan rekan-rekan HMI, aya sejak mahasiswa, kerja, sering kerja sama dengan mereka (menjilat), saya bicara dalam alam bawah sadar (paling tidak demikian, apa artinya? Dia takut). Menarik adalah ketika seorang pejabat publik itu berbicara pertanggungjawabkan jangan malah kemudian menghindar seolah menegasi ucapan sendiri. Katakan dengan jujur yang saya maksudkan banyak rekan-rkan HMI setelah menjabat lupa kritisnya malah ikut dalam pusaran maling, contoh, X, Y,Z, dan sebagainya, kemudian apa? Kita benahi bersama sejak ada di kampus, kalau kongres tertib, penggembira boleh asal mau keluar modal, jangan malak, apa beda dengan bonek, eh malah ini mengatakan bawah sadar segala. Bahasa media sosial, Saut merengek-rengek atau mewek, atau berguling-guling, atau gemetar, meminta untuk tidak dilanjutkan ke bareskrim. Kembali lagi, sikap gentlemen, atau jantan itu masih jauh dari sikap petinggi negeri ini. Minta maaf  cukup dan selesai, kalau masih dilaporkan itu risiko dan hadapi, tidak perlu merengek.

Apa ke depannya?

Pejabat, kalua bicara timbang-timbang dulu, siapa yang mau dijadikan contoh, pikir duku baru bicara. Berani bersikap dan bertanggung jawab, kalau boleh sedikit berlebihan dari gaya bertahan Pak Saut, dia takut kehilangan kursi daripada menyadari kelirunya. Takut tekanan, lha apalagi kalau disantet? He..he.....

Lapor ke bareskrim ini HMI asli, ini jalur yang semestnya dan pembelajaran bersama. Merusak ini abal-abal, yang akan menjadi generasi seperti yang dikatakan Pak Saut. Mahasiswa harus kepala dingin, katakan apa masalahnya, minta apa konsekuensinya, dan salurkan ke lembaga yang benar, dengan cara yang benar juga. Merusak, menekan, menggeruduk, ciri anak-anak, lha ngakunya MAHA, eh ternyata masih harus pakai popok, ngompol nagis, lapar ngamuk, ditolak ngambeg, siapa yang cirinya demikian? Kog belum ada demo besar-besaran nuntut janji Anas? (dia itu siapa hayo? Atau amnesia). HMI harus bebenah, jangan gedein ngamuk dan ngambegnya.

Dunia akademis, intelektual itu mengedepankan otak dan diskusi bukan saling serang dan ngerusak. Tuduhan Pak Saut berlebihan iya, cara menjawab “HMI sebagian” juga berlebihan. Sejarah panjang “HMI” ini juga memalukan kog, ubah diri semuanya. Janganlah nuntut ini itu dengan cara-cara buruk, apa bedanya kalau begitu? Sama-sama dewasa dan berkarakter serta inteleklah.

Salam

[susy haryawan/ kompasioner]

Menyoal Kecendekiawanan HMI Atas Saut Situmorang


Gedung KPK setelah demo HMI

Dunia Hawa - Seorang mantan Ketua Umum PB HMI Syahrul Efendi Dasopang mengatakan, "Sekiranya kritik semacam itu yang melontarkan saya, pasti dianggap biasa. Tapi karena yang melontarkan adalah orang luar HMI seperti Saut Situmorang, reaksi HMI jadi lain. Berarti sebenarnya secara material kritik atau ma qola, tidak ada masalah. Yang jadi masalah bagi mereka yang berang itu adalah subjeknya atau man qola-nya" (rmol.co)

Hal ini berkaitan dengan gerahnya HMI di berbagai tempat atas pernyataan pak Saut Situmorang yang mengkritik banyaknya kader HMI yang terlibat korupsi. Lalu mereka berdemonstrasi, mereka memperkarakan hal tersebut secara hukum. Banyak yang mengatakan, "yang dikatakan pak Saut mungkin benar, tapi tidak semestinya dikatakan oleh beliau..." bukankah kalimat semacam ini sesungguhnya bermasalah?

Demonstrasi, merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh oleh kalangan akademisi untuk menyatakan dukungan maupun penolakan terhadap sesuatu terutama berkaitan dengan jalannya dan juga kebijakan pemerintah. Namun, sebagai kalangan cendekiawan, semestinya tindakan semacam itu didasari oleh kemendalaman berfikir, ketenangan yang reflektif, dan juga tujuan yang rasional. Maka, melihat bagaimana respon HMI terhadap Saut Situmorang atas kritiknya terhadap para alumnus HMI, kita bisa melihat apakah hal itu memang didasarri pada kedalaman berfikir atau reaksi emosional yang dangkal nalar? di sinilah kita bisa melihat, bagaimana cermin kecendekiawanan mereka.

Prof. Dr. B.J. Habibie pada tahun 2013, pernah mengatakan dan mungkin ini semacam usulan untuk HMI sendiri agar HMI tidak terlalu politis. Masih menurutnya, " lebih baik HMI menyiapkan mahasiwa yang bakal menjadi profesional berdasar kan disiplin ilmunya alih-alih mengejar kepentingan politik. Jika mahasiswa profesional di bidangnya, jabatan publik sampai setingkat menteri pun bisa diraih."

Maka, sifat reaksioner dan juga bias kelompok HMI terhadap Saut Situmorang sesungguhnya mendekati sikap politikus atau cendekiawan? Itu yang langsung terbersit ke pikiran saya manakala melihat respon HMI. Kita harus mengakui bahwa HMI sudah banyak mencetak kader-kader pejuang anti korupsi. Bahkan mereka yang telah duduk di pucuk pimpinan KPK. Sebutlah misalnya, Chandra Hamzah, Abraham Samad, Busyro Muqodas, dll. Maka sesungguhnya dan saya yakin bahwa apa yang disampaikan oleh pak Saut bukan pertama-tama serangan terhadap kelompok HMI, tapi ada sebuah sistem yang salah. Bahwa dan bahkan idealisme moral yang kuat di masa muda, bukanlah jaminan dia akan tetap berintegritas ketika menduduki jabatan-jabatan publik. 

Saya bukan dalam posisi membela pak Saut, tapi menyoal adanya ketidakadilan di dalamnya. Persis apa yang diucapkan oleh mantan ketua  HMI di atas, bahwa seandainya itu adalah orang-orang seperti beliau yang ngomong, itu ga apa-apa. Tapi kalau yang ngomong orang di luar mereka, itu baru menjadi masalah. Kritik terhadap HMI sebenarnya sudah banyak terjadi dalam kaitannya dengan kader-kadernya yang korup. Sebutlah misalnya Syamsir Alam yang merupakan mantan aktivis orde baru, kemudian juga banyak orang-orang internal HMI sendiri. Lalu mengapa baru kemudian pak Saut yang dipersoalkan?

Kemudian saya diingatkan oleh peristiwa pada masa kepemimpinan pak SBY. Waktu itu ada yang mengatakanbahwa penyumbang koruptor di Indonesia itu banyak lulusan dari kampus-kampus negeri. Wah, heboh. padahal dalam arti tertentu ada benarnya juga.

Bukankah kebenaran semacam ini semestinya menjadi bahan refleksi internal sekaligus membuat atau menyegarkan visi misi yang ada di dalam organisasi tersebut? Kalau sudah ada kajian mendalam, refleksi yang mendalam untuk menyangkal atau menolak apa yang diucapkan oleh tokoh-tokoh tertentu, barulah kemudian melakukan demonstrasi dan juga membawanya ke meja hijau sebagai sebuah pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik, mengandaikan bahwa nama kelompok tersebut atau individu memang baik, lalu dicemari dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Misalnya presidennya ga korup. Ada yang mengatakan presiden korup, ini pencemaran nama baik. Tapi kalau Ada politisi ingkar janji dan ada yang mempertanyakan politisi kok ingkar janji... ini bukan pencemaran nama baik. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum.

Mungkin ada pertanyaan, mengapa hanya HMI yang disebutkan? Tentu dalam teori komunikasi kita mengenal adanya ujaran sehari-hari dan juga ujaran formal. Ujaran dalam dialog televisi, meskipun dilakukan oleh pejabat publik, tapi bukanlah ujaran formal. Meskipun dalam tata kesopanan dan juga memang dalam kapasitas seorang yang dikaitkan dengan institusi. Dalam hal ini jelas mengandalkan spontanitas daripada ujaran yang runtut sistematis dan resmi. Apalagi lagi, sebelum menyebut HMI, ada kata misalnya. Jadi sebagai pemisalan, hal ini mengandaikan ada lembaga-lembaga lain yang serupa. Anda bisa saja mengejar begini, kok misalnya pak? nah, kata misalnya itu bisa saja benar-bisa saja tidak. Lalu mengapa HMI terlalu reaktif?

Dalam sebuah wawancara di televisi lain, Saut bahkan menyebut bahwa tinggal presiden dan BPK saja yang belum kena urusan dengan KPK. Lalu ditanyakan, adakah TO? ya mungkin ada mungkin juga ga.... dan menarik bahwa kedua lembaga negara itu tidak sereaktif HMI. Maka bisa ditanyakan, ada apa di balik sikap reaktif mereka?

Kecendekiawanan sekali lagi dasarkan pada kemendalaman berfikir dalam cara-cara seorang cendekiawan yang dingin, namun berfikir secara cerdas. Dalam laman mahasiswabicara.com ditulis beberapa ajakan untuk dipertimbangkan bahwa semestinya, sikap arif yang dilakukan HMI adalah dengan membuktikan secara terbalik bahwa apa yang dikatakan oleh pak Saut itu tidak benar.

Lalu, perlu juga dipertimbangkan kalau membawa salah satu pimpinan KPK ke meja hukum sama dengan mengganggu kinerja KPK. dan yang berikutnya adalah sikap tersebut justru menjadi teladan buruk bagi kelompok lain agar ikut-ikutan reaktif.

bersikap reaktif dan tidak berkepala dingin, bukannya melegitimasi bahwa dari HMIlah muncul tokoh-tokoh berintegritas yang telah memberikan sumbangan besar bagi bangsa dan negara ini, justru sebaliknya akan mendelegitimasikan hal yang sebenarnya sudah baik tersebut.

Maka, kembali ke pernyataan mantan ketua HMI yang jadi pembuka artikel ini, beliau mengatakan, "  Mungkin mereka membayangkan, jangan-jangan KPK lagi menargetkan pejabat-pejabat HMI nih. Kenapa harus cemas dengan KPK? Kalau benar dan tidak bersalah, kan tidak perlu cemas. HMI dan KAHMI harus adil sejak dari pikiran!"

[herulono murtopo/ kompasioner]

HMI vs KPK? Saut Situmorang Tidak Salah


Dunia Hawa - Ucapan  Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (SS) tentang alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berbuntut panjang. Saut,  saat siaran langsung pada sebuah program talkshow di stasiun televisi swasta, mengatakan kalau banyak orang-orang cerdas di HMI ketika menjadi pejabat menjadi korup dan jahat.

Ucapan SS  tersebut membuat HMI terhenyak, tersinggung dan marah besar.  Tak menunggu lama, reaksi massa HMI di lampiaskan dalam aksi yang dilakukan hari ini, Senin (9/5/2016)di depan gedung KPK.  Mereka memaksa masuk untuk bertemu dengan  SS.

Bahkan  PB HMI dan Majelis Nasional KAHMI juga sudah melaporkan Saut ke Markas Besar Kepolisian RI terakit dengan  menurut mereka  fitnah yang dilancarkan SS tersebut.

Kenapa reaksioner?

Kemarahan massa yang tersulut ucapan SS bisa dipahami karena merasa ada fitnahan yang di lontarkan kepada HMI. Sebagai lembaga besar  yang juga melahirkan  orang-orang besar  yang menjabat orang penting di republik ini, HMI merasa dicemarkan namanya.

Barangkali, HMI merasa yang telah berbuat ‘khilaf’ dan menciderai komitmen HMI kan hanya beberapa gelintir orang saja, misalnya Anas Urbaningrum,  Waode, Andi Mallarageng, kenapa korp HMI di seret juga? Bukankah ini, ibarat nila setitik rusak susu sebelangga?

Saya bisa memahami kegundahan dan kegusaran massa tersebut. Tetapi apakah harus dengan  bereaksi anarkis dengan  melempar gedung KPK dan  aksi  mencorat-coret gedung, terutama di bagian logo KPK, menggunakan cat semprot warna oranye?

Massa HMI yang notabene para mahasiswa, agen perubahan, anak-anak muda harapan bangsa ini yang mempunyai tanggungjawab besar dipundaknya untuk menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan, mestinya tidak mudah terprovokasi.

Masih ada cara-cara santun, beradab dan mengundang simpati yang bisa dilakukan misalnya dengan aksi damai  dan mengajak dialog SS dengan cara baik-baik untuk menjernihkan duduk persoalan yang terlanjur di buat keruh tersebut.

Toh, kalau disimak SS juga tidak ngacau sekali atau  asal bicara. Bukankah memang ada alumni HMI yang saat menjadi pejabat merusak susu sebelangga HMI tersebut? Jadi apanya yang salah? 

Alangkah lebih elok jika apa yang disampaikan SS menjadi bahan evaluasi dan oto kritik bagi korp HMI  sehingga ke depan lebih berhati-hati.  Ya, anggap sebagai sentilan sayang seorang yang perhatian terhadap HMI.  Sehingga, sekali lagi untuk berhati-hati melangkah dan mengambil sikap. Terutama bagi anggota HMI yang dipercaya mengemban amanah menduduki  jabatan tertentu di negri ini.

Karena  sesungguhnya menjadi orang besar memang di tuntut tanggungjawab yang besar pula. Jadi, wajar saja jika HMI yang besar tersebut juga mempunyai tanggung jawab besar .

Yuk, salaman. Toh, SS juga sudah minta maaf dan bilang," Saya ucapkan itu di luar alam sadar saya. Jadi, saya harapkan hal itu tidak ditindaklanjuti lebih lanjut. Saya hanya bisa menyimpulkan seperti itu." (kompas.com). Jadi ucapan SS tidak salah, karena diucapkan di luar alam sadarnya. Jangan ada HMI vs KPK-lah.

Begitu sih menurut saya.

[suci handayani harjono/ kompasioner]

Demo Anarkistis HMI di KPK, Massa Serang Polisi dan Lempar Batu


Sejumlah aktivis dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terlibat bentrok dengan pihak kepolisian saat melakukan aksi unjukrasa didepan gedung KPK, Jakarta, 9 Mei 2016

Dunia Hawa - Unjuk rasa massa Himpunan Mahasiswa Islam di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi sudah selesai. Dari pantauan Tempo, akibat aksi demonstrasi anarkistis oleh massa HMI, kondisi muka gedung KPK berantakan. Tulisan "Komisi Pemberantasan Korupsi" dirusak demonstran dengan cara dipereteli dan disemprot cat.

Serpihan bongkahan batu dan kayu berserakan di area depan gedung KPK. Unjuk rasa berlangsung hingga pukul 15.45 WIB, Senin, Mei 2016. Jalur lambat di Jalan Rasuna Said tepat di depan KPK ditutup.

Para demonstran menuntut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang meminta maaf lantaran telah menyatakan pejabat kader HMI erat dengan korupsi. Saut menyatakan ini di siaran televisi TV One, Kamis, 5 Mei 2016. "Saut juga harus ditangkap karena telah menyebar fitnah," ujar koordinator aksi unjuk rasa, Ramodan Reubun.

Unjuk rasa dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Kerusuhan bermula dua jam kemudian, ketika para anggota HMI mulai menyerang barisan polisi. Para demonstran itu lalu mulai melempar bongkahan batu ke arah gedung KPK.

Hujan batu membuat para polisi, wartawan, dan pegawai KPK lari ke dalam gedung. Batu-batu itu menghantam kaca gedung KPK. Kaca pos keamanan dan pagar samping gedung KPK pecah. Anggota Sabhara kepolisian, Ahyar, terluka di bagian kepala.

Sejam sebelum unjuk rasa berlangsung, Saut meminta maaf lewat konferensi pers. "Terkait dengan pernyataan dalam acara di sebuah stasiun TV yang menyebut nama HMI, saya perlu mengklarifikasi. Saya tidak bermaksud menyinggung HMI. Saya mohon maaf. Saya menyampaikan itu di alam bawah sadar saya," ujar Saut.

[muhamad rizky/tempo.co]

HMI (Mungkinkah) Salah Memahami Pernyataan Saut?


Dunia Hawa - Kalimat Saut Situmorang (SS) ini  "...Saya selalu bilang, kalau di HMI minimal dia ikut LK-1. Iya kan? Lulus tuh, yang anak-anak mahasiswa itu. Tapi, begitu begitu dia menjadi menjabat, dia jadi jahat, curang, greedy..." berbuntut masalah. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai pihak yang disunggung dalam pernyataan SS tersebut merasa dicemarkan nama baiknya dan atau difitnah. 

Kalau hanya melihatnya dari rangkaian kalimar yang sebegitu saja memang akan muncul kesan yang SS maksudkan dengan "dia" itu adalah "anak-anak mahasiswa (HMI) itu". Padahal menurut yang saya tangkap dan pahami dari keseluruhan rangkaian perkataan SS dari awal hingga akhirnya secara utuh dan denganmelihat konteks pernyataannya, yang dimaksud oleh SS sebagai "dia" itu adalah bukan "anak-anak mahasiswa (HMI) itu" . Melainkan "tokoh-tokoh politik". Kalimat "...kalau di HMI minimal dia ikut LK-1. Lulus tuh, anak-anak mahasiswa itu..." hanyalah contoh dari perkataan SS yang sebelumnya, yang berbunyi, "...Liat aja lagi tokoh-tokoh politik. Itu orang-orang pinter semuanya. Orang-orang itu orang-orang cerdas...". Nah itu lah si "dia" yang SS maksudkan. Dan setelah pernyataan itu barulah ke pernyataan "...kalau di HMI..." tadi itu. 

Apabila pernyataan "...kalau di HMI minimal dia ikut LK-1. Lulus tuh, anak-anak mahasiswa itu..." dipadukan dengan pernyataan SS yang sebelumnya itu tadi, "...Liat aja lagi tokoh-tokoh politik itu. Orang-orang pinter semuanya. Orang-orang itu orang-orang cerdas..." maka akan dengan mudah kita pahami bahwa disinggungnya "...anak-anak mahasiswa (HMI).." dalam pernyataannya SS adalah dalam rangka memberi contoh tentang kepintaran dan kecerdasannya tokoh-tokoh politik ketika masih bersekolah dulu. Tokoh-tokoh politik kan tidak pasti atau tidak mutlak dari HMI toh? Nah sampai sini, bagi saya jelas, disinggungnya soal HMI dalam pernyataan SS bukan dalam konteks negatifnya. Justru sebaliknya, SS menaruh pandangan positif pada program LK-1 HMI. Hanya saja, karena tidak jarang ketika seseorang berbicara rada cepat itu melupakan pada pentingnya kaidah-kaidah intonasi dan penggalan kalimat, hubungan kontekstual per kalimat sering kali tidak begitu jelaa tertangkap dan terpahami. Sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan pahaman

Demikian sedikit sharing dari saya berdasarkan sudut pandang dan pemahaman yang saya tangkap dari pernyataan SS yang memicu kontroversi dan demo ricuh di gedung KPK.

[a jul/ kompasioner]