Sunday, May 8, 2016

Pemikiran Agama Abad Pertengahan


Dunia Hawa - Muslim jadi walikota London itu produk demokrasi modern. Melarang pemeluk agama lain jadi pemimpin itu pemikiran Abad Pertengahan.

Orang orang yang melarang pemeluk agama lain jadi pemimpin pemerintahan itu badannya di masa kini, tapi kepalanya tertinggal di Abad Pertengahan.

Tidak mau memilih pemimpin beda agama itu hak, sah dlm demokrasi. Tapi kampanye pengharaman pemimpin beda agama itu anti demokrasi.

Musuh demokrasi modern bukan hanya otoritarianisme, tapi juga pemikiran agama Abad Pertengahan. 

Yang diperlukan sekarang adalah kontekstualisasi pemahaman agama sehingga agama tetap nyambung dengan semangat zaman. Ini bukan mengorbankan agama agar ikut perubahan zaman. 

Tapi ini:

Dalam Islam, ada aturan aturan yang sifatnya permanen: ranah ibadah (ritual). Ranah ini tetap, tak berubah di manapun kapanpun. Tapi ranah yang permanen tersebut sebenarnya sangat terbatas. Nah di luar itu, yakni soal soal politik, sosial, ekonomi, keluarga dan lain lain aturan aturan Islam bersifat fleksibel, harus dipahami secara kontekstual dan disesuaikan dengan dinamika sejarah dan tuntutan zaman, tapi tetap dengan bersandar pada tolok ukur utama: maslahat umum dan keadilan.. Inilah prinsip yang mendasari "Islam Nusantara Berkemajuan."

[ahmad sahal]

Ketika Lidah Saut Situmorang Berubah Jadi Sembilu


Dunia Hawa - INDONESIA bukan cuma berisi cecunguk dan begundal. Dibandingkan dengan orang baik, jujur, berintegritas, dan teruji sebagai tokoh yang kompeten serta kapabel memimpin bangsa ini, jumlah para cecunguk dan begundal tidak seberapa.

Di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), misalnya, tidak sedikit petinggi yang punya integritas sangat tinggi, dan tidak terpancing melakukan politicking, apalagi mempolitisasi kasus korupsi yang dilakukan secara personal. Sosok yang berintegritas sangat tinggi itu, bernama Abdullah Hehamahua – mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Track record-nya sejak jaman mahasiswa sebagai insan anti korupsi di garis depan, amat sangat teruji.

Jauh sebelum bergabung di KPK, Abdullah Hehamahua menunjukkan integritasnya yang prima. Lelaki berjenggot putih, ini tak dikehendaki oleh sejumlah anggota DPR RI di Komisi III, yang melakukan fit and proper calon komisioner/pimpinan KPK. Alasannya: keder! Mereka kuatir kalau Abdullah Hehamahua menjadi komisioner dan pimpinan KPK, beliau tak pernah segan dan tanpa tedeng aling-aling dalam mencegah dan memberantas korupsi.

Dibandingkan dengan Abdullah Hehamahua, dalam banyak hal, Saut Situmorang – Komisioner KPK yang belakangan mulai nampak ‘bermain politik,’ menebar ‘politicking’ dengan posisinya sebagai Wakil Ketua KPK ‘gak ada apa-apanya.’ Saut belum teruji.

Ketika Saut baru lulus SD Katholik Makmur di Medan (1972) – SMPN 461 di Medan (1975) – SMA Medan Putri di Medan (lulus 1979), Abdullah Hehamahua sudah menunjukkan integritas dirinya.

Eh, tiba-tiba, Saut yang lulusan Universitas Padjadjaran – Bandung (1985) secara eksplisit dan tendensius menuding, para alumni HMI sangat korup dan jahat ketika menjabat.

Saut yang lulus S2 di Universitas Krisnadwipayana dan S3 di Universitas Persada Indonesia (2014) dan selama beberapa tahun menjadi petinggi BIN (Badan Intelijen Negara), itu Kamis malam tampil sebagai nara sumber di acara Benang Merah – TVOne, mengambil tajuk “Harga Sebuah Perkara.” Di situ dia berbicara bersama Hakim Agung Gayus Lumbun dan mantan Hakim Asep Iriawan.

Tiba pada gilirannya, dia berbicara ke sana ke mari, ihwal kondisi masyarakat Indonesia secara sosiologis yang berujung pada dimensi peradaban masyarakat yang mengubah karakter orang yang mudah tergiur melakukan tindakan korupsi. Secara khas dan eksplisit, Saut mengambil HMI sebagai amsal (contoh).

“Mereka orang-orang cerdas ketika mahasiswa, kalau HMI minimal LK 1, tapi ketika menjadi pejabat mereka korup, sangat jahat, culas, dan licik,” kata Saut secara aksentuatif. Ketika itu, dalam sekejap, Saut sudah melakukan stigmatisasi dan pembunuhan karakter atas organisasi HMI, yang seolah-olah melahirkan alumni yang korup dan sangat jahat.

Langsung tak langsung, Saut sedang mengandaikan, seluruh mantan aktivis HMI yang sedang menjalankan fungsi sebagai Pejabat Negara (termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri, sejumlah pemimpin lembaga tinggi negara dan lembaga negara) adalah koruptor dan penjahat.

Saut yang usai terpilih sebagai salah satu pimpinan KPK menjanjikan hal yang merisaukan kalangan penggiat korupsi – antara lain mengabaikan kelanjutan kasus BLBI, FPJP dan Bank Century, serta berpikiran kasus-kasus semacam itu malah bisa menimbulkan korupsi baru – itu, nampak sadar menyebut HMI sebagai contoh. Secara psikologis, dia sudah memasukkan (alumni) HMI di dalam benak dan mindset-nya sebagai sasaran pemberantasan korupsi.

Tak bisa dipungkiri, beberapa oknum alumni HMI, memang tersandung kasus rasuah ketika sedang menjadi pejabat negara. Jumlah mereka itu hanya segelintir dibandingkan dengan jutaan mantan aktivis HMI yang minimal pernah mengikuti LK I. Kejahatan itu mereka lakukan secara personal.

Dan mantan aktivis mahasiswa yang tersandung kasus rasuah juga tak sedikit, datang dari berbagai organisasi lain, seperti GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan berbagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan lain.

Segelintir mantan aktivis mahasiswa dari semua organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, termasuk organisasi mahasiswa kedaerahan yang tergelincir dalam kasus rasuah kala menjadi pejabat, tak serta merta identik dengan sistem perkaderan yang mereka ikuti di organisasi kemahasiswaan. Kejahatan itu mereka lakukan tak terkait dengan organisasi kemahasiswaan tempat mereka menempa diri.

Pola fikir dan sikap semacam yang tercermin dari pernyataan Saut Situmorang, ini sangat berbahaya, karena dapat menyeret KPK ke ranah politicking atau politisasi. Padahal KPK merupakan institusi penegakan hukum yang harus sungguh berpijak pada kaidah-kaidah, norma, dan aturan hukum. Bukan politik.

Pernyataan Saut juga berbahaya karena secara etimologi, logika dan psikologi bahasa, mengesankan, seolah-olah seluruh pejabat yang pernah menjadi anggota dan mengikuti training (latihan kepemimpinan) mahasiswa adalah korup dan jahat. Ekspresi yang menyertai pernyataan Saut, dari aspek psikologi komunikasi, secara penetratif menimbulkan impresi negatif di kalangan khalayak (di dalam studio) dan khalayak pemirsa yang menonton siaran itu. Pernyataan Saut itu merupakan pernyataan jahat yang secara sadar dan sengaja disampaikannya kepada publik.

Dari sisi momentum, pernyataan itu nampak sengaja dikemukakannya, menyusul isu-isu aktual tentang Sumber Waras, Reklamasi, Islah nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP), politik transaksional Munaslub Partai Golkar, Kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan lain-lain. Sekaligus ketika sedang berlangsung polemik tentang kualifikasi muslim – non muslim dalam proses rekrutmen kepemimpinan daerah (Pilkada) dan pejabat negara.
Pernyataan jahat itu juga dinyatakan bertepatan dengan Rapat Koordinasi Nasional KAHMI (Korps Alumni HMI) dan terkesan ingin menyatakan secara luas kepada publik bahwa KAHMI merupakan ancaman nasional. Apalagi, KAHMI saat ini sedang memperjuangkan pendiri HMI – Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional.

Implikasi politik pernyataan jahat Saut yang mengandung unsur SARA itu, sangat berbahaya, sama dan setara dengan taktik dan strategi CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) – salah satu underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) di dekade 60-an. CGMI sangat gencar mengeluarkan pernyataan jahat dan menebar HMI-phobia sebagai bagian dari Islamophobia (ketakutan terhadap Islam).

Bila dibiarkan, akan menimbulkan implikasi ganda. Pertama, membiarkan kejahatan lisan (abuse of tounge) – yang mencerminkan abuse of power — dan kebencian terhadap salah satu komponen dan eksponen bangsa yang mendorong perpecahan nasional. Kedua, mendiamkan hal tersebut dapat menyuburkan presumsi, bahwa kini sedang berlangsung secara sistemik upaya memicu islamophobia, yang dapat menghambat aksi pembangunan nasional.

Saut sebagai mantan intelijen – meskipun dia dosen – kudu belajar tentang komunikasi dasar menyatakan pendapat di media televisi. Karena kamera studio, lawan bercakap, penonton, dan lelampuan dapat membuat seseorang, secara kejiwaan mengalami hilang akal. Terutama, karena dengan durasi program terbatas dia harus cerdas secara nalar, bijak secara nurani, peka menjaga audience sense – yang tak dikenalinya –, dan kondisi indra yang prima.

Tak pandai mengelola lidah, presumsi tersimpan di dalam benak, muncrat tak terkendali. Implikasinya: lidah berubah menjadi belati dan sembilu, menoreh luka di perasaan jutaan orang.

N Syamsuddin Ch. Haesy
Sastrawan, Alumni HMI