Friday, May 6, 2016

Hukum Oral Seks dalam Islam


Dunia Hawa - Hubungan suami istri dalam Islam berlandaskan atas firman Allah: ”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman." Penggalan "Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki" diparameteri oleh Hadits Nabi bahwa  semua cara boleh namun tidak boleh memasukkan zakar dalam anus atau dubur yang dengan demikian menjadi haram hukumnya. 

Maka tiba masalah datang kepada suami istri yang menggebu-gebu syahwatnya sehingga tergoda untuk melakukan oral seks. Ternyata Islam sudah melakukan kajian hal yang baru-baru saja sangat santer karna koneksi internet menembus seluruh sudut kehidupan kita yang menyambungkan dua kutub timur dan barat. 

Mayoritas ulama yang melakukan pembahasan tentang hukumnya dalam Islam bervariasi dari boleh sampai makruh, hanya sedikit dari mereka yang mengatakan haram karna belum ada dalil yang mengharamkanya. Persetubuhan suami istri dalam Islam adalah sedekah, bersenang-senang antar suami istri adalah sedekah, sehingga pemanasan sebelum babak yang sesungguhnya dimulai menjadi suatu hal yang dianjurkan agar tidak ada fihak yang disakiti karna belum keluarnya "pelumas" dari kemaluan istri. 

Pemananasan dalam hubungan suami istri adalah hal yang penting agar cara kita melakukannya tidak menyamai cara binatang yang tidak menggunakan unsur-unsur perasaan dalam bercinta. Mana ada binatang yang melakukan fore play dengan menghisap zakar pasangannya?. 

Yusuf Qardhawi dalam menjawab masalah ini mengatakan membolehkan Oral Sex bagi pasutri dan ketika Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”, maka beliau menjawab: “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. 

Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.” “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. 

Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.” Pendapat yang hampir sama namun lebih konprehensif datang dari Syaikh Musa Hasan Mayan,beliau menjawab pertanyaan serupa dengan mengatakan: “Tidak mengapa melakukan seperti itu. 

Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus  mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. 

Kebenaran adalah di sisi Allah." Hal yang perlu diperhatikan dalam oral sex adalah kebersihan organ vital ,  agar pasangan yakin dengan kebersihannya karna alat vital adalah tempat keluarnya najis karna itu ada pendapat yang sampai mengharamkannya berdasarkan alat vital adalah tempat keluarnya najis ini, namun amat lemahlah pendapat ini karna najis memang harus selalu dibersihkan di mana mana tempat dan ketika sudah dibersihkan maka hal itu sudah menjadi suci. Kemudian agar diketahui untuk tidak menelan cairan madzi, madzi adalah cairan yang keluar sebelum sperma. 

Seluruh ulama berpendapat bahwa madzi adalah najis yang sama sekali berbeda dengan sperma. Namun demikian jika dalam sarana oral seks ini ada unsur penyakit yang membahayakan maka hukum yang mayoritas membolehkan bisa menjadi haram hukumnya atas  dasar kaidah ushul fiqh berdasar hadist nabi: لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ "Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya." (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Jika anda masih tetap ragu  terhadap hukumnya namun sangat ingin melakukannya terhadap suami /istri anda maka sebaiknya meninggalkan keraguan dan menetapkan hati untuk melakukannya dengan dasar menyenangkan suami ataupu sebaliknya adalah sedekah hal mana lebih baik dari pada masuk dalam jurang perzinahan Nauzu billahi min zaalik ,  perintah nabi Da’maa yuribuuka ila maa laa yuribuka” (tinggalkan hal-hal yang meragukanmu dan pilihlah sesuatu yang tidak meragukanmu . 

Dan ketika agama mendiamkannya tanpa ada dalil yang jelas mengharamkannya sebaiknya kita ambil kesempatan ini dan tidak banyak bertanya karna dari banyak bertanya akan menyusahkan diri kita sendiri sebagaimana firman Allah YA AYYUHA ALLADZINA AMANU. LA TAS'ALU 'AN ASY-YAA IN TUBDA LAKUM TASUKKUM ( wahai orang-orang yang beriman janganlah menanyakan hal-hal yang bila diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan (QS al-Maidah :101) Wallahu a'lam bisshowab. 

[nurkholis ghufron/ kompasioner]

Memuaskan Suami saat Haid


Dunia Hawa - Ada seribu cara untuk memuaskan suami ketika istri sedang haid. Karena islam tidak menghukumi fisik wanita haid sebagai benda najis yang selayaknya dijauhi, sebagaimana praktek yang dilakukan orang yahudi. Anas bin Malik menceritakan,

أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوهن في البيوت فسأل الصحابة النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل الله تعالى : ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض…

Sesungguhnya orang yahudi, ketika istri mereka mengalami haid, mereka tidak mau makan bersama istrinya dan tidak mau tinggal bersama istrinya dalam satu rumah. Para sahabatpun bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian Allah menurunkan ayat, yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu kotoran, karena itu hindari wanita di bagian tempat keluarnya darah haid…” (Surat Al-Baqoroh).

Dengan demikian, suami masih bisa melakukan apapun ketika istri haid, selain yang Allah larang dalam Al-quran, yaitu melakukan hubungan intim.

3 Macam Interaksi Intim Suami dan Istri Ketika Haid

Ada 3 macam interaksi intim antara suami & istri ketika haid:

Pertama, interaksi dalam bentuk hubungan intim ketika haid. Perbuatan ini haram dengan sepakat ulama, berdasarkan firman Allah,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

Orang yang melanggar larangan ini, wajib bertaubat kepada Allah, dan membayar kaffarah, berupa sedekah satu atau setengah dinar. Keterangan tentang ini bisa anda simak di: Hukum Berhubungan Badan setelah Haid Berhenti tetapi Belum Mandi Wajib

Kedua, interaksi dalam bentuk bermesraan dan bercumbu selain di daerah antara pusar sampai lutut istri ketika haid. Interaksi semacam ini hukumnya halal dengan sepakat ulama. A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حِضْتُ يَأْمُرُنِي أَنْ أَتَّزِرَ، ثُمَّ يُبَاشِرُنِي

Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku. (HR. Ahmad 25563, Turmudzi 132 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Maimunah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercumbu dengan istrinya di daerah di atas sarung, ketika mereka sedang haid. (HR. Muslim 294)

Ketiga, interaksi dalam bentuk bermesraan dan bercumbu di semua tubuh istri selain hubungan intim dan anal seks. Interaksi semacam ini diperselisihkan ulama.

1. Imam Abu Hanifah, Malik, dan As-Syafii berpendapat bahwa perbuatan semacam ini hukumnya haram. Dalil mereka adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keterangan A’isyah dan Maimunah.

2. Imam Ahmad, dan beberapa ulama hanafiyah, malikiyah dan syafiiyah berpendapat bahwa itu dibolehkan. Dan pendapat inilah yang dikuatkan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/205).

Diantara dalil yang mendukung pendapat kedua adalah

a. Firman Allah

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari Al-Mahidh..”

Ibn Utsaimin mengatakan,

Makna Al-Mahidh mencakup masa haid atau tempat keluarnya haid. Dan tempat keluarnya haid adalah kamaluan. Selama masa haid, melakukan hubungan intim hukumnya haram. (As-Syarhul Mumthi’, 1/477)

Ibn Qudamah mengatakan,

فتخصيصه موضع الدم بالاعتزال دليل على إباحته فيما عداه

Ketika Allah hanya memerintahkan untuk menjauhi tempat keluarnya darah, ini dalil bahwa selain itu, hukumnya boleh. (Al-Mughni, 1/243)

b. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat menanyakan tentang istri mereka pada saat haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah.” (HR. Muslim 302).

Ketika menjelaskan hadis ini, At-Thibi mengatakan,

إِنَّ الْمُرَادَ بِالنِّكَاحِ الْجِمَاعُ

“Makna kata ‘nikah’ dalam hadis ini adalah hubungan intim.” (Aunul ma’bud, 1/302)

Hubungan intim disebut dengan nikah, karena nikah merupakan sebab utama dihalalkannya hunungan intim.

c. Disebutkan dalam riwayat lain, bahwa terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan praktek yang berbeda seperti di atas.

Diriwayatkan dari Ikrimah, dari beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد من الحائض شيئا ألقى على فرجها ثوبا

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak melakukan hubungan intim dengan istrinya yang sedang haid, beliau menyuruhnya untuk memasang pembalut ke kemaluan istrinya.” (HR. Abu Daud 272 dan Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan: Sanadnya kuat).

Onani Bukan Solusi

Memahami hal ini, selayaknya suami tidak perlu risau ketika istrinya haid. Dan jangan sekali-kali melakukan onani tanpa bantuan tubuh istri. Mengeluarkan mani dengan selain tubuh istri adalah perbuatan yang terlarang, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan kriteria orang mukmin yang beruntung,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ . فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun: 5 – 7)

Diantara sifat mukminin yang beruntung adalah orang yang selalu menjaga kemaluannya dan tidak menyalurkannya, selain kepada istri dan budak wanita. Artinya, selama suami menggunakan tubuh istri untuk mencapai klimaks syahwat, maka tidak dinilai tercela. Berbeda dengan “orang yang mencari selain itu”, baik berzina dengan wanita lain, atau menggunakan bantuan selain istri untuk mencapai klimaks (baca: onani), Allah sebut perbuatan orang ini sebagai tindakan melampaui batas.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Foto Pernikahan Dari Suriah


Dunia Hawa - Perdamaian adalah sesuatu yang kita selalu sepelekan nilainya sampai kita kehilangannya. Bangsa Suriah saat ini mungkin yang paling tau persis betapa berharganya sebuah perdamaian setelah sekian tahun perang berkecamuk di negaranya.

Karena ketika sekelompok orang mengobarkan perang entah itu terhadap pemerintah, atau terhadap kelompok lain demi melayani kepentingan politik & ekonomi para Elit, adalah rakyat kecil yang kerap membayar harga paling mahal.

Bila terjadi konflik, bukan kader parpol provokator yang saling bacok, bukan ulama penghasut permusuhan yang saling gorok, bukan bos pemilik media-media pengujar kebencian yang akan berdarah, tapi rakyat jelata.

Ratusan ribu pengungsi Suriah mempertaruhkan nyawa berakit-rakit mengarungi laut kabur ke Eropa mencari suaka dari negara-negara Barat yang katanya negeri para "Kafir". 

Kenapa? Karena di negeri para "Kafir" ini mereka justru bisa menemukan kestabilan keamanan, penghargaan tinggi terhadap nyawa orang, dan tentunya kedamaian,, yang justru akhir-akhir ini ironisnya sulit ditemui di negara mayoritas Muslim.

Negara mayoritas Muslim saat ini malah identik dengan konflik berdarah, perang saudara, bunuh-bunuhan, gorok-menggorok leher, padahal katanya Islam "Agama Damai", namun realitanya saat ini Islam seolah-olah benci perdamaian.

Oknum ormas Islam, oknum Ulama, oknum kelompok Muslim di tanah air berlomba-lomba mengibarkan panji Islam menghasut permusuhan mengobarkan perang terhadap pemerintah, terhadap non muslim, terhadap etnis Tionghoa belajar dari senior-seniornya di Arab sana.

Persetan dengan citra Islam yang semakin terpuruk semakin jauh dari kesan "agama damai", malah semakin menguatkan tuduhan "Islam Agama Teroris", tapi apa peduli mereka? ..yang penting onani enak sendiri.

Jadi tidak perlu aneh bila oknum kelompok Muslim ini siap mempertaruhkan keutuhan bangsa, siap menumpahkan darah saudara sebangsa.. terhadap agamanya sendiri saja mereka siap mengencingi reputasi Islam dan membuangnya ke comberan.

Indonesia juga negara mayoritas Muslim. Mungkin ini alasannya mereka begitu gencar provokasi konflik horisontal, karena kelompok Muslim yang klaim paling Islam paling murni akidahnya (yang lain kafir) ini ingin Indonesia perang saudara mengikuti jejak Libya dan Suriah.

Karena kelompok ini benci bila Islam identik dengan damai, dan mereka ingin melegalisir reputasi "Islam Agama Teroris" agar tercatat dalam sejarah menjadi gelar resmi bagi agama Islam, yakni agama barbar, bengis, haus darah & kejam.

Apakah kita bangsa Indonesia harus terima nasib jadi "Negara Konflik" hanya karena bangsa ini mayoritas Muslim? Karena negara mayoritas Muslim harus identik dengan perang berdarah & tidak ada kedamaian?

Semua ada di tangan anda-anda sekalian.

[Ustad Abu Janda al-Boliwudi]

Tuhan pun Mau Diajak Bernegosiasi


Tuhan pun mau diajak bernegosiasi: hikmah isra-mi'raj

Dunia Hawa - Dua sifat Allah yang saling berkaitan erat: jamaliyah dan jalaliyah. Allah yang Maha Pengampun dan Penyayang serta Maha Lemah Lembut adalah cerminan sifat Jamaliyah; sedangkan Allah yang Maha Besar, Maka Kuat, Maha Kuasa merupakan contoh sifat Jalaliyah. 

Melalui sifat Jamaliyah ini Allah berkenan berdialog bahkan bernegosiasi dengan makhluk ciptaanNya. Jadi kalau ada hambaNya yang keras kepala, tidak mau kompromi dan tidak bisa diajak bernegosiasi sedikitpun maka orang tersebut perlu belajar melembutkan hatinya dengan menyimak kisah Isra-Mi'raj.

Dalam peristiwa Mi'raj, Anas bin Malik menyebutkan, "Nabi SAW bersabda: "Kemudian Allah 'azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, 'Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? 'Aku jawab: 'Shalat lima puluh kali.' Lalu dia berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup! ' Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. 

Tapi Musa berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.' Aku lalu kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.' Kemudian aku kembali menemui Musa, ia lalu berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.' Maka aku kembali menemui Allah Ta'ala, Allah lalu berfirman: 'Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku! ' Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu!' Aku katakan, 'Aku malu kepada Rabbku'.

(Shahih Bukhari, Hadis Nomor 336 dan 3094; Shahih Muslim, Hadis Nomor 237)

Para ulama terpesona membaca kisah di atas: bagaimana mungkin sebuah perintah Allah, belum dilaksanakan pun, sudah bisa dinegosiasi? Ini semua tidak mungkin terjadi kalau Allah tidak menampakkan belas-kasihanNya kepada umat Muhammad SAW. Nabi Musa, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, terus meminta Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk bernegosiasi, sampai Nabi sendiri akhirnya merasa malu untuk kembali. 

Bercermin dari sikap Nabi, ya begitulah salah satu adab para salik: Allah terus menawarkan rahmatNya sampai para salik sendiri menjadi malu dan merasa cukup. Ya Rabb, rahmatMu terus mengalir ke bumi, padahal dosa-dosa kami terus naik ke langit. Engkaulah Rabb yang kasih sayangMu melebihi murkaMu. Astaghfirullah...

Kalau kisah di atas belum juga mampu meruntuhkan tembok ego diri kita yang ngeyel dan ngotot untuk tidak mau berkompromi soal pelaksanaan Syariat, maka tengoklah kisah Nabi Ayub yang kelepasan bersumpah mencambuk istrinya seratus kali. Nabi Ayub kemudian menyesal seraya teringat kembali bakti sang istri. Beliau kebingungan karena sumpah harus dilaksanakan.  

Tafsir Ibn Katsir menceritakan bagaimana Allah memberikan petunjuk melalui wahyu-Nya yang menganjurkan kepada Nabi Ayub untuk mengambil lidi sebanyak seratus buah yang semuanya diikat dijadikan satu, lalu dipukulkan 100 lidi kepada istrinya sekali pukul. Dengan demikian, berarti Ayub telah memenuhi sumpahnya dan tidak melanggarnya serta menunaikan nazarnya itu. 

Hal ini adalah merupa­kan jalan keluar yang Allah berikan: ketimbang seratus kali mendera, maka cukup seratus lidi digabung jadi satu dan dipukulkan sekali. Luar biasa, bukan? Allah 'mengajari' Nabi Ayub untuk 'mengakali' sumpahnya tanpa harus melanggar esensi sumpah. Allah mengajari Nabi Ayub akan maqashid al-syari'ah.

(Catatan: sebelum ada yang kebakaran jenggot dan menuduh Ibn Katsir dan saya sebagai liberal atau syi'ah, saya persilakan untuk membaca kisah Nabi Ayub di atas dalam QS Shad:44). 

Begitulah....Allah pun begitu lentur, fleksibel, dan negotiable terhadap aturanNya. Syariat sebagai cerminan sifat Jalaliyah Allah, memang harus digandeng dengan Tasawuf sebagai perwujudan sifat Jamaliyah Allah. Kalau Allah saja mau berkompromi dan bernegosiasi, masihkah hati anda keras seperti batu? Lantas bagaimana kita mau mi'raj kalau terus kita bawa kekerasan hati ini? 

Ya Lathif, Ulthuf bina....

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand

Hijab Kristen dan Yahudi


Dunia Hawa - Postingan ini khusus untuk teman-teman Muslim dan Muslimah di Indonesia yang hobi mengklaim bahwa tradisi hijab itu "eksklusif Islam." Karena "gagal paham" menganggap atau bahkan berkeyakinan bahwa hijab adalah "properti" umat Islam belaka, maka tidak jarang mereka sering "sensi", ngamuk, dan "mayah-mayah" kalau melihat non-Muslim memakai jilbab seraya menuduh mereka telah melecehkan dan menghina Islam. Atau, jika tidak, mereka menganggap kaum non-Muslimah yang "ujug-ujug" (tiba-tiba) berjilbab "sudah mendapat hidayah". 

Sudah sering saya bilang bahwa, dalam konteks sejarah, tradisi hijab itu sudah ada jauuuhhhh sebelum Islam lahir di Mekah. Tradisi berhijab ini, misalnya, sudah dipraktekkan oleh masyarakat Assyria kuno ribuan tahun sebelum "bayi Islam" lahir di abad ke-6/7 M. Di kemudian hari, umat Yahudi dan Kristen (yang sama-sama lahir di Timur Tengah) melanjutkan tradisi ini seperti disebutkan dalam berbagai kitab suci mereka. 

Belakangan, "si bungsu" Islam juga ikut-ikutan "kakak-kakak" mereka. Dalam sejarahnya, peradaban Byzantium dan Persia-lah yang memperkenalkan tradisi hijab ini ke komunitas Arab. Jika kini kita melihat banyak umat Kristen dan Yahudi yang tidak berhijab itu semata-mata lantaran proses sejarah dimana kedua agama ini sudah lama mengalami "proses pembaratan", sesuatu yang tidak dialami oleh Islam.  

Dua Perempuan Irak, Muslim dan Kristen

Karena tradisi hijab ini juga menjadi bagian dari sejarah, tradisi, dan kebudayaan umat Kristen dan Yahudi, maka tidak mengherankan jika ada sejumlah kelompok agama Kristen dan Yahudi masa kini yang masih memelihara dan mempraktekkan tradisi hijab ini seperti komunitas Kristen / Katolik Ortodoks di berbagai negara, belum termasuk kaum perempuan Arab Kristen di Timur Tengah seperti Lebanon, Suriah, Iraq, Palestina, Mesir, Yordania, dlsb. Foto di bawah ini hanyalah sekelumit contoh dari penampilan kaum perempuan Kristen di Irak yang tidak hanya berhijab tetapi juga sepertinya sambil menenteng Kitab Injil berbahasa Arab.  

Begitu pula, komunitas Yahudi juga banyak yang berhijab (bahkan berniqab / berburqa seperti kaum Muslimah Saudi atau Qatar) seperti kelompok Sekte Burqa Heradi di Israel misalnya. Mereka menyebutnya "frumka" yang diperkenalkan oleh Bruria Keren, seorang tokoh agama Israel yang mengklaim bahwa tradisi hijab itu aslinya dari Yahudi, dan karena itu ia mengkampanyekan perempuan Yahudi untuk berhijab. Selain komunitas Yahudi Heradi, juga ada sekte Yahudi Lev Tahor di Quebec, Kanada (seperti foto di bawah ini) yang mengajarkan dan mempraktekkan tradisi hijab. Silakan diperhatikan dengan baik dan seksama tata-busana dari "kakak pertama" Yahudi dan "kakak kedua" Kristen ini. Sama persis kan dengan ukhti/ikhwat Muslimah?  

Nah sekarang, saya tanya: hijab itu properti siapa, hayo?

[prof.sumanti al qurtuby]