Tuesday, May 3, 2016

Umar Patek dan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf


Dunia Hawa - Lima tahun lebih sejak penangkapannya oleh aparat keamanan Pakistan di kota Abbottabad, Hisyam bin Ali Zein atau yang dikenal dengan nama Umar Patek telah banyak berubah.

Umar ditangkap 25 Januari 2011 atau empat bulan sebelum pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, terbunuh dalam operasi penyerbuan pasukan elite Amerika Serikat, Navy SEALs, di kota yang sama.

Umar menjalani pidana 20 tahun penjara karena terlibat peristiwa bom Bali I tahun 2002. Kini, dia menjadi salah satu narapidana terorisme yang dapat dideradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.


Momen saat Umar menjadi pengibar bendera Merah Putih dalam upacara hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun lalu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Porong, Sidoarjo Jawa Timur, ramai diberitakan.


Setelah peristiwa bom Bali I, Umar langsung pergi ke Filipina Selatan bergabung dengan Kelompok Abu Sayyaf.

Dia di Filipina hingga tahun 2009 sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada awal tahun 2010 dan kemudian ditangkap di Pakistan setahun kemudian.


Kabar penyanderaan 10 warga negara Indonesia oleh Kelompok Abu Sayyaf di Pulau Sulu, Filipina, mengusik Umar. Dia menyatakan bersedia membantu upaya negosiasi Pemerintah Indonesia dengan Abu Sayyaf.

Rabu (6/4), Umar yang ditemui di Lapas Porong menuturkan, dirinya mengenal baik pimpinan Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI anak buah kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Umar pernah bergabung dengan kelompok tersebut dari tahun 2003 hingga 2009.

Puncaknya, ia pernah didapuk sebagai salah satu anggota Majelis Syura Abu Sayyaf di bawah pimpinan Khadaffy Janjalani pada 2005-2006.

Majelis syura diemban tokoh-tokoh senior dan berpengaruh Abu Sayyaf. Jabatan itu berperan penting dalam menentukan kebijakan kelompok tersebut.

Pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI ialah Al-Habsi Misaya dan Jim Dragon alias Junior Lahab.

Ketika masih bergabung dengan Abu Sayyaf, Umar mengungkapkan, Jim dianggap sebagai tokoh senior yang setara dengan dirinya, sedangkan Al-Habsi masih anggota yunior.

Kala itu, Al-Habsi lebih banyak bertugas melakukan dokumentasi terhadap aksi pembunuhan sandera, misalnya terhadap tujuh pekerja asal Filipina pada 2007.

"Saya mengenal baik mereka. Dengan berdasarkan rasa kemanusiaan, saya menawarkan diri membantu pemerintah karena imbauan Pemerintah Indonesia melalui bantuan Pemerintah Filipina tidak akan efektif. Abu Sayyaf menganggap Filipina sebagai musuh," kata Umar.

Ia menambahkan, posisi tawar 10 WNI cukup besar. Sebab, mereka berasal dari Indonesia yang notabene negara Muslim dan menjunjung tinggi keragaman agama.

Selain itu, Al-Habsi dan Jim juga dinilai sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lunak dan terbuka berkomunikasi serta tidak berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah.

"Insya Allah, keberhasilan negosiasi ini sampai 80 persen. Kemungkinan besar mereka tidak mengetahui bahwa 10 sandera itu berasal dari Indonesia sehingga saya bisa memberikan pengertian kepada mereka," kata Umar yang pernah menjadi bagian dari 24 kelompok Abu Sayyaf dan berperang dengan pasukan gabungan Filipina dengan Amerika Serikat di Talayan, Pulau Sulu, Filipina, pada 2005.

Pada 2003, seorang WNI, Zulkifli, menjadi salah satu sandera Abu Sayyaf dan dibebaskan setelah mengetahui ia berasal dari Indonesia.

Lebih lanjut, Umar juga pernah membujuk pimpinan Abu Sayyaf terkait salah satu sandera, yaitu anggota Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Mary Jean Lacaba, yang bebas dari penyanderaan Abu Sayyaf pada April 2009.

Kala itu, ia meminta pimpinan Abu Sayyaf, Albader Parad, membebaskan Lacaba karena dalam hukum Islam dilarang menyiksa perempuan.

Selain itu, pada medio 2005, Umar pun menghilangkan tradisi penyiksaan terhadap tawanan tentara Filipina. Tradisi itu bertahan setidaknya hingga berakhirnya kepemimpinan dan wafatnya Albader pada 2010.

Negosiasi

Umar mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu Sayyaf.

Kini, Abu Sayyaf telah memberikan batas waktu kedua, yaitu 8 April, untuk memberikan uang tebusan 50 juta peso (Rp 14,3 miliar).

"Mereka melihat keseriusan tahap negosiasi dalam memberikan batas waktu. Apabila hingga batas waktu kedua belum ada langkah nyata untuk penebusan, jelang batas waktu ketiga mereka akan membunuh sandera," ujarnya.

Pembunuhan itu biasanya akan diunggah ke internet.

Dalam artikel "Radical Muslim Terrorism in Philippines" karya Rommel C Banlaoi yang terdapat dalam A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (2009) terungkap bahwa upaya penyanderaan di wilayah laut dengan mematok tebusan jamak terjadi setelah Abu Sayyaf dipimpin Khadaffy Janjalani sejak 1998.

Hal itu disebabkan kurangnya ideologi dan kemampuan kepemimpinan Khadaffy. Ia menggantikan kakaknya yang tewas dalam serangan militer dan polisi Filipina, yaitu Abdurajak Abubakar Janjalani pada Desember 1998.

Menurut Umar, di masa kepemimpinan Abdurajak, Abu Sayyaf mendapat pasokan dana dari Al Qaeda untuk pemenuhan logistik perang.

Namun, setelah ketiadaan Abdurajak, bantuan itu menghilang. Pembajakan dan penyanderaan dipertahankan oleh amir (pimpinan) Abu Sayyaf selanjutnya, seperti Albader (2006-2010) dan Radullan Sahiron (2010-kini).

Abu Sayyaf terdiri dari beberapa majmu'ah (kelompok) yang memiliki kebijakan tersendiri. Meskipun Radullan menjadi pimpinan secara umum, setiap kelompok memiliki pemimpin, salah satunya Al-Habsi dan Jim.

"Penyanderaan itu murni untuk memenuhi kebutuhan logistik setiap kelompok, seperti membeli senjata dan amunisi. Mereka memiliki selera tinggi untuk senjata, sebab hanya ingin senjata buatan Amerika Serikat dan menolak (senjata) buatan Filipina," katanya.

Dilema

Ia menyatakan, upaya pembebasan sandera selalu menyebabkan dilema bagi keluarga korban dan pemerintah.

Korban ingin tebusan diberikan dengan alasan keselamatan, sedangkan pemerintah sebuah negara pasti ingin menjaga harga diri bangsa sehingga menyiapkan serangan militer.

Serangan militer, lanjutnya, justru akan menjadi bumerang. Umar mengungkapkan, Abu Sayyaf akan membawa serta semua sandera ketika bergerilya menghindari serangan militer.

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan sandera akan berisiko menjadi korban serangan militer.

Umar mencontohkan, tiga sandera anggota ICRC, yaitu Lacaba, Andreas Notter, dan Eugenio Vagni, dibawa Albader dan kelompoknya bergerilya sebelum dibebaskan setelah Abu Sayyaf menerima tebusan atas Notter dan Vagni.

Namun, kalau pemerintah tidak tegas bernegosiasi, Abu Sayyaf juga bisa membunuh sanderanya.

"Jangan sampai ada derai air mata dari keluarga korban, keluarga tentara kita, dan negara ini," ujar Umar. 

[MUHAMMAD IKSAN MAHAR] nasional.kompas.com

ISIS, Terorisme dan Islam


Dunia Hawa - Mungkinkah kita mengatakan bahwa Islam tidak terkait sama sekali dengan terorisme? Huruf I pada singkatan ISIS itu kepanjangannya adalah Islam. Pelaku teror anggota ISIS itu secara formal beragama Islam. Dalam aksinya mereka memakai term-term Islam seperti jihad. Mereka juga mengutip ayat-ayat Quran sebagai dasar pembenar tindakan mereka. Lebih penting lagi, sebagian umat Islam mendukung mereka beserta tindakan mereka, secara nyata atau diam-diam.

Saya harus mengakui bahwa ISIS dan berbagai teror yang mereka lakukan, juga berbagai organisasi teroris berikut berbagai aksi teror mereka, adalah bagian dari Islam. Namun harus kita beri catatan, bahwa mereka bukan bagian terbaik, juga bukan bagian yang baik dari Islam. Mereka adalah bagian yang buruk dari Islam. Dapatlah kita katakan bahwa mereka adalah produk gagal dari Islam, produk afkir.

Ada banyak ayat Quran maupun hadist, yang bila diterapkan begitu saja sebagaimana tertulis, akan memicu orang untuk melakukan tindakan keji. Karenanya, ayat-ayat Quran itu harus dibaca dengan pemahaman atas konteksnya, dan diterapkan berbasis pada arus utama ajaran Islam, yaitu kebaikan dan perdamaian.

Sayangnya, ada begitu banyak orang Islam yang begitu terobsesi untuk menjalankan Quran dan hadist secara apa adanya, sesuai yang tertulis. Tak heran, yang mendukung ISIS baik secara terang-terangan maupun diam-diam, adalah orang-orang yang punya obsesi itu.

Quran maupun hadist bertebaran dengan perintah-perintah membunuh dan permusuhan, khususnya kepada Yahudi dan Nasrani. Perintah-perintah itu hidup dalam sanubari umat Islam. Ada yang secara aktif, seperti pada anggota ISIS itu. Ada pula yang pasif, hidup sebagai ajaran yang diimpikan, tapi tidak bisa diterapkan secara aktif, baik karena tidak berani, atau karena tidak memungkinkan untuk dipraktekkan.

Bagi saya, tidak semua ayat Quran itu bisa diterapkan untuk masa kini. Ada banyak yang harus ditinggalkan, karena situasi kita sekarang tidak sama lagi dengan situasi ketika ayat itu diturunkan. Selama seluruh kaum muslimin tidak tegas mengatakan hal ini, maka kita akan selalu menyaksikan berbagai kekejian berlabel Islam. Maka saya memilih untuk mengatakannya dengan tegas, dan terus menerus mengkampanyekannya.

Tentu saya juga tidak serta merta mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor penyebab terorisme. Ada begitu banyak kerumitan, sehingga dalam satu sisi kita bisa mengatakan bahwa Islam maupun kaum muslim adalah korban dari berbagai konspirasi berbasis ketamakan terhadap hegemoni. Tapi sekali lagi, kita juga tidak bisa mengatakan bahwa Islam sama sekali terlepas dari semua itu.

[abdurakhman.com]

Demam Ibadah Individual, Lupa Ibadah Sosial


Salah satu warisan almarhum Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub adalah pemikirannya yang cemerlang. Ia mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual. Berikut kenangan Sumanto al Qurtuby.

Dunia Hawa - Kolom ini saya buat sebagai semacam “in memoriam” untuk mengenang almarhum Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya'qub (1952 – 2016), mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, tokoh Nahdlatul Ulama, dan seorang ulama pakar Hadis dan Ilmu Hadis yang sangat mumpuni dan langka di Indonesia. Ulama kelahiran Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini juga seorang penulis produktif khususnya di bidang hukum Islam, tafsir Al-Qur'an, dan tafsir Hadis.

Salah satu gagasan dan pemikirannya yang cemerlang, bernas, dan patut direnungkan secara mendalam oleh umat beragama adalah tentang merosotnya spirit atau etos “ibadah sosial” dan meningkatnya atau maraknya perilaku “ibadah personal” atau “ibadah individual” khususnya di kalangan umat Islam, lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia.

Menurut Kiai Ali Musthafa yang alumnus Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud dan Universitas King Saud (Riyadh, Arab Saudi) ini, ada dua kategori ibadah dalam Islam, yaitu (1) ibadah qashirah (ibadah individual) yang pahala dan manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja dan (2) ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) dimana pahala dan manfaat ibadahnya tidak hanya dirasakah oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain.

Menurut Kiai Ali, contoh “ibadah individual” ini adalah haji, umrah, puasa, salat, dlsb. Sementara contoh “ibadah sosial” adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, memberi bantuan beasiswa pendidikan, menolong para korban bencana, menggalakkan penanggulangan kemiskinan dan kebodohan, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama umat dan mahluk ciptaan Tuhan, menghargai orang lain, menghormati kemajemukan, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.

Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual

Islam, menurut Kiai Ali, memberikan prioritas pada “ibadah sosial” ini ketimbang “ibadah individual”. Kiai Ali mengutip sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuhan (Allah SWT) itu ada—dan dapat ditemui—di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.”

Itulah sebabnya Nabi Muhammad sepanjang hayatnya lebih banyak didedikasikan untuk membela kaum lemah dan tertindas serta melawan keserakahan dan keangkaramurkaan. Beliau lebih banyak menjalankan aneka bentuk ibadah sosial-kemasyarakatan ketimbang ritual-ritual keagamaan yang bersifat personal. Dalam sebuah kaedah fiqih juga dinyatakan: “al-muta'addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual).

Prioritas Islam terhadap ibadah sosial daripada ibadah individual ini juga ditegaskan, tersurat, dan tersirat di dalam ribuan ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi ruang sangat besar terhadap dimensi-dimensi sosial-kemanusiaan. Aspek-aspek “ritual-ketuhanan” justru mendapat jatah yang sangat sedikit dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Berdasarkan sejumlah fakta dalam Al-Qur'an inilah, ditambah dengan praktik-praktik kenabian, banyak ulama, sarjana, dan pakar Islam yang menyebut Islam sebagai agama pro-kemanusiaan. Pakar kajian Islam dan studi Al-Qur'an seperti mendiang Fazlur Rahman (1919–1988), misalnya, dalam sejumlah karyanya seperti Islam, Prophecy in Islam, atau Major Themes of the Qur'an pernah menegaskan bahwa Islam adalah “agama antroposentris” yang memberi penekanan atau prioritas pada masalah-masalah kemanusiaan universal, dan bukan “agama teosentris” yang berpusat atau bertumpu pada hal-ikhwal yang berkaitan dengan ibadah ritual individual-ketuhanan.

Terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”

Meskipun Islam, Al-Qur'an, dan Nabi Muhammad SAW, jelas-jelas memberi ruang yang sangat besar pada masalah-masalah “ritual kemanusiaan” universal; umat Islam, sayangnya, justru lebih sibuk memikirkan dan mempraktikkan aneka “ritual ketuhanan” partikular. Meskipun Islam menegaskan ibadah sosial jauh lebih utama ketimbang ibadah individual, (sebagian) kaum Muslim malah “terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”.

Kaum Muslim begitu hiruk-pikuk dan semangat menggelorakan pentingnya haji, salat, puasa, zikir di masjid, dan semacamnya, tetapi melupakan kemiskinan global, kebodohan massal, penderitaan publik, keamburadulan tatanan sosial, kehancuran alam-lingkungan, korupsi akut yang menggerogoti institusi negara dan non-negara, dlsb. Umat Islam begitu bersemangat naik haji berkali-kali atau umrah bolak-balik dan mondar-mandir ke Mekkah dan Madinah, tidak mempedulikan besarnya biaya, tetapi mereka pikun dan tutup mata dengan aneka persoalan sosial-kemanusiaan yang menggunung di depan matanya.

Umat Islam sibuk mengejar “kesalehan individual” dengan menghadiri beragam pengajian spiritual tetapi mengabaikan “kesalehan sosial” dan absen menghadiri “pengajian sosial” dengan blusukan ke tempat-tempat kumuh untuk menyambangi umat yang menderita dan kelaparan. Umat Islam rajin menumpuk pahala akhirat bak “pedagang spiritual” tetapi rabun bin pikun dengan problem sosial-kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya. Umat Islam begitu sibuk “memikirkan” Tuhan, padahal Tuhan sendiri—seperti ditunjukkan dalam berbagai Firman-Nya dalam Al-Qur'an dan dalam Hadis Qudsi tadi—begitu “sibuk” memikirkan manusia.

Saya menyebut fenomena di atas sebagai bentuk keberagamaan yang egoistik atau individualistik yang hanya mementingkan diri-sendiri dan demi mengejar kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri kelak di alam akhirat, sementara cenderung bersikap masa bodoh atau acuh dengan berbagai kebobrokan, penderitaan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kesemrawutan yang menimpa umat manusia di alam dunia ini. Umat Islam “pemburu surga” yang egois-individualis dan “salah jalan” inilah yang menjadi sasaran kritik Kiai Ali Musthafa. Semoga beliau damai di alam baka.

Penulis:

Sumanto al Qurtuby, Staf Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.

Arab Berlomba-Lomba Sekolah di Amerika dan Barat


Dunia Hawa - Salah satu trend masyarakat Arab modern di kawasan Teluk sejak 2-3 dekade terakhir ini adalah berlomba-lomba menyekolahkan kader-kader mudanya yang bagus ke lembaga-lembaga pendidikan bergengsi di Barat, khususnya Amerika. 

Aramco, misalnya, sebagai perusahaan minyak terbesar di dunia yang lokasinya di samping kampusku, setiap tahun setidaknya menawarkan beasiswa penuh kepada ribuan anak-anak muda Saudi potensial, baik Sunni maupun Shiah, untuk menimba ilmu di Negeri Paman Sam ini. Mereka yang lolos seleksi ditraining bahasa dan budaya Amerika di komplek Aramco yang luasnya seperti kota tersendiri oleh para "bule asli". 


Perusahaan-perusahaan besar lain di Saudi juga berlomba-lomba menawarkan beasiswa untuk belajar di Amerika dan negara-negara Barat lain khususnya di bidang studi-studi non-Islam (sciences, engineering, kedokteran, perbankan, keuangan, teknologi, dlsb). Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Saudi yang gencar menyekolahkan kader-kader mudanya ke Amerika, Kanada, atau Eropa Barat. Dari King Abdullah Scholarship Program saja, Arab Saudi sudah memberangkatkan lebih dari 150,000 mahasiswa di negara-negara Barat. Catat baik-baik ya: negara-negara Barat. Tidak ada satupun yang dikirim ke kampus-kampus Indonesia. 

Menariknya, Saudi menawarkan sejumlah beasiswa ke Indonesia dan negara-negara Muslim berkembang lain untuk belajar ke Arab Saudi (khususnya untuk belajar Islamic studies maupun disiplin lain), sementara mereka sendiri mengirim anak-anak didiknya ke negara-negara Barat. Antik kan? Anda tahu apa arti semua ini?

[prof.sumanto al qurtuby]

Ahok Dengan Bunda Angkatnya


Dunia Hawa — Selain memiliki ibu kandung, ternyata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memiliki seorang ibu angkat. Dia adalah Misribu Andi Baso Amier binti Acca (almarhum), seorang wanita asal Bugis yang mengurus Basuki selama menempuh pendidikan di Jakarta. 

Peran Misribu begitu besar di dalam kehidupan Basuki. Basuki bahkan rela meninggalkan beberapa pekerjaannya untuk mengantar sang ibu angkat hingga ke peristirahatan terakhirnya pada (16/10/2014) lalu. 

Siapa Misribu, ibu angkat Basuki yang juga seorang Muslim tersebut?


"Jadi, dulu, bapak saya itu kan berteman banyak sama orang Bugis. Ibu Misribu juga orang Bugis. Bapak saya berteman sama suaminya, Andi Baso Amir," cerita Basuki di Balaikota, Selasa (28/10/2014).

Jika sedang berada di Jakarta, Basuki dan keluarganya yang berasal dari Belitung Timur selalu berkunjung ke rumah (Kalibata) dan kantor Misribu, di Kantor Sakti Plaza (Pancoran). Karena hubungan pertemanan yang begitu erat antara Indra Basuki (ayah Basuki) dan Andi Baso Amir, keluarga Andi Baso mengikat keluarga Basuki sebagai saudara. Ikatan saudara itu dikatakan Basuki sebagai ikatan saudara sehidup sedunia-akhirat. 

Basuki menceritakan, sebelum sang ayah mengembuskan napas terakhir, Basuki dititipkan kepada keluarga Andi Baso Amir dan Misribu untuk dirawat selama di Jakarta. Saat itu, Basuki sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah, di Universitas Trisakti. 

"Waktu kuliah dulu, keluarga dia juga sudah bantu keluarga kami. Bu Misribu bilang, 'sudah kamu kuliah saja, kami yang bisnis mencari uang untuk hidup'," kenang Basuki, yang juga akrab disapa Ahok ini. 

Ikatan saudara angkat dua keluarga itu pula yang menjadikan Basuki diangkat menjadi anak di keluarga Andi-Misribu. Hubungan di antara dua keluarga itu tetap terjalin baik hingga Misribu mengembuskan napas terakhirnya, pertengahan Oktober 2014.

"Beliau itu orang yang paling yakin bahwa saya bisa jadi pejabat. Beliau yakin banget saya bisa jadi gubernur. Yakin banget beliau.

[kompas.com]

Pembebasan Sandera Abu Sayyaf, Ada Jasa Yang Terlupakan


Dunia Hawa - Sejak semalaman headline media belum berhenti memberitakan 10 WNI yang dibebaskan teroris Wahabi Abu Sayyaf. Ada beberapa nama yang muncul di media mengklaim berjasa atas prestasi ini.

Pertama bos metroTV Surya Paloh, kedua jendral purn. Kivlan Zein, keduanya KLAIM pegang peran penting dalam proses negosiasi. Ketiga adalah perusahaan pemilik kapal yang klaim sudah bayar tebusan namun dibantah oleh Kivlan Zein. Yang luput dari berita adalah peran Wahabi tobat Umar Patek.

Sekitar awal April, Umar Patek menawarkan diri untuk membantu proses negosiasi karena kedekatan-nya dengan Abu Sayyaf. Tawaran langsung dapat restu dari Menhan Ryamizard Ryacudu, yang menjanjikan hadiah remisi bila berhasil.

Umar Patek yang berperan sebagai korlap serangan Bom Bali I 2002, optimis sukses karena beberapa petinggi Abu Sayyaf dulunya dilatih merakit senjata & merakit bom oleh Umar Patek. 

Minggu siang kemarin, alhamdulillah 10 WNI dibebaskan, sedikit banyak pasti ada andil telpon Umar Patek. Negosiasi dibantu gubernur Sulu yang ternyata keponakan dari petinggi pemberontak Moro, yang menyambungkan telpon negosiator Abu Sayyaf ke BNPT untuk bicara dengan Umar Patek

Ustad ingin mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, bukan hanya untuk 10 WNI yang pulang dengan selamat saja, tapi juga atas hidayah Allah kepada Umar Patek yang bisa lepas dari doktrin Wahabi & sekarang sudah CINTA NKRI.

Alhamdulillah, BRAVO BANG UMAR!

Berita soal apakah uang tebusan dibayar seperti klaim PT pemilik kapal atau tanpa tebusan seperti klaim Kivlan Zein masih simpang siur. Tapi militer Filipina memang sempat memberikan pujian atas pembebasan yang dilakukan tanpa pembayaran.

Saat ini TNI sedang melancarkan operasi intelijen yang diberi nama "Operasi Senyap" menurunkan pasukan khusus masuk ke hutan untuk membebaskan sisa 4 sandera WNI yang ditawan oleh grup teroris berbeda.

Mari kita berdoa juga untuk kesuksesan Operasi Senyap membebaskan sisa sandera WNI agar mereka semua bisa selamat kembali ke pelukan keluarga masing-masing tak kurang suatu apapun.

PS. Umar Patek teroris tulen aja tobat, nah ente baru jadi Salafi belajar Manhaj Salaf kemarin sore udah sok-sokan mau tegakkan Syariat, dirikan Khilafah, hina Pancasila, haramkan hormat bendera.. ENTE SEHAT? 


[Ustad Abu Janda al-Boliwudi]