Friday, April 29, 2016

Memahami Kebangkitan Salafisme Jihadis

  
Terdakwa aksi terorisme di Poso, Fajriansyah alias Rian alias Mansur, diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Rabu (30/3). ANTARA FOTO/Yossy Widya/aww/16.

Dunia Hawa - Aksi terorisme global semakin tak terelakkan dalam tiga dekade terakhir. Akhir Maret lalu, misalnya, ledakan bom bunuh diri terjadi di Taman Iqbal, Lahore, yang menewaskan 72 jiwa dan 340 orang luka-luka. Kejadian yang sama sebelumnya juga terjadi di Prancis (150 orang tewas dan lebih dari 350 orang cedera), dan Brussel (36 tewas dan sekitar 300 warga luka-luka).

Sementara di Indonesia, meski Bom Sarinah tidak menimbulkan banyak korban jiwa, “kemunculan kembali” aksi teror pada awal 2015 itu cukup mengusik ketenangan publik.

Sejumlah pemerhati gerakan radikalisme global berpandangan berbagai aksi terorisme yang bermunculan akhir-akhir ini merupakan bagian dari “strategi baru” organisasi teroris Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) menyasar negeri-negeri Eropa dan sejumlah negara yang memiliki hubungan kuat dengan Amerika Serikat (AS) dalam hal pemberantasan terorisme, tak terkecuali Indonesia.

Penilaian tersebut tidak dapat disalahkan, terlebih para “pejuang” ISIS yang semula berasal dari sejumlah negara di Eropa telah berpulang, juga karena posisi ISIS yang semakin terpojok oleh serangan militer koalisi pemerintah.

Akan tetapi, fenomena tersebut patut dianalisa lebih mendalam dan kritis, bahwa kecenderungan yang lebih umum dari maraknya tragedi terorisme pada dekade kedua abad ke-21 ini sebagai kebangkitan ideologi salafisme jihadis. Hal itu bukan hanya dapat ditandai dengan pengakuan ISIS yang selalu mengklaim setiap “tragedi kemanusiaan” (aksi bom bunuh diri, penembakan secara brutal dan peledakan pesawat) di sejumlah negara, melainkan juga dapat diamati dari peningkatan serangan teroris dan pejuang “jihad” dari sisi kuantitas, kemunculan banyak kelompok teroris baru, usia teroris yang semakin muda, serta semakin meluasnya negara yang menjadi target serangan.

Kebangkitan ideologi salafisme jihadis itu salah satunya dapat diamati dari hasil laporan penelitian yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS yang diterbitkan RAND Corporation yang bertajuk “A Persistent Threat: The Evolution of al-Qaidah and Other Salafi Jihadist” pada 2014. Riset itu menyebutkan, terdapat peningkatan jumlah kelompok teroris yang sangat signifikan antara tahun 2010 hingga 2013, jumlahnya mencapai 49 dari 31 kelompok.

Sementara dari sisi jumlah “pejuang jihad” meningkat dua kali lipat menjadi 100 ribu “jihadis”, serta jumlah serangan yang terafiliasi dengan Al-Qaidah naik tiga kali lipat menjadi sekitar 1.000 serangan dari yang sebelumnya hanya 392 serangan.

Kemudian, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi menguatnya ideologi salafisme jihadis tersebut secara global? Menurut saya, problematika itu dapat ditemukan titik permasalahannya paling tidak dari dua hal.

Pertama, perang saudara yang berkecamuk di beberapa negara di Timur Tengah menjadi pemicunya. Dimulai dari meletusnya Revolusi Melati di Tunisia (2011), lalu berangsur parah karena merembet ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Ribuan nyawa menjadi korbannya, bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ini belum dapat dipastikan masa depannya.

Ironisnya, kekacauan di Suriah, Irak, Yaman, atau Libya bertambah buruk karena melibatkan sektarian keagamaan, koalisi AS, serta pemberontakan paramiliter. Tak pelak, bila situasi ini berpengaruh besar terhadap pembentukan radikalisasi. Dari radikal secara pemikiran menjadi radikal dalam gerakan.

Kedua, transformasi strategi propaganda kelompok teroris yang memanfaatkan jaringan virtual berkontribusi besar terhadap bangkitnya ideologi salafisme jihadis. Dengan cara ini, kelompok teroris berhasil menjaring anak-anak muda menjadi “jihadis-jihadis” baru, yang berani mengorbankan diri dengan jaminan surga.

Untuk menekan gerakan terorisme global, Departemen AS dalam laporannya tersebut, mengatakan bukanlah perkara yang gampang. Hal ini disebabkan karena genealogi dan gerakannya telah tumbuh sejak lama, jadi sangatlah sulit untuk mencabut keseluruhan akarnya.

Selain karena ketiadaan tafsir jihad yang tunggal (Esposito, Islam and Political Violance: 2015), problem terorisme sangat berkait erat dengan “perasaan” ketidakadilan ekonomi dan politik yang dirasakan sebagian warga Muslim.

Meski sangat sulit memberantas terorisme sampai ke “akar-akarnya”, pesimisme tidak boleh terus disemaikan. Berbagai cara perlu diupayakan dalam rangka memoderasi pemikiran keagamaan masyarakat. Kekacauan di sejumlah negara di Timur Tengah, atau aski terorisme yang terjadi di Pakistan secara berulang-ulang, Indonesia jangan sampai bernasib sama.

Kegagalan Pakistan dalam mengupayakan kehidupan publik yang damai, tenang, dan terbebas dari tindak kekerasan dilatarbelakangi oleh merebaknya infiltrasi doktrin-doktrin “jihadis” yang menyusup di sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan (madrasah) (Tahir Mehmood Buut, Social and Political Role of Madrasaa, 2012).

Karena itu, lembaga pendidikan sebagai basis transformasi keilmuan yang mencerahkan, jangan sampai memutus masa depan generasi bangsa akibat doktrin-doktrin pemahaman radikal yang menyusup ke dalam. Sebab, jika tidak, ke-Indonesia-an kita akan terancam sama seperti yang terjadi di Pakistan akibat kemunculan kelompok-kelompok teroris baru, yang bersekutu dengan ISIS, bahkan Al-Qaidah di periode yang sebelumnya. Pada akhirnya, “jihadis-jihadis” baru dengan usia yang semakin belia akan bermunculan dan menjadi ancaman serius bagi sektor ketahanan dan keamanan nasional.

Selain itu, meski dianggap sebagai negara yang tergolong berhasil dalam memberantas tindak terorisme–sebagaimana dimuat di banyak media internasional—Indonesia harus tetap waspada karena tak ada kepastian kapan pergerakan mereka akan berakhir.

Mulai sekarang, ada baiknya bila pemerintah bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam terus mendorong cara beragama yang moderat dan menghindari pola eksklusivisme yang berujung pada kebencian, takfiri, dan penyesatan terhadap kelompok Islam yang lain.

[nafi muthohirin/ geotimes]

Nafi Muthohirin

Associate Peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang dan Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)

Umat Kristen dan Non-Muslim di Uni Emirat Arab


Dunia Hawa - Uni Emirat Arab (UEA) adalah sebuah negara federasi gabungan dari tujuh "kerajaan federal" yang terletak di Jazirah Arab. Negara-kerajaan industri ini salah satu yang terkaya dan termaju di kawasan Arab Teluk sejak merdeka tahun 1966. Seperti negara-negara Arab Teluk pada umumnya, UEA juga penuh sesak dengan kaum migran yang membanjiri kawasan ini terutama sejak booming minyak tahun 1970-an, 1980-an, dan sejak usai Perang Teluk Irak-Kuwait. 

Tercatat dari sekitar 10 juta penduduk UEA, hanya 15% saja yang "penduduk lokal" atau "pribumi Arab Emirat", sisanya warga migran (ekspat) baik Arab non-Emirat maupun non-Arab, khususnya dari India, Bangladesh, Pakistan, Srilangka, Filipina, Thailand, dlsb. Banyaknya kaum migran di daerah ini berdampak pada terciptanya kemajemukan budaya dan agama. Tidak bisa dipungkiri, masing-masing warga migran ini kemudian membentuk "sub-kultur" yang mereka bawa dari negara mereka masing-masing sehingga menyebabkan UEA menjadi kawasan sangat kaya dan warna-warni: budayanya, agamanya, tradisinya, tata-busananya, bahasanya, makanannya, aktivitas ekonominya, dan sebagainya.  

Berbeda dengan Saudi atau Qatar misalnya yang cukup ketat dalam mengatur dan mengontrol perkembangan budaya dan agama yang dibawa oleh kaum ekspat, UEA sangat longgar dan terbuka dengan aneka ragam ekspresi budaya dan agama. Akibatnya, agama-agama non-Islam tumbuh pesat di negara ini. Tercatat ada sekitar 25% non-Muslim (umat Kristen 9%, sisanya Hindu, Budha, Baha'i, dan minoritas agama lain) di UEA. 

Pemimpin politik UEA juga sangat fleksibel dengan aneka perkembangan budaya dan agama warga migran ini bahkan mereka, sejak almarhum Presiden Zayed Bin Sulthan al-Nahyan hingga kini yang dipimpin oleh putranya, Khalifa Bin Zayed Al-Nahyan, mengfasilitasi aneka tempat ibadah kaum migran. 


Foto di atas ini hanyalah contoh kecil dimana Shaikh Mubarak Al-Nahyan (Menteri Kebudayaan dan Pengembangan Komunitas) didampingi oleh Kardinal Pietro Parolin (dari Vatikan) dan Uskup Paul Hinder (Vicar Apostolic of Southern Arabia) sedang menghadiri acara inagurasi pendirian Gereja Katolik Santo Paul di Dubai yang diharapkan mampu melayani sekitar 70-an ribu umat Katolik di kota ini. Di kawasan yang sering disebut "New York-nya Timur Tengah" ini juga berdiri megah Gereja Katedral St. Joseph. 

Dalam sambutannya, Shaikh Mubarak Al-Nahyan mengatakan bahwa "UEA sangat menghormati dan menghargai perkembangan dan perbedaan agama. Pembangunan gereja ini adalah sebagai bukti komitmen, penghargaan, dan penghormatan kami terhadap warga non-Muslim di UEA."

Jabal Dhahran, Arab Saudi

[sumanto al qurtuby]


Menolak Ahok dengan Kebingungan


Dunia Hawa - Orang-orang yang menolak Ahok sering mengeluh. “Kami berhak memilih pemimpin sesuai kriteria yang kami sukai. Jadi jangan halangi hak-hak kami,” kata mereka. Lho, emang siapa yang menghalangi hakmu? Orang-orang yang mendukung Ahok sebenarnya cuma bereaksi. Mereka mendukung, kalian menyerang dengan tuduhan tidak islami dan sejenisnya. Maka mereka bereaksi. Kalau kalian bersikap sama dengan yang kalian tuntut, masalahnya selesai. Kalian cari pemimpin sesuai kriteria yang kalian suka, para pendukung Ahok juga begitu. Nanti tinggal diuji di pilkada. Yang dapat suara banyak, dialah yang menang.

Tapi kenapa masih sewot terus? Mereka sebenarnya sedang bingung. Pokoknya jangan sampai Ahok jadi gubernur. Tapi siapa yang bisa lawan Ahok? Uh, ada Ridwan Kamil. Dia muslim dan populer. Kerjanya bagus. Tapi aduh celaka, dia ternyata tidak mau. Dia masih ingin kerja untuk Bandung. Ah, sialan benar. Padahal kalau Kamil mau, kita kan punya banyak stok muslim untuk menggantikan dia di Bandung.

Oh ya, ada Risma. Dijamin keren, deh. Tapi celakanya Risma juga tidak mau. Aduh biyuuuuuung. Jadi siapa doooooong?

Calon kuat sekarang tinggal Yusril. Kuat? Kuat apanya? Mereka sadar sendiri bahwa Yusril tidak punya modal. Akhirnya dia ambil formulir penjaringan calon dari PDIP. Hehehehe, itu formulir yang resmi ditolak Ahok, karena dia tidak mau didikte oleh PDIP maupun partai manapun. Tapi, kalau Yusril mau ambil formulir, apakah berarti ia bersedia didikte? Kemungkinan besar begitu.

Tapi ini kan PDIP? Partai yang selama ini dituduh sebagai musuh Islam? Ini juga partai yang selama ini digembar-gemborkan sebagai partai paling korup. Apa nggak malu kalau sekarang calon dari umat Islam mencari dukungan dari partai musuh Islam? Dan jangan lupa, ini partainya Jokowi. Yusril yang selama ini mengritik Jokowi, mencalonkan diri dari partai pengusung Jokowi? Jokowi selama ini diejek petugas partai, kalau Yusril apa dong?

Dengan segala manuver itu pun Yusril belum tentu dicalonkan oleh PDIP. Juga oleh Gerindra. Sementara itu partai-partai Islam tidak pernah menunjukkan tanda bahwa mereka tertarik pada Yusril. Siapa yang akan dicalonkan oleh partai-partai Islam? Mereka sama bingungnya dengan Yusril.

Semua orang anti-Ahok sedang bingung. Siapa yang bisa mengalahkan Ahok, itulah yang mereka cari. Sandiaga Uno? Hehehe. Ahmad Dhani? Ente mesti segera ukur suhu badan kalau berpikir mencalonkan Dhani. Kalau perlu periksa darah. Jangan-jangan ente lagi kena demam berdarah. Sanusi? Upst, sayang, pasien KPK tidak bisa dicalonkan.

Jadi kalau kaum anti-Ahok rada sensitif, maklumi aja. Mereka sedang galau. Bisa dipastikan bahwa mereka akan makin rajin mengumbar ayat. Biarkan saja.

[abdurakhman.com]

Garuda Penangkal 'Banjir Abadi' Jakarta


Berita Lawas dari Liputan6.com pada Tanggal 29 Des 2014 

Dunia Hawa - Hujan belum mau bergeser dari pesisir laut Teluk Jakarta, Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat petang 26 Desember 2014. Saat itu ada sekitar 20 orang yang sibuk mengisi tanggul dengan adukan semen.

Guyuran air dari langit membuat pekerjaan makin berat. Namun, mau tak mau, para mereka harus mengisi tanggul dengan adukan. Jangan sampai lapisan bawahnya terlanjur mengering, semen yang baru bakal sulit menyatu, bangunan pun akhirnya tak kokoh.

Para pekerja tengah mengerjakan secuil bagian proyek pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul raksasa yang merupakan bagian dari program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Pemancangan tiang baja pertama dilakukan di Muara Baru, Jakarta Utara pada Kamis 9 Oktober 2014. Tanggul ini untuk mencegah terjadinya banjir akibat naiknya air laut di Jakarta dan penurunan tanah. Diharapkan bisa menuntaskan 'banjir abadi' yang terjadi khususnya di wilayah utara Ibukota.

Di sisi atas tanggul yang telah selesai dibangun, seorang pria bertopi putih dan mengenakan sweater abu-abu, melihat jauh ke lepas pantai teluk Jakarta. Dia salah satu petugas dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang mengawasi jalannya pekerjaan tanggul, Ferdi.


"Ini mah belum apa-apanya. Ini baru awal sekali. Masih jauh buat melihat Garuda di lepas pantai. Makanya waktunya sampai 2030," kata Ferdi saat ditemui Liputan6.com di bawah guyuran hujan deras di pesisir Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara sore itu.

Dia menerangkan, selama ini, yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta, hanya meninggikan tembok yang ada di pesisir Muara Karang atau tepat di RW 17 Penjaringan, dekat rumah pompa Waduk Pluit.

"Tahap A di sini kita perkuat tanggulnya, pinggirnya," ujar Ferdi. Menurut dia, saat ini tanggul dengan lebar 10 meter itu dan kedalaman sekitar 6 meter dari atas tanah itu baru selesai sepanjang 7 km dari. Dan total panjang tanggul di pesisir diperkirakan sekitar 32 km -- yang akan mengikuti lekuk ekor model burung Garuda di lepas pantai.

"Baru 7 km, ini sudah beruntung, sedikit lagi buat yang di sini tahap A.  Tahap A, 54 kilometer atau 34 kilometer, belum jelas. Dan 32 km yang masuk dalam tahap A itu, peruntukannya terutama dominan untuk  perlindungan pantai," beber Ferdi.


Pantauan Liputan6.com, tanggul yang tengah dikerjakan berbentuk letter L. Beton bulat dan adukan semen dari truk molen menjadi pondasi tanggul itu. Puluhan pekerja terlihat membuat belitan kawat-kawat besi untuk dijadikan rangka dari atas tanggul. Beberapa pekerja juga terlihat mondar-mandir untuk mengontrol kerja mesin truk molen.

Tanggul itu berada tepat di belakang rumah pompa waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Sementara sisi sebelah kiri tanggul terdapat kompleks di mana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tinggal. Untuk sisi yang sebelah kanan, merupakan area parkir kapal-kapal nelayan.


Ferdi mengatakan, pembuatan tanggul itu masih menemui beberapa kendala.  Di antaranya, dana yang diperlukan sebesar Rp 500 triliun atau separuh dari APBN.

Selain itu, banyak area pesisir pantai yang harus diperbaiki dan dibuat tanggul agar pemukiman di sekitarnya tidak kena limpasan air laut. Kesadaran warga yang menolak pindah dari pinggir pesisir juga menjadi salah satu kendala. "Waduk Pluit saja belum selesai warganya. Jadinya ya kita kerjakan dulu yang sudah bisa dikerjakan. Ini saja sebenarnya juga masih bersentuhan sama rumah warga," ujar Ferdi sambil menunjuk rumah warga yang hanya berjarak 3 meter dari proyek pembangunan tanggul.

Ia mengatakan, tanggul yang kini dibangun tersebut memiliki posisi paling dominan menentukan ketepatan waktu jadinya Giant Sea Wall pada 2030. Belum lagi pembangunan tanggul akan dilakukan di beberapa titik yang saat ini diketahui menjadi area tempat tinggal warga.

"Dalam 32 km tanggul masuk tahap A, ini peruntukannya dominan perlindungan pantai. Model Garuda itu untuk kemajuan ekonomi bangsa. Ini mikronya (tanggul di pinggir pantai). Kalau bentuk Garuda (di lepas pantai) itu makronya," jelas Ferdi.

"Di dalam tahap A pertama kita perkuat tanggulnya pinggirnya. Itu Muara Baru, Cakung Muara, Muara Angke dulu mesti diperkuat," tandas dia.


Hanya Fokus di Hilir

Dalam pembangunan yang hampir 2 bulan setelah peletakkan tiang pancang pada 9 Oktober, pemerintah melalui rapat koordinasi yang digelar Menteri Koordinator Perekonomian memutuskan, proyek Giant Sea Wall berbiaya Rp 500 triliun itu akan ditinjau ulang. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, peninjauan ulang lantaran kajian proyek tersebut belum selesai sepenuhnya.

Keputusan itu mendapat dukungan dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sebab, kajian proyek tersebut belum memiliki studi yang matang, walaupun dia pernah menyatakan, pembangunan tanggul raksasa harus  segera dilakukan untuk mencegah Jakarta tenggelam. 

Ahok mengatakan, studi tersebut yaitu menyangkut dari hulu sampai hilir seperti penanganan banjir di DKI Jakarta sebelum menggarap megaproyek tanggul berbentuk burung garuda raksasa itu.  "Ya itu memang harus dikaji ulang, mesti ada studinya itu," ujar Ahok kepada Liputan6.com.


Ahok khawatir, bila proyek tersebut tetap dilanjutkan tanpa kajian yang matang, proyek tersebut bisa bernasib sama seperti proyek-proyek besar pemerintah pusat lainnya yang terbengkalai.

"Ya karena memang belum dikaji, kalau dia nutup (proyek dihentikan) bagaimana? Kan yang rugi besar. pemerintah sendiri," kata dia.

Pria asal Bangka Belitung itu  menegaskan, untuk menyelesaikan permasalahan banjir tak bisa selesai dengan cara membangun tanggul di daerah hilir. Pembangunan waduk dan tanggul juga harus dilakukan di daerah hulu. 

Salah satunya, pembangunan Waduk Ciawi yang digagas Joko Widodo atau Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Proyek tersebut hingga saat ini masih terkendala masalah pembebasan lahan. "Ini saja belum beres, makanya tahun depan pembebasan lahan lagi," ucap dia. 

‎Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro juga mengatakan, proyek tanggul raksasa mesti dikaji ulang. Alasannya, konsep dan desain yang ada saat ini hanya terfokus di hilirnya saja.


Menurut dia, megaproyek yang dikenal Giant Sea Wall itu bakal menyelesaikan permasalahan banjir yang ada di Jakarta bila konsep dan kajiannya benar-benar dilakukan secara mendetail dan dengan perencanaan yang matang. 

"Sekarang konsepnya lebih banyak di hilir. Padahal penyebab banjir di Jakarta itu berasal dari hulu. Hulu ini belum disentuh secara detail," ujar Andi. 

Andi mengatakan, sebagai upaya membangun wilayah hulu, pembangunan Waduk Ciawi wajib dikerjakan dan tidak bisa lagi ditunda pengerjaannya. Lantaran, proyek tersebut merupakan bagian dari pembangunan proyek NCICD. 

Menurutnya, menambahkan proyek NCICD harus berfokus pada air limbah yang berasal dari hulu. Konsep yang ada saat ini hanya mengolah air limbah yang datang dari Jakarta. "Limbah dari Bogor, Bekasi, dan Depok juga harus diolah," kata dia.

Jakarta Terancam Tenggelam...
Sementara, Kepala Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Sarwo Handayani mengatakan, walau diprediksi pengerjaannya akan molor karena peninjauan ulang megaproyek itu, pemerintah pusat harus segera memulai pengerjaan Giant Sea Wall sesegera mungkin. 

"Giant Sea Wall itu yang diprioritaskan dan yang disepakati itu tahap I, tahap I itu penguatan tanggul di bibir pantai, sepanjang 32 kilometer, itu di pantai yang ada, supaya menjamin Jakarta nggak kena rob dalam jangka pendek atau menengah," ujar Yani saat berbincang dengan Liputan6.com. 

"Kalau tahap I itu harus, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Nggak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau nggak dikerjakan, Jakarta bisa banjir besar," tegas mantan Deputi Gubernur Bidang Tata ruang dan lingkungan hidup DKI Jakarta itu.


Pekerjaan tahap I yaitu pembangunan tanggul raksasa sepanjang 32 km garis pantai dan memperkuat tanggul tanggul sungai‎ yang bermuara di Teluk Jakarta. Dari 32 km total garis pantai, 8 km merupakan tanggung jawab pemerintah yang diperkirakan memakan dana Rp 3,2 triliun dan 24 km akan dikelola swasta.

Penguatan tanggul ini diperlukan karena adanya land subsidence (penurunan muka tanah) di Jakarta Utara yang terjadi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan yaitu 7,5 cm per tahun. Jika hal ini tidak dilakukan diperkirakan Jakarta akan berada di‎ bawah permukaan laut pada 2030. 

Akibatnya pada waktu tersebut ke 13 sungai yang melewati Jakarta tidak dapat mengalirkan airnya lagi secara gravitasi ke Teluk Jakarta.

"Untuk sekarang kan sudah pengerjaan desainnya kan oleh Kementerian PU, kemudian disepakati dengan DKI untuk kita lakukan kelanjutannya," ucap Bu Yani. 


Dia menjelaskan, peninjauan ulang bukan pada perubahan skema pembangunan infrastruktur, namun peninjauan pembiayaan. Selain itu, peninjauan dilakukan pada pembangunan tahap II dan III. "Kalau yang tahap I itu harus, nggak bisa ditawar-tawar lagi. Nanti yang di tahap yang di laut bebas, itu yang masih harus disempurnakan," kata dia. 

Peninjauan ulang tersebut menurut Yani dilakukan lantaran kajian dan penelitian terhadap proyek tersebut belum lengkap dan dilakukan secara lebih detail. Karena itu, Yani mengatakan, pihaknya bersama Kementerian PU dan Perumahan Rakyat saat ini masih akan melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. 

"Memang belum tuntas, belum final, kita akan lakukan dukungan-dukungan penelitian, studi,bagaimana perilaku laut yang sampai minus 20 meter, terus gimana subsidence-nya. Bagaimana kalau sudah ditanggul, bagaimana pemberlakuan orang melarang pengambilan air tanah dengan sudah datangnya air dari Jatiluhur, berarti kan nanti orang ambil air tanah berkurang, itu kita mesti lihat, berapa pengurangan subsidence yang berkurang," kata Yani.

Nasib Garuda yang Megah?

Dari Master Plan Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), ada 3 tahapan dalam proyek ini. Tahap pertama yakni pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW), tahap kedua adalah pengembangan kawasan seperti reklamasi, dan tahap ketiga adalah pengembangan jangka panjang di timur Teluk Jakarta.

Rancangan dasar Garuda yang megah ini berukuran 1.250 hektar dan menawarkan tempat tinggal untuk 650.000 orang dan tempat kerja untuk 350.000 orang.

Kemudian, lahan reklamasi tambahan dapat dikembangkan pada perairan dangkal di waduk raksasa ini jika kebutuhan untuk real estate diperlukan. Sebanyak 15 persen lahan Garuda ini dialokasikan untuk Kawasan Pusat Bisnis (CBD) baru dan 30% untuk perumahan sosial.

Lahan dengan total 23,7 juta m2 juga akan diwujudkan, 61% untuk perumahan, 35% untuk pertokoan dan kantor, dan 4% untuk industri.

Prioritas akan diberikan untuk penciptaan fasilitas yang berkelanjutan untuk masyarakat nelayan yang harus direlokasi dari garis pantai saat ini. Pelabuhan nelayan baru akan ditempatkan di ujung sayap Garuda yang dekat dengan daerah penangkapan ikan saat ini.

CBD baru ini akan mempunyai sambungan MRT ke pusat kota yang telah ada dengan panjang 11,2 kilometer.

Jalan bebas-hambatan Tangerang–Bekasi dengan panjang menyeluruh 43 kilometer dan 2 x 4 lajur akan membentangi Teluk Jakarta dan melewati Garuda. Di bawah CBD akan dibangun jalan bawah tanah dengan panjang 2 kilometer. Jalan bebas-hambatan ini akan melewati jalur- laut ke arah Tanjung Priok dengan jembatan berbentuk ikon yang megah dengan jarak-bebas 70 meter.


Dalam impresi 3D awal, secara jelas ditunjukkan potensi Garuda untuk menjadi penampilan wajah Jakarta. Jadi ikon baru. Daerah tengah yang berada pada perluasan pusat kota mempunyai kepadatan tertinggi dan gedung-gedung menjulang tinggi. Daerah tengah ini juga menjadi tempat ruang warga di jantung daerah kota baru ini.

Garuda  menempatkan jaringan hijau sebagai salah satu kriteria susunan ruang inti. Ruang-ruang hijau mencakupkan taman kota, taman blok, jalan raya, boulevard berbatas-perairan, hutan bakau dan rawa, cagar alam, dan jaringan jalanan kota.

Untuk menghasilkan pendapatan maksimum dan menggenjot minat para investor besar, pemerintah sangat disarankan untuk menjadikan Garuda megah ini sebagai tempat perkantoran pemerintah pusat dan merelokasi sebagian besar fungsi penting pemerintahan dan sipil ke tempat ini. Agar bisa tumbuh, CBD Garuda megah ini membutuhkan penyewa utama dan pemerintah dapat memainkan  peran penting untuk merangsang pertumbuhan di CBD baru ini. 

Dalam melakukan peran ini, lahan di daerah kota yang ditempati oleh fungsi-fungsi pemerintahan ini akan dijadikan sebagai tempat untuk melakukan pengembangan baru.


CBD ini membutuhkan infrastruktur. Rancangan ini akan melengkapkan dua jalan lingkar luar Jakarta di bagian utara dan akan dibuat lebih banyak koneksi lokal dengan daratan induk. Kereta api kecepatan tinggi akan menghubungkan CBD dengan bandara dan bagian-bagian Jawa lainnya. Jalur MRT akan menghubungkan CBD dengan pusat kota yang ada saat ini untuk memastikan keterkaitan.

Sementara, sayap Garuda megah ini akan mempunyai dua kawasan berbatas-perairan baru, satu sisi terbuka ke arah laut dan sisi lain terbuka menghadap laguna air tawar. Di sisi laut telah tercipta bentangan pantai panjang sementara pada sisi laguna tercipta dermaga, jetti, dan perkantoran berbatas-perairan, kompleks komersial, peristirahatan, dan perumahan. Menciptakan lingkungan perumahan yang memadai dan campuran antara tempat kerja dan tempat hunian di CBD adalah penting agar CBD dapat berfungsi.

Pada setiap sayap terdapat banyak blok perkotaan yang lebih kecil yang masing-masing dipisahkan oleh ruang penyangga hijau. Jalan utama yang melewati koridor hijau, dan pada bentangan terluar kedua sayap ini terdapat sejumlah taman dan tempat untuk pengembangan habitat.

Sisi timur Teluk Jakarta akan didominasi oleh kegiatan yang ada sekarang. Tanjung Priok akan mempunyai lebih banyak ruang untuk pengembangan lebih lanjutan tetap terhubung dengan laut. Hal yang baru adalah Jalan Bebas-Hambatan Tangerang – Bekasi yang menghubungkan Garuda megah ini dengan provinsi Jawa Barat yang mana memulihkan mata rantai yang hilang pada koneksi timur-barat Jawa.

Pertanyaannya, seperti apa hasil kaji ulang nantinya. Akankah Garuda Raksasa tetap mengepakkan sayapnya di Teluk Jakarta? (Mvi/Ein)

Lela Fitriyani, Blogger