Thursday, April 28, 2016

Menafsir Hasrat Politik Yusuf Mansur


Dunia Hawa - Umat Islam yang menolak kepemimpinan Ahok sebagai gubernur karena dia non-muslim masih belum kunjung menentukan siapa calon yang akan mereka usung. Yang paling aktif menyodorkan diri adalah Yusril Ihza Mahendra. Tapi seperti bisa dibaca secara kasat mata, belum ada satu pihak pun yang antusian mendukungnya. Khususnya dari kalangan partai Islam. Mengapa? Alasan pertama, Yusril dalam kalkulasi logis bukanlah tokoh yang cukup populer sehingga bisa menyaingi Ahok. Ahok hanya bisa dilawan oleh orang-orang yang setipe dengan dia, yaitu pekerja. Dulu sempat disebut-sebut 2 nama, yaitu Ridwan Kamil dan Risma. Namun sejauh ini keduanya menolak.

Alasan kedua, Yusril dalam rekam jejak politiknya bukanlah seorang perangkul. Sebaliknya, ia cenderung menjadi orang yang suka berkonflik. Jangankan terhadap partai lain, di dalam partainya sendiri pun ia banyak tidak disenangi. Tak heran bila perolehan suara partainya terus merosot hingga tak lagi bisa memenuhi batas minimal untuk duduk di parlemen.

Lantas siapa yang akan diajukan umat Islam? Beberapa hari ini muncul nama Yusuf Mansur ke bursa pencalonan. Ini jelas menegaskan bahwa umat Islam belum yakin dengan satu nama pun. Mereka belum yakin bahwa nama-nama yang ada saat ini akan punya potensi cukup kuat untuk mengalahkan Ahok. Di samping itu berbagai kelompok politik dalam tubuh umat Islam itu belum menemukan sebuah nama yang bisa memuaskan kebutuhan politik mereka, kecuali dalam hal “asal bukan Ahok”.

Lalu, bagaimana tanggapan Yusuf Mansur? Ia tidak memberi jawaban tegas. Tidak tegas menolak, juga tak tegas menerima. Ia berputar-putar pada basa-basi normatif, seperti “kalau diminta saya mau”, “kalau disuruh alim ulama”, juga “maju atau tidak itu kehendak Allah”.

Dari berbagai retorika yang dia sampaikan saya membacanya sebagai sikap “malu-malu tapi mau”. Di satu sisi Yusuf Mansur sadar betul popularitasnya sebagai ustaz, yang bisa jadi modal awal untuk meraup dukungan. Siapa sih yang tidak kenal dia di Jakarta? Tapi Yusuf Mansur sepertinya sadar juga bahwa popularitas itu tidak bermakna banyak dalam konteks pilkada, khususnya ketika harus berhadapan dengan Ahok.  Maka ia sekarang dalam posisi berhitung.

Apa yang dihitung Yusuf Mansur? Soal untung rugi maju ke pilkada. Pertama, ia sudah mapan sebagai ustaz. Apapun yang akan ia lakukan tidak boleh merusak kemapanan itu. Maju ke dunia politik, kemudian kalah, sedikit banyak akan menggetarkan kemapanan itu. Kedua, seperti diungkap di atas, soal keseriusan dukungan. Siapa sebenarnya yang serius mendukung Yusuf Mansur? Tidak jelas. Kalaupun ada yang mendukung itu hanya kelompok-kelompok yang bukan partai politik. Jadi, Yusuf Mansur mau saja maju, tapi siapa yang mau mencalonkan dia? Itu masalahnya.

Yusuf Mansur sadar sepertinya menyadari bahwa dalam konteks pilkada elektabilitasnya bahkan masih di bawah Yusril. Maka ia menyampaikan ungkapan,”Jangan mendewakan elektabilitas.” Pernyataan itu bisa dibaca secara terang sebagai “sadar diri” atau “kecewa” karena ia belum punya elektabilitas memadai. Dalam konteks politik real tidak mungkin orang bisa mengabaikan elektabilitas. Jadi itu jelas pernyataan absurd yang hanya bisa dimaknai sebagai kekecewaan tadi. Terlebih kemudian pernyataan itu diikuti dengan pernyataan “jalur sajadah”, tidak memakai jalur partai maupun independen. Pernyataan itu bermakna, di kedua jalur itu Yusuf Mansur belum memiliki modal politik yang memadai.

Pernyataan maupun gerakan politik yang dibuat Yusuf Mansur seperti bertemu Yusril adalah penguatan tanda bahwa umat Islam masih bingung soal siapa yang akan diajukan untuk melawan Ahok. Pada akhirnya pilkada DKI nantinya hanya akan berhenti pada persoalan “yang penting bukan Ahok”. Para penantang Ahok akan kehabisan energi untuk membangun dukungan serta kepercayaan diri. Mereka tidak akan punya waktu dan tenaga memadai untuk menyodorkan program.

[abdurakhman.com]

Menagih Janji Gubernur Jokowi


"Macet dan banjir lebih mudah diatasi jika saya jadi Presiden.."

Dunia Hawa - Maret 2014, saat itu Jokowi masih menjadi Gubernur tetapi sudah di gadang untuk menjadi Presiden. Hiruk pikuk-lah mereka yang tidak menyukainya dengan tudingan Jokowi tidak mau menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur.

Janji Jokowi untuk mengatasi macet di Jakarta sudah dilaksanakan. Ia membangun moda transportasi yg tidak bergantung hanya pada trans Jakarta, tetapi banyak lainnya spt MRT, Monorel dan Metro kapsul. 

Perencanaan itu sudah ia buat sejak ia menjadi Gubernur dan semakin mudah ia kerjakan ketika menjadi Presiden. Karena masalah macet di Jakarta bukan hanya karena warga Jakarta saja, tetapi juga Jabodetabek yang bekerja di Jakarta. Dan warga Bekasi dan Depok baru saja menikmati trans Jakarta dengan ongkos hanya 3.500 rupiah saja, kemanapun. Sedikit lebih mahal dari harga secangkir kopi di warkop kaki lima. 

Ia sudah menuntaskan janjinya dengan macet, dan sekarang ia menuntaskan janjinya untuk banjir.

Pengambil-alihan reklamasi oleh pusat adalah bagian dari pemenuhan janji Gubernur Jokowi. Reklamasi harus dilaksanakan, karena menurutnya pada 2030 seluruh Jakarta utara akan berada di bawah permukaan laut. Karena itu ia mengambil alih proyek reklamasi 17 pulai dan mengintegrasikannya dengan mega proyek Giant Sea Wall atau tanggul raksasa yang disebut juga dgn proyek Garuda.

Jokowi ingin menuntaskan masalah banjir dari akarnya langsung, bukan hanya sekedar tambal sulam yang satu saat tambal-nya akan lepas. Jadi pengambil-alihan reklamasi dari tangan Pemda ke Pemerintah pusat bukan karena menyelamatkan situasi Ahok yg terus di bully, tetapi ingin menuntaskan masalah sebenarnya yang ada yang sudah ia rencanakan sejak menjabat Gubernur DKI. 

Entah apa yang terjadi jika Jokowi tidak menjadi Presiden, tentu masalah macet dan banjir di Jakarta tidak akan pernah selesai karena dibiarkan sudah cukup lama. Yang pusing itu meng-integrasikannya dengan daerah2 sekitar karena 2 masalah besar Jakarta itu terkait langsung dengan mereka. 

Nah, untuk yang dulu nyinyir - mungkin sampai sekarang - coba review kembali nyinyiran kalian dan koneksikan dengan situasi sekarang, mungkin sudah dapat jawaban. Jokowi menuntaskan kerjanya yang ia rancang saat menjadi Gubernur ketika ia menjadi Presiden.

Mungkin pak Jokowi selalu ingat dengan pepatah bahwa janji itu adalah kutang. Kutang tidak pernah berjanji akan isinya, kecuali ia diberi semacam busa tambahan spy tampak lebih menarik bagi pemirsa. 
Kok jadi melenceng gini ya... Kurang kopi kayanya.... Kopi mana kopiii ?

[denny siregar]

Lela Fitriyani, Blogger

Kelompok Islam Radikal Serang NU Mati-Matian, NU Tetap Cool dan Keren


Dunia Hawa - Statement Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengatakan “ pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim” menjadi perdebatan, khususnya di masyarakat pengikut paham wahabi. 

Perdebatan karena perbedaan pandangan itu sejatinya merupakan hal yang biasa karena Indonesia yang menganut paham demokrasi membebaskan seluruh warga negara untuk berpendapat dan menyalurkan pikirannya. Namun yang patut disayangkan adalah bagaimana perbedaan pendapat itu menjadi senjata untuk menghujat hingga menjatuhkan citra diri  seseorang, apalagi bila perbedaan pendapat ini meluas hingga menyeret orang lainyang tak bersalah. 

Ya, perdebatan ini lama-kelamaan menjadi bias dan menyeret hal-hal berbau SARA. Sebuah contoh nyata dalam kasus ini Hary Tanoesoedibjo. Kunjungannya dijadikan bahan fitnah oleh kaum radikal. Padahal kunjungannya tak lain untuk bersilaturahmi dan memberikan kuliah umum serta berbagi pengalaman kepada anak-anak santri disana. 

Apa salah HT? yang niatnya bersilaturahmi, memberikan semangat dan ilmu pengetahuan bagi anak-anak Indonesia. Apa karena berbeda agama? Bukankah dalam Islam, seorang mukmin wajib menghargai tamunya tanpa membedakan siapa dia, termasuk agamannya? 

Aneh rasanya, setelah saya baca di internet komentar-komentar orang-orang Wahabi ini, terlalu diada-ada saja. Mereka mempermasalahkan hal terkecil seperti  pakaian yang dikenakan HT, peci di kepalanya sampai santri yang mencium tangan HT pun di jadikan masalah. Kenapa tidak pernah ada gelombang protes ketika Michelle Obama yang datang ke Istiqlal menggunakan hijab padahal dia jelas-jelas berbeda keyakinan dan ras dengan kita? 

Saya ingin mengajak untuk melihat dari sudut pandang lain. Mari kita stop su'dzon dan mulai ber huznudzan, bukankah dalam persidanganpun selalu diuatamakan praduga tidak bersalah? Islam adalah agama yang indah karena toleransinya. Saya rasa kedatangan HT dengan menggunakan peci beserta baju koko merupakan salah satu indikator bahwasannya HT memiliki toleransi seperti yang diajarkan Islam pada umatnya. Ia menghormati cara berpakaian yang ada di dalam pesantren dan menerapkannya pada diri sendiri. 

Peci dan koko menurut hemat saya merupakan pakaian yang paaaaling pas digunakan ketika mengunjungi pesantren daripada setelan jas, kemejadan berdasi. Tak ada yang salah dengan hal tersebut. Dilihat dari sejarahnya, peci digunakan oleh Bung Karno sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan salah satu versi baju koko menyebutkan bahwa baju koko merupakan hasil asimilasi budaya yang diserap oleh orang betawi dari baju sehari- hari warga Tionghoa, yakni baju Tuikhim. 

Sekali lagi saya mengajak pembaca untuk berbaik sangka, dilihat dari segi kebiasaan, budaya cium tangan pada orang yang lebih tua sudah menjadi budaya di Indonesia. Saya bukan orang yang paham betul tentang agama, namun sedikit saya membahas melalui pandangan agama. Islam mengenal sebuah kaidah yang berbunyi: Al-`Aadatu Muhakkamah”. Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. 

Tapi ada satu hikmah yang saya ambil disini kaum radikal begitu berapi-api menjatuhkan NU. Tapi api tersebut tak dibalas dengan api, melainkan kesejukan khas NU. Saya yakin fitnah semacam ini tak akan mengecilkan NU maupun HT. Saya malah salut kepada NU yang tetap tenang, dan HT teruslah bangun anak-anak Indonesia.  Kalau yang radikal radikal biar kami yang atasi. Karena leih baik membangun negeri daripada fitnah saudara sendiri. 

[moscoy/ kompasioner]

Kasus Mirna: Secara Hukum, Jessica Bisa Bebas, Mengapa?


Dunia Hawa - Yang menjadi masalah sampai hari ini tak kunjung terjawab oleh Polda Metro Jaya adalah mengenai bukti apa yang dimiliki oleh penyidik Polda Metro Jaya sehingga menetapkan Jessica sebagai pelaku tunggal (Sampai sejauh ini). Terlebih lagi diketahui bahwa setelah penetapan Jessica sebagai tersangka pada tanggal 30 Januari lalu, Penyidik Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan pada tanggal 3 Februari di rumah Jessica. Tentu penyidik yang melakukan penggeledahan itu melakukan identifikasi serta melengkapi alat bukti lainnya yang diduga memiliki hubungan dengan kematian Mirna. Dan perlu diketahui bahwa barang-barang yang disita dalam penggeledahan tersebut sama sekali tidak memiliki kaitannya dengan tewasnya Mirna.

Dari hasil penggeledehan pada tanggal 3 Februari lalu penyidik menyita gumpalan tisu, pengeras suara, komputer, laptop dan CPU, Kartu kredit, rekening bank. Ini adalah penggeledahan kedua setelah sebelumnya pada tanggal 12 Januari penggeledahan juga dilakukan di rumah Jessica. Dari semua barang-barang yang disita penyidik jika dikaitkan dengan alat bukti pasal 184 KUHAP adalah menjadi tidak berarti apa-apa secara hukum. Menjadi tidak berarti apa-apa secara hukum karena gumpalan tisu yang disita sama sekali tidak memiliki kaitan tewasnya Mirna.

Menjadi pertanyaan besarnya adalah kalau gumpalan tisu itu disita, apa yang mau dilap oleh Jessica? Jika penyidik berkeyakinan gumpalan tisu itu memiliki kaitan dengan kematian Mirna (Untuk mengelap celana) , maka pertanyaan selanjutnya adalah jika benar Jessica yang menuangkan sianida ke es kopi Mirna, lalu kemudian tersisa sianida di celananya, maka pertanyaan besarnya selanjutnya lagi adalah mengapa bagian paha Jessica, paha kiri maupun paha kanannya tidak menunjukan gelaja iritasi? Padahal sianida adalah zat kimia yang cepat reaksinya bahkan bisa membuat kulit iritasi jika terkena cairan mematikan tersebut.

Harusnya kalau penyidik ingin melakukan penyitaan yang disita adalah sampah yang ada di rumah Jessica. Dan pertanyaannya jika sampah bercampur tisu itu sudah dibuang ke tempat sampah, maka yang harus dilakukan oleh penyidik adalah mencari sampah tersebut ke tempat pembuangan sampah, karena ini lazim untuk mengungkap tabir gelap sebuah kasus. Tetapi yang anehnya mengapa penyidik tidak menyita atau mengindentifikasi sampah yang ada di rumah Jessica kalau sampah itu belum dibuang ke tempat sampah di sekitar rumah Jessica? Menjadi tanda tanya besar apa manfaat terbesar dari menyita gumpalan tisu tersebut? Tidak ada manfaatnya sama sekali secara hukum karena tisu ini tidak menjadi petunjuk apa-apa dalam kasus tewasnya Mirna.

Begitupun dengan penyitaan pengeras suara yang ikut disita oleh penyidik. Lha, apa hubungannya pengeras suara dengan kematian Mirna? Tidak ada petunjuk sama sekali , karena pengeras suara juga tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk untuk mengungkap siapa pembunuh Mirna yang sebenarnya , karena tewasnya Mirna tidak ada sangkut-paunya sedikit pun dengan alat tersebut, apalagi dengan komputer dan CPU yang juga tidak bisa jadi petunjuk dalam kasus kematian Mirna yang tewas akibat menyeruput es kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia pada akhir 2015 lalu. Yang harusnya disita oleh penyidik saat itu bukan gumpalan tisu, pengeras suara, komputer apalagi CPU tetapi yang harus disita oleh penyidik saat itu adalah baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna, juga meja yang menjadi saksi bisu tewasnya Mirna.

Kenapa baju yang dipakai saat bertemu dengan Mirna yang harus disita? Tentu baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna ada sidik jari Jessica. Polisi tidak bisa kalau terus berkutat pada celana yang dipakai Jessica saat bertemu Mirna, karena sampai sekarang yang dimiliki oleh polisi hanyalah baru sebatas asumsi yang belum sampai pada fakta. Polisi baru bisa menduga kalau celana itu dibuang karena robek akibat tajamnya senyawa yang terkandung dalam sianida, tetapi kalau celana itu bisa robek , pertanyaan besarnya adalah mengapa paha kanan dan kiri Jessica tidak mengalami iritasi. Aneh bin ajaib kalau celana bisa robek karena sianida tetapi kulit paha Jessica tidak mengalami gejala iritasi sama sekali. Itu artinya, Jessica besar kemungkinan akan bebas di pengadilan.

Selain itu penyidik yang saat itu mengamankan pembantu yang bekerja di rumah Jessica juga perlu digali lagi keterangannya karena ucapan pembantu Jessica yang menyebut bahwa ia diperintahkan Jessica untuk membuang celana itu tidaklah terbukti sampai saat ini yang justru mengundang tanda tanya besar mengapa baju yang dipakai Jessica saat bertemu dengan Mirna tidak disita? Polisi harusnya tidak langsung saja mempercayai pembantu Jessica yang menyebut diperintahkan Jessica membuang celana itu, karena ucapan pembantu Jessica inilah yang makin menujukan bahwa polisi tidak memiliki bukti kuat untuk menjerat Jessica dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ancamannya adalaha hukuman mati.

Tidak ada bukti kuat sama sekali sampai hari ini. Ini terbukti dari keputusan Polda Metro Jaya yang hari ini kembali memperpanjang masa penahanan Jessica sampai 30 hari kedepan. Jika penyidik memiliki bukti kuat terkait apa yang disebutkan oleh pembantu Jessica tersebut maka berkas perkara kasus tewasnya Mirna dengan tersangka Jessica tidak akan bolak-balik penyidik-jaksa. Dua kali dikembalikannya berkas perkara kasus ini menunjukan bahwa sampai saat ini penyidik tidak bisa mengikuti petunjuk yang diberikan jaksa dalam menyusun berkas perkara terutama soal kelengkapan alat bukti. Terlebih lagi barang yang disita penyidik saat penggeledahan di rumah Jessica tidak memiliki kaitannya sama sekali dengan tewasnya Mirna, dan disitanya barang yang tidak memiliki kaitan dengan kematian Mirna inilah yang mengakibatkan jaksa mengembalikan berkas perkara kasus ini sampai dua kali.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh penyidik adalah mengapa penyidik tidak memberi police line pada locus delicti dari kasus ini. Locus delictinya jelas terjadi di Olivier Cafe, Grand Indonesia. Pada saat itu seharusnya penyidik langsung memberi police line meja yang menjadi saksi bisu tewasnya Mirna tersebut. Tidak hanya itu saja yang harus dilakukan oleh penyidik saat itu adalah melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang-barang yang ada di cafe tersebut untuk kepentingan penyidikan, Bahkan bila perlu selama proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya, Olivier Cafe seharusnya dihentikan total operasionalnya karena ini bertujuan untuk memfokuskan penyelidikan dan penyidikan terkait tewasnya Mirna.

Karena tidak ditemukannya bukti pembelian sianida tersebut juga menjadi pertimbangan bagi jaksa untuk mengembalikan berkas perkara tersebut, karena yang dibuktikan dalam kasus pidana adalah pembuktian materill, jika bukti pembelian sianida saja tidak dapat ditemukan oleh polisi, lantas apa yang bisa membuktikan Jessica pelaku dalam kasus tewasnya Mirna. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat selain bukti non fisik yang dimiliki oleh penyidik Polda Metro Jaya. Bukti non fisik yang dimaksud di sini adalah CCTV Olivier Cafe. Apakah cukup untuk proses pembuktian di pengadilan untuk menjerat Jessica dengan pasal 340 KUHP?

Sangat tidak cukup bahkan tidak berpengaruh apa-apa karena yang dibutuhkan pada saat pembuktian adalah adanya bukti fisik atau bukti langsung. Misalnya adanya saksi yang melihat kalau Jessica yang memasukan sianida. Tetapi kan sampai sekarang tidak ada satu saksi pun yang melihat Jessica memasukan sianida itu. Padahal saat terjadinya kasus ini, di cafe tersebut sedang ramai pengunjung. Pertanyaanya adalah bagaimana mungkin jika cafe itu ramai pengunjung tetapi tidak melihat gerak-gerik seseorang yang mencurigakan. Pasti pengunjung cafe akan mengamati Jessica dari meja masing-masing termasuk pelayan cafe. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya tidak ada satu saksi pun yang melihat Jessica memasukan racun sianida tersebut, termasuk pelayan cafe.

Nah lalu kemudian jika paper bag yang diletakkan Jessica diatas meja disebut sebagai salah satu cara Jessoica untuk menutupi aksinya, maka Jessica dianggap yang menaburi racun itu ke dalam gelas kopi Mirna? Tentu itu adalah pikiran konyol karena bisa kita saksikan hampir di mal-mal setiap ada barang belanjaan, mereka selalu meletakkannya diatas meja yang tak lain tujuannya adalah untuk menghindari barang itu dicuri pada saat pemilik barang itu lengah. Maka tak masuk akal kalau alasan paper bag dijadikan alasan Jessica menabur racun mematikan itu. Buktinya samoai sekarang pun penyidik tidak berhasil mengendus apotik mana, toko obat mana atau pabrik obat mana yang menjual sianida tersebut.

Tentu dari pembelian itu akan diperoleh bukti pembayaran dari pembelian sianida tersebut. Tetapi sampai sekarang itu tidak ditemukan polisi. Bahkan jeratan pasal 340 KUHP kepada Jessica di pengadilan akan sangat mudah sekali untuk dilepaskan dari Jessica karena sianida itu dijual dalam bentuk botol. Menjadi pertanyaanya adalah dimana botol sianida tersebut? Itu dulu yang harus ditemukan oleh penyidik. Selama bukti pembelian dan botol sianida tidak ditemukan maka kalaupun kasus ini sampai ke pengadilan hakim yang memimpin jakannya sidang akan tidak yakin semua bukti yang dikumpulkan oleh Polda Metro Jaya selama ini.

Mengapa tidak yakin dengan semua bukti yang sudah dikumpulkan penyidik tersebut? Jelas saja tidak dapat membuat hakim yakin karena sampai saat ini tidak ada bukti fisik atau bukti langsung yang menujukan kalau Jessica adalah pemilik racun mematikan itu. Tidak ada bukti langsung sampai sekarang. Karena jika penyidik berhasil menemukan bukti pembayaran sianida itu, atau mengetahui dimana sianida itu dibeli, apakah di apotik (Apotik mana, kota mana, kabupaten mana, dan provinsi mana), dan kalau itu dibeli di gudang obat (Gudang obat di kota mana, dan provinsi mana), maka hal tersebut akan membuat keyakinan hakim menjadi terbentuk dengan bukti tersebut, tanpa itu akan sia-sia saja. Maka hal tersebut akan membuat keyakinan hakim menjadi terbentuk dengan bukti tersebut, tanpa ditemukan bukti pembelian sianida dan botol sianida, itu hanya akan sia-sia saja.

Karena kalau ingin berbicara pasal 340 KUHP yang dijeratkan kepada Jessica , hal tersebut makin sia-sia karena tidak akan bisa dibuktikan perencanaannya sama sekali. Karena jika bukti pembelian sianida ditemukan maka akan diketahui pada tanggal berapa, bulan berapa sianida itu sudah dibeli dan diketahui pula siapa nama kasir yang jaga pada saat pembelian itu dilakukan.

Tetapi kan sampai sekarang penyidik hanya terus mengatakan sudah memiliki bukti yang kuat, jika bukti itu kuat, maka bukti yang harus ada didalamnya adalah bukti pembelian sianda dan botol sianida. Jika itu tidak ditemukan, 99% Jessica berpeluang bebas di pengadilan karena bukti yang ada tidak akan mampu menbuat hakim yakin kalau Jessica pelakunya. Tidak akan berhasil karena yang dibutuhkan hakim adalah bukti langsung bukan bukti tidak langsung (CCTV). Tetapi kalau sudah memiliki bukti yang kuat mengapa berkas sampai dikembalikan sampai dua kali? Berkas dikembalikan sampai dua kali karena jaksa tidak melihat adanya bukti kuat dalam berkas perkara tersebut, semua bukt yang tercantum diduga sebatas bukti non fisik (bukti tidak langsung) 

[ricky vinando/ kompasioner]