Sunday, April 24, 2016

Apakah Berhubungan di Malam Jumat = Membunuh 100 Yahudi?


Dunia Hawa - Terdapat beberapa ajaran yang diatas namakan sebagai ajaran agama Islam. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai pahala orang yang berhubungan di malam Jumat setara dengan membunuh 100 orang Yahudi. Hal ini masih menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Inilah jawaban dari pertanyaan mengenai sunnah rasul malam jumat suami istri.

Terdapat hadits yang menjelaskan bahwa apabila sepasang suami istri melakukan hubungan di malam Jumat maka mereka akan mendapatkan pahala setara dengan membunuh 100 orang Yahudi. Menurut pencarian dari beberapa hadits, diketahui bahwa hadits yang berisi pernyataan tersebut tidak terdapat di kitab manapun. Dalam hadits dhaif tidak ditemukan ajaran mengenai hal tersebut, terlebih dalam kitab shahih. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran ini memang tidak ada di dalam ajaran agama Islam.

Meskipun tidak terdapat hal itu di dalam hadits yang shahih, terdapat ajaran lain yang menjelaskan mengenai amalan hari Jumat. Sebuah hadits menjelaskan bahwa barang siapa yang mandi pada hari Jumat dengan mandi Janabah dan datang ke masjid pada waktu pertama, maka pahalanya setara dengan bekurban kambing. Apabila ia datang pada waktu kedua, maka pahalanya setara dengan berkurban sapi. Apabila ia datang pada waktu ketiga, maka pahalanya setara dengan kambing gibas. Apabila ia datang pada waktu keempat, maka pahalanya setara dengan berkurban ayam. Apabila ia datang pada waktu kelima, maka pahalanya setara dengan berkurban telur. Apabila imam telah datang dan mulai berkhutbah, maka para malaikat akan mendengarkan dzikir.

Berdasarkan cerita sunnah rasul malam jumat di atas, kita dapat tahu bahwa shalat Jumat memiliki keutamaan tersendiri. Di dalamnya juga disebutkan mandi Junub di hari Jumat. Sedangkan, seperti yang kita tahu bahwa salah satu alasan seseorang melakukan mandi Junub karena sudah melakukan hubungan suami istri. Apabila kita menganggap bahwa hadits ini sebagai bukti yang kuat, maka seharusnya hubungan suami istri dilakukan sebelum shalat Jumat, sehingga bukan pada malam Jumat.

Terlepas dari bahasan di atas, terdapat beberapa hal di luar sunnah rasul dalam hubungan suami istri yang dapat dilakukan sebagai amalan pada malam atau hari Jumat, antara lain:

1. Perbanyak membaca shalawat
Sebuah hadits menjelaskan bahwa siapa saja yang memperbanyak membaca shalawat maka ia akan ditinggikan derajatnya hingga dekat dengan Allah.

2. Shalat Jumat
Sebuah hadits menjelaskan bahwa tidak diwajibkan shalat Jumat bagi perempuan, hamba sahaya, anak kecil, dan orang yang sedang sakit.

3. Perbanyak doa
Sebuah hadits menjelaskan bahwa waktu antara Jumatan dan sebelum ashar adalah orang yang akan dikabulkan doanya.

4. Baca Al-Qur’an, terutama surah Al Kahfi
Sebuah hadits menjelaskan bahwa apabila kita membaca Al-Qur’an, terutama Al-Kahfi akan memberikan cahaya dalam hidup kita.

Sebagai seorang muslim, sebelum kita melakukan amal, maka kita harus tahu ilmu mengenai perilaku tersebut. Jangan melakukan amal apabila tidak ada ilmu yang mendukungnya, baik dari Al-Qur’an dan Hadits.

[tausiah islam]
http://tausiahagamaislam.blogspot.com/2016/02/berhubungan-suami-istri-di-malam-jumat.html?m=1

Pemakan Sendal


Dunia Hawa - Mungkin karena dianggap saya belum paham agama, maka dihujani-lah saya melalui inbox tentang cara memilih pemimpin muslim yg benar. 

Dan seperti biasa ayat ayat keluar, juga tafsiran ulama ulama tentang ayat itu. 

Saya bukan tidak paham bahwa ada ayat tidak boleh memilih pemimpin non-muslim, cuma yg saya mau tanya yang dimaksud pemimpin disini siapa? Pemimpin rumah tangga? Pemimpin perusahaan? Pemimpin negara? Atau pemimpin agama?

Kalau pemimpin agama, jelaslah tidak boleh. Bahkan yang non muslim pun tidak akan memilih pemimpin agama yang muslim, kacau jadinya. Pemimpin dalam agama itu yang menterjemahkan agama kepada para umatnya, kalau di Islam biasanya berlaku dalam fatwa fatwa. Bagaimana bisa non muslim memberikan fatwa kepada muslim, atau sebaliknya?

Lalu dibombardirlah saya dengan fatwa ulama ulama terdahulu yang juga mengartikan bahwa yang dimaksud pemimpin itu adalah juga pemimpin negara. 

Saya bertanya lagi, yang dimaksud negara itu adalah negara dengan sistem apa? Apakah sistem berdasarkan agama atau sistem yang tidak berdasar agama?

Kalau ini negara Islam, misalnya, maka wajiblah pemimpin agama itu juga pemimpin negara. Sebagai contoh negara Republik Islam Iran. Maka disana berlaku sistem Supremasi Ulama atau disebut Wilayatul Faqih, dimana ulama adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Pemimpin tertingginya diberi gelar Pemimpin Besar atau Rahbar. Kan tidak mungkin negara Islam di pimpin seorang Paus, karena Paus mempunyai negara sendiri yang dipimpinnya yaitu di Vatikan. 

Nah kalau negara sekuler yang memisahkan agama dan politik, seperti Indonesia, yang berlaku adalah Undang-Undangnya. Menyusun Undang Undang dan dasar negara itu tidak mudah, harus disesuaikan dengan banyak faktor. Ada tidak di Undang Undang-nya pemimpin harus muslim?

Kalau mau menyalahkan kenapa Indonesia bukan Republik Islam saja, ya salahkan Bung Hatta, KH Agoes Salim dan orang orang pintar dan relijius pada waktu itu. Apa kamu mau bilang bahwa kamu lebih relijius dari mereka? Apa yang sudah kamu perbuat untuk negara ini jika disandingkan dengan mereka? Wong tinggal makan, minum, beol dan hidup dengan tenang aja kok susah.. Merekamereka yang menyusun dasar negara sekarang ini bukan orang goblok yang tidak mengerti ayat dan tafsir ulama. 

Lagi pula kalau kamu masih memandang bahwa para pejabat di negara ini adalah pemimpin, berarti parameter-mu masih parameter zaman kolonialisme. Kenapa ? Karena pada zaman itu pejabat adalah pemimpin. Sedangkan pada saat sekarang, mindset seharusnya berkembang bahwa para pejabat itu adalah abdi negara. Mereka itu pelayan rakyat. Negara-lah pemimpin mereka. 

Mereka dalam skala kecil mirip dengan petugas administrasi negara seperti kepala kelurahan. Lha kalau lurahnya non-muslim, kok gak protes tho? Presiden, Gubernur, Walikota kan hanya skala administrasi-nya saja yang lebih luas. Mereka juga tidak mengatur caramu beribadah toh hanya mengatur negara ini, bener kan ? Udah taro dulu sandal itu, tak usah dimakan gitu.

Trus bagaimana dengan fatwa ulama terdahulu utk tidak memilih pemimpin non muslim? Yah, ulama kan manusia juga. Kadang mereka salah dalam menafsirkan, kadang mereka berfatwa demi melegalkan kekuasaan, kadang mereka berfatwa karena pesanan. Kan Nabi Muhammad saw juga berpesan hati hati kepada para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Bisa juga karena mereka ulama dengan nalar pendek. Seperti di Saudi ada fatwa dari seorang ulamanya, wanita dilarang makan terong karena mirip dengan burungnya pria. Masak ulama kayak gini harus diikutin? Tentu tidak toh? Udah sandalnya ditaruh. Tak usah dikunyah gitu. 

Saya sesat? Saya menggunakan akal saya dalam beragama kok dibilang sesat. Pilah-pilah dulu masalah, jangan main ambil ayat lalu kamu lempar dengan nafsu besarmu, atau kamu terikut nafsu ulama ulama yang sekarang banyak dimanfaatkan utk kepentingan politik. Loh, kok sandalnya jadi ketelen.. Aduh gimana ini? Kan saya dah bilang jangan dikunyah...

*Melewatkan malam di UGD*

[denny siregar]

Arab Kristen dan Injil Bahasa Arab


Dunia Hawa - Sejumlah kaum Muslim yang "lugu" di Indonesia sering berasumsi atau bahkan berkeyakinan bahwa Bahasa Arab itu "bahasa Islam", "bahasa suci" atau bahkan menurut "Ustad Ucup", "bahasa Surga". Tetapi pada saat yang sama, lucunya, mereka mengafirkan dan "me-neraka-kan" Kristen dan Yahudi (atau non-Muslim secara umum). 

Pertanyaanya: bagaimana dengan umat Arab Kristen dan Yahudi, yang seperti kaum Muslim Arab, juga menggunakan Bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berkomunikasi. Tidak hanya itu, tata-cara beribadah (misalnya kebaktian Minggu untuk Kristen atau sabat untuk Yahudi), nama-nama tempat-tempat ibadah (Sinagog dan Gereja), dan kitab suci mereka juga menggunakan Bahasa Arab. Foto di bawah ini hanyalah sekedar contoh Kitab Perjanjian Baru umat Arab Kristen dan Kitab Talmud umat Arab Yahudi yang ditulis dengan Bahasa Arab. 

Kitab Perjanjian Baru umat Arab Kristen

Kitab Talmud umat Arab Yahudi

Seperti saya jelaskan dalam berbagai postingan sebelumnya, dunia Arab bukan melulu "Dunia Muslim". Di kawasan ini, ada berjuta-juta masyarakat non-Muslim: Kristen, Yahudi, Yazidi, Baha'i, Zarastutra, atau bahkan agnostik dan ateis. Data dari Liga Arab misalnya menyebutkan ada sekitar 20 juta warga Arab yang memeluk Kristen. Mereka tersebar di Lebanon, Palestina, Suriah, Mesir, Irak, dlsb. Masyarakat Arab Yahudi, meskipun tidak sebanyak umat Arab Kristen, juga ada disini seperti di Bahrain, Oman, Yaman dll.

Karena Arab adalah bahasa mereka, maka umat Arab Kristen dan Yahudi ini juga bertutur-sapa dan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari juga menggunakan Bahasa Arab. Seperti kaum Muslim, mereka juga bilang "Allahu Akbar, insha Allah, masha Allah, assalamu 'alaikum, bismillah, alhamdulilah, shafaka Allah...". La iya donk pakai bahasa Arab, masak mereka bilang: sampurasun, sugeng enjing, selamat pagi dlsb. Sudah tentu Bahasa Arab mereka jauh lebih fasih ketimbang para "Arab KW" yang "genit" suka berantum-antum dan berakhi-ukhti itu. 

Jadilah umat Islam yang cerdas dan dewasa dalam berpikir dan bertindak. Perbanyaklah "turisme intelektual" supaya wawasan keagamaan dan keislaman kita semakin "bergizi" sehingga diharapkan semakin toleran dalam bersikap dan bertindak di masyarakat yang majemuk ini. Jangan cuma "wisata rohani" dan foto-foto di tempat-tempat suci melulu yang dibesar-besarkan...

Jabal Dhahran, Arab Saudi
[prof.sumanto al qurtuby]

Tak Ada Paksaan dalam Agama. Titik!


Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menemani Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb (kanan) saat berkunjung ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. ANTARA FOTO

Dunia Hawa - Saat itu, sekitar tahun 1970-an, Iran di bawah komando Ayatullah Khomaeni sedang berjuang menggulirkan Revolusi Islam. Murtadha Muthahhari menjadi ulama-intelek paling berpihak dan dipercaya Khomaeni. Ia menjadi “tangan” Khomaini di Iran ketika ia masih diasingkan di Prancis saat itu.

Di sisi lain, Marxisme dianggap sebagai ancaman atau setidaknya ideologi seberang bagi (ideologi) Islam. Namun, saat itu Muthahhari justru meminta Marxisme diajarkan di kampus-kampus Islam dan pesantren-pesantren, khususnya di Iran. Tujuannya, agar ia bisa dipahami secara benar dan utuh oleh sarjana-sarjana Muslim dan santri-santrinya, untuk kemudian dikritik dan dihancurkan bangunan paradigmatiknya yang dianggap bertentangan dengan Islam dan mengancam dunia Islam. Toh, bukankah dengan begitu iman dan Islam kita semakin mantap?!

Maka, Mutahhari menjadi salah satu sarjana Muslim Iran yang aktif berceramah dan menulis gagasan kritis atas Marxisme, materialisme, dan ideologi Barat lainnya. Ali Syariati, sarjana Muslim Iran lainnya, juga menulis karya khusus kritik atas Marxisme dan sesat pikir Barat lainnya.

Di Indonesia, tradisi itu dilakukan oleh, misalnya O. Hashem pada 1963 melalui karyanya berjudul Marxisme dan Agama.

Namun, entah kenapa saat ini sebagian umat Islam di Indonesia cenderung gemar melarang, sebagaimana sebagian mereka juga gemar mengkafirkan (takfiri). Padahal, pelarangan tentu bukan solusi. Sebab, bagi umat yang awam, tanpa dilarang pun mereka cenderung abai pada hal-hal semacam itu. Adapun bagi umat yang intelektual, pelarangan justru alih-alih memicu rasa ingin tahu dan membenci sikap arogan serta pembodohan semacam itu.

Pelarangan hanya timbul dari kekerdilan hati dan pikiran sebagian umat Islam atas keimanan dan keislamannnya. Ia juga bukan logika dan tradisi al-Quran. Al-Quran selalu menantang siapa saja yang ragu atasnya. Baca, misalnya, Al-Baqarah: 258 tentang bagaimana Ibrahim terbuka atas debat tentang Tuhannya. Atau baca Al-Baqarah: 23 yang menantang siapa saja yang meragukan Al-Quran untuk membuat satu ayat saja seperti ayat-Nya.

Adapun logika Muthahhari sebenarnya kepanjangan dari logika Al-Quran. Yakni Al-Quran tak pernah takut pada ancaman-ancaman doktrinil maupun ideologis apa pun, lantaran tentu kemantapan, kedewasaan, dan kebulatannya. Baca saja Al-Maidah: 105 yang menegaskan bahwa “orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk”.

Akhir ayat tersebut malah menyindir mereka yang suka melarang atau juga mengkafirkan dengan menyebutnya sebagai orang-orang yang seolah tak mendapat petunjuk dari Tuhannya.

“Tak ada paksaan dalam agama,” begitu firman Allah dalam Al-Baqarah: 256. [Seperti, misalnya dikemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ada yang menilai bahwa ayat ini di-naskh dengan ayat qital (perang). Namun, Tafsir at-Thabari, misalnya, menolak tegas pendapat tersebut. Bahkan ditegaskannya bahwa ayat ini turun pada masalah khusus, namun hukumnya berlaku umum]

Karena, pada dasarnya, agama adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan. Oleh karena itu, perkara tentang agama memang mustahil untuk dipaksakan. Orang bisa saja memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang bersifat fisik, namun orang tersebut mustahil bisa memaksa seseorang untuk mengimani atau mengingkari sebuah kepercayaan: agama.

Sebuah kisah dari Erik Saar, seorang sersan penerjemah bahasa Arab yang sempat berdinas di salah satu koloni Guantanamo, dalam bukunya erjudul Inside The Wire” yang diterbitkan oleh Penguin pada 2005, interogator di Guantanamo kerap melarang tawanan Muslim untuk melaksanakan ibadahnya, serta memaksa mereka melakukan hal-hal yang dilarang dalam agamanya.

Upaya itu dilakukan demi runtuhnya iman tawanan tersebut, sehingga mereka rela berbagi informasi dan berbalik menjadi berpihak pada interogator. Sebab, iman-lah yang memang menjadi kekuatan mereka: janji akan akhirat, saat Tuhan membalas semua keburukan dan kebaikan, sekecil apa pun (Surat At-Taubah: 7-8).

Namun, kenyataan yang terjadi justru paradoks. Tawanan itu sama sekali tak tergoda. Imannya tak goyah sedikit pun. Ia tetap diam dan mengunci mulutnya. Malah, ia justru menganggap sang interogator dan berbagai upayanya sebagai sesuatu yang sangat kotor dan menjijikkan, sebagai ujian untuk meningkatkan keimanannya.

Juga sebagai kebodohan, karena sang interogator tak tahu bahwa keyakinan agama adalah perkara hati, sedangkan paksaan hanya bisa sampai pada fisik saja. Sesekali mereka melumuri tawanan dengan darah haid, dengan harapan agar tawanan tak bisa menemui Tuhannya. Mereka begitu bodoh, tak tahu bahwa pada suasana terpaksa, fisik menjadi tak berarti ketika hati tetap tunduk pada-Nya.

Asbabun nuzul ayat tersebut, seperti diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas, juga tentang seorang laki-laki dari kaum Anshar bernama Hushain yang memiliki dua anak beragama Nasrani. Dia lalu mengadu pada Nabi dengan berkata, “Apa saya perlu memaksa mereka untuk memeluk Islam?” Maka, Allah kemudian menurunkan firman-Nya tersebut.

Ada juga yang menyatakan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut adalah adanya seorang wanita yang lama tak mempunyai anak, lalu berjanji bahwa jika memiliki anak, dia akan memasukkannya ke agama Yahudi. Tatkala orang Anshar mendengar itu, mereka langsung berkata, “Kami takkan membiarkan anak-anak kami (menjadi Yahudi)”. Lalu, turunlah ayat tersebut.

Kepercayaan adalah buah dari pikiran dan pemahaman. Karenanya ayat tersebut sebenarnya sebuah perintah agar kita tak melakukan seluruh bentuk pemaksaan dalam mendakwahkan agama, yang didasarkan atas informasi bahwa karena memang pada kodratnya agama diciptakan sebagai sebuah kepercayaan atau keyakinan di hati dan pikiran yang mustahil bisa dipaksakan, bagaimanapun juga caranya.

Menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya (Ayat Kursi) telah menjelaskan tentang Allah, kewajarannya untuk disembah, dan keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya. Jelas pula sebelumnya bahwa kekuasaan-Nya tak terbendung, sehingga–seperti juga dijelaskan di ayat-ayat lain (Al-Ma’idah: 48) bahwa–Dia bisa saja memaksa manusia untuk mengikuti jalan yang telah ditentukan-Nya. Namun, Dia tegaskan bahwa Dia sama sekali tak melakukan itu dan ayat ini juga menampik orang-orang yang mungkin menduga bahwa Dia akan melakukan itu. “Apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?,” sindiran Allah dalam Surat Yunus: 99.

Alih-alih menurut Quraish Shihab, Islam berarti damai. Dia menghendaki kedamaian bagi kita. Karenanya, Dia tak mau memaksa, sebab kedamaian tak bisa diraih oleh jiwa yang terpaksa.
Allah juga tahu bahwa sebenarnya kita ingin sekali setiap orang masuk dalam jalan keselamatan yang kita yakini adalah Islam. Namun, keinginan itu harus dikelola dan dicukupkan dengan menyampaikan kebenaran.

Adapun hasilnya sama sekali itu bukan menjadi penilaian Allah atas kita. Sebagaimana Syekh Nawawi al-Bantani jelaskan dalam Tafsir Al-Munir ketika menafsir ayat tersebut, yakni bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui tentang Nabi yang menginginkan Ahlul Kitab masuk Islam. Itulah rasa kasih hati Nabi. Namun, justru karena kasih itu, ia tak mau memaksa.

Begitulah teladan Nabi. Padahal, seperti kita tahu, posisi ayat ini adalah ayat yang turun di Madinah. Artinya, ia turun dalam kondisi Nabi menang dan berkuasa. Namun, tetap saja Nabi tak mau memaksa atas nama kekuasaannya. Sebagaimana takwil Imam al-Razi bahwa ayat itu terkait dengan mereka yang memeluk Islam setelah peperangan. Karenanya, salah satu posisi ayat ini semacam konfirmasi bahwa mereka yang menjadi Muslim bukan karena takut, tapi karena pilihan sadar dan bebas mereka.

Lebih jauh, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Wasith menegaskan posisi ayat ini sebagai ayat pendukung kebebasan beragama dalam Islam dan pelarangan memaksakan agama. Penyebaran adalah dengan memberi kepuasan dan bukti, dengan hujjah dan penjelasan, bukan penindasan dan paksaan. Selaras dengan takwil Imam al-Razi atas ayat tersebut yang menurutnya juga menegaskan bahwa keimanan dibangun bukan di atas paksaan, melainkan pengetahuan.

Wahbah az-Zuhaili, melalui ayat ini, juga mengkritik slogan kaum orientalis bahwa Islam tegak dengan pedang. Baginya, pedang hanya alat membela diri dalam Islam, bukan menyebarkan agama. Karena itu, ayat ini adalah pondasi dari visi Islam bagi kerukunan antar umat beragama.

Suasana yang ingin dibangun dalam kebaikan (termasuk dakwah Islam, tentunya) adalah suasana kompetitif, sesuai tuntunan Al-Baqarah: 148. Tak ada unsur paksaan. Tak ada prestasi bagi mereka yang memaksa, sebagaimana tak ada ketulusan pada mereka yang terpaksa.

[Husein Ja'far Al Hadar/geotimes]

Husein Ja'far Al Hadar

Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir


Paus Fransiskus mencium kaki sejumlah pengungsi, termasuk tiga pria Muslim, saat ritual pencucian-kaki di pusat pengungsi Castelnuovo di Porto dekat Roma, Italia, Kamis (24/3). ANTARA FOTO/REUTERS/Osservatore Romano/Handout via Reuters

Dunia Hawa - “Saya sekali lagi ingin menekankan pentingnya dialog dan kerja sama di antara kaum beriman, terutama Kristen dan Muslim.” Itu ucapan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada kaum Muslim menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2013, hanya beberapa bulan setelah dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik.

Seorang pemangku otoritas tertinggi agama Katolik menyapa umat Muslim dengan sebutan kaum beriman tentu punya makna penting, apalagi dilihat dari sejarah hubungan Muslim-Kristen yang kompleks. Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), sikap Gereja Katolik (dan juga Protestan) terhadap Islam memang mengalami perubahan signifikan.

Dalam dokumen Nostra Aetate, yang merupakan deklarasi hubungan Gereja dengan agama-agama lain, disebutkan secara eksplisit “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi.”

Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir? Saya seringkali mendengar orang-orang bilang, “Ya, nggak apa-apa kita sebut mereka kafir, wong orang Kristen juga sebut kita kafir.”

Bagaimana reaksi mereka setelah tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman? Mungkin mereka akan berdalih, soalnya bukan pantas atau tidak pantas, tapi bagaimana agama kita mengajarkan cara bersikap terhadap umat agama lain.

Mari kita diskusikan, walaupun serba singkat, bagaimana sikap Islam terhadap kaum Kristiani dari dua aspek: Apa yang dikatakan Kitab Suci dan apa yang terjadi dalam sejarah.

Siapa Orang Kafir?
Tentu saja kata “kafir” dan berbagai derivasinya muncul banyak sekali dalam al-Qur’an, dan para ulama berdebat tentang identitas siapa orang-orang kafir itu. Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir di antara ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Ini untuk menunjukkan bahwa ahlul kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir.

Menurut Cak Nur, kata “di antara ahlul kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh ahlul kitab.

Saya ingin lebih jauh menafsirkan sebuah surat dalam al-Qur’an yang jelas-jelas menggunakan kata itu, yakni surat al-Kafirun. Saya akan ajukan dua model tafsir, yang satu berdasar pada temuan mutakhir atas naskah-naskah al-Qur’an kuno, dan yang kedua pada metode tafsir klasik menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.

Model tafsir pertama boleh jadi akan memunculkan kontroversi karena dianggap “mengutak-atik” teks al-Qur’an yang sudah diterima luas. Tapi kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang.

Ortografi teks al-Qur’an awalnya tidak disertai harkat atau diakritik dan bacaan panjang biasanya tidak ditandai dengan alif. Belakangan muncul penelitian serius yang khusus menelisik naskah-naskah al-Qur’an kuno, seperti dilakukan oleh François Déroche, Keith Small, dan Gerd-R Puin.

Sarjana yang disebut terakhir secara lebih khusus meneliti pembubuhan alif ke dalam teks al-Qur’an kuno, dan tafsir saya ini pun didasarkan pada temuannya. Sebenarnya apa yang dilakukan Puin juga bukan skandal. Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif ditambahkan ke dalam al-Qur’an.

Nah, bagaimana kita membaca surat al-Kafirun? Salah satu problem dalam surat ini ialah pesannya yang tidak sinkron. Ayat terakhir “lakum dīnukum wa-liya dīn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, “Wahai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.”

Untuk menyinkronkan pesan toleransi surat ini, maka kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang dibaca panjang perlu dibaca pendek sebagai bentuk penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena alif baru ditambahkan belakangan.

Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir
(2) sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Itulah toleransi yang sejati: Walaupun kita sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, silakan Anda mengimani agama Anda, dan aku mengimani agamaku.

Jika tafsir model ini tidak memuaskan Anda, mari tafsirkan surat al-Kafirun dari perspektif “tafsir al-Quran dengan al-Qur’an.” Logika sederhana surat di atas ialah, bahwa Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim. Lalu, apa yang dikatakan al-Qur’an tentang Tuhannya kaum Kristiani?

Memang, al-Qur’an mengkritik beberapa aspek dari keyakinan teologis Kristen, terutama konsep Trinitas dan ketuhanan Yesus. Ini persoalan cukup kompleks yang perlu didiskusikan tersendiri. Namun, kendati mengkritik, al-Qur’an mengafirmasi secara eksplisit bahwa kaum Muslim dan Kristiani percaya dan menyembah Tuhan yang sama.

Kita bisa simak surat al-Ankabut ayat 46 yang memerintahkan pengikut al-Qur’an untuk tidak mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik, dan diperintahkan untuk mengatakan “Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu.” Al-Qur’an juga menegaskan, nama Allah yang disebut di masjid, gereja, synagog atau biara ialah Allah yang sama (Q.22:40).

Dengan demikian, ahlul kitab (termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan menyembah Tuhan yang sama. Karena itu, surat al-Kafirun tidak terkait dengan umat Kristiani karena yang menjadi audiens surat itu ialah mereka yang menyembahkan Tuhan yang berbeda dari Tuhannya kaum Muslim.

Sebagian mufasir menelusuri asbab al-nuzul surat itu terkait orang-orang musyrik. Walaupun saya skeptik dengan historitas asbab al-nuzul, jika benar itu justeru mendukung tafsir yang tidak mengasosiasikan umat Kristiani dengan kekafiran.

Iklim Polemik
Sejak kapan umat Kristiani disebut kafir? Penyebutan mereka sebagai kafir merupakan produk sejarah, lebih khusus lagi, terkait proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an dalam iklim polemik. Memang sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah cenderung menggambarkan Islam sebagai agama yang sudah sempurna seperti kita lihat saat ini sejak zaman Nabi. Jadi, sejak awal hanya ada dua kategori: Muslim dan kafir.

Dalam buku Kontroversi Islam Awal, saya sudah jelaskan proses gradual Islam menjadi agama yang kita saksikan sekarang. Sebenarnya proses kristalisasinya berlangsung lebih perlahan dari yang kita asumsikan. Di zaman Nabi dan beberapa dekade setelahnya, pengikut al-Qur’an dan penganut agama lain seperti Yahudi dan Kristen berada di bawah tenda besar, yang disebut kaum beriman. Fred Donner menjelaskan fenomena ini cukup bagus dalam Muhammad dan Umat Beriman (2015).

Ketika perlahan para pengikut al-Qur’an dan Nabi memisahkan diri dari komunitas beriman itu, maka proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an melibatkan eksklusi umat agama lain, termasuk Kristen. Maka, konstruksi dikotomis antara “menjadi Muslim” dan “menjadi kafir” mulai diperkenalkan.

Iklim polemik dari proses pembentukan identitas ke-Muslim-an ini dapat dibaca bukan hanya dari sumber-sumber Muslim, tapi juga non-Muslim. Iklim polemik yang dimaksud di sini ialah situasi di mana beragam agama berupaya menonjolkan superioritas masing-masing, sehingga berkecamuk polemik.

Seorang teolog Kristen awal yang lama bekerja di bawah pemerintahan khilafah Umayyah di Suriah, Yuhanna al-Dimasqi (675-753), menulis deskripsi polemis tentang Islam sebagai agama sempalan dari Kristen. Dia menggambarkan Nabi Muhammad diajari oleh seorang biarawan Kristen, tapi kemudian membentuk agama sempalan (heresy) sendiri.

Bisa kita bayangkan, dalam iklim polemik semacam itu para pengikut Nabi tentu bereaksi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama wahyu yang dibawa Muhammad untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Nabi tidak diajari penganut agama lain. Justeru mereka yang menolak ajaran Islam adalah orang-orang kafir (infidels). Kategori kafir yang semula hanya dikaitkan dengan kaum musyrik mulai diperluas cakupannya.

Maka, dalam karya-karya ulama belakangan kaum kafir dikelompokkan dalam sedikitnya tiga kategori: musyrik, ahlul kitab dan semi-ahlul kitab. Bahkan, ada yang membedakan antara musyrik Arab dan non-Arab. Masing-masing kategori ini memiliki implikasi hukumnya sendiri. Di sini terlihat betapa pengkategorian ahlul kitab sebagai kafir merupakan produk sejarah, sebuah kebutuhan di tengah proses formasi dan konsolidasi identitas keagamaan untuk membedakan satu sama lain.

Pernyataan polemis seperti dikemukakan tokoh Kristen Juhanna al-Dimasqi sekarang tidak lagi menjadi kebijakan Gereja. Sejak Vatikan II semangat ekuminisme mewarnai hubungan Muslim-Kristen seperti terlihat dalam pesan Idul Fitri Paus Fransiskus. Dalam Lumen Gentium, konstitusi dogma gereja yang juga dihasilkan Konsili Vatikan, disebutkan “Rencana Tuhan untuk keselamatan juga meliputi mereka yang mengakui sang Pencipta, terutama kaum Muslim.”

Kini saatnya umat Muslim juga melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani.

[mun'im sirry/ geotimes]

Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA. 

Akhirnya Ngaku, Prasetyo : Saya Anak Buah Pak Aguan, Jadi Ketua DPRD Karna Bantuan Dia..


Dunia Hawa - Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Prasetio Edi Marsudi mengakui pernah bertemu bos perusahaan properti, PT. Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.

Prasetio pun blak-blakan mengenai hubungannya dengan Aguan. Aguan sekarang dijadikan KPK sebagai saksi dalam kasus tersangka mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M. Sanusi atas dugaan suap pembahasan raperda reklamasi dan zonasi.

"Jadi gini, waktu itu saya lupa kapan. Jadi tuh kan saya sama Pak Aguan pernah jadi anak buahnya. Pernah kerja di salah satu perusahaannya. Saya ini kan istilahnya bisa sampai kayak gini (ketua DPRD DKI) kan salah satunya kan dukungan dari dia (Aguan)," kata Prasetio, Rabu (20/4/16).

Pernyataan Prasetio menyusul adanya kasus dugaan suap dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Kasus ini kemudian menjerat mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M. Sanusi, Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja, dan assistant personal Podomoro Trinanda Prihantoro menjadi tersangka.

Di tengah penanganan kasus tersebut, terungkap adanya pertemuan sejumlah pimpinan DPRD DKI Jakarta dengan Aguan, meski belum diketahui apakah hal ini terkait langsung dengan kasus yang telah menjerat Sanusi atau tidak. Tetapi dalam pertemuan hari itu di Pantai Indah Kapuk, Sanusi hadir.

Sejak menjabat ketua DPRD, Prasetio mengaku lama tak bersilaturahmi dengan Aguan. Sampai akhirnya dia menyambangi kediaman Aguan yang berada di kawasan Pantai Indah Kapuk.

Ketika itu, Prasetio mengajak Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra Mohamad Taufik, Ketua Fraksi Partai Hanura DPRD DKI Mohamad Sangaji, dan Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Selamat Nurdin.

Prasetio mengatakan Taufik kemudian mengajak adiknya, Sanusi, ikut.

"Secara pribadi saya datang ke sanalah. Aku nggak ada pikiran apa-apa. Aku ngajak yang lain ya, biar aku kenalin sama bos, kita silahturahim sajalah, saya ajak Ongen dan Selamat Nurdin ketemu sama Pak Taufik. Kan mereka nggak kenal sebelumnya. Di rumahnya (Aguan) hari Minggu," kata Prasetio.

Prasetio membantah isu yang menyebutkan pertemuan tersebut untuk membicarakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang saat itu tengah dibahas Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta.

"Nggak tahu kalau Sanusi dan yang lain (bicara apa). Nah pas di situ nggak berapa lama kan saya perokok, saya keluar (buat ngerokok). Pak Aguan masuk lagi karena ada tamu, terus saya pulang," ujar dia.

"Ngomong biasa saja becanda saja. Nggak ada yang spesifik soal Raperda. Cuma saya kenalin saja (Taufik, Ongen dan Selamat). Ini kan simpang siur. Seolah olah ada pembicaraan soal raperda," Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta menambahkan. 

[lensaberita.net]