Friday, April 22, 2016

Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?


Dunia Hawa - Ketika saya katakan “Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama”, muncul tuduhan bahwa saya menyamakan Islam dan Kristen. Tuduhan ini ngawur karena kedua agama itu jelas berbeda. Yang lebih ngawur lagi, ada yang mempertanyakan kenapa saya tidak pindah agama saja jika Tuhan kaum Muslim dan Kristiani sama.

Cara mudah menjawab tuduhan begini ialah dengan analogi, walaupun lemah secara filosofis. Jika Anda sudah menjatuhkan pilihan pada pasangan Anda karena apa pun alasannya, tidak berarti Anda bisa seenaknya gonta-ganti pasangan hanya karena ada kesamaan, misalnya atraktif. Anda bisa saja menganggap orang lain atraktif (paling hanya dijitak oleh pasangan Anda!) dan tidak harus menikahinya. Walaupun ciri yang sama ada pada orang lain, ada hal-hal yang menyebabkan Anda tetap setia pada pilihan Anda itu.

Sebagaimana saya tulis sebelumnya, al-Qur’an sendiri menegaskan secara eksplisit bahwa Tuhan kaum Muslim dan ahlul kitab itu sama. Persoalannya, bagaimana Tuhan yang sama ini diekspresikan berbeda? Jika dalam Kristen, Tuhan menjelmakan dirinya dalam diri Yesus sebagai koinonia (perjumpaan dan keterlibatan Ilahi untuk keselamatan umat manusia), dalam Islam Tuhan digambarkan demikian transenden yang tidak menjelmakan dirinya, melainkan kehendaknya melalui al-Qur’an.

Makanya, sejumlah ahli perbandingan agama mengusulkan yang dibandingkan itu bukan al-Qur’an dan Bible, tapi al-Qur’an dan Yesus. Karena, jika dalam Islam firman Tuhan menjadi kitab (inlibration), dalam Kristen firman menjadi Yesus (incarnation).

“Tuhan yang Diciptakan”
Konsep teologis inlibrasi dan inkarnasi menggambarkan betapa berbedanya kedua agama ini menggambarkan Tuhan yang sama. Dalam Islam, al-Qur’an menempati posisi sentral karena Tuhan mengkomunikasikan kehendaknya melalui kitab ini. “Itulah kitab yang tiada keragunan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,” begitulah bunyi ayat kedua surat al-Baqarah. Jika ingin tahu apa kehendak Tuhan, baca kitab ini.

Yang menjadi pusat pewahyuan dalam tradisi Kristen bukanlah kitab (Bible), melainkan diri Yesus sebagai penjelmaan Tuhan yang sempurna. Bagi Kristen, Yesus ialah inkarnasi Tuhan, sementara Bible diyakini sebagai kesaksian normatif tentang Tuhan yang menjelmakan dirinya. Teks tertulis itu sendiri bukan fokus, melainkan berfungsi sebagai pernyataan tentang keterlibatan Tuhan dalam sejarah Israel kuno, di dalam diri Yesus, dan dalam hidup generasi awal para pengikutnya.

Walaupun penjelasan di atas bersifat karikatur dan menyederhanakan, tapi kita bisa lihat betapa perbedaan konsepsi wahyu (dalam Islam, Tuhan mewahyukan kehendaknya dalam al-Qur’an; dalam Kristen, Tuhan mewahyukan dirinya dalam Yesus) punya implikasi penting bagi status al-Qur’an dan Bible. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita tidak memahami atau memaksakan konsep wahyu dalam satu agama untuk diterapkan pada agama lain. Saya akan tulis tema ini di lain waktu.

Yang ingin saya diskusikan di sini ialah implikasi teologis dari perbedaan konsepsi wahyu tersebut. Kenapa Tuhan yang sama diekspresikan begitu berbeda?

Sebagai titik-berangkat, ada baiknya kita renungkan penjelasan Ibn Arabi, sufi abad ke-13, tentang Tuhan. Bagi Syeikh Akbar, setiap konsepsi tentang Tuhan yang kita kembangkan sebenarnya bukan Tuhan itu sendiri, melainkan “Tuhan yang diciptakan dalam keyakinan” (al-ilāh al-makhlūq fi al-I‘tiqādāt). Perbedaan ekspresi (‘ibrah) tentang Tuhan merupakan sesuatu yang lumrah, karena Tuhan yang misteri memang memungkinkan untuk dikonseptualisasi secara beragam. Di balik ekspresi yang berbeda terdapat Tuhan yang sama.

Ekspresi berbeda tentang Tuhan yang sama dipertegas lagi dalam hadits qudsi, “ana fī dhanni ‘abdī bī” (aku seperti yang dibayangkan hambaku tentangku). Yang manjadi masalah, kata Ibn Arabi, ialah ketika orang atau sekelompok orang tidak lapang dada dan menyalahkan orang lain yang punya ekspresi berbeda tentang Tuhan. Apa kata Ibn Arabi tentang sikap seperti itu? “Itu adalah tanda-tanda kebodohan!”

Pandangan Syeikh Akbar ini perlu kita refleksikan kembali. Ketegangan yang ditimbulkan oleh perbedaan ekspresi ketuhanan, yang satu menekankan transendensi dan yang lain penjelmaan diri, telah menyedot energi umat Muslim dan Kristen sejak ratusan tahun sejak pertemuan kedua agama ini. Tujuan Ibn Arabi jelas bukan untuk merelatifkan pemahaman ketuhanan setiap agama, melainkan untuk menekankan misteri Tuhan. Apakah Tuhan dapat diketahui (knowable) atau tidak (unknowable) adalah persoalan ontologis-epistemologis yang tak pernah selesai didiskusikan.

Sejauhmana Tuhan atau sifat-sifatnya bisa diketahui merupakan tema dialog dan perdebatan yang melibatkan tokoh-tokoh Muslim dan Kristen sejak pertemuan mereka yang cukup awal. Beberapa dialog mereka direkam dan dapat dipelajari, walaupun mungkin bukan transkrip dari perbincangan yang sebenarnya terjadi. Misalnya, dialog antara Patriark Yuhanna I dan seorang amir Muslim yang terjadi di tahun 644, atau Patriark Timothy I dan khalifah al-Mahdi. Juga debat antara Theodore Abu Qurrah dan sejumlah teolog Muslim di Istana Khalifah al-Makmun.

Seperti diduga, perdebatan mereka berpusat pada soal konsep ketuhanan Kristen, yakni Trinitas. Yang menarik, apa yang dipersoalkan saat ini sebenarnya sudah mereka diskusikan lebih dari seribu tahun yang lalu. Bahkan, kesan saya, berbagai pertanyaan tentang Trinitas yang muncul sekarang lebih elementer daripada yang dulu mereka diskusikan.

Tauhid dan Trinitas: Dua Konsep yang Sulit
Membaca berbagai komentar tentang tulisan saya, “Umat Kristen Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir” (Geotimes, 15 April), tampak bahwa yang mereka persoalkan ada dua: (1) Trinitas itu tidak masuk akal dan (2) tidak jelas sumbernya karena tidak disebutkan dalam Bible. Dulu, para teolog Kristen sudah berupaya menunjukkan aspek “rasionalitas” Trinitas, misalnya, dengan menganalogikan dengan matahari yang bersinar dan panas. Sinar dan panas tidak bisa dipisahkan dari matahari. Ketiga aspek (matahari, sinar, dan panas) ialah satu.

Seperti saya katakan, analogi memang bukan argumen filosofis yang kuat, tapi cukup untuk menjawab mereka yang berpikir pendek. Ketika pertanyaan yang sama kembali muncul pada abad ke-13, Thomas Aquinas memberikan jawaban yang lebih meyakinkan. Doktrin Trinitas, kata Aquinas, tidak bisa sepenuhnya didasarkan pada akal karena apa pun penjelasan rasional tetap punya keterbatasan. Misteri itu perlu dipahami dari wahyu.

Lalu, wahyu yang mana jika kata “trinitas” sendiri tidak ditemukan dalam Bible? Pertanyaan ini muncul karena ketidakpahaman soal konsep wahyu dalam tradisi Kristen. Seperti saya jelaskan di awal, wahyu dalam Kristen ialah penjelmaan Tuhan (disclosure of God) dalam Yesus untuk menebus dan menyelamatkan umat manusia. Keterlibatan Tuhan dalam sejarah keselamatan dipahami lewat ruh kudus. Dari sinilah misteri Trinitas (Bapa, Anak, dan Ruh Kudus) dipahami dan dirasakan oleh kaum Kristiani.

Jika masih ada yang ngeyel menyebut Trinitas sebagai konsep rumit, apakah tauhid dalam Islam konsep ketuhanan yang mudah dipahami? Jawabnya, tidak. Keduanya merupakan konsep yang berkembang perlahan dalam sejarah teologi, yang didorong oleh keingintahuan manusia tentang watak Tuhan. Jika Tuhan bersifat kekal, apakah sifat-sifatnya juga demikian? Pertanyaan ini melibatkan perdebatan panjang di kalangan teolog Muslim awal karena memang sulit menemukan jawaban yang memuaskan semua pihak.

Maka, berbagai dimensi tauhid seperti tauhid al-dzat, tauhid sifat, tauhid uluhiyah, dan tauhid rububiyah itu dikembangkan untuk menjelaskan kerumitan konsep monoteisme Islam yang begitu ketat. Beberapa teolog Kristen awal yang menulis karya-karyanya dalam Bahasa Arab, seperti ‘Ammar al-Basri dalam kitab al-Burhan, sudah mencoba menjelaskan Trinitas dengan menggunakan terminologi kalam, seperti sifat-sifat Tuhan, agar Trinitas dapat dipahami kaum Muslim.

Dari berbagai dialog dan perdebatan yang melibatkan ulama Muslim dan Kristen itu terlihat betapa masing-masing pihak memiliki gairah kuat terhadap keyakinan sendiri, tapi juga bersemangat untuk menjadikan keyakinannya dapat dipahami pihak lain. Soal doktrin ketuhanan memang sulit dan seringkali dihindari untuk diskusikan dalam dialog lintas agama. Namun demikian, perbincangan semacam itu juga berpotensi memperkaya pertemuan Muslim dan Kristen, bukan justru menghambat hubungan baik.

Akhirul kalam, mari kita saling menghargai perspektif keagamaan yang berbeda. Menekankan persamaan (commonalities) itu penting, namun tak kalah pentingnya ialah menghargai perbedaan. Walaupun kaum Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama, biarkan mereka tetap setia pada agama masing-masing.

[mun'im sirry/ geotimes.co.id]
http://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/

Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA.

Murid Saudi-ku yang Spesial


Dunia Hawa - Di antara sekian ratus murid-murid Arabku semester ini, ada beberapa yang cukup spesial seperti dalam foto ini. Yang satu dari suku Badui, satunya lagi dari suku al-Faifi (atau al-Fifa). Kedua suku ini sangat unik di Saudi. Nama "Badui" (English: Bedouin) berasal dari kata "badawi" dalam Bahasa Arab yang berarti "penduduk padang pasir". Kata "badawi" sendiri berasal dari akar kata "badiyah" yang berarti "daratan padang pasir". Sebutan "badui" sebetulnya dari orang lain. Mereka sendiri menyebutnya sebagai "Arab".   

Suku Badui masa kini yang pecah menjadi berbagai suku dan klan ('asya'ir) merupakan keturunan para nomads yang tinggal dan hidup berpindah-pindah di daerah gurun Arabia dan Suriah. Kini mereka tinggal di berbagai wilayah gurun di Afrika Utara dan Timur Tengah. Dalam sejarahnya, mereka tinggal di tenda-tenda dan selalu pindah tempat tergantung musim dan cuaca. Ciri lain dari kelompok ini adalah penggembala onta dan kambing. 

Masyarakat Badui dikenal sangat sederhana, ramah, pemurah, dan sangat menghormati tamu. Seperti ditunjukkan dalam berbagai studi antropologi, konon jika ada tamu atau orang asing datang atau mampir, orang-orang Badui akan minta para tamu untuk menginap di tenda-tenda mereka sambil menikmati hidangan ala kadarnya, khususnya "teh Arabia" yang aduhai rasanya. Bukan hanya itu, mereka juga akan memotong kambing atau domba untuk dihidangkan kepada sang tamu tadi, meskipun sebetulnya mereka sangat membutuhkan domba / kambing itu. Bagi mereka, yang penting tamu kenyang meskipun mereka lapar.   

Meski cukup banyak dari komunitas Badui yang sudah mengalami "transformasi gaya hidup" dalam hal berpakaian (seperti muridku ini yang mengenakan pakaian formal khas Saudi) dengan tinggal di kota-kota, mereka masih memelihara dan mempraktekkan tradisi dan warisan kebudayaan Baduwi seperti berpuisi / berpantun, musik tradisional, "tarian pedang" dlsb. Mereka juga menggelar aneka "festifal Badui" di berbagai daerah.    

Selain Suku Badui, Suku Al-Fifi juga unik. Mereka hidup dan tinggal di pegunungan berbatu atau dataran tinggi yang sangat terjal dan sulit dijangkau di wilayah Jizan, Saudi. Karena medan darat yang sangat sulit untuk transportasi, akhirnya mereka mengembangkan "transportasi udara" yang antik (seperti dalam foto ini).


Sangkin tingginya daerah dimana suku ini tinggal, maka daerah ini sering disebut sebagai "tetangga bulan" atau "surga bumi". Suku Faifi ini memiliki kostum / busana, makanan, adat, tradisi & kebudayaan sendiri. Mereka juga memiliki Bahasa Arab sendiri yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat Arab lain. Hanya yang orang-orang yang bermental baja (seperti muridku ini) yang mau berkelana mencari ilmu dan berani berkompetisi dengan suku-suku lain. Melihat mereka berdua, saya seperti melihat diriku sendiri: orang gunung dan mantan penggembala kambing...

Jabal Dhahran, Arab Saudi

[prof.sumanto al qurtuby]

Main Catur Ala Jokowi


Bang Yos Sutiyoso mulai menunjukkan taringnya.

Dunia Hawa - Sesudah sempat kepleset dengan memilih Banyu Biru sbg salah satu anggotanya, ia langsung masuk gigi 4 untuk membayar kesalahannya.

Hasilnya ? Dua orang koruptor besar yang selama ini tidak terjamah, dilibas. Dan bukan itu saja, ia sudah mengeluarkan ancaman kepada 33 koruptor lainnya untuk mengejar mereka ke ujung dunia, dimanapun mereka berada.

Bang Yos mematahkan gigi mereka yang dulu meremehkannya, sebagai seorang yang berada pada posisi kepala BIN karena "berjasa" kepada Jokowi waktu pilpres. Seakan2 kursi BIN itu hanya sebuah hadiah belaka, tanpa meihat kapasitasnya.

Hal yang sama terjadi pada Budi Waseso.

Buwas banyak dilecehkan dan di bully ketika ia menjabat sebagai kepala Bareskrim. Ia seperti "attack dog" yang hanya menerima perintah majikannya. Kacamata kuda Buwas sudah banyak memakan korban dalam bentuk kriminalisasi, terutama pada beberapa pimpinan KPK waktu itu. Memang aneh sekali Buwas kala itu.

Keanehan Buwas bukannya menghantam dia karena dianggap "melawan" perintah Presidennya. Ia malah ditarik keatas dan ditempatkan pada posisi yang tepat. "Mengonggonglah disana sekeras2nya..", begitu pesan yg tersirat.

Dan Buwas bukan hanya menggonggong ketika menjadi kepala Badan Narkotika, ia menggeram, mengejar, menghantam transaksi2 narkotika besar di seluruh Indonesia. Harga barang haram itu melambung sangat tinggi ketika Buwas menggantikan Anang Iskandar, yang sama gilanya. Gemetar lutut bandar2 itu dibuatnya. Dan lihatllah, Bareskrim yang sekarang dipimpin Anang Iskandar pun kembali tenang dan profesional.

Apa yang menarik disini ?

Yang menarik adalah kemampuan Jokowi menempatkan orang2 pada tempatnya. Ia mampu menempatkan buah2 catur sesuai posisinya yang tepat dengan meihat karakter dan kapasitasnya.

Jokowi bukan orang yang sibuk menyerang balik ketika ia diserang. Ia dingin. Ia mengamati dulu situasinya, meng-kalkulasinya, mengenali orang2nya dan kemudian menempatkan bidak pada posisi sempurna. Ia menata kuda, benteng dan peluncur pada posisi yang tepat dan - tanpa disadari musuh - itu menjadi kekuatan.

Dengan penempatan yang strategis seperti itu, siapapun yang dulu meremehkannya, mulai berhitung dengan cermat. Mau menyerang darimana ? Jangan2 serangan malah jadi skak mat.

Jokowi merangkul orang2 yang pantas dirangkul, meski secara politik, orang itu sempat berseberangan dengan dirinya.

Menariknya, kepada koruptor besar-pun ia menggunakan strategi yang cerdas. Ia tidak langsung menghantam mereka, karena ketika diancam untuk dihantam, maka hilang-lah uang negara yang dulu pernah dirampok. Ia menggunakan taktik "pengampunan bersyarat", terutama pada masalah lama. Anda kembalikan uangnya dulu, sesudah itu mari bicara keringanan.

Dan lihat, Samadikun Hartono koruptor BLBI lama berjanji akan mengembalikan 169 miliar rupiah hasil rampokannya. Begitu juga kepada pengemplang pajak yang menempatkan uangnya di luar negeri. Jokowi memegang nama2 mereka. Ia menaruh jaring pengampunan pajak, asal mereka kembali membawa uangnya ke Indonesia. Ambil peluang bagus ini, atau kami sikat. "Ini masalah kewibawaan pemerintah, " kata Bang Yos.

Apa yang dilakukannya mirip dengan China. China menerapkan hukuman mati kepada koruptor baru, bukan koruptor lama. Yang lama diberikan pengampunan bersyarat. Tetapi yg korup sesudah UU hukuman diberlakukan, maka eksekusi segera.

Ini sebenarnya menjawab pertanyaan seorang teman, "kenapa abang tidak pernah menyerang kebijakan Jokowi ?" Kebijakan Jokowi tidak bisa dirasakan langsung pada hari ini. Orangnya visioner dan kita baru bs merasakan dampaknya di kemudian hari. Menyerang kebijakannya pada waktu ia mengeluarkan kebijakan, sama saja menelan paku. Ketika ternyata ia benar, paku itu nyangkut di tenggorokan. Susah nelan jadinya.

Ah, jadi pintar awak gegara nonton pakde maen catur ini. Perlu bercangkir kopi untuk memahami langkah2nya yang dingin. Secangkir kopi, cukuplah untuk pemanasan..

Seruputtt, pakde....

[denny siregar]

Bang Ruhut, Apa Kabar Bang ?


Dunia Hawa - Ah, sering kali awak liat wajah abang itu di medsos. Dimanapun kayaknya abang hadir terus. Abang ini termasuk orang yg paling konsisten dr banyak politikus Indonesia. Yang laen muncul sebentar, trus tenggelam. Tapi abang tak pernah lekang.

Awak ingat waktu zaman SBY, abang ini termasuk orang yang paling gigih membela, mau gimanapun salahnya. Abang ini defender sekaligus striker handal. Gocekan abang maut kali. Awak lama2 paham, abang ini termasuk orang yang loyalitas-nya kuat. Bukan masalah benar atau salah, tapi masalah loyal. Nampak kali Medan abang ni. 

Sampai sekarang-pun abang tetap loyal. Biar abang sekarang bela Jokowi, kalau si bapak serang Jokowi, abang tak menyerang si bapak. Abang diam. Orang seperti abang inilah yang bisa bertahan dimanapun berada. Banyak yang respek sama abang, meski banyak juga yang benci. 

Awak ingat pepatah dalam memilih pemenang pemilu, "Lihat kemana PKS berpihak dan pilihlah lawannya.." Tapi abang beda. "Lihat kemana Ruhut Sitompul berpihak, dia-lah pemenangnya.."Abang ini macam kompas kalau lagi pemilu. Hidung abang tajam kali, kalah pun doberman sama abang. Para politikus itu harus banyak belajar sama abang.

Pintar kali abang mainkan media. Abang tau kapan harus ngomong, kapan diam. Abang tau kemana harus berpihak, supaya naik nama abang. Abang pencari panggung yang cerdas, tahu kapan keluar. Harusnya begitulah politikus, bukan dekat pemilihan aja baru nampak mukanya. Abang sabar memainkan catur abang, kadang2 sedikit curang, masak kuda jalannya T. Silap mata, lewatlah orang abang makan. 

Pilgub DKI inipun abang maenkan catur abang. Abang tau Ahok sedang popular, abang pun pasang badan. Harusnya Demokrat ikuti abang. Atau mungkin abang ini sedang mengarahkan Demokrat dengan gaya abang. "Woii, duit limpul.. Kalian buta apa ? Ahok ini calon pemenang. Pegang dia, naek nama partai ini nanti.."

Abang hajar semua lawan2 Ahok, mulai Yusril sampai ketua BPK. Kalaupun nanti Yusril menggugat Ahok ke pengadilan, awak yakin abang tawarkan diri ke Ahok untuk bela dia. Pengacara lawan pengacara. Nama abang-pun naek lagi. Benar2 promosi yang cerdas. Bangga kali aku ada orang batak cerdas kayak abang. Ngga kayak si Ginting itu. Liat mukanya aja, tambah terus makan awak. Pas lagi laper pulak. 

Semakin terkenal abang, semakin terbuka pulak jalan abang untuk maju jadi kepala pemerintahan. Tingkat abang ini sudah layak jadi calon Gubernur. Kalau abang nyalon, aku pun mau jadi wakil abang. Nanti nama kampanye kita Sitompul dan Siregar. PULGAR. Jorok kali awak rasa nama kita, ya bang... ah tak jadilah awak jadi wakil. 

Satu yang awak salut dari abang. Jelek2 abang ni, belum pernah dengar sekalipun kalo abang korupsi. Abang hebat. Abang udah kaya, yang korupsi itu miskin2 semua bang. Awak angkat cangkir dulu lah buat abang untuk yang satu ini. 

Asu dahlah, bang. Sini lah dulu, ngopi2 dulu sama adek abang ni. Bayarilah dulu hutang adek di warkop bang, abang kan banyak duitnya. Awak merana kali bang... Ndang adong hepeng... Masak gara2 hutang, tiap awak minum kopi gelasnya bau sabun. Awak mau diracun, bang.. 

Bang... Awak ngantuk, tinggal tidur dulu lah ya bang.. Awak selalu ingat pesan abang dulu, "Takkan lari gunung dikejar.." Awak dah ga ngejar gunung2 itu lagi bang.. Cape kali pun awak kejar2 mereka, lari semua. Semua harus pake hepeng, bang.. Hepeng. 

Zzzz.. Zzz...zz.

[denny siregar]

PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila


Wawancara Aidit dengan Solichin Salam ini koleksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip ini telah terbuka untuk publik.

Dunia Hawa - SIKAP PKI mengenai Pancasila, terutama sila pertama, kerap dituding mendua menurut lawan-lawan politiknya. Banyak kejadian yang jadi dalih, dari penolakan ide negara Islam hingga tuduhan dalam pidato tahun 1964 Aidit mengatakan bila sosialisme Indonesia tercapai, Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai filsafat pemersatu. Pada akhirnya Aidit lebih sering menekankan pernyataan Sukarno bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu. Pada 1964, PKI juga menerbitkan buku berjudul Aidit Membela Pantja Sila.

Wartawan Solichin Salam memanfaatkan kesempatan mewawancarai DN Aidit, ketua CC PKI, untuk menanyakan banyak hal. Tapi tampak jelas bahwa dia mencoba mengorek pandangan Aidit mengenai agama dan Pancasila. Hasil wawancara itu dimuat di majalah Pembina pada 12 Agustus 1964.

Berikut petikan wawancaranya.

Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu). Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan...” Sebagaimana juga Bung Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan... Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu... dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga...”.

Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.”

Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?

Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.

Dalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner. Misalnya agama Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani melakukan perlawanan terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa membangkitkan massa budak. Juga dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada Marxisme, adalah sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.

Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme “Malaysia”, maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.

Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia memeluk agama Islam?

Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur “Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur “A” demi persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.

Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama?

PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.

Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan ajaran-ajaran Marxisme?

Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis, belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.

Bagaimana pendapat Saudara mengenai agama Islam, apakah ajaran-ajarannya progresif revolusioner ataukah sudah out of date? Organisasi-organisasi Islam manakah yang progresif revolusioner?

Out of date atau tidak, hal ini tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak revolusioner, maka ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak revolusioner, maka ia juga out of date, yang berarti pada hakekatnya ia bukan partai komunis sekalipun namanya partai komunis. Mengenai organisasi Islam mana yang progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan memutuskannya. Hal ini tergantung pada tindak-tanduk organisasi-organisasi Islam itu sendiri.

[historia]
http://historia.id/modern/wawancara-dn-aidit-pki-menentang-pemretelan-terhadap-pancasila

Emak Ku Bukan Kartini


Dunia Hawa - Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia.” Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.

Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.

Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.

Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.

Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.

Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. “Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku.” begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”

Aku bujuk Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.

Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.

Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? “Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.

[ kang hasan/abdurakhman.com]