|
Denny Siregar
"Ah, elu pendatang. Harus baik2 kalau disini.." |
Dunia Hawa - Ketika SMP di Jakarta, saya sering sekali mendapat teguran seperti itu. Maklum, daerah tempat tinggalku dulu masih banyak orang Betawi-nya. Dan karena saya bukan orang betawi, maka di klasifikasi-kanlah saya sebagai pendatang. Dan pendatang harus menghormati masyarakat asli, dalam kondisi apapun.
Saya setuju ketika itu dalam konsep hormat menghormati. Tetapi saya tidak setuju ketika saya dikatakan sebagai pendatang. Sebutan itu seperti "melecehkan" karena secara akta kelahiran, saya lahir di Indonesia. Begitu juga ayah, kakek, buyut dan tetua2 yang lahir jauh sebelum saya, mereka lahir di Indonesia. Jadi, bagaimana saya bisa dikatakan sebagai pendatang ?
Lama saya baru paham, bahwa sebutan dalam bentuk melecehkan seperti itu sebenarnya hanya bagian dari kekhawatiran yg besar. Khawatir ketika mereka yang disebut "warga asli" mulai tergerus ke pinggir, terdesak oleh laju pertumbuhan urbanisasi. Terdesak oleh perubahan.
Dan mereka sulit bertahan, karena tidak mampu bersaing. Saya melihat sendiri bagaimana "warga asli" itu dengan mudahnya menjual tanah warisan yang luas2 itu kepada "pendatang". Kenapa begitu ? Karena hanya itu yang mereka punya, warisan tanpa keahlian yang memadai.
Pada akhirnya, mereka hanya punya sebuah kebanggaan saja, bahwa mereka adalah warga asli dan yang lain hanyalah pendatang.
Sama persis seperti ketika seseorang menyebut dirinya "kami pribumi..". dan biasanya diikuti pelecehan - kebanyakan terhadap etnis tionghoa - bahwa mereka pendatang. Si Aseng, yang berstatus non pribumi.
Istilah pribumi ( kalau di Malaysia disebut Bumiputera ) menurut sejarahnya diciptakan oleh kolonial Belanda, untuk memisahkan mereka yang melayu dengan etnis lainnya. Yang melayu mereka sebut dengan "inlanders". Dan pembagian etnis lainnya dikelompokkan dalam satu komunitas etnis yaitu arab, cina dan india.
Kenapa kolonial Belanda menyebut seperti itu ?
Tentu untuk memecah belah supaya tidak menjadi satu kekuatan yang berbahaya bagi mereka. Maka pemecahan paling awal adalah mengkelompokkan satu dengan lainnya dan diberi sekat. Dikelompokkan supaya saling berperang dan prok prok Belanda yang menang.
Padahal kalau melihat sejarah, sulit sekali menunjuk siapa yang pribumi dan yang bukan, karena gelombang masuknya ke nusantara ini kurang lebih semua sama. Bahkan budaya antar etnis sudah banyak bercampur. Banyak bahasa cina dan bahasa arab yang menjadi bahasa Indonesia, baik yang baku maupun pergaulan.
Lalu kenapa istilah pribumi dan non pri masih menjadi isu ?
Karena di pelihara. Saat kepemimpinan Soeharto, isu itu dipelihara betul mengikuti jejak Belanda. Ketika ada kepentingan, maka benturkan. Dan pribumi dan non pri, akhirnya mempunyai makna yg lebih luas yaitu si miskin dan si kaya. Si kaya digambarkan-lah sebagai etnis tionghoa.
Arab dan India ? Ah, mereka pribumi, karena warna kulitnya agak2 sama. Jadi maklumi saja ketika ada yang berwajah arab tereak, "kembalikan Indonesia kepada pribumi.." Lah, dia sendiri juga bukan pribumi. Gimana sih, berbie ?
Isu ini menguat akhir2 ini, terutama pada saat kepemimpinan Ahok yang etnis cina dan dituding kongkalikong dengan pengusaha2 etnis cina lainnya yang kaya2. Lucu juga, padahal yang ditangkap KPK ada yang cina ada juga yang betawi. Mana yang lebih salah ? "Ya yang cina dongggg.... dia kan non pribumi", teriak yang ber-etnis India.
Pusing kan ? Begitulah yang terjadi. Dan percaya atau tidak, yang suka teriak pri dan non pri itu, apapun suku dan etnisnya, sebenarnya adalah mereka yg tidak mampu bersaing. Saking takutnya ga dapat kerja karena minimnya keahlian, mereka pun menyebarkannya dengan berita, "tenaga kerja China sekarang menyerbu Indonesia.."
Mereka bingung sendiri membedakan China sebagai negara dan cina sebagai etnis. Sama seperti mereka tidak mampu membedakan komunis dan atheis. Yah begitu itu, akhirnya onani sendiri.
Jadi kalau ada yang teriak, "Kami pribumi..", Langsung jawab aja, "Emak lu kiper...."
Dan sambil seruput kopi ditemani hujan sejak pagi hari, saya ketawa membayangkan masa lalu, ketika akhirnya saya menghajar wajah mereka yang mengatakan saya pendatang dan disuruh menghormati mereka, padahal mereka yang memalak saya setiap hari.
"Gak perduli gua pendatang, elu asli, tapi yang gua tahu duit gua cuman cukup buat ongkos sekolah pulang pergi.. Daripada gua jalan kaki, mendingan ancur2an disini..."
Jakarta dulu emang keras. Kalau lemah, ditindas.
"Mereka yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat" Imam Ali as.
[denny siregar]