Tuesday, March 15, 2016

Misi Utama Nabi Muhammad Bukan Untuk Mengislamkan Dunia


Dunia Hawa - "Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?" (QS Yunus 10:99). 

Banyak yang kaget rupanya ketika disodorkan ayat ini. Misi utama Nabi itu sejatinya bukan untuk menaklukkan dunia dan mengislamkan semua orang. 

Misi Nabi itu dijelaskan oleh al-Quran sebagai rahmat untuk semesta alam. "Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS. Al-anbiya 21/107). Dan dijelaskan sendiri oleh Nabi dalam satu riwayat Hadis Sahih: "Sesungguhya aku diutus untuk meyempurnakan akhlak yang mulia." Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq (HR Bukhari).

Menebar Rahmat dan memperbaiki Akhlak itulah misi utama Nabi, bukan maksa-maksa orang lain masuk Islam atau memaksa mengikuti fatwa dan tafsiran kita sendiri, atau bahkan memaksa orang lain mengikuti pilihan politik kita. Pemaksaan terhadap orang lain itu bukan rahmat dan bukan pula akhlak yang mulia. La ikraha fi al-din. Tidak ada paksaan dalam beragama. 

Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: "tidak perlu memaksa mereka. Barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah maka mereka akan memeluk Islam. Barang siapa dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam". 

Tafsir Fi Zhilalil Qur'an mengonfirmasi bahwa "manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pula lah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut." 

Keimanan itu tidak perlu dipaksakan. Dakwah itu mengajak, bukan memaksa. Maka hindari cara-cara yang memaksa. QS al-Nahl 16/125 memberi kita petunjuk metode dakwah yang harus ditempuh: Pertama, dengan hikmah, kedua, dengan mauizah (nasehat/pelajaran) yang baik dan terakhir kalau harus berdebat, bantahlah dengan argumentasi yang lebih baik. 

Tidak perlu pula menjelekkan atau menghina kepercayaan orang lain. Bahkan standar moral yang luar biasa ditegaskan dalam QS al-An'am 6/108: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." Kita dilarang dengan tegas untuk menistakan Tuhan dan sesembahan agama lainnya. Inilah akhlak yang diajarkan al-Qur'an. 

Mari kawan ...Kita tunjukkan pada penduduk dunia akan ketinggian ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta dan membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia. Begitu mereka tahu maka biarkan mereka sendiri yang akan berbondong-bondong masuk Islam. 

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat". (QS al-Nashr 110/1-3)

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand



Benarkah Al-Qur'an itu Kitab Suci Yang Paling Mengajarkan Kekerasan?


Dunia Hawa - Pertanyaan semacam ini muncul, khususnya di dunia barat, ketika sejumlah aksi terorisme atas nama Islam bertebaran dimana-mana. Mereka tentu berasumsi bahwa kitab suci umat Islam lah sumber dari aksi teror tersebut. Benarkah?

Tom Anderson penasaran. Dia menggunakan software OdinText yang menscan 100% isi al-Qur'an, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dia kemudian memasukkan sejumlah kata dan frase yang mengekspresikan emosi seperti marah, takut, bahagia, destruksi dan pembunuhan. Melalui software tersebut Tom Anderson meraih hasil yg mengejutkan hanya dalam dua menit.

Text analytics yang dia lakukan hasilnya sebagai berikut: 

Pembunuhan dan penghancuran ternyata lebih banyak diungkap oleh Perjanjian Lama (5.3%) ketimbang Perjanjian Baru (2.8%). Sebagai perbandingan, ayat-ayat soal.pembunuhan dan penghancuran di dalam al-Qur'an cuma berisi 2.1% saja --lebih rendah dari kitab suci pegangan Yahudi dan Nasrani. Jelas tidak benar anggapan bahwa al-Qur'an adalah kitab suci yang paling mengajarkan kekerasan. 

Temuan mengejutkan lainnya adalah term "pengampunan" di dalam al-Qur'an sebanyak 6.3%. Ini lebih banyak ketimbang Perjanjian Baru (2.9%) dan Perjanjian Lama (0.7%). Tuhan dalam al-Qur'an lebih banyak mengampuni ketimbang menghukum.

Tentu saja bertumpu pada analisa teks baru setengah cerita. Dari teks muncul tafsir. Bahkan yang sering dianggap teks ternyata hanya terjemahan Qur'an yang tentu saja tidak sama dengan kesucian teks al-Qur'an --padahal sebagian pihak sudah berani menyalahkan pemahaman dan praktek keislaman saudaranya hanya dengan bersandar pada teks terjemahan versi yang dia pakai.

Sejatinya, analisa teks harus ditambahi dengan analisa konteks. Dengan kata lain hasil eksperimen Tom Anderson di atas harus diteruskan dengan discourse analysis untuk menjawab pertanyaan lanjutan: kalau al-Qur'an lebih banyak bertutur soal kasih sayang ketimbang kekerasan, kenapa prilaku sebagian umat malah sebaliknya: semakin kuat beragama maka menjadi semakin serius, sensi, gampang tersinggung, pemarah, tegang, keras dan cenderung reaktif? #sodorincerminkemukamasing2

Kemana perginya teks al-Qur'an yang dimulai "dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" dàlam prilaku kita sehari-hari? Kita menyapa Allah dengan al-Rahman dan al-Rahim tapi sudahkah kita tebar kasih sayang ke penjuru dunia? Mudah untuk diucapkan namun sulit untuk diterapkan, bukan? #introspeksimasing2yuk


Tabik,

Nadirsyah Hosen
Monash Law School



Terjemah al-Qur'an


Dunia Hawa - Jargon "kembali kepada al-Qur'an dan Hadis" merupakan hal yang mulia, namun bisa menjadi masalah bila dipraktekkan sebagai: "kembali ke terjemahan al-Qur'an dan Hadis". Kenapa? karena seringkali kita dapati mereka yang gemar menyalah-nyalahkan pendapat orang lain hanya berdasarkan terjemahan al-Qur'an.

Proses menerjemahkan al-Qur'an sebetulnya bagian kecil dari penafsiran. Penerjemah tidak hanya sekedar menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, tapi juga konteks dan pilihan redaksi yang dipilih khususnya pada kata yang mengandung arti bercabang. Tidak jarang penerjemah memasukkan pemahaman dan penafsiran versinya sendiri ke dalam terjemahan al-Qur'an. Itu sebabnya kita lihat berbeda-beda penerjemahan al-Qur'an.

Kalau menerjemahkan saja sudah beragam versinya, bagaimana pula penafsiranya? Tidak ada penafsiran tunggal, Itu sebabnya para ulama menyusun berjilid-jilid kitab tafsir yang berbeda sesuai dengan sudut pandang mereka, disiplin ilmu yg mereka kuasai, maupun kecenderungan mazhab dan situasi politik, sosio-ekonomi mereka hidup. Itu semua akan mempengaruhi cara mereka menafsirkan al-Qur'an.

Sebagai contoh, pernah pada suatu waktu, seorang kawan yang jengkel dengan tulisan saya, kemudian mengecam saya dengan menuliskan terjemah al-Qur'an Surat al-Rum ayat 59: "Demikianlah Allah menutup hati orang-orang yang tidak mau memahami (Al Qur'an)".   

Maksudnya tentu ingin mengatakan lewat terjemah tersebut betapa hati saya telah terkunci sehingga tidak bisa memahami kebenaran al-Qur'an. Alamakkkk mudah sekali memvonis orang lain :)

Ketimbang balas ngomel-ngomel, saya memilih untuk menunjukkan penafsiran ayat yang dipakai untuk "mementung" saya itu. Sepintas terjemah ayat yang dikutip itu sudah kita pahami maknanya. Namun kalau kita buka kitab-kitab tafsir maknanya ternyata amat luas. Bahkan kita pun akan menyadari terjemah yang dipilih, baik disadari atau tidak, sudah bagian dari penafsiran si penerjemah.

Ini teks arabnya: kadzalika yathba'ullah 'ala qulubilladzina la ya'lamun

Kalau kita perhatikan terjemah di atas ada dalam kurung kata al-Qur'an yang diselipkan. Padahal teks asli sama sekali tidak menyebut kata al-Qur'an secara langsung. Darimana penerjemah bisa memasukkan kata al-Qur'an dalam terjemah tsb? Salah satu jawabannya adalah dari konteks ayat-ayat sebelumnya.

Namun itu bukan satu-satunya pemahaman. Tafsir Jalalayn, misalnya, mengatakan: ayat itu bicara soal al-tauhid (keesaan Allah). Jadi, bukan soal mereka tidak mau memahami al-Qur'an. Pemahaman ini juga senada disebutkan dalam
Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Penjelasan lebih panjang
ditulis oleh Tafsir al-Thabary yg mengatakan "mereka tidak mengetahui hakikat apa yang telah didatangkan kepada mereka dari sisi Allah berbagai pelajaran dan ayat yang jelas, tidak mengerti hujjah ttg Allah, tidak paham atas apa yang dibacakan dari kitab Allah, mereka itu ragu-ragu dalam kesombongan mereka." 

Tafsir al-Mizan mengatakan bahwa mereka jahil terhadap Allah dan ayat-Nya diantaranya mengenai soal kebangkitan setelah mati. Jadi, Syekh Thabathaba'i tidak mengatakan mereka jahil terhadap semua isi al-Qur'an, melainkan mereka tidak memahami ayat-ayat kebangkitan setelah mati (al-ba'ts ba'dal maut). Beliau mengaitkan dengan tiga ayat sebelumnya yaitu QS 30: 56 

Begitulah, tafsir lebih luas dari sekedar terjemah, dan kita bisa lihat keragaman penafsiran di atas baru pada satu ayat saja. Jadi, kalau ada yang bilang dengan merujuk pada al-Qur'an maka semua perdebatan ulama akan selesai, maka dapat dipastikan mereka belum terbiasa membaca beragam kitab tafsir al-Qur'an, karena para ulama tafsir semuanya juga merujuk pada al-Qur'an. Metode tafsir yang mereka aplikasikan juga beraneka ragam.

Ketimbang memaksakan hanya satu penafsiran yang benar atau menganggap tafsir ulama lain keliru, mungkin lebih baik kita mulai membiasakan diri untuk hidup dalam naungan satu Al-Qur'an dengan beragam tafsirnya, sehingga apapun persoalan yang kita hadapi, tafsir al-Qur'an akan memberi beragam pilihan.

Jargon "Kembali kepada al-Qur'an" selayaknya dipahami sebagai "kembali kepada beragam penafsiran dalam al-Qur'an". Jangan dipahami secara sempit sebagai "kembali kepada terjemah al-Qur'an" semata. Kalau saja kita persilakan saudara kita menyelami makna ayat-ayat al-Qur'an, boleh jadi dia mendapatkan makna lebih banyak dari apa yang kita pahami.  

Wa Allahu a'lam bis shawab.

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand yang kebetulan lagi tugas mengajar di Monash Law School



Alasan Pantang Komsumsi Makanan Pedas Sebelum Bercinta


Dunia Hawa – Ritual bercinta bisa bergulir monoton dan membosankan bagi pasangan suami dan istri yang telah menikah selama menahun.

Jangan heran, jika Anda membaca dan mendengar pengalaman seseorang yang begitu kreatif dalam menghadirkan “warna” baru dalam momen bercinta.

Variasi yang dimaksud bisa berupa posisi akrobatik, lokasi bercinta yang lebih romantis, dan memanfaatkan lezatnya makanan dalam sesi intimasi bersama suami.

Menurut Kathryn Boiling, MD, seorang terapis di Mecy Medical Center, AS, banyak pasangan yang menggunakan makanan untuk menghangatkan sesi pemanasan atau foreplay.

Namun, cara tersebut, kata Boiling, bisa menjadi penyebab infeksi.

“Memanfaatkan gula sebagai lubrikan, entah sengaja atau tidak, bisa mengakibatkan infeksi ragi,” ujar Boiling.

Infeksi dan jamur pada tubuh, sebut Boiling, bisa berasal dari gula.

Selain itu, Boiling juga menganjurkan agar pasangan suami istri menghindari mengonsumi makanan pedas sebelum bercinta.

Pasalnya, makanan pedas bisa menebarkan aroma tak sedap di area intim wanita dan juga pada mulut.

Kemudian, makanan pedas juga membuat perut cepat mulas sehingga meningkatkan masa gas pada tubuh. Alhasil, Anda bisa terus buang angin selama bermesraan dengan suami.

[Prevention.com]



Sepatu “High Heels” Sebabkan Anda Gagal Bercinta hingga Klimaks


Dunia Hawa – Umumnya, wanita pasti akan setuju bahwa mengenakan sepatu tumit tinggi atau high heels, memang ampuh dalam “mendongkrak” postur tubuh sehingga terlihat lebih jenjang dan mengagumkan.

Tak sedikit wanita yang begitu santai mengenakan sepatu high heels sepanjang hari. Apakah mereka lelah dan merasakan sakit di bagian belakang tubuh? Entahlah.

Namun yang pasti menurut Eden Fromberg, D.O., dari SoHo OBGYN, New York, AS, mengatakan bahwa terlalu sering mengenakan sepatu high heels menyebabkan deformasi antara kaki dan panggul wanita.

Lalu, dampak buruk lainnya adalah gangguan pada otot psoas yang terletak di belakang diafragma atau menempel di tulang belakang Anda.

Nah, kondisi yang demikian, kata Dr Fromberg, bisa menyebabkan wanita kurang bergairah saat bercinta. Hasilnya, aktivitas bercinta dengan suami pun berlalu tawar.

“Ketika otos psoas terlalu tegang karena sepanjang hari mengenakan sepatu high heels, ini bisa mempengaruhi sensitivitas Anda terhadap rangsangan seksual sehingga mempengaruhi kemampuan menikmati orgasme,” jelas Dr Fromberg.

Dr Fromberg menegaskan ketika tubuh wanita mengalami deformasi dan ketegangan otot psoas, maka dipastikan mereka cenderung sulit mencapai klimaks ketika berhubungan seksual.

  [Woman's Day]



Peluang Orgasme Lebih Tinggi Ketika Bercinta Saat...


Dunia Hawa – Momen bercinta paling optimal ketika diakhiri dengan orgasme. Namun, sayang sekali, tidak semua pasangan suami istri yang cukup beruntung merasakan orgasme setiap kali melakukan aktivitas seksual. Apa pasal?

Selain kondisi tubuh dan beban pikiran, hal paling menentukan dalam pencapaian titik klimaks ketika bercinta adalah waktu bercinta.

Menurut Laurie Watson, seorang terapis seks dan konselor pernikahan di Raleigh, NC, sekaligus penulis Wanting Sex Again, mengatakan bahwa waktu terbaik bercinta dengan peluang orgasme paling tinggi adalah satu hari sebelum menstruasi.

“Kala uterus mengencang karena akumulasi darah, maka labia (bibir tepi vagina) lebih sensitif, begitu pula jaringan klitoris yang sangat peka pada sentuhan, terutama ketika Anda menahan cairan,” jelas Watson.

Rasa tidak nyaman dan pegal-pegal biasanya dialami wanita sebelum masuk masa menstruasi. Namun, sebenarnya tidak masalah untuk bercinta di masa pra menstruasi.

“Cobalah bercinta, tepat sebelum menstruasi, memang benar bahwa tubuh kurang kondusif, tetapi sesekali semangati diri untuk bercinta. Sebab, hasilnya akan membuat Anda tersenyum dan bahagia sepanjang hari,” terangnya.

 [Woman's Day]



Paranoia Kristenisasi


Dunia Hawa - Suatu ketika di tahun 2005. Saat itu saya bekerja sebagai dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Kebetulan saya menjabat sebagai Ketua Jurusan/Program Studi. Saya sebetulnya baru saja pulang dari tugas belajar di luar negeri. Saya diangkat jadi Ketua Jurusan karena posisi itu lowong, dan kami sedang kekurangan staf pengajar.

Suatu hari saya menerima SMS berbunyi sebagai berikut:

“Tolong kau awasi gerak-gerik Ibu B itu. Hati-hati, sudah ada satu mahasiswa kita yang dia murtadkan.”

Pengirim SMS itu adalah kawan saya, beberapa tahun lebih tua dari saya. Saya mengenal dia sejak sama-sama kuliah. Kebetulan kami satu fakultas, dan saya juga pernah tinggal sekamar dengan dia di asrama daerah tempat saya tinggal di masa-masa awal kuliah dulu. Saat mengirim SMS itu dia adalah dekan di fakultas tempat saya bekerja. Artinya dia adalah atasan saya.

Ibu B yang dimaksud dalam SMS ini adalah dosen di jurusan saya. Dia berasal dari Toraja. Umurnya beberapa tahun di bawah saya, dan sudah menjadi dosen di tempat itu beberapa tahun.

Saya abaikan SMS tadi. Alasan saya, itu tidak ada kaitannya dengan tugas saya. Kalaupun benar Ibu B tadi melakukan kristenisasi, selama dia tidak melakukannya dengan menggunakan posisi dia sebagai dosen atau fasilitas kampus, saya tidak berhak melarangnya. Itu prinsip saya.

Meski tak pernah secara serius berpikir tentang isu kristenisasi tadi, toh saya akhirnya sampai juga pada titik terang duduk persoalannya. Semua terjadi nyaris secara kebetulan.

Suatu pagi, saat baru saja tiba di kampus dan hendak memarkir mobil, beberapa mahasiswi mendatangi saya sambil berteriak panik. Rupanya ada mahasiswi bernama A yang sedang kambuh asmanya. Melihat keadaannya saya langsung memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Beberapa mahasiwa menggotong tubuh si A ke mobil saya, tiga mahasiswi teman si A tadi ikut masuk. Lalu kami bergerak menuju rumah sakit yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari kampus.

Saya cukup panik selama menyetir. Anak perempuan saya kebetulan juga penderita asma. Tapi saya tidak pernah melihatnya kambuh semenderita si A ini. Nafasnya tersengal-sengat. Saya khawatir dia kehabisan nafas dan meninggal di mobil saya.

Saya pacu mobil saya sekencang mungkin. Saya hidupkan lampu hazard, sambil sesekali membunyikan klakson panjang. Saya berharap kendaraan di depan mau menepi. Saat itu jalan memang sedang ramai, persis saat orang-orang sedang dalam perjalanan ke tempat kerja.

Sampai di bagian UGD si A langsung mendapat pertolongan pertama. Setelah memastikan dia baik-baik saja, termasuk mengecek apakah dia punya uang untuk membayar biaya perawatan, saya putuskan untuk kembali ke kampus. Si A harus tinggal untuk rawat inap. Dua orang temannya yang tadi ikut mengantar, kembali ke kampus bersama saya.

Dari obrolan sepanjang jalan dengan dua mahasiswi tadi barulah saya tahu bahwa si A ini adalah "korban kristenisasi“ yang saya sebutkan tadi. Agak kaget saya, karena teman-teman yang mengantar dia tadi, saya duga teman terdekat dia, semua memakai jilbab dan aktif di berbagai kegiatan Islam di kampus. Lebih kaget lagi karena saya kemudian tahu bahwa si A ini kebetulan pernah bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan SMA yang sama dengan saya.

Tentu saja pembicaraan menyinggung soal kristenisasi tadi. Menariknya, mahasiswi para aktivis Islam ini sama sekali tidak menyalahkan Ibu B. Mereka bercerita bahwa si A ini memang sedang labil, karena ada masalah keluarga. Keluarganya sendiri ternyata beragama Katolik. Hanya dia sendiri yang Islam. Dia kebetulan tinggal satu kos dengan Ibu B. Dan dalam situasinya yang labil itu dia memutuskan untuk pindah agama.

Belakangan, lagi-lagi tanpa niat menyelidiki, saya juga berbincang dengan Ibu B soal si A tadi. Cerita yang saya dapat tak jauh berbeda dengan yang saya dengar dari para mahasiswi tadi. Tambahannya, si A tadi sebenarnya belum pindah agama. Dia konsultasi dengan seorang pastur, dan menyatakan niatnya untuk masuk Katolik. Tapi pastur ini menyuruh dia untuk menenangkan diri dulu, kemudian mempertimbangkan kembali niatnya itu.

Ibu B tadi juga bercerita pada saya tentang fitnah yang dia terima. Seolah dia adalah agen gereja untuk melakukan kristenisasi di kampus. Yang paling menyedihkan, kata dia, seorang dosen senior yang dia anggap bijak juga sempat menjaga jarak dengan dia selama beberapa waktu. Untunglah perlahan orang-orang mulai memahami situasi sebenarnya, sehingga dia bisa hidup lebih normal di kampus.

Cerita berikutnya, mundur ke tahun 70-an, saat masa kecil saya. Waktu itu di ibu kota provinsi kami belum ada rumah sakit pemerintah. Satu-satunya rumah sakit yang memadai adalah rumah sakit milik organisasi Katolik. Saya ingat betul, para perawatnya sebagian adalah suster gereja. Di sebelah rumah sakit ini ada gereja yang cukup besar. Dan di setiap ruangan perawatan terpajang salib di dinding.

Di rumah sakit itu anggota keluarga kami mendapat pelayanan medis. Emak, Ayah, Abang, Kakak, pernah dirawat di sini. Juga kakek, nenek, paman. Beberapa dari mereka mendapat keringanan biaya karena tergolong miskin. Dengan selembar surat keterangan dari kepala kampung, keringanan biaya itu diperoleh.

Tapi, ini yang penting, tidak ada satupun dari mereka yang pernah mendapat iming-iming untuk pindah agama. Tak satupun. Saya sering mendengar cerita tentang rumah sakit Kristen yang digunakan untuk kristenisasi. Orang miskin dibebaskan dari biaya asal mau masuk Kristen. Orang yang sedang sekarat dibimbing dengan tata cara Kristen, agar mati dalam keadaan Kristen. Tapi selama keluaga kami menerima layanan dari rumah sakit Katolik tadi, tak satupun yang mendekati kami untuk melakukan kristenisasi.

Saya punya sepupu yang beberapa tahun lebih tua dari saya. Saat hendak masuk SD ia diambil Ayah, tinggal di rumah kami. Oleh Ayah dia disekolahkan di SD kampung kami. Saat SMP dia ikut orang lain di kampung dekat kota provinsi, sekolah dibiayai sambil membantu berbagai pekerjaan di sekolah. Dia tinggal di gedung sekolah, menjaga dan merawatnya.

Saat SMA dia pindah ke kota, tinggal di rumah yang dibangun Ayah untuk anak-anaknya yang sedang sekolah. Seorang pastur yang menjadi kepala sebuah SMA Katolik menawarinya sekolah dengan biaya dibebaskan. Jadi, biaya makan dia ditanggung Ayah, sedangkan biaya sekolahnya ditanggung oleh pastur tadi.

Saat dia mulai sekolah pastur tadi menegaskan bahwa dia tidak akan pernah mengajak sepupu saya tadi untuk masuk Katolik. Dia membantu semata-mata karena ingin membantu, tidak ada niat lain. Dan itu dipegang teguh oleh pastur tadi. Selama sekolah sepupu saya itu adalah muazin di sebuah mesjid. Sampai dia tamat SMA hingga kini dia adalah seorang muslim yang taat.

Beberapa pengalaman yang saya tulis tadi mengajarkan pada saya bahwa kristenisasi sering kali adalah sesuatu yang diberi bumbu, bumbunya banyak, sehingga menutupi fakta. Salah satu sumber bumbu itu adalah paranoid, ketakutan yang berlebihan. Akibatnya semua tindak tanduk orang Kristen dipandang dalam konteks kristenisasi.

Tak jarang bumbu itu menjadi pokok cerita. Ada cerita, misalnya, tentang strategi orang Kristen. Pemuda Kristen sengaja disuruh memacari pemudi Islam, menghamilinya, lalu bersedia menikahi pemudi tadi dengan syarat dia mau masuk Kristen. Banyak yang percaya bahwa cerita ini adalah strategi yang disusun gereja dalam rangka kristenisasi.

Satu dua kejadian seperti itu mungkin ada. Sangat mungkin. Tapi mungkinkah itu sebuah strategi umat beragama secara kolektif atau kelembagaan? Bagi saya kita hanya bisa berfikir begitu kalau umat tersebut kita anggap jelmaan setan.

Saya, tentu saja, tidak mengabaikan adanya sekelompok atau banyak kelompok orang Kristen yang melakukan kegiatan kristenisasi dengan melanggar etika. Saya, misalnya, pernah menemukan sebuah website yang secara terang-terangan menyatakan missinya menjadikan Indonesia sebagai sebuah negeri Kristen. Tapi beberapa atau banyak kelompok itu tentunya bukan semua orang Kristen. Masih banyak, dan sangat banyak orang Kristen yang melakukan aktivitas sosial tanpa motivasi mengkristenkan orang.

Sebaliknya perlu juga diingat bahwa hal yang sama terjadi pula di kalangan umat Islam. Tidak sedikit umat Islam yang menjadikan dakwah terhadap orang-orang Kristen sebagai inti kegiatannya. Tak jarang kegiatan itu dilakukan secara vulgar dan provokatif.

Abang saya, seorang dosen, pernah mengritik teman-temannya. Dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis di kampus, salah satu kegiatannya adalah mengumpulkan dana bagi para muallaf bekas pemeluk Kristen. Pengumpulan dana itu dilakukan secara terbuka dan vulgar. Padahal di kampus itu banyak juga dosen dan mahasiswa Kristen.

Seorang dekan di sebuah fakultas dengan enteng mengakhiri pidato di sebuah acara resmi dengan kalimat, "Maaf, saya tidak bisa hadir di acara ini sampai selesai, karena saya harus hadir di acara lain. Ada seorang pastur yang hendak masuk Islam hari ini, saya akan hadir di acara pengislamannya.“ Kalimat ini memancing emosi seorang dosen yang beragama Kristen.

Saya pernah ikut berdakwah di kampung orang Dayak. Di situ sudah berdiri mesjid, meski belum ada seorangpun yang terlihat masuk Islam. Di sekitar mesjid banyak babi berkeliaran. Kami membawa makanan, pakaian, dan barang-barang lain. Orang-orang kampung kami ajak ke mesjid, bersilatrrahmi, dengan harapan nantinya mereka tertarik untuk masuk Islam.

Orang Islam, sebenarnya juga melakukan islamisasi, dengan cara-cara yang sama dengan yang dilakukan oleh orang Kristen. Mengapa perlu marah kalau orang Kristen melakukan kristenisasi?

[DR.Hasanudin Abdurakhman]



Aku Tidak Mencintai Suamiku


Dunia Hawa - Aku tidak cinta suamiku..” Tiba2 mataku terpaku pada satu tulisan di inbox, dari banyaknya inbox yang masuk. Lumayan panjang tulisannya. Ia bercerita tentang hidupnya yang terasa hampa, karena tidak cinta suaminya. Ia pernah minta cerai, tetapi ditolak. Dan sekarang, ia menjalani hari2nya dengan lubang di hati.

Saya jadi teringat pembicaraan dengan seseorang di masa lalu. “Aku tidak cinta suamiku. Setiap malam aku menangis kepada Tuhan. Kenapa aku diberikan pasangan yang buruk, ya Tuhan. Kenapa aku tidak Kau berikan kebahagiaan di sisa hidupku? Apa yang kurang dariku yang menjadikanku harus menerima hukuman-mu ya Tuhan?

Hatiku sudah sakit, tidak mungkin lagi aku memperbaikinya. Aku sudah tidak lagi mempercayainya. Ia mengkhianati seluruh kepercayaan yang kuberikan padanya. Aku sudah tidak cinta suamiku, bahkan aku muak setiap melihatnya.. “

“Lalu, kenapa masih bertahan sampai sekarang ?” Tanyaku sambil mengaduk2 kopi di gelasku. Dia terdiam sejenak. Matanya menerawang. Dia bahkan tidak menyentuh the hangatnya. Seakan itu sudah tidak penting lagi baginya.

“Tiba2, pada suatu malam, akal-ku seperti terbuka. Seakan Tuhan bicara kepadaku, “Hei, apakah kamu tahu ? Dia ada karena engkau yang memilihnya, lalu kenapa kau salahkan Aku ? Kalian yang dulu berbicara dengan bahasa nafsu dan kalian bingkai dengan kata “cinta”. Lalu ketika ada masalah, kamu lemparkan ke Aku seolah2 aku tidak memberimu kebahagiaan..”

Gelas kopiku sejenak terdiam, aku berhenti mengaduk dan kudengar ceritanya yang menarik. Dia melanjutkan. “Suara itu terus berbicara di benakku. “Kamu tahu apa itu bahagia ? Bahagia itu adalah persepsi-mu dirimu. Kamu senang dan nyaman, maka kamu menamakannya bahagia. Kamu tidak nyaman dan kamu katakan tidak bahagia.

Ketika kamu tidak menyukai sesuatu, maka apapun yang terjadi kamu tidak akan pernah suka. Lihat, kamu kembali berbicara dengan nafsumu. Dulu memilihnya karena nafsu, sekarang ingin membuangnya juga karena nafsu..”
Kopinya kurang nendang, tidak seperti di warkop yang tiga ribuan.

“Apakah kamu tahu dimana bahagia yang sesungguhnya itu? Bahagia yang sesungguhnya adalah ketika nanti kau dekat pada-Ku. Dan dekat pada-Ku, tidaklah mudah. Banyak yang harus kamu korbankan di dunia, karena pengorbanan itu adalah pengabdian. Dalam pengorbanan itu ada sabar, ada ikhlas, ada kesombongan yang harus diruntuhkan… Dan semua itu sulit dilakukan ketika kenyamanan dunia mendekapmu.

Lalu, mana yang mau kamu pilih ? Kenyamanan dunia atau kenyamanan saat dekat dengan-Ku nanti?”

Menarik. Kuseruput kembali kopiku.

“Dia yang kau anggap buruk adalah tanggamu menuju surga. Dia hanya perantara saja di dunia untukmu. Berlatihlah untuk mengabdi dengan semua pengorbanan-mu. Belajarlah mencintainya bukan karena dia pasanganmu yang sempurna, tetapi karena dengan dia-lah, dengan semua ketidak-nyamananmu bersamanya, maka kamu mendekat pada-Ku.

Cintai-lah kekurangannya, bukan karena jasadnya. Cintai-lah ketidak-cintaanmu padanya. Cintai-lah bukan karena nafsu, tetapi karena kamu mencintai akhirat. Dan biarkan Aku yang mengurus semuanya…”

Obrolan itu terjadi beberapa tahun lalu dan dia masih tetap bersama suaminya. Tuhan memperbaiki hubungan keduanya, mungkin bukan dalam konsep mencintai hati seseorang, tetapi mencintai kemapanan dalam hubungan.
Tidak mudah memang, aku yakin itu. Tetapi juga tidak sulit ketika akhirnya kita berdamai dengan situasinya. Setiap manusia punya medan perangnya masing2.

Hujan tidak begitu lebat malam ini, tetapi ia terjaga dengan rintiknya sepanjang malam. Aku hanya punya secangkir kopi, cukuplah menemani. Mau tidak mau, aku harus berdamai dengan situasi malam ini.
“Barangsiapa yang memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah, niscaya Allah akan memperbaiki hubungan dirinya dengan manusia” Imam Ali as. – Untuk seorang teman –

[denny siregar]




Ketika Fitnah Membentuk Sebuah Arca


Dunia Hawa - Entah kenapa ketika membaca postingan seorang teman nasrani tentang Nabi Muhammad Saw dalam hal yang sangat positif, saya merasa terharu.

Nabi Muhammad Saw adalah perilaku agung yang terfitnah bahkan oleh umatnya sendiri. Beliau diabadikan sebagai sosok sempurna, tapi pada sisi lain banyak yang meyakini bahwa orangtua beliau di neraka, paman tercinta beliau Abu Thalib adalah kafir, beliau bermuka masam pada orang miskin, seorang pedofilia, barbar dan haus darah.

Sebuah pertentangan berfikir yang sangat akut. Meyakini bahwa beliau sempurna tetapi sekaligus meyakini bahwa beliau juga manusia biasa. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa sempurna ? Meyakini agama Islam adalah agama sempurna, tetapi juga meyakini pembawa-nya bisa salah. Bagaimana mungkin sesuatu yang sempurna dibawakan oleh seseorang yang bisa salah ? Memilukan adalah kata yang tepat.

Karena itu ketika kartunis majalah Charlie Hebdo menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok yang konyol dan mereka yang mengaku umatnya marah bahkan membunuhnya, saya pun berteriak sedih dalam status, “Bagaimana bisa kalian marah dan membunuh orang yang mewujudkan apa yang selama ini kalian pikirkan ?” Sebuah kebingungan dalam bersikap dan ini melanda bukan saja puluhan umat muslim tetapi bahkan jutaan.

Jadi wajarlah ketika mereka yang mengaku umat Muhammad Saw berperilaku bertolak belakang dari ahlak Nabi-nya, karena keyakinan mereka yang keliru. Keyakinan yang di-pompakan oleh dusta sejarah berbalut “riwayat shahih” yang dibangun oleh penguasa2 dengan membeli para ulama demi melanggengkan kekuasaannya. Dan itu berlangsung berabad2 lamanya, sehingga menjadi kebenaran.

Sakit memang ketika apa yang diyakini selama ini dibongkar. Apa yang bengkok selama ini coba diluruskan. Akhirnya tuduhan kafir dan sesat-lah yang disematkan ketika akal sudah tidak mampu lagi berproses dengan baik hanya karena mempercayai ulama terdahulu yang sangat mungkin salah.

Akal bertolak, nurani menolak, tetapi kata ulama dahulu dalam riwayat shahih seperti ini. Mana yang harus dipercayai ? Ulama terdahulu akhirnya menjadi lebih suci daripada Nabi-nya sendiri.

Kadang dalam doa, saya merintih mengingat betapa Nabi dan keluarganya di-zolimi oleh umatnya sendiri, padahal dalam setiap shalat mereka selalu ber-shalawat kepadanya. Ingin saya memaki, tetapi saya harus menunjukkan ahlak yang baik karena tidak semua orang mengerti.

Dalam perdebatan lintas agama, banyak saya melihat saudara2ku yang nasrani mentertawakan dan mengejek Nabi Muhammad Saw dan perilaku beliau. Apakah mereka salah ? Mereka tidak salah, karena mereka berpatokan pada riwayat2 yang salah yang bahkan diyakini oleh umatnya sendiri.

Karena itu, ketika seorang sahabat saya yang nasrani menggambarkan Nabi Muhammad Saw pada sisi keadilannya, saya menjadi terharu. Serasa cukup sudah perjuangan ini meski apa yang dilakukannya hanya setitik. Itupun cukup berarti menyentuh sisi tercengeng dalam hidup saya.

Thanks bro… Kalau pulang ke Indonesia nanti, ingin kuhadiahkan kau secangkir kopi.

[denny siregar]




Iran Yang Berubah


Dunia Hawa - Hari minggu pagi ini saya bersiap untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Majelis Khataman Doa dan Dzikir Melbourne. Saya sempatkan lihat-lihat twitter mengenai perkembangan dunia Islam. Perhatian saya tertuju pada pemilu legislatif di Iran. 

Pertarungan antara kelompok konservatif dan reformis begitu nyata di Iran. Saya bukan pengamat politik timur tengah jadi saya tidak banyak tahu apa yang terjadi di sana. Tapi satu hal yang luar biasa adalah perubahan image iran. Kalau dulu imagenya adalah Iran dengan foto-foto perempuan berjilbab panjang dan hitam.

Revolusi Iran tahun 1979 menghembuskan cotra perempuan dg jilbab panjangnya dan sejak itulah mulai berkembang gerakan jilbab ke penjuru dunia Islam termasuk Indonesia. Jilbab dikaitkan dengan politik di masa orde baru --dan karenanya sempat dihambat dan dilarang di sejumlah sekolah.

Kerudung mahasiwi IAIN, santri dan ibu2 majelis ta'lim pun berganti dengan jilbab dan makin lebar dan panjang. Dari hijab syar'i sampai jilbab halal.






Tapi hari ini foto-foto pemilu legislatif di Iran menampilkan foto para perempuan Iran yang memakai kerudung. Ada apa dengan Iran? Apakah Iran sekarang sudah berubah?  Atau ini hanya fenomena terbatas? 

Mungkin ada kawan-kawan yang bisa bercerita banyak soal Iran dan perempuan di sini? Ditunggu pencerahannya.


[Nadirsyah Hosen]



Jika Islam Itu Cinta Damai, Mengapa Rasul Berperang?


Dunia Hawa - Pertanyaan ini berpangkal pada adanya perbedaan pandangan para fuqaha tentang ”konsepsi dasar mengenai hubungan antara muslim dengan non muslim dalam perspektif Islam”. Yakni atas dasar damaikah, dengan arti bahwa peperangan bersifat insidentil, ataukah atas dasar perang, dengan pengertian bahwa damai hanyalah bersifat insidentil.

Ulama yang berpegang pada pandangan pertama berpendapat bahwa memerangi orang kafir hanya bersifat pembelaan disebabkan mereka memerangi atau mengganggu umat Islam. Ini disebut jihad al-daf' (jihad defensif).

Sementara itu golongan ulama kedua, yakni mereka yang memandang hubungan antara muslim dengan non muslim atas dasar perang, berpendapat bahwa memerangi orang kafir itu disebabkan kekufurannya. Mereka berpandangan pada konsep jihad al-thalab (jihad ofensif). 

Kaum orientalis banyak yang percaya Islam disebarkan dengan pedang. Anehnya banyak pula umat Islam yang menganggap kita harus agresif dan ofensif dalam menebarkan Islam. Lha kok malah setuju sama orientalis? :)



Menurut hemat saya pendapat pertamalah yang dipandang kuat,yaitu peperangan yang dilakukan Rasul itu atas dasar jihad yang defensif alias membela diri atau karena ada alasan tertentu, bukan semata-mata hendak memaksa dan menaklukkan dunia agar masuk islam. Ini bahan pertimbangan saya memilih jihad defensif.

a) Adanya konsensus (ijma’) bahwa dalam peperangan tidak dibenarkan membunuh wanita, pendeta (pemuka agama non Islam) dan terutama anak-anak yang belum dewasa. Andaikata memerangi orang kafir itu disebabkan kekufurannya maka seyogyanyalah bahwa yang pertama-tama dibunuh adalah pendeta. Ternyata kita malah dilarang melakukannya.

b) Ayat-ayat Al-Qur’an tentang peperangan tidak bersifat mutlaq, melainkan muqayyad, yakni dibatasi dan dikaitkan dengan sesuatu sebab, yaitu membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan. Sehingga andaikata orang kafir meminta damai, Al-Qur’an memerintahkan agar kaum muslimin menerima perdamaian tersebut.

c) Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar mengadakan hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kita, sebagaimana diketahui dari QS 60: 8-9 dan QS 4:90.

Kesimpulannya, konseps dasar tentang hubungan antara muslim dengan non muslim, pada hemat saya, didasarkan atas prinsip damai, bukan prinsip berperang untuk memaksa mereka masuk islam karena hal ini dilarang dengan nyata oleh QS 10:99.

Syekh Yusuf Qaradhawi mengutip hasil penelitian Syekh Ahmad Zaki Pasha tentang sebab-sebab Rasul berperang. Saya screenshot dalam foto di bawah ini. Semoga bisa memperjelas duduk perkaranya dengan lebih rinci latar belakang peperangan Rasul tersebut.


[Nadirsyah Hosen]




Bobolnya Parpol Pengusung Bupati Nyabu


Kasus tertangkapnya Bupati Ogan Ilir, AWN (28) merupakan Bobolnya parpol dalam mengusung calon Bupati Ogan Ilir , yang konon sudah hobby nyabu (Narkoba) lama, politik uang jelas menyeruak karena betapa tidak calon model begitu bisa lolos dengan begitu saja.

Lembaga lain yaitu KPU (Komisi Pemilihan Umum) setempat yang sempat menjadi tanya publik, bagaimana apakah persyaratan kesehatan calon bisa lolos untuk calon yg suka nyabu. Gambaran yang jelas oknum KPU juga bisa bermain. wah gawat bila sudah begini.

Lucu atau bahkan tidak lucu sama sekali, seorang pengguna narkoba akut bisa lolos sebagai calon bupati, apakah karena orang tua calon itu uangnya berlimpah sehingga dengan uang itu semua serasa lewat jalan tol.

Pelajaran bagi Parpol lain untuk selektif menjaring calon Kepala Daerah, karena setidaknya para pengusung khususnya bupati Ogan Ilir, kini kena getahnya, nama baik parpol itu ikut tercemar juga.

Soal deparpolisasi akhirnya bisa membuktikan, bahwa kualitas parpol makin drop karena menjaring seorang narkoba akut, itu salah satu contoh, belum lagi contoh oknum elit politik dari parpol yang terlibat kasus kriminal maupun tindak pidana khusus seperti Korupsi dan sebagainya.

Khusus untuk Kepala Daerah yang terbukti kena kasus Narkoba, sebaiknya langsung dicopot karena , dengan Narkoba bagaimana seorang bisa mempimpin daerahnya karena orang yang sudah mengkonsumsi narkoba itu otaknya mengalami kerusakan permanen.

Bila sudah begini biarkan dalam Pilkada, penjaringan melalui jalur apa saja silahkan saja baik jalur independen maupun jalur parpol jangan dinilai berlebihan dan parpol merasa kebakaran jenggot.  Kedua Jalur tersebut tidak bertentangan dengan Ketentuan Hukum yang ada.

[anang prasongko, sh