Sunday, March 13, 2016

Saya Tidak Buta



Dunia Hawa - “Apa anda ini di bayar sama Ahok untuk kampanye? “Pertanyaan ini muncul waktu seminar kemarin di Pamulang saat saya diundang jadi pembicara.

Saya selalu ketawa kalau mendengar pertanyaan ini. Kenapa ukuran melakukan sesuatu itu harus bersifat materi? Apakah sudah begitu parahnya sikap skeptis di masyarakat kita terhadap nilai2 sehingga ukuran nilai selalu harus bersifat materi?

Buat saya, Ahok adalah seorang revolusioner. Ia Che guevara di bidangnya. Ia Soekarno di tempatnya. Ia Mahatma Gandhi dalam geraknya. Sebuah pemberontakan terhadap budaya maling yang sudah menjadi tradisi di negara ini sehingga dikenal dengan nama “Negeri para bedebah”.

Sepak terjangnya membakar sarang tikus adalah tindakan yg fenomenal, dimana di daerah lain begitu tenangnya karena semua mendapat jatah yang sama. Keberpihakannya kepada rakyat kecil dengan memindahkan mereka dr tempat kumuh yang dikelola bangsat berkaki dua ke rumah susun yang layak sekalian memberinya usaha, adalah mengembalikan kemanusiaan yang telah lama hilang di hati pejabat2 kita.

Ahok itu anomali. Ia hadir di tengah2 mayoritas muslim yang berperilaku munafikin, dan mengembalikan nilai2 yang sebenarnya menjadi nilai dasar Islam yg sudah lama tenggelam, yaitu keadilan. Ia berperang dengan semua kelemahannya. Ia mengangkat gaji penyapu jalan dan penjaga kubur smp pada tingkat kelayakan.

Lalu, kenapa saya tidak membela Ahok ? Lalu, kenapa saya tidak meng-kampanyekan dia ? Lalu, kenapa saya tidak memberikan suara saya untuk dia ?

“Trus, apa bayarannya untuk abang ?” Keberpihakan pada yang benar, itu sudah cukup. Saya tidak buta…

Imam Ali as berkata ” Kejahatan tumbuh bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang2 baik..” Dan saya tidak mau menjadi orang diam ketika satu tokoh muncul dengan segala upayanya untuk mengembalikan semua ke tempat yang semestinya. Saya harus ikut berjuang bersama mereka di ranah yang saya bisa.

Apakah itu salah?

Saya salah ketika saya tidak bersuara. Saya salah ketika hanya menggerutu pada situasi tapi tidak ikut mendorong perubahan. Saya salah ketika mendukung orang2 yang sibuk menjatuhkan Ahok, bukan sibuk dengan visinya untuk Jakarta. Saya salah ketika seorang sudah berani berada di jalur independen, jalur anti mainstream untuk berjuang dan saya jadi pecundang dengan hanya berkata “saya netral…”

Saya salah ketika tidak mengatakan benar ya benar. Saya salah ketika tidak mampu melihat kebenaran. Perlukan uang untuk membayar semua itu? Sama sekali tidak. Uang tidak bisa membeli hati nurani. Buat saya cukuplah secangkir kopi hitam yang menyadarkan bahwa nilai seorang manusia terletak dari bagaimana ia memegang prinsip keadilan dalam hidupnya.

“Kebenaran itu tidak bisa dilihat dari individu2-nya. Llihatlah kebenaran dari kebenaran itu sendiri..” Imam Ali as. Sudah saatnya bergerak, bergeraklah atau selalu hidup dalam keraguan..

[denny siregar]


Politisasi Ayat Quran Sudah Tak Laku Lagi



Dunia Hawa - Foto diabadikan oleh Prof. Hasanudin Abdurakhman, cendikia akademisi, penulis media sosial favorit Ustad selain bang Denny Siregar.

Foto diambil kemarin (Jum'at) di salah satu Posko Teman Ahok di Jakarta.. Dukungan KTP dari Muslim DKI terus mengalir meski telah diancam azab neraka.

Kenapa? Karena melawan Allah? TENTU BUKAN. tapi karena Muslim saat ini sudah cukup CERDAS bisa membedakan yang mana tafsir sohih, yang mana tafsir politis.

Terutama Muslim segmen kota besar seperti DKI, tentunya sudah tidak mudah jadi korban POLITISASI ISLAM eksploitasi ayat & dalil demi memenangkan calon saat Pilkada, demi kekuasaan semata.

Karena Muslim kota besar sudah punya pemahaman yang bagus akan hakekat Islam, yakni KEBAIKAN. Bila penerapan Islam tidak baik, artinya SALAH TAFSIR, habis cerita.

Kita ambil saja contoh.. Al-Quran, Al-Maidah 51

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi PEMIMPIN-PEMIMPIN (mu)....dst." (Al-Quran, Al-Maidah 5:51)

Kalimat kedua ayat tersebut berbunyi, "la tattakhidul yahuda wan nasaro awlia"

"la tattakhidul" = jangan mengambil
"yahuda wan nasaro" = yahudi & nasrani
"AWLIA" = ??

"awlia" TIDAK harus berarti pemimpin, bisa juga berarti penolong, sekutu, kawan, TERGANTUNG pada Asbabun Nuzul (sebab turun ayat), peristiwa yang memicu ayat tersebut difirmankan.

Turunnya Al-Maidah ayat 51 adalah saat terjadi PERANG dengan Bani Qaynuqa (klan Yahudi) yang melanggar Piagam Madinah. Ubadah bin Shamit mendatangi Rosulullah untuk mengadukan Abdullah bin Ubay anggota klan Arab yang dianggap berdiri di pihak Yahudi.

Abdullah bin Ubay mengajaknya membuat pakta perjanjian dengan klan yahudi yang isinya tidak memihak (merugikan) klan Arab. Turunlah Al-Maidah ayat 51, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai SEKUTU-SEKUTU-(mu)"

(diriwayatkan Ibnu Ishak, Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim & Imam Baihaqi)

Maka "Awlia" pada Al-Maidah ayat 51 berdasarkan Asbabun Nuzul (sebab turun ayat) memiliki arti SEKUTU dalam situasi perang, BUKAN PEMIMPIN dalam keadaan damai.

ARTINYA SEKUTU, BUKAN PEMIMPIN

Penerapan ayat ini merujuk kepada yahudi & nasrani yang MEMERANGI umat Islam dalam situasi PERANG, BUKAN mengacu kepada non muslim yang hidup harmonis dengan umat muslim dalam situasi damai.

Begitu juga dengan asbabun nuzul ayat-ayat lainnnya yang berbunyi serupa. JANGAN AMBIL SEKUTU (dalam keadaan perang), BUKAN jangan ambil pemimpin dalam keadaan damai.

Selamat berakhir pekan!

[Ustad Abu Janda al-Boliwudi]