Thursday, March 10, 2016

NASDEM, Ciyee ... Ciyeeee ...



Dunia Hawa - Perubahan zaman tidak bisa ditolak. Mereka yang beradaptasi dengan situasi dan pintar memanfaatkan peluang-lah yang akan bertahan.

Saya teringat ketika seorang teman yang mempunyai radio AM besar begitu jumawanya tidak mau pindah dari frekwensinya. “Untuk apa? Jangkauan AM jauh lebih luas. Kita bisa kaya dari sini saja, dari sandiwara radio. FM itu terbatas daya pancarnya dan tidak bisa menjangkau wilayah seluas AM. Ya, suaranya memang lebih bagus, tapi suara bagus tidak menghasilkan uang yang banyak…”

Dan terbukti temanku salah besar.

Perubahan zaman membuat segmen-segmen pendengar berubah. Sandiwara radio sudah tidak menarik, mereka lebih tertarik dengan apa yg terjadi di kotanya sendiri drpd situasi di kota org lain. Kualitas suara juga menentukan pilihan mereka. AM ditinggal dan FM menjadi raja jalanan. Sekuat2nya temanku bertahan, ia ambruk juga. Baru kudengar bahwa ia-pun sekarang sudah bisa pindah ke FM, tapi terlambat sudah, sekarang era-nya media sosial.

Situasi global yang sama kita lihat ada pada sisi telepon genggam. Dulu Nokia merajai dunia, bahkan di Indonesia siapa sih yang tidak kenal Nokia? Karena besar, mereka menjadi jumawa. Lupa berbenah diri dan melihat perubahan2. Akhirnya mereka habis dihantam blackberry, dan tambah habis disikat android. Nokia akhirnya menyediakan dirinya di akuisisi Microsoft yang langsung memecat 7 ribu lebih karyawannya.

Jepang yang dulu merajai teknologi, perlahan2 pun jatuh dihantam Korea. Mau bagaimana lagi ? Mereka terlalu besar, terlalu lamban, terlalu sombong. Mereka mengandalkan sistem yg selama ini mereka pakai dengan kebanggaan tinggi, “sistem inilah yang membesarkan kami..”. Ibarat balon gas, mereka terbang tinggi dan jatuh melempem ke tanah karena kehabisan udara.

Inilah yang akan terjadi pada PDI-P.

Besar, lamban, gemuk, berlemak membuat mereka tidak lincah. Sombong, arogan, membuat mereka berjalan dengan sangat pelan. Malas dan terlallu lama duduk nyaman.

Nasdem melihat peluang ini dan mulai menyalip di tikungan. Mereka partai kecil yang harus bertahan hidup di tengah para dinosaurus. Mereka tidak punya beban karena tubuhnya ramping dan memungkinkan mereka bergerak dengan cepat tanpa penuh birokrasi.

Mereka tahu bahwa era politik sekarang berubah. Tokoh2 yang popular dan berintegritas sudah menjadi pilihan masyarakat cerdas. Mereka curi start. “Pegang Ahok.. Bantu dia..” Maka orangpun melirik mereka.

Apa yang diharapkan Nasdem? Toh, Ahok juga bukan tipikal orang yang suka bagi2 setoran?

Ini rally panjang. Efeknya bukan sekarang, tapi pemilihan legislatif di tahun2 mendatang. Nasdem sedang membangun brand sebagai partai yang bersih pendukung tokoh2 bersih. Tujuan mereka mendudukkan orang2nya di parlemen dan mengambil alih kekuatan. ibarat perusahaan multinasional, visi mereka bukan untuk 5-10 tahun mendatang, tetapi sampai 50 tahun ke depan.

Ini bukan tentang radio, bukan tentang telepon genggam apalagi tentang partai. Ini tentang pelajaran, bagaimana perasaan terlalu nyaman akan menjatuhkan sesuatu sampai berdebam. Sudah bukan lagi mereka yang kuat adalah pemenang. Eranya berubah, mereka yang mampu berselancar dengan perubahan-lah yang kelak akan berada di depan. Seperti kata temanku saat kami minum kopi bersama, “Catat ya, semua akan ciee ciee pada waktunya…” Entah apa maksudnya.. Mungkin kopinya ketumpahan garam.

[denny siregar]

Mesjid Yes, Gereja No Way !!!



(tulisan lama yang masih relevan terus)

Dunia Hawa - Cerita ini terjadi saat saya masih menjadi dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Suatu hari sebuah perbincangan sambil menyelesaikan suatu urusan dengan staf administrasi di kampus menyerempet ke sebuah isu sensitif.

“Hampir saja kita kecolongan, Bang”, kata staf administrasi yang berjilbab itu mengadu, setelah sekian lama tak bertemu saya karena saya lama meninggalkan tanah air untuk tugas belajar.

“Ada apa?”, tanya saya.

“Iya, beberapa waktu lalu orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya. Alhamdulillah kita berhasil.”

“Kenapa dicegah? Kenapa dihalangi?”

“Lho, kan…..”

“Mbak, saya ini hampir 8 tahun tinggal di Jepang. Selama itu saya jadi minoritas dalam hal agama. Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya kalau niat saya hendak membangun mesjid atau beribadah selama saya berada di Jepang dihalangi orang.”

“Mbak mengkhawatirkan kristenisasi?” tanya saya

Ia mengangguk.

“Apa iya kalau berdiri gereja di kampus ini lantas orang berbondong-bondong masuk Kristen?”.

Ia lalu terdiam, dan percakapan kami berakhir.

Pola fikir staf administrasi tadi sebenarnya pernah saya anut. Waktu itu saya masih kuliah di UGM dan aktif di organisasi dakwah kampus. Saat itu di UGM belum ada mesjid, dan kami sedang bersiap untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan mesjid. Mantan Rektor, alm. Koesnadi Hardjasoemantri menjadi ketua panitia.

Saat itu kami mendengar bahwa org-org Kristen akan mendirikan gereka di kampus. Lokasinya tak jauh dari lahan yang hendak digunakan untuk membangun mesjid. Kami langsung bereaksi. Rencana pembangunan gereja ini harus dihentikan!

Kami, beberapa aktivis Islam di kampus melakukan berbagai lobi. Yang terutama tentu kepada Rektor. Pergilah kami menghadap Rektor, menanyakan soal rencana itu, dan tentu saja (niatnya) menekan Rektor agar membatalkan atau mencegah rencana itu kalau benar adanya.

Sambil menunggu di ruang tamu kantor Rektor, kami berbincang dengan sekretaris Rektor. Topiknya tentu soal yang sama dengan yang hendak kami adukan ke Rektor. Lucunya, belakangan baru kami tahu bahwa sekretaris Rektor tadi adalah seorang penganut agama Kristen. Ampun, deh!

Pola fikir saya berubah saat saya merasakan pengalaman menjadi minoritas. Yaitu saat saya kuliah di Jepang. Saya pernah tinggal di kota kecil di bagian selatan Jepang. Jumlah orang Islam di kota itu sangat sedikit. Tak lebih dari 50 org. Hampir semua adalah mahasiswa asing.

Karena jumlah kami kecil, kami tak mampu untuk sekedar menyewa apartemen untuk digunakan sebagai mesjid, sebagaimana dilakukan oleh muslim di berbagai kota. Kami mengandalkan kebaikan hati satu dua profesor yang mau meminjamkan ruangan di kampus untuk dijadikan mushalla.

Suatu ketika kami tak lagi diperbolehkan memakai ruangan itu. Alasan pihak kampus, ruangan itu akan dipakai untuk keperluan akademik. Lagipula Jepang adalah negara sekuler, urusan peribadatan warga tidak boleh melibatkan fasilitas milik pemerintah. Saat itu kami benar-benar kesulitan. Kami harus salat Jumat berpindah-pindah tempat. Untunglah akhirnya ada profesor yg mau membantu mencarikan ruangan untuk dijadikan mushalla.

Di kota lain di mana saya pernah tinggal juga, kami menyewa dua ruangan apartemen untuk dijadikan mushalla. Di situlah kami melaksanakan shalat Jumat serta pengajian. Bagian lain dari apartemen ini adalah tempat tinggal yang disewa oleh orang lain, orang Jepang. Kami harus berhati-hati agar aktivitas kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.

Kami mengumpulkan dana untuk pembangunan mesjid. Belasan tahun diperlukan hingga akhirnya dana itu terkumpul. Baru 3 tahun yang lalu kota tempat saya tinggal itu memiliki mesjid. Untungnya pemerintah Jepang yang sekuler itu tidak menghalangi. Selama syarat-syarat mendirikan bangunan dipatuhi tidak ada masalah.

Semua kejadian yang saya alami di Jepang itu mengingatkan saya pada nasib minoritas, khususnya orang Kristen di Indonesia. Mereka sering kesulitan mendirikan gereja. Beribadah di ruko atau di rumah milik sendiri pun sering diganggu. Kami, muslim yang minoritas di Jepang, untungnya tidak mengalami hal itu. Alangkah indahnya kalau minoritas di negeri muslim juga tidak mengalami hal itu.

Kembali ke cerita di kampus tempat saya kerja tadi. Di kampus ini ada mesjid yang cukup besar. Dulu dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lalu, di setiap fakultas didirikan mushalla yang juga tak kecil. Tapi itu pun ternyata tak cukup. Di banyak bangunan di fakultas masih saja ada ruangan yang difungsikan sebagai mushalla. Bagi mereka yang malas untuk ke mushalla fakultas, bisa shalat di mushalla kecil ini. Yang sedikit rajin berjamaah di mushalla fakultas. Yang lebih rajin, ke mesjid.

Melihat ini semua saya merasa sesak. Keterlaluan benar orang muslim ini.

Jaman Rasulullah masih hidup, di Madinah hanya ada satu mesjid. Apa umat Islam ketika itu tidak mampu membangun lebih dari satu? Rasanya tak mungkin. Orang ketika itu rela menyumbangkan apa saja untuk Islam. Mesjid hanya satu dengan tujuan persatuan. Di situlah semua orang berjamaah, bersilaturrahmi. Di satu tempat.

Kota Madinah ketika itu memang kota kecil. Saya tentu tak berharap kota sebesar Jakarta hanya punya satu mesjid. Itu tak masuk akal. Tapi saya yakin kota Madinah di jaman itu lebih besar dari area kampus saya. Kalau Madinah cukup dengan satu mesjid, kenapa kampus tidak? Kenapa kampus masih perlu ditambah dengan beberapa mushalla, plus puluhan ruangan untuk pengganti mushalla?

Dalam situasi yang sudah berlebih itu, orang Islam masih ribut ketika orang Kristen hendak mendirikan satu gereja. Hanya satu gereja saja.

Adilkah kita ini? Tidakkah kita ini berlebihan?

Seingat saya tidak adil dan berlebihan adalah dua sifat yang dibenci Allah.

[DR.Hasanudin Abdurakhman]