Monday, March 7, 2016

Bang Yusril Pergi ke Pasar



Dunia Hawa -Pagi ini berserakan di media sosial foto2 foto Bang Yusril yang sedang belanja di pasar.

Memakai baju kaus Micky Mouse dan celana seperempat, bang Yusril tampak akrab dengan pedagang dan pembeli. Sambil senyum2 dikulum spt makan sabun, foto2 itu menyebar kemana2. Entah siapa yang mengambil gambar2 itu dan entah kenapa gambar2 itu muncul mendekati pilgub DKI 2017.

Saya kenapa ya hafal sekali gaya2 seperti ini.

Teringat dulu saat pilpres 2014, Aburizal Bakrie tiba2 nongkrong di warkop dan – dengan wajah agak meringis – mengangkat gelas kopi yang jelas sulit terjamin ke-higienisannya. Ical yang biasa ngopi di lobby2 hotel bintang lima dengan segelas kopi 90 ribuan per cangkir kecil masih ditambah plus plus dan plus, merelakan dirinya turun ke bawah, ke kelas masyarakat kecil, dengan kopi seharga 3 rebuan saja. Saya tidak tahu apakah sesudah disana beliau muntah2 atau kemudian ke dokter karena merasa ada yang gatal di bibirnya.

Ingat juga ketika Hari Tanoe yang biasa ada di ruangan ber-AC mewah di lantai paling atas gedung2 miliknya, tiba2 turun ke desa2 nelayan membagikan hadiah2. Sayang cak HT kurang sukses, karena ketika ia bertanya dengan senyum bangga kepada para nelayan yang lugu, “Anda tahu siapa saya ?”, mereka menjawab dengan bangga pula, “Tahu pak… Ahokkkk..” HT jelas senyum kecut.

Yang epic adalah apa yang dilakukan pak Wiranto.

Dengan disorot oleh kamera dari salah satu media televisinya HT, Wiranto yang waktu itu berstatus sebagai Capres dari Hanura, tiba2 menyamar jadi tukang becak. Dan – seolah2 kaget – penumpangnya seorang emak2 kalau ga salah, kemudian teriak ketika mengenali siapa tukang becak itu, dan – mirip sinetron – kemudian Wiranto dikerubungi masyarakat kecil. Belum selesai episodenya, Wiranto kemudian menjadi pengemis yang diusir satpam.

Bentuk kampanye yang aneh2 ini menghiasi peta perpolitikan di Indonesia, dan banyak yg seperti itu menjelang pemiihan anggota dewan. Mereka tiba2 peduli rakyat kecil dengan menyambangi, berdialog dengannya, dan meninggalkannya ketika sudah duduk karena lebih asyik tidur di kursi rapat di gedung DPR yang dingin, sambil bermimpi besok ada yang menyetor sekian ratus juta rupiah karena ia menyumbang suara untuk pembangunan mall yang berdiri diatas daerah resapan air.

Jadi apa yang dilakukan Bang Yusril sudah tidak lagi aneh. Melepas jas2 mahalnya yang biasanya selalu digunakan ketika di depan kamera, melepas semua atribut kemewahannya sebagai seorang pengacara mahal dengan tarif ribuan dollar per-jam, dan bergabung dengan masyarakat kecil yang jarang di-belanya di pengadilan. Mending membela negara asing yang kapalnya tertangkap negara, karena jelas bayarannya berapa.

Entah harus bagaimana lagi kampanye yang bisa menaikkan popularitas menjelang pemilihan, sehingga harus kembali lagi ke pola2 lama. Pola2 tidak kreatif yang langsung ketahuan, “pencitraan nih yee.. cie cieee..” dan langsung menjadi hiburan tertawaan mereka2 yang sudah cerdas dalam melihat fenomena alam gaib ini.

Kenapa tidak berlaku biasa saja, bang Yusril?

Menjadi biasa seperti apa adanya anda. Kenapa tidak sejak dulu anda menggunakan kepiawaian hukum anda dengan membela seorang nenek miskin yang diadili karena mencuri singkong dari perusahaan makanan besar, membela seorang anak yatim dari tuduhan mencuri makanan dari perusahaan fast food mutinasional ?

Kenapa anda baru turun ketika mendekati pemilihan ? Pencitraan sebagai seorang tokoh itu biasa, tapi lakukanlah dengan elegan. Anda bisa melakukannya bertahun2 sebelumnya dan dikenal sebagai “Pakar hukum pembela wong cilik”, tentu akan menanam rasa hormat yang dalam di dada banyak orang. Tidak perlu membuka jas untuk kepentingan sesaat, tapi pergunakan kemampuan di bidangnya untuk bekerja demi mereka yang membutuhkan. Kepercayaan itu dibangun, bukan diciptakan.

Batman juga pernah begitu dulu. Membuka semua kostumnya, duduk di warkop kopi tiga rebuan dengan sempak doang, dan hasilnya? Dikejar2 anjing…

Meskipun tidak berhasil merebut hati manusia, tetapi minimal ada anjing yang mencintai Batman… Sruput kopi dulu ah, bang Yusril…

[denny siregar]



Ahok, Tiga Minoritas



Dunia Hawa - Pertama, non-muslim. Masih banyak orang Islam Indonesia yang sulit menerima bila pemimpinnya non-muslim. Tak perlu ada kualitas yang tegas soal kemusliman ini, misalnya rajin salat atau peduli pada umat. Pokoknya harus muslim. Kalau tidak, tolak.

Dulu saya pernah diajak ikut “berjuang” dalam pemilihan gubernur di kampung saya. Kita harus dukung calon yang muslim, kalau tidak nanti non-muslim yang jadi. Saya tanya, “Selama ini gubernur kita muslim semua. Apa kelebihan yang kita rasakan?”

Maka, Ahok jadi gubernur di ibukota negara adalah sebuah kejutan yang sangat besar dan sulit diterima oleh sangat banyak orang.

Kedua, Cina. Entah disadari atau tidak, kita menyimpan potensi rasial. Ada banyak konflik yang berakar pada soal rasi, walaupun ras bukan satu-satunya faktor di situ. Biasanya masalah ras berpadu dengan soal kesenjangan ekonomi. Orang Madura tidak disukai di Kalimantan, khususnya pedalaman. Sudah beberapa kali terjadi konflik berdarah antara Dayak dan Madura. Demikian pula pada kerusuhan Ambon dulu terkandung juga faktor etnis, dalam hal ini terhadap Bugis-Buton-Makassar (BBM). Polanya mirip dengan Dayak-Madura, etnis pendatang ini dianggap lebih sukses dalam soal ekonomi dibanding orang setempat, sehingga memicu kecemburuan.

Dalam hal etnis Cina, stereotype-nya hampir merata di seluruh Indonesia. “Cina itu kaya. Kekayaan itu diperoleh dengan cara licik. Maka Cina itu jelek.”

Cina menjadi pemimpin adalah hal yang agak langka, dengan beberapa pengecualian tentu saja. Cina, jadi gubernur, di Jakarta pula, itu adalah sesuatu yang extra extraordinary.

Ketiga, terbuka. Saya tak bisa bilang Ahok itu bersih atau cakap betul, karena saya tidak tahu dan diapun masih harus diuji. Tapi yang sudah sangat jelas, Ahok itu terbuka. Ia terbuka mengungkapkan apa yang ia pikirkan, bahkan dalam bahasa yang vulgar. Ia terbuka menelanjangi kebusukan dan perilaku korup. Ia juga terbuka menyatakan identitas religinya, serta bagaimana ia memandang agama.

Keterbukaan Ahok itu menakutkan bagi sejumlah orang. Ibarat orang yang terbiasa di tempat gelap, tiba-tiba diseret ke tempat terang benderang. Keterbukaan itu menyilaukan dan mengerikan.

Jadi tak heran bila begitu banyak yang menyerang Ahok. Bagi saya, Ahok itu bukan sosok sempurna. Masih banyak kekurangan dia yang harus kita kritik. Tapi bagi saya sangat jelas, Ahok harus saya dukung!

[ DR.Hasanudin Abdurakhman]



Mengalahkan Ahok




Dunia Hawa - Ahok bukan superman. Ia bukan pula manusia sempurna. Dengan banyak prestasi, Ahok juga punya banyak kekurangan. Singkat kata, mengalahkan Ahok dalam pemilihan gubernur tahun depan bukanlah hal yang mustahil. Persoalannya, bagaimana caranya? Jawabannya sederhana, tunjukkan saja bahwa para kandidat yang ingin mengalahkan Ahok itu lebih baik. Nah, ini jawaban sederhana, tapi sulit dilakukan.

Apa harapan penduduk Jakarta pada gubernur? Bereskan masalah Jakarta. Apa masalah Jakarta? Macet, banjir, kotor, dan kumuh. Lalu ada jurang yang sangat lebar, menganga antara kaum berada dengan yang miskin. Jadi secara sederhana rakyat ingin melihat Jakarta yang tidak macet, tidak banjir, lebih bersih dan teratur, dan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat bawah terpenuhi dengan baik.

Dalam hal harapan-harapan di atas, suka atau tidak, secara nyata Ahok punya prestasi. Ia menata kota, membangun fasilitas, memperbaiki sistem. Tidak semua hasilnya bagus, dan masih banyak yang belum disentuh sama sekali. Tapi sekali lagi, suka atau tidak, Ahok punya kerja nyata. Ahok sebagai penerus Jokowi adalah pembawa perubahan. Berkali-kali Gubernur DKI berganti, orang tidak merasakan adanya perubahan sebesar ini. Makanya rakyat "menghukum" Foke dengan tidak memilihnya kembali. Kini posisi Ahok sebagai pertahana jelas sangat berbeda dengan posisi Foke di tahun 2012.

Nah, siapa di antara calon-calon penantang yang punya modal seperti yang dimiliki Ahok? Tadinya orang-orang berharap pada Risma dan Kang Emil. Keduanya dalam banyak hal mirip dengan Ahok, punya kerja nyata di daerah mereka masing-masing. Tapi kita semua tahu, keduanya enggan menjadi penantang Ahok. Yang tersisa untuk saat ini tinggal Yusril, Sandiaga, Adhyaksa, dan Dhani. Siapa dari mereka yang punya kerja nyata seperti Ahok? Tidak ada.

Pertanyaannya, kenapa Ahok mesti diganti? Kenapa tidak dibiarkan saja Ahok melenggang memimpin Jakarta pada periode 2017-2022? Jawaban utamanya, karena Ahok non muslim. Orang boleh saja berkata ini itu soal kekurangan Ahok, tapi ujung yang sebenarnya adalah soal ini. Jadi soalnya bukan mampu atau tidak, tapi soal suka atau tidak. Itu saja.

Bagi saya sih baik saja kalau ada orang yang mampu berdiri sejajar dengan Ahok pada pilkada nanti. Punya banyak pilihan akan memberikan pendidikan yang baik untuk rakyat. Jadi, mari, Yusril, Adhyaksa, atau siapapun, maju menantang Ahok. Cuma saran saya, siapkan strategi yang bagus. Pertama, bersatulah. Para pendukung Ahok sudah lumayan solid. Untuk mengalahkan dia, penantang cukup punya satu pasangan calon, agar suara bulat, tidak terpecah. Nah, mungkinkah akan terjadi satu pasang calon saja yang menantang Ahok? Ini sulit dijawab. Partai-partai Islam yang merupakan salah satu pilar utama kubu penantang adalah kelompok yang dalam sejarah telah menunjukkan rekam jejak sulit bersatu. Akankah kali ini mereka bersatu? KIta lihat saja.

Kedua, buatlah pencitraan yang memadai. Yakinkan publik bahwa sang penantang punya sesuatu yang lebih baik dari Ahok. Sejauh ini strateginya hanya dengan menjual Islam. Sadarilah bahwa ini lagu lama yang sudah tak laku. Pada pilkada 2012 usaha ini sudah dipakai, tapi gagal. Pemilihan Walikota Solo tahun lalu adalah pelajaran yang baik, bahwa isu Islam vs non-muslim bisa sangat tidak laku. Jadi, harus ada strategi baru.

Saya masih berharap para penantang tetap bersemangat, dan bertarung secara santun. Saya harap mereka mempersiapkan diri dengan baik. Jangan sampai terjadi, Ahok seng ada lawan.

[DR.Hasanudin Abdurakhman]