Friday, March 4, 2016

Islam Warna Warni



Dunia Hawa - Pergi belajar ke Jepang memberi saya kesempatan untuk bergaul dengan orang Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia. Kesan yang segera saya rasakan adalah betapa Islam itu penuh warna. Dalam arti harfiah, warna warni itu terasa dari warna kulit orang-orang. Ada orang Asia Tenggara berkulit coklat, Asia Selatan dan Timur Tengah dengan hidung mancung yang khas, lalu orang Afrika yang berkulit hitam legam. Ada pula orang Asia Tengah yang tampak lahirnya adalah perpaduan antara Asia dan Eropa. Lalu ada orang-orang Eropa yang berkulit putih.

Salah satu teman menarik yang saya kenal di Sendai bernama Chiek Ndiayik. Dia orang Senegal. Badannya tinggi, kulitnya hitam legam. Sebagai warga negara dari bekas jajahan Perancis, ia fasih berbahasa Perancis. Ia juga fasih berbahasa Inggris. Lalu, ia datang ke Jepang dengan beasiswa pemerintah Jepang, mendapat pelatihan bahasa Jepang sampai fasih. Saya sering berbincang dengan Chiek dalam bahasa Jepang. Kadang saya merasa lucu, berbicara dalam bahasa Jepang dengan orang Afrika.

Teman saya yang lain adalah Tareq, orang Maroko. Sama seperti Chiek, dia fasih berbahasa Perancis, Inggris, dan Jepang. Itu masih ditambah lagi dengan bahasa Arab. Sesekali saya menyapanya dalam bahasa Arab. Tapi karena kemampuan bahasa Arab saya terbatas, lanjutan pembicaraan biasanya beralih ke bahasa Inggris atau Jepang. Diskusi tentang Islam menjadi terasa unik ketika hal itu kami lakukan dalam bahasa Jepang.

Usai salat Jumat biasanya sebagian jamaah tak langsung pulang. Mereka bergerombol di pinggir jalan, mengobrol. Mereka mengelompok berdasarkan bahasa. Orang-orang Arab, yang terdiri dari Mesir, Syiria, Yordania dan sebagainya membentuk kelompok sendiri. Sedangkan orang Indonesia biasanya bergabung bersama orang Malaysia. Pakistan, India, dan Bangladesh sering terlihat bersama. Kalau sudah begitu akan terdengar obrolan dari berbagai bahasa yang sulit dipahami antara satu dengan yang lain. Dalam hal pakaian tak banyak perbedaan. Hampir semua berpakaian “model Barat”. Hanya sedikit yang memakai baju khas Negara mereka, di antaranya orang Pakistan dan Bangladesh.

Warna-warni juga terasa dalam pengertian lain. Dalam beribadah, karena berbagai latar belakang mazhab yang dianut di negara masing-masing, terasa perbedaan di sana sini. Perbedaan terasa dalam tata cara ibadah, bacaan-bacaan yang diucapkan saat khutbah atau berdoa. Bukan perbedaan yang sangat fundamental, memang. Namun memberi rasa bahwa kita berbeda-beda, namun satu Islam.

Perbedaan juga terasa dalam sikap keseharian. Ada yang begitu ketat berpegang pada syariat, ada yang lebih longgar. Dalam soal makanan misalnya, ada yang mau makan daging yang tersedia di pasar selama itu bukan daging babi, di tengah mayoritas yang tak mau memakannya. Dalam hal makanan olahan, ada yang mau repot-repot mencari informasi kehalalan satu produk, sedang yang lain merasa hal itu tidak perlu.

Meski merasakan adanya perbedaan, jarang ada yang mau mengangkatnya ke permukaan. Mungkin karena masing-masing sadar bahwa hal itu akan sulit dicarikan titik temunya. Juga sadar bahwa sedikit yang punya cukup ilmu untuk mendiskusikannya. Sesekali ada satu dua yang mencoba memperdebatkan perbedaan yang ia lihat, biasanya berakhir tanpa kesimpulan yang jelas. Akhirnya banyak yang enggan melakukannya. Masing-masing melaksanakan ibadah dan kehidupan sesuai dengan keyakinan mereka selama ini.

Ada hal menarik yang saya rasakan soal perbedaan ini, yaitu menyangkut orang Iran. Entah kenapa, mereka seperti “terpisah” dari orang-orang Islam yang lain. Hampir tidak ada orang Iran yang datang salat Jumat. Mereka jarang pula ikut dalam kegiatan Islamic Center. Apakah karena mereka syiah? Entahlah. Dari kawan-kawan yang umumnya sunni saya tak pernah mendengar adanya cerita atau indikasi penolakan. Saya simpulkan saja bahwa orang-orang Iran lah yang sengaja menjaga jarak.

Secara keseluruhan, saya merasa nyaman dengan situasi warna-warni ini. Mungkin aneh bagi orang yang biasa melakukan “amar ma’ruf, nahi munkar”, yang biasanya langsung bereaksi terhadap sesuatu yang berbeda dari dirinya. Tapi saya justru melihat, inilah cara berislam yang dewasa. Amar ma’ruf itu menyeru kepada yang ma’ruf, konsepnya berbeda dengan mencampuri urusan pribadi orang lain.

[DR.hasanudin abdurakhman/ kang hasan]


Lulung Yang Muslim dan Ahok Yang Kristen



Dunia Hawa - Sering saya melihat tulisan yang beredar luas di dumay tentang sosok Koh Ahok dan Haji Lulung yang kira2 begini bunyinya: "Seburuk-buruk Lulung dia itu Muslim dan sebaik-baik Ahok dia itu kafir. Muslim walaupun buruk masih bisa masuk surga, kafir walau baik tetap kekal di neraka." Inilah salah satu contoh orang yang "gagal njegal" membaca teks2 keagamaan.

Kalau memang semua Muslim itu masuk surga, kenapa kalian bersemangat mengafir-sesatkan saudara2 Muslim sendiri? Kenapa pula kalian dengan suka-rela dan kejinya mengumpat, mengutuk, dan mengfitnah saudara2 Muslim sendiri?
Kenapa pula kalian begitu heroiknya mengusir saudara2 Muslim sendiri? Kenapa pula kalian dengan beringasnya ngamuk2 dan merusak properti milik saudara2 Muslim sendiri? Kenapa pula bahkan kalian rela berbuat kekerasan dan membunuh sesama Muslim?

Lalu, Islam seperti apakah yang kalian maksud? Muslim seperti apakah yang akan masuk surga? Betapa murah dan "murahannya" surga itu, jika hanya dengan "tiket Islam" bisa memasukinya. Bagi saya, bukan islam, melainkan kualitas keislaman yang membuat orang masuk surga itu. Bukan agama, melainkan kualitas keagamaan, yang mengantarkan orang ke surga. Saya percaya, surga itu (jika memang ada) bukan disediakan untuk agama ini dan itu, untuk etnis ini dan itu. Tetapi untuk umat manusia yang memiliki "kualitas kemanusiaan" apapun agama dan etnis mereka.

Apalah artinya kalian mengaku-aku sebagai umat beragama jika perilaku kalian seperti orang2 tak beragama. Lebih baik umat non-agama tetapi hati dan perilakunya seperti "malaikat" ketimbang umat beragama tetapi hati dan perilakunya laksana setan yang gentayangan. Alih2 menuduh Ahok tak bakal masuk surga, bisa2 justru kalian sendiri yang nyemplung ke neraka...

[prof.sumanto al qurtuby]



Imam Ali As



Dunia Hawa - “Bang, siapa sih Imam Ali as itu?” Tanya seorang teman di inboxku. Ini termasuk pertanyaan yg sering, tetapi jarang kujawab.

Imam Ali as adalah Ali bin abu thalib. Beliau adalah sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad Saw. As itu adalah gelar, yaitu Alaihi Salam atau semoga keselamatan dilimpahkan kepadanya. Gelar yg biasa juga disematkan kepada para Nabi2.

Beliau lahir di dalam Ka’bah. Terkenal dengan keilmuannya yang tinggi, karena Nabi Muhammad Saw saja mengatakan, “Jika aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintunya.” Imam Ali sejak kecil mengikuti Nabi Muhammad Saw dan ia terus berada di sampingnya sampai Nabi wafat.

Imam Ali as dikenal sebagai komandan dalam setiap peperangan mempertahankan serangan dr pihak luar yg ingin membunuh Nabi Muhammad saw. Ketika hampir semua sahabat Nabi menolak tugas berbahaya, Imam Ali as yg selalu mengajukan dirinya.

Yang mengagumkan adalah transformasi dirinya dari seorang pahlawan perang menjadi begawan. Ia menjauhi dunia dengan bekerja di ladang seorang yahudi. Meski begitu, ketika para khalifah sedang mempunyai masalah pelik, beliau-lah yg selalu dipanggil.

Imam Ali as kembali tampil sebagai khalifah ketika rakyat memaksanya. Dan ujian beliau kembali tampak ketika banyak yang memeranginya untuk merebut kursi kekhalifahan.

Imam Ali as dicatat sebagai manusia suci oleh para pengikut ( syiah )-nya. Mereka berpatokan pada ayat di Alquran dan riwayat2 ketika Nabi Muhammad Saw mensucikan beliau, istrinya, dan kedua anaknya, sesuci-sucinya. Sampai sekarang pengikut Imam Ali as disebut sebagai Syiah Ali.

Nasihat2 Imam Ali as tak lekang oleh zaman. Kata-katanya yang terkenal adalah “Tanyalah aku sebelum kalian kehilangan aku..” Yang dimaksud kehilangan disini bukan jasadnya, tetapi petunjuk2nya yang dikenal sebagai kunci2 dunia dan akhirat.

Imam Ali as dihormati oleh kalangan pendeta Yahudi dan Nasrani sebagai seorang yang adil. Ia sering didatangi untuk diajak berdiskusi tentang segala hal. Ajaran beliau universal karena patokannya adalah kitab2 agama samawi.

Momen kematian beliau adalah momen yang menakjubkan. Beliau menyongsong takdir yang sudah diketahuinya. Malam sebelum kematian, beliau selalu berdoa, “Ya, inilah malam yang dijanjikan kekasihku Rasulullah..” Bahkan, ia sempat membangunkan pembunuhnya, Ibnu Muljam, saat ketiduran di depan masjid. “Kau sepertinya akan melakukan sesuatu yg mengerikan. Kalau kau mau, akan kuceritakan apa yg ada di balik bajumu..”

Dan ketika beliau sedang sujud di dalam shalat, saat itulah pedang beracun Ibnu Muljam menghantamnya. Pembunuhnya bukan org yg beragama lain. Ia dikenal sbg org yang shalat dan puasa-nya kuat, bacaan Alqurannya merdu dan selalu berpatokan pada Alquran dengan penafsiran yg keliru.

“Aku menang…” Begitu kata Imam Ali as saat darah mengucur dari kepala dan lehernya. Kemenangan beliau ketika ruh-nya terbebas dr jasadnya dalam kondisi syahid.

Jadi begitulah, teman.. Kenapa saya banyak menggunakan perkataan Imam Ali as sebagai penasihat diri sendiri. Nasihat beliau tidak spt motivator2 yang menjual duniawi, tetapi sebagai penampar diri sendiri. Kata2nya masuk ke relung hati yang terdalam, membuat akal merenung dan mulai menggali kebijaksanaan.

Kalau bisa saya bilang, Imam Ali as adalah takaran sempurna dari secangkir kopi. Pahit dan manisnya begitu seimbang ketika akal mencoba mencecap setiap mutiara yang beliau hasilkan.

“Ambillah butir kebijaksanaan dimanapun ia berada. Karena apabila ucapan kebijaksanaan berada di dada seorang munafik, ia akan menggelepar keluar dan bermukim di dada orang mukmin.” Imam Ali as.

[denny siregar]



Ketika Iblis Pun Kalah



Dunia Hawa - Temanku berbicara panjang lebar tentang ketidak-percayaannya terhadap konsep keTuhanan.

Karena memang dasarnya tidak suka berdebat, saya mendengarkan saja. Lebih menarik mengamati sisi pandang orang lain daripada memaksakan sisi pandang diriku sendiri. Banyak kesalahan2 penafsiran yang dia lakukan terhadap ayat2 Alquran yang dia bilang adalah sesuatu yg tidak masuk akal, tapi saya diamkan saja.

Saya lebih baik minum kopi dan merokok saja. Sampai kemudian temanku bertanya, “Apakah saya masuk neraka karena tidak menyembah Tuhan ?”

Ah, disini saya selalu ditantang untuk menjadi Tuhan lagi. Selalu menarik memang menjadi Tuhan, yang bisa menghakimi apa saja.

“Kesalahan berfikir manusia adalah menganggap Tuhan perlu disembah… ” Aku membuka kata2ku sambil menyulut rokok baru. Temanku tersenyum senang karena merasa menang dengan segala logika berfikirnya.

“Tuhan tidak perlu disembah. Untuk apa ? Tuhan tidak butuh manusia. Tanpa manusia-pun Ia ada. Tanpa alam semesta inipun, Ia ada. Tuhan tidak butuh manusia, tetapi manusia yang butuh Tuhan..

Meskipun di-dalam kitab suci tertera firman-Nya “Sembahlah aku”, bukan berarti Tuhan membutuhkan kita menyembah-Nya. Tetapi supaya manusia tidak menyembah yang lain, karena Ia-lah sumber segala kebaikan, sedangkan yang lain bukan jaminan. Disitulah kasih sayang Tuhan supaya manusia tidak tersesat… “

Aku membetulkan letak dudukku sambil menyeruput kopi-ku malam ini.

“Tidak menyembah Tuhan-pun tidak masalah. Mungkin manusia-nya sudah pede dengan ilmu pengetahuannya akan selamat dengan segala perbuatannya di dunia tanpa perlu petunjuk dari Tuhan. Ya, monggo.. Tidak perlu menyembah Tuhan. Tidak akan berkurang sedikitpun kebesaran-Nya ketika seluruh alam semesta tidak menyembah-Nya. Itulah kesombongan Tuhan, karena memang hanya Ia-lah yang berhak sombong…”

Semakin hangat malam ini.

“Saya ? Saya manusia lemah yang kurang ilmu, sehingga saya harus menyembah-Nya, karena saya membutuhkan-Nya. Kamu mungkin lebih kuat dan pintar dari saya, sehingga tidak perlu menyembah-Nya.. Saya takut tersesat di dunia ini, kamu tidak karena kamu ahli terhadap apa yang ada di dunia ini…

Ibarat kita sama2 mau mendaki gunung, sebagai pemula dan awam, saya membutuhkan guide, petunjuk supaya selamat sampai di puncak dan selamat kembali ke rumah. Kamu ? Kamu tidak butuh karena kamu merasa tahu jalan menuju puncak dengan nalurimu. Ya, silahkan.. Kamu dengan amalanmu, aku dengan amalanku, tidak perlu memperdebatkan itu.

Surga dan neraka buatku, jika diibaratkan pendakian, adalah berhasil menuju puncak dan aman kembali ke rumah atau tersesat di hutan.

Jadi tidak perlu bertanya kepadaku apakah kamu masuk neraka atau tidak, karena saya sendiri sibuk berfikir bagaimana saya bisa mengikuti petunjuk Tuhan dengan benar supaya saya tidak tersesat di hutan belantara..”

Temanku terdiam dan menghabiskan kopinya.

“Tapi setahuku, ini setahuku, bahkan iblis saja percaya kepada Tuhan. Ia dikutuk bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, sebab ia beribadah kepada-Nya ratusan tahun lamanya. Ia dikutuk karena tidak mau tunduk kepada Nabi Adam, karena ia hanya tunduk kepada Tuhan..

Jadi, kamu sebenarnya lebih hebat dari iblis.. lebih jagoan.. Ah, tapi kamu juga gak percaya adanya iblis, kan ? Tentu saja, wong kamu lebih jago darinya..”

Aku tersenyum sambil mematikan puntung rokokku. Baru kusadar, selama ini aku berbicara dengan seseorang yang bahkan iblis-pun hormat kepadanya.

Dunia memang aneh. Bahkan secangkir kopi-pun beringsut menyingkir ketika tahu bahwa ada yang jauh lebih pahit darinya.

[denny siregar]