Thursday, March 3, 2016

Membaca Kalkulasi Politik Kang Emil



Dunia Hawa - Ridwan Kamil
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil akhirnya memutuskan untuk tidak akan maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2017 mendatang. Ridwan urung maju dengan alasan belum menyelesaikan tugasnya di Bandung. Menurut Ridwan, ia bisa saja menjadi calon gubernur DKI Jakarta, tapi tidak sekarang atau dalam Pilkada tahun depan. "Saya maju ke Jakarta, tapi tidak sekarang. Alias saya tidak akan maju menjadi calon gubernur DKI 2017," kata Ridwan di Balai Kota Bandung, Senin (29/2) seperti diberitakan beberapa media.

Dengan tegas, Ridwan mengatakan, pertimbangannya untuk tidak maju di Pilkada DKI hanya satu, yakni belum menyelesaikan tugasnya di periode pertama kepemimpinan ibu kota Jawa Barat. Namun, jika sudah menyelesaikan periode kepemimpinan, Ridwan tak menampik kemungkinan bisa bersaing dalam ajang pemilihan kepala daerah, seperti Pilkada Jawa Barat atau Pilkada DKI Jakarta. Selain itu, ia pun tidak masalah melanjutkan jilid dua, atau memenuhi keinginan keluarganya untuk jadi arsitek lagi.

Tak lagi jadi salah satu peserta di Jakarta, Ridwan Kamil berharap pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta bisa berjalan lancar. Emil mempersilakan untuk melanjutkan kontestasi di DKI Jakarta tanpa dirinya sembari mendoakan warga Jakarta bisa memilih gubernur yang cocok dan pas. Jika mau maju, Ridwan Kamil dipastikan akan bersaing dengan Basuki Tjahaja Purnama. Gubernur DKI Jakarta ini sudah jauh-jauh hari menyatakan kesiapannya. Bahkan ia menggadang-gadang diri akan maju melalui jalur independen, walau belakangan Nasdem dan beberapa partai lain terlihat sudah mulai mencondongkan badan kepadanya.

Ada beberapa ucapan yang menarik untuk dicermati dari seorang Emil. Menurut beliau, yang terberat baginya ketika harus maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta adalah bahwa warga Bandung mayoritas tidak mengizinkannya untuk pergi sebelum menyelesaikan tugas. Di dalam kata "warga Bandung" terepresentasikan suara relawan yang dulu berjibaku memenangkannya, suara keluarga dan suara mentor hidupnya, yaitu ibu kandung Emil sendiri, yang tidak merestui ke mana pun sebelum menyelesaikan periode pertama kewalikotaan Bandung ini.

Pernyataan ini menarik, karena secara substansial Emil tampaknya memberanikan diri untuk berseberangan dengan perjalanan politik Jokowi yang benar-benar memanfaatkan popularitas mulai dari posisi wali kota Solo sampai ke DKI Jakarta. Dengan kata lain, Emil berusaha meyakinkan publik bahwa keputusan politik untuk maju atau tidak dalam pilkada DKI Jakarta adalah keputusan yang bersifat “Bandung Raya” alias bukan keputusan personal karena masih terdapat keterikatan politik dan temali tanggung jawab dengan Ibu Kota Jawa Barat. Artinya, Emil sedang bersuara atas nama masyarkat Bandung, bukan atas nama dirinya sendiri.

Pernyataan menarik lainya adalah ketika Emil mencoba mendobrak mitos bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta. Mitos pusat dengan segala turunannya menurut Emil harus dibongkar. “Saya yakin Indonesia bisa maju jika di daerah juga dipimpin orang-orang terpercaya dan progresif secara merata. Indonesia bisa hebat dengan kepemimpinan orang-orang hebat seperti Ibu Risma di Surabaya atau Prof. Nurdin Abdullah di Bantaeng”, ungkap Emil.

Saya mencoba memahami isi pernyataan ini, secara redaksional tentu sangat berseberangan dengan logika publik pascamasuknya Jokowi ke Istana. Jokowi dianggap sebagai salah satu prototype yang berhasil melenggang ke Istana setelah menduduki posisi Jakarta Satu, walaupun hanya lebih kurang dua tahun. Tapi ini tidak hanya berupa gertak sambal seorang Emil, karena jika logikanya kita perlebar, misalnya jika Emil ingin melanjutkan karier sampai ke Istana, maka secara politik pernyataan ini sangat beralasan lantaran Jawa Barat adalah kantong suara terbesar se-Indonesia, bahkan digadang-gadang sebagai salah satu kantong suara penentu dalam pemilihan presiden.

Kalkulasi politik ini akan semakin terkonfirmasi jika Emil ingin melanjutkan karier ke Gedung Sate misalnya. Sudah hampir bisa dipastikan beliau akan menjadi calon yang ditunggu-tunggu di arena tanding pilkada Jawa Barat. Artinya, boleh jadi kemungkinan kalah dan menang di pertarungan DKI satu masih 50:50 untuk Emil, tapi persentase itu akan bergerak naik, bahkan mungkin sangat tinggi saat beliau memutuskan maju dalam Pilkada Jawa Barat dan kemungkinan membuka peluang ke Istana juga semakin lebar, tanpa harus menanggung risiko kalah di Jakarta.

Dengan posisi politik yang diambil saat ini, Emil mengamankan kakinya di zona yang comfortable, zona yang membuat gerak langkahnya tak terkekang oleh satu pilihan menggiurkan tapi memiliki risiko masa depan yang kurang pasti. Apa jadinya jika Emil kalah di Jakarta? Ini sebuah risiko yang terlalu mahal yang harus dibayar jika dibanding dengan kredibilitas, akseptabilitas, dan popularitas yang kadung terbentuk. Logika ini sangat cerdas dan rasional bagi seorang Emil yang masih memiliki banyak peluang untuk masa depan.

Pilihan ini akan membuat Jakarta semakin panas. Satu di antara beberapa calon gubernur yang sudah muncul ke permukaan akan melenggang menjadi gubernur, sisanya akan redup persis seperti lawan-lawan Jokowi- Ahok tempo hari. Proyeksi hasil pilkada Jakarta ini akan semakin membawa sinaran politik bagi Emil yang sedari awal tidak lebay dan gegabah mencemplungkan diri ke Jakarta.

Emil bisa fokus dua tahun mendatang untuk semakin memoles Bandung dan semakin menuai decak kagum dari banyak kalangan. Sementara itu, para pihak di Jakarta malah sibuk bersiap-siap untuk bertarung, siap-siap disanjung dan dicaci-maki, siap-siap energi politik dan finansial, dan efek negatif Pilkada Jakarta akan membuahkan kerinduan kepada kota yang tenang seperti Bandung dan memberi ion-ion positif bagi perkembangan politik Emil.

Dengan tetap berdiri di luar Jakarta yang kian konstelatif, saya kira Emil akan menangkap ikan yang banyak tanpa harus menjala di Jakarta, cukup dengan memaksimalkan semua wewenangnya sebagai wali kota Bandung untuk terus memajukannya alias beliau bisa tetap fokus dengan Kota Bandung. Di sisi lain, tanpa menceburkan diri di Jakarta, beliau juga sebenarnya sedang membangun intsalasi penyerap ion-ion positif dari Pilkada Jakarta mendatang karena ekspektasi yang mengharapkan beliau naik ke level yang lebih tinggi akan semakin bertambah tanpa harus bersusah payah mengotori tangan di Arena Jakarta. Dan inilah salah satu strategi cerdas menurut saya, terlepas apa pun pilihan beliau selepas masa tugasnya habis di Bandung. Setidaknya, beliau mempunyai keleluasaan yang luas pascakeputusan ini dan keleluasaan itu akan memiliki fundamental politiik yang cukup kuat dan rasional.

[ronny p sasmita/ kompasioner]