Friday, February 26, 2016

Bunda Teresa di Neraka???



Iseng dengar ceramah radio, ada pertanyaan tentang bunda Theresa. “Apakah bunda Theresa masuk surga ?” Dan dijawablah oleh si penceramah bahwa bunda Theresa tidak mungkin masuk surga dikarenakan ia kafir.

Saya jadi teringat sekian tahun lalu, ketika awal2 dalam pencarian agama. Saya mengikuti pengajian yang – maaf – sangat membosankan. Berasa berat mata ini mendengar ceramah tingkat dewa, maksudnya yang bicara itu seorang dewa karena ia selalu membahas surga dan neraka.

Sampai ada satu pertanyaan dari seorang jamaah, “Apakah bunda Theresa masuk surga atau neraka ?” Ah, pertanyaan yang menarik yang membuat mata saya melek sebelah.

Dan jawaban yang diberikan membuat mata saya terbuka dua-duanya. Bunda Theresa dihakimi masuk neraka karena seberapa besarpun amal perbuatannya, ia tetap kafir sehingga tidak layak masuk surga.

Sontak saya mengemasi barang2 dan berdiri, yang membuat semua yang hadir disana langsung melihat ke arah saya. Si ustad lalu bertanya, “apa yang membuatmu buru-buru pulang ?”

Dan entah keberanian darimana saya menjawab dengan ringkas.

“Selama ini setahu saya Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena Ia Maha, maka tidak ada manusia yang sanggup mendekati kasih dan sayang-Nya, bahkan mendefinisi-kan bentuknya.

Saya selama ini selalu salah mengira bahwa Tuhan tidak sayang kepada saya karena banyak peristiwa buruk yang menimpa saya. Hingga akhirnya saya sadar bahwa semua itu sebenarnya cara Tuhan melindungi saya dari keburukan yang lebih besar. Itulah bentuk kasih dan sayang Tuhan, yang baru saya mengerti di akhir dan saya salah pahami di awal, karena saya manusia yang picik..”

Sambil membereskan baju yang terlipat karena kelamaan duduk, saya melanjutkan, ” Setahu saya lagi, selain Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan itu Maha adil. Karena ke-Maha-anNya, maka tidak ada manusia yang mampu menangkap detail keadilan Tuhan yang sangat presisi. Semua akibat berasal dari sebuah sebab. Tidak ada akibat yang tidak dihukumi, semua ada hukumnya, baik itu hukum baik atau hukum buruk…”

Saya menuju pintu dan sambil memegang daunnya saya masih menyisipkan beberapa kata lagi.

“Selagi kita duduk disini, bercerita tentang surga dan neraka, Bunda Theresa sudah banyak membantu orang disana dengan harta dan jiwanya. Dan kita disini semua masuk surga, sedangkan bunda Theresa masuk neraka. Bagaimana Tuhan bisa begitu tidak adil ?

Sedangkan saya belajar agama untuk mencari keadilan dan keadilan hanya bisa saya dapat dari Sang Maha Adil…

Jadi saya minta maaf, saya harus pergi mencari Tuhan yang adil. Disini Tuhannya tidak adil.. Bagaimana saya meminta keadilan kepada Tuhan yang tidak adil ?”

Saya pun pergi dan tidak pernah kembali kesana. Mungkin saya pun dihakimi kafir.

Saya lebih baik duduk dan melihat keadilan Tuhan dalam peristiwa2 sekitar melalui secangkir kopi. Secangkir kopi yang tidak pernah bicara surga dan neraka, ia hanya berbicara tentang kenikmatan dan fungsinya kepadanya manusia.

[denny siregar] -----

Kerja adalah Ibadah.

Ketika kita bekerja atau melakukan segala sesuatu, kita bisa dengan mudah terjebak ke dalam situasi di mana aktifitas itu hanyalah sebuah rutinitas.

Karena itulah, kita harus selalu memasukkan rasa hormat kita, rasa syukur kita, pengabdian dan rasa cinta kita terhadap Tuhan yang telah memberi kita kesempatan melakukan pekerjaan tersebut.

Dan karena pekerjaan tersebut kita lakukan untuk menunjukkan semua perasaan tersebut kepada Tuhan, bahwa pekerjaan tersebut pada hakikatnya adalah sebuah bentuk ibadah kita kepada-Nya, maka kita pasti akan melakukannya dengan segenap kemampuan kita, sebaik dan sesempurna mungkin.

-Mother Teresa-

Filosofi Ikan dan Pemerintahan Joko Widodo



Saya tertarik melihat Jokowi saat memberi makan ikan di kolam. Perhatikanlah gesture tubuhnya. Ia duduk, santai, dan sangat menikmati saat-saat emas untuk memberi makan ikan di kolam. Tentu saja publik maklum. Memelihara, memperhatikan dan memberi makan ikan adalah hobby yang wajar. Jokowi juga manusia. Tetapi, saya bertanya, mengapa seorang presiden yang sangat sibuk, masih meluangkan waktu untuk memberi makan ikan? Ternyata jawabannya menarik.

Jika orang kebanyakan memelihara ikan sebagai hobby belaka dan berhenti sampai di situ, Jokowi tidaklah demikian. Jokowi suka memelihara ikan dan memberinya makan karena di situ ada iluminasi, ada pencerahan, ada inspirasi dan ada filosofi hidup yang luar biasa. Ketika Jokowi sedang memberi makan ikan, maka pada saat itu juga filosofi hidup ikan mencerahkannya dan menguatkannya.

Jokowi pun menyelami filosofi itu untuk kemudian dipakainya sebagai jurus andalannya dalam memimpin negeri ini. Apa-apa saja filosofi ikan yang diselami Jokowi itu?

Pertama, ikan kalau berenang terus maju dan tidak pernah mundur. Benar, ikan berbelok, berputar haluan tetapi tetap saja ia berenang maju. Ikan tidak pernah berenang mundur, ia berenang maju.  Filosofi inilah yang diselami Jokowi. Jokowi terus maju merevolusi bangsanya, ia tidak akan mundur melaksanakan apa yang diyakininya.

Program Jokowi tentang pembangunan infrastruktur terkait pembangunan jalan, rel kereta api di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian, jalan tol trans Sumatera, tol laut dan kapal ternak,  kereta api cepat Jakarta-Bandung, terus digebernya. Ia pantang mundur. Benar, ia kadang berbelok, berputar haluan, namun tetap maju.

Kedua, ikan terus melawan arus. Perhatikanlah ikan-ikan yang hidup di sungai atau jika ada arus air di kolam, ikan-ikan itu terlihat terus melawan arus. Filosofinya ialah ikan akan semakin kuat dan besar bukan karena ikut arus sungai tetapi karena melawan arus sungai. Semakin rajin ikan melawan arus, maka ikan itu pun semakin kuat.

Sudah lama diketahui bahwa ikan yang paling hebat melawan arus adalah ikan salmon. Ikan ini terkenal karena daya juangnya yang terus melawan arus sungai. Ia berenang dan terus berusaha naik ke permukaan sungai, rela luka-luka dan mengambil resiko di makan beruang. Ikan-ikan salmon kalau mau bertelur, akan melakukan perjalanan panjang dan berjuang mengarungi lautan selama bertahun-tahun hanya untuk bertelur di hulu sungai tempat ia dilahirkan sebelumnya. Sungguh luar biasa.

Perhatikanlah sepak terjang Jokowi selama ia menjadi Presiden. Ia cenderung melawan arus. Ia memberantas illegal fishing dengan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, ia membekukan PSSI yang telah digerogoti mafia sepak bola, ia membubarkan Petral karena tidak efisien, lalu ia melawan tekanan asing soal perpanjangan kontrak karya PT Freeport. Jokowi juga tidak mau disebut petugas partai. Ia melawan arus keinginan PDIP yang kebelet mencopot Rini Soemarni dan mereshufle kabinetnya.

Ketiga, ikan meloncat ke kolam yang lain. Ikan tidak pernah tenang dan nyaman berada di kolam yang sama. Jika ada kolam yang lain yang berdampingan, ikan-ikan itu akan meloncat. Ketika Jokowi sudah menjadi pengusaha, ia meloncat menjadi wali kota Solo. Dari sana ia meloncat lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan terakhir ia meloncat menjadi Presiden.

Setelah Presiden, kita tidak tahu kemana Jokowi akan meloncat. Jokowi ibarat seekor ikan. Ia ingin menjadi ikan yang besar di kolam yang besar dan tidak mau menjadi ikan yang kecil di kolam yang besar atau ikan yang besar di kolam yang kecil. Maka tak heran Jokowi meloncat-loncat.

Keempat, ikan berpendirian yang teguh. Ikan tidak mudah merubah dirinya menjadi asin atau berlumur lumpur dan kotoran. Walaupun ikan hidup di tempat asin seperti air laut yang asin, ikan tidak pernah terasa asin. Ikan selalu membentengi dirinya dari rasa asin. Jokowi terus menyelami filosofi ikan ini.

Walaupun ia hidup dalam budaya korup, dikelilingi oleh orang-orang yang bermental korup, Jokowi tetap bisa menjaga dirinya agar tidak ikut kotor. Ia dengan tegas mengingatkan masyarakat bahwa jangan sekali-kali percaya kepada orang-orang yang mencatut namanya atau keluarganya. Jokowi sadar filosofi pembusukan ikan yang dimulai dari kepalanya.

Selama ini pembusukan negara ini dimulai dari kepala negara, dan para pejabat. Karena itu sebagai kepala negara, Jokowi menjaga agar janganlah dia yang pertama-tama busuk.

Kelima, ikan tidak mempunyai wajah yang iri. Ikan tidak pernah mau hidup di darat. Betapa pun darat penuh dengan pesona dan gemerlapan, tetap saja ikan tidak tergoda dan iri. Ikan tetap nyaman di air, di tempat kodratnya. Ikan tahu dirinya beda karena mempunyai insang sedangkan yang lain tidak. Jokowi mencuri filosofi ikan ini. Jokowi tidak pernah iri akan kesuksesan orang lain. Jokowi sudah memahami dirinya dan kodratnya.

Kendatipun ia dihina, diejek dan dilecehkan, tetap saja Jokowi senyum-senyum. Ia tidak marah dan membalas hinaan itu dengan kata-kata kasar yang penuh kedengkian dan keirihatian. Ia tahu bahwa dirinya adalah orang yang berbudaya.

Lalu apa hubungannya dengan mantan Presiden SBY yang akhir-akhir ini merasa disalahkan oleh pemerintah sekarang?

Sejak 12 belas tahun yang lalu, saya selalu mengikuti berita tentang SBY. Saya ingat saat ia  menjadi Menko Polhukam era Megawati, lalu menjadi presiden selama sepuluh tahun (2004-2014). Kesan saya adalah SBY merupakan presiden Indonesia yang sangat care tentang citra. SBY sangat menjunjung tinggi citranya.

Kalau ia mengarang lagu dan menelurkan beberapa album, itu karena ia sangat mementingkan citranya. Dalam benaknya, jika ia berhasil mengembangkan bakatnya menyanyi, maka rakyat akan memuji dirinya. Itu berarti citranya semakin tinggi. Hebat, hanya Presiden SBY satu-satunya presiden di dunia ini yang bisa mengarang lagu dan menelurkan album. Luar biasa bukan?

Karena sangat care dengan filosofi citranya, SBY tetap berusaha membuat harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) murah meriah selama sepuluh tahun. Ia pun tidak berani menghilangkan subsidi yang begitu mencekik APBN. Ia tidak mau kalau rakyatnya menderita dan miskin hanya karena gara-gara BBM dan TDL yang mahal. Sudah jelas hal itu akan mencoreng citranya. Akibatnya selama sepuluh tahun SBY memerintah, subsidi BBM dan TDL   mencapai  lebih 1.000  triliun. Rakyat pun membayar mahal. Pembangunan infrastruktur jalan di tempat dan utang pun menggunung.

Hebatnya, setiap pidato-pidato yang SBY ucapkan,  selalu mencengangkan publik. ia cerdas benar menyusun rangkain kata dan kalimat pidatonya. Ialah satu-satunya Presiden yang berpidato dengan gaya bahasa luar biasa, beralur sitematis, teratur dan sangat enak didengar. Anda tahu kenapa? Karena bahasa menurut SBY identik dengan citra. Itulah sebabnya SBY sangat memperhatikan aspek kebahasaan setiap ia berpidato.

Sesulit apapun masalah yang dihadapi rakyat, SBY selalu menanggapinya dengan penjelasan bahasa yang lugas plus wajah ganteng yang serius dan bermimik pekerja keras. Karena pencitraan hebat, ia pun terpilih sebagai pejabat terbaik yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun setelah mendengar pidatonya, masyarakat yang kembali ke alam realita, tetap saja tidak ada perubahan. Jalan yang ditempuh setiap hari tidak ada perbaikan. Pembangunan infrastruktur sangat tersendat dan tidak selancar gaya bahasa SBY.

Jika melihat masa lalu dan juga msa sekarang, terlihat jelas bagaimana SBY memanfaatkan situasi dan membuat dirinya sebagai korban dari kezaliman pihak lain. Saat dia menjadi menteri dan tidak lagi digubris Megawati, dia langsung mengundurkan diri. Ia pun membuat dirinya sebagai korban kesemena-menaan Megawati di hadapan rakyat.

Hasilnya, rakyat bersimpati dan ia pun melenggang menjadi presiden pertama pilihan langsung dari rakyat. Hal yang sama ketika ia sekarang sudah lengser dari kursi presiden, ia pun berkicau lewat twitter bahwa segala dosa di zaman pemerintahannya ia rela tanggung sendiri. Ia rela disalahkan asal jangan disalahkan para menterinya. Hebat bukan? Nah di tataran inilah SBY kembali melakoni perannya seolah-olah ia dizalimi untuk menarik kembali simpati rakyat agar ia come back. We want SBY come back hehe.

Nah seandainya, SBY mampu menyelami filosofi ikan selama sepuluh tahun kekuasaannya, mungkin dia tidak pernah disalahkan oleh pemerintah sekarang. Bisa saja namanya begitu menyolok dan menjadi buah bibir banyak orang. Ia mungkin seperti Lee Kuan Yew-nya Singapura. Prestasi gemilangnya luar biasa dan tak ada pemimpin yang mampu mengalahkannya termasuk Jokowi sekalipun. Namun itu ternyata hanya dalam mimpi. SBY tidak pernah menyelami filosofi ikan.

Ia malah terus menyelami filosif citra dan tenggelam bersamanya. Sementara Jokowi, selain belajar filosofi kodok, Jokowi juga belajar filosofi ikan. Dan ternyata, filosofi ikan itu mencerahkan Jokowi setiap kali ia memberi makan ikan-ikan di kolam. Maka tak heran, Jokowi rajin memberi makan ikan dan meluangkan waktunya di sana, karena di sana ia dicerahkan oleh filosofi ikan yang luar biasa.

[Assaro Lahagu/kompasioner]

Perdagangan Agama




Pada abad pertengahan, Gereja Katolik pun pernah mendapatkan kritikan keras karena dituding menjual indugensi atau surat pengampunan dosa. Prakteknya terjadi pada saat pembangunan gereja st petrus, dimana Paus Leo memberikan indulgensi kepada mereka yang menyumbang untuk pembangunan gereja.

Sayangnya, pemberian pengampunan dosa yang diyakini menjadi otoritas gereja sebagai perwakilan Tuhan, akhirnya diperjual-belikan. Begitu murahnya pengampunan dosa, sehingga para tuan tanah pada waktu itu nyaris menjadi suci kembali sesudah mereka banyak melakukan perbuatan kotor. Merasa berdosa ? Beli saja indugensi atau surat pengampunan dosa.

Itu baru dari sisi dosa yang bisa dijual. Dari sisi pengajar agama-pun laku untuk dijual.

Sudah bukan “kabar baru” lagi bahwa para ustad, para pendeta dan pemuka agama lainnya sering memanfaatkan agama untuk mencari kenikmatan dunia.

Agama menjadi barang dagangan, barter dengan materi. Mereka sudah pandai berhitung,”gua dapat apa..”. Untuk menyebarkan kebaikan, ada patokan biayanya. Ulama juga manusia, punya raisa punya istri, jangan samakan dengan pisau belatiii..

Nah yang lucunya, ada aja pembelinya. Mereka terkadang bukan membeli “nilai” tetapi lebih membeli gengsi. Mereka rela membayar berapa saja, asal si ustad yang sering masuk tipi itu datang ke tempat mereka. Gengsi perkumpulan pengajian pun naik. Sekalian sesudah ceramah selesai, diputarlah arisan dan jualan tas juga berlian. Akhirnya agama masuk ke wilayah industri.

Majelis Ulama pun tidak mau ketinggalan. Ini zaman semua harus di kapitalisasi. Panggilan ceramah hanya masuk kantung pribadi, karena itu harus dibuat sesuatu utk keberlangsungan organisasi.

Maka dibuatlah konsep sertifikat halal.

Sertifikat halal ini sebenarnya secara konsep bagus, untuk memberi tahu umat muslim supaya tidak terjebak pada sesuatu yang sifatnya haram. Ulama punya tanggung jawab besar untuk umatnya. Begitulah kira2 konsep dasarnya.

Tetapi pada prakteknya, uang mengalahkan segalanya. “Label” menjadi barang dagangan yang menguntungkan. Harganya disesuaikan hukum permintaan dan penawaran. Siapa yang bayar paling banyak, maka dia semakin halal. Halal-pun ada “masa berlakunya”, kalau tidak diperpanjang maka “auto haram”.

Jadi, sebelum makan di restoran, coba tanyakan dulu ke pemiliknya, ini halal sejak kapan ? Jangan2 makan jam 12 siang, jam setengah satu sudah haram. Bisa koprol kepala berbie.

Agama juga bisa dijual untuk menutup yang haram. Waktu menjabat pakaiannya seksi, di pengadilan mendadak reliji. Alamak, Syahrini bisa telentang cantik di jalan raya kalau begini.

Kalau mau di list, entah berapa banyak agama diperdagangkan. Coba liat billboard besar2 bahwa ada acara berbau agama di satu tempat. Sesudah berkumpul massa, jepret jepret, fotonya pun di kirim ke negara donor, minta sumbangan.

Langka sudah yang beragama dengan jujur seperti bunda theresa, mahatma gandhi dan muhammad yunus, yang menjadikan agama sebagai ruang spiritual. Bagaimana Tuhan menjadikan mereka berfungsi bagi manusia lain, bukan manusia yang memanfaatkan manusia lain.

Agama itu berwujud menjadi secangkir kopi. Tergantung dia ditempatkan dimana, maka harganya bisa berbeda.

Salahkan Semua Pada Ahok



Orang bilang saya terlalu memuja Ahok. Menganggap Ahok seperti tidak ada salahnya. Sepak terjangnya selalu dibenarkan.

Saya balik bertanya, “Nah memangnya sebelumnya Jakarta ada Gubernurnya?” Jangan bilang Ali Sadikin, eranya sudah beda. Jakarta lebih komplek sepeninggal bang Ali.

Kita berada pada masa di mana perijinan mall dan apartemen seperti air hujan, tergantung berapa bayarannya. Pembangunan yang tidak mempertimbangkan resapan air itu mengakibatkan banjir dimana2. Belum lagi Ruang Terbuka Hijau yang dijadikan perkampungan dan lokasi prostitusi.

Lalu lintas begitu macetnya, karena solusinya hanya menambah jalan, bukan membangun sistem transportasi massal yang nyaman. Orang-orang ramai membeli mobil dan motor dipicu mahal dan tidak manusiawinya transportasi massal. Metromini dan Kopaja ngetem sembarangan – bahkan pada jam sibuk – tanpa ada petugas yang menegur karena “kantungnya” sudah dipenuhi uang.

Hotel dan restoran berubah peruntukannya menjadi tempat prostitusi kelas atas. Ijin diskotek menjamur tanpa ada sedikitpun penertiban ijin ketika ditemukan mereka menjadi sarang penyebaran narkotika.

Dan lucunya, Ahok juga yang disalahkan kenapa kok lebih suka menertibkan prostitusi kelas bawah dan tidak kelas atas ? Seolah2 gampang menertibkan yang kelas atas. Kelas atas itu perijinannya tertib dan selama ini dibekingin banyak pihak. Harus ada satu titik kelemahan yang bisa dijadikan senjata utk menutup mereka, seperti hal-nya Ahok menutup diskotek Stadium karena disana terbukti sarang narkotika.

Apa ada yang memuji Ahok karena berhasil mengatasi banjir?

Ketika saya memujinya, mengapresiasi kerjanya, saya dibilang men-dewa-kan Ahok. Orang kerja baik kok gak boleh dipuji? Kamu mau kerja baik trus ga dipuji malah disalahkan terus? Ga mau kan? So bersikaplah fair, adil dalam menilai sesuatu bukan berdasarkan orangnya tapi apa yang dilakukannya.

Untung saya bukan Cina, kalau saya Cina pasti dibilang “Yah wajar aja, Cina ma Cina saling menyayangi..” Serba salah, kan?” Untung Ahok bukan batak, kalau batak bisa dibilang, “Yah wajar aja, kalian saling memuji seperti batak mabuk di lapo tuak..”

Ahok memang bukan Dewa Zeus, yang dengan tongkat trisilanya diketukkan langsung semua masalah terpecahkan. Ia membereskan banyak hal yang tidak pernah dibereskan oleh Gubernur sebelumnya. Gubernur-gubernur yang sibuk dengan pengguntingan pita dibangunnya mall dan sibuk dengan acara2 kelas menengah atas tanpa perduli jajarannya korupsi, daerahnya banjir gak keruan, lalu-lintasnya parah seperti barisan semut merah.

Kebayang kan kalau Jakarta dipimpin si kumis lebat itu lagi? Mungkin sudah tenggelam Jakarta ini seperti kejadian tahun-tahun sebelumnya dan pecah endas meihat traffic sebegitu kejamnya.

Kalian mengeluh ketika banyak masalah dan ketika dikirimkan seorang sebagai solusi, kalian malah mencibirnya.

Dengan adanya Ahok, tugas Batman menjadi ringan. Tiap pagi cukup ngopi, baca berita dan makan gorengan.

Tinggal satu tugas menanti. Batman harus hadir waktu ada demo telanjang di Kalijodo. Mudah-mudahan yang telanjang PSK-nya, bukan preman-premannya…

[denny siregar]

Pro Kontra Rio Haryanto



220 milyar rupiah hanya untuk seorang Rio Haryanto? Darimana pemerintah mendapat uang sebanyak itu sedangkan sponsor nyaris tidak ada ? Pertamina-kah yang jadi andalan ditambah kocek kementrian olahraga yang berasal dari APBN? Pada posisi rakyat sedang susah, apakah pemerintah tidak salah menginvestasikan dananya?

Begitu saya melihat banyak perdebatan pandangan di fesbuk tentang ini.

Kalau meihat angka 220 milyar-nya saja, memang sungguh besar. Banyak cabang olahraga lain akan sangat iri ketika Menpora spt meng-anak emas-kan Rio. Apakah layak sebesar itu untuk hanya sebuah “kebanggaan”?

Apalagi sebenarnya Manor Racing hanya-lah perusahaan swasta saja yang memegang hak eksklusif untuk membalap di formula one. Sebagai perusahaan swasta, Manor tentu ingin menangguk keuntungan sebanyak2nya. Layaknya perusahaan internasional, mereka yang terlibat meng-kapitalisasi event itu mulai dr tempat penyelenggaraan acara, hak siar tv, sampai pendapatan dari uang pendaftaran.

Kalau hanya melihat dari angka 220 milyar-nya saja, ya pasti mencak-mencaklah. Tapi coba kita lihat apa yang dilakukan oleh Malaysia.

Malaysia terjun full di dalam even olahraga bergengsi seperti Formula one ini. Bukan hanya turun, mereka malah meng-kapitalisasinya melalui Petronas. Angka ratusan miliar untuk mengikuti even, mereka bayar dengan penjualan produk2 Petronas di seluruh dunia. Mereka menganggap ini adalah bagian dari promosi global ikon Petronas. Dan jika sudah berbicara promosi global, maka kita berbicara uang yang tidak sedikit.

Malaysia bukan hanya bermain dalam promosi produk pembalap, mereka membangun sirkuit sendiri. Anda bisa bayangkan, kalau mendaftarkan seorang pembalap saja harus keluar kocek ratusan miliar rupiah, lalu berapa triliun yg harus dikeluarkan untuk membayar Formula one supaya pembalap2 internasional itu mau berlaga di Sepang ?

Apakah mereka untung dalam even balap itu ?

Jika yang dimaksud untung dalam hal perdapatan langsung, tentu tidak. Tetapi yang dijual Malaysia adalah ekosistem-nya. Ketika pembalap mereka beradu di sirkuit Internasional, maka logo Petronas berkibar dimana2. Logo itu berkaitan dengan persaingan produk mereka di internasional.

Ketika orang akhirnya memahami bahwa Petronas adalah Malaysia, maka Malaysia mulai melebarkan sayapnya dengan membangun Sepang Sirkuit. Dengan sirkuit itu, Malaysia mulai promo besar2an dengan iklan Visit Malaysia. Yang dijual adalah kunjungan wisatawan mancanegara ke Malaysia, dengan sirkuit itu sebagai penarik turis mancanegara.

Dan hasilnya, sektor pariwisata menjadi jagoan ke tiga pendapatan Malaysia dari sisi pendapatan valas . Dan pada 2011, Malaysia adalah negara yang sering dikunjungi no 9 diantara banyak negara.

Begitulah cara Malaysia membangun sisi-sisi ekonomi-nya. Formula one, Moto GP ataupun even olahraga bergengsi dan mahal yang mereka kelola hanya sebuah gimmick saja untuk meraih pendapatan negara.

Jadi, melihat Rio Haryanto jangan hanya melihat dari sisi berapa ratus miliar rupiah yang harus di keluarkan sekarang. Tetapi jika semua itu dikelola dengan benar dengan melibatkan banyak komponen dalam pemerintahan termasuk BUMN, maka Rio adalah “uang muka” yang dibayarkan untuk mulai menebarkan konsep kapitalisasi Indonesia ke mancanegara. Ini investasi jangka panjang seharusnya, bukan hanya masalah “kebanggaan” saja.

Pariwisata Malaysia dibandingkan Indonesia sungguh tidak ada apa2nya, tetapi mereka mampu mengemas dan menjualnya dengan cantik. Kenapa tidak Rio dijadikan duta pariwisata Indonesia di mancanegara ? Jangan sampai Malaysia yang mengambil-nya dan dikapitalisasi atas nama negaranya. Nanti ribut lagi kalau Malaysia suka klaim.

Ini mungkin akibat kita lebih sering makan tahu isi, jadinya seperti toge yang berantem dengan wortel di dalam tahu.

Seharusnya semua elemen bersatu, antara pahit dan manis, bagaimana even mahal ini menjadi nikmat pada akhirnya nanti. Seperti secangkir kopi. Asal komposisinya benar, ngaduknya benar, cuacanya tepat… Slurrrrp sedapp…

[denny siregar]