Thursday, February 25, 2016

Ahok vs Lulung



Kalau lihat Lulung ma Ahok ini lucu. Mereka seperti saudara kembar tapi beda sifat. Sama2 tukang gertak, sama2 suka meledak, sama2 suka menjatuhkan satu sama lainnya.

Sebenarnya mereka juga cermin, cuman yg satu cermin buruk rupa dibelah dan satunya cermin dibelah rupanya buruk. Bingung kan ? Sama saya juga.

Rencana pertarungan mereka di pilgub nanti seperti Big Fight yang sangat menghibur. Akan banyak komentar2 yang mengasyikkan dan sudah pasti akan banyak meme2an. Mereka akan mengeluarkan jurus terbaiknya. Ahok dengan kungfu pandanya dan lulung dengan ludah apinya.

Model rambut lulung akan menjadi trendsetter kembali, kemungkinan akan dinamakan model BTMG, Belah Tengah Muke Grogi. Maksudnya dengan belah tengah itu diharapkan lawan akan grogi, tapi kalau tidak siap mukenya sendiri nyang grogi.

Sementara ini posisi Ahok diatas angin, karena ia incumbent. Ahok sangat pintar memainkan media dengan sikap2 kontroversialnya yang memancing komen baik pro dan kontra. Ia pandai memanfaatkan momen sambil bekerja. Ahok seperti bermain Dr Jekyll and Mr Hyde, bagi sebagian orang ia jahat tetapi bagi orang lain ia sinterklas.

Sedangkan lulung akan banyak bermain di statement2 yang memancing Ahok, sambil tentu saja mengibaskan rambutnya yang angin sungkan untuk menyapanya. Ia akan lebih menekankan di latar belakangnya saat susah kemudian berjuang dengan berkelahi melawan preman dan menang. Ia akan banyak berpose di mobil mewahnya menunjukkan bahwa ia sangat mapan, yg membuat para pedagang tanah abang termasuk abang ojek tergila2 padanya. “Gila, gila…” Begitu teriakan histeris mereka ketika menatap idolanya.
Inilah partai yang sangat menarik dibandingkan lawan2 Ahok yang lainnya, Adhyaksa dault dengan para pendeta asupannya, Tantowi Yahya dengan lagu countrynya, Fadli Zon dengan langkah2 kecilnya di hutan yang terbakar, dan sandiaga uno yg sempat bagi2 pin tapi sekarang entah dimana.

Lulung dan Ahok adalah magnet pilgub DKI Jakarta nanti. Daya jual mereka berdua sangat tinggi. Mereka berdua terlihat saling membenci. Tapi siapa tahu, dari pertarungan ini bulir2 cinta di antara mereka akan bersemi

Si Gila Ahok, Benar- benar Gila Dia


Umumnya, dalam mempertahankan kekuasaan orang akan menempel parpol, tokoh masyarakat, apalagi kalau pendatang, bermanis-manis agar dipilih orang. Berbeda dengan sang gubernur DKI kali ini. Beberapa kegilaan yang patut dicermati apakah sudah tingkat lanjut atau masih ada kewarasan sedikit?

· Melabrak parpol

Ini bukan satu dua kali. Bagaimana ia ribut dengan parpol, dimulai dengan Gerindra yang ia tinggalkan dengan dalih berbeda visi dan misi. Tidak heran memunculkan musuh yang frontal mengakui bukan lagi basa-basi seperti M. Taufik, Fadli Zon, dan yang lainnya masih wajar. Mereka marah karena kehilangan sosok berani berkelahi yang diperlukan, respon berbeda ditunjukkan dengan keberanian yang dipikir seperti kebanyakan orang yang takut gertakan ala parpol. Soal wakil gubernur pun demikian, ia permainkan parpol dalam hal ini PDI-P yang akhirnya ngikut idenya. Melahirkan barisan sakit hati baru.

· Menabrak tembok dewan

Paling parah kegilaan yang ini, bagaimana dewan yang setelah reformasi menjadi ajang bandit paling ditakuti, berapa saja pejabat dan pengusaha harus masuk bui karena tingkah mereka, lha malah dia tabrak. Lawan yang tidak sebanding, sendirian menghadapi puluhan bandit demokrasi berdasi. Bandit-bandit kecil kelaparan akan tamaknya, mengusahakan berbagai cara untuk mark up, memalak, menyandera RAPBD, perda, dan program, bukannya sowan dengan amplop, eh malah dia gandeng KPK, BPK, dan bareskrim. Tidak heran anggota dewan yang waras, merasa modal belum balik melakukan perlawanan dengan bak babi buta, dan membentur-bentur sendiri. Tokoh yang mewakili seperti Lulung.

· Membentur situasi seksi dengan cara lain.

Biasanya juara bertahan akan menyajikan muka manis, mulut aroma madu janji-janji ini itu, eh malah dia menggusur ikonik daerah yang sangat dikuasai mafia. Coba saja dia main mata tidak digusur, nanti semua coblos dia, akan dengan suka cita mereka setor suara juga bisa materi. Bukan hanya sekali, malah hampir semua tempat yang sekian lamanya hidup dalam keadaan aman sejahtera dengan upeti tentunya, ia bersihkan. Metromini itu sumber suara dan uang, malah ia berangus. Memangnya metromini baru sekarang buat masalah, tidak bukan? Gubernur lainnya saja diam, napa juga dibersihkan. Pedagang di Monas, biarkan saja setoran banyak, PNS tetap kerja dengan bahagia, suara pasti mengalir. Malah diobrak-abrik, coba berapa ribu PNS dengan keluarga besarnya yang dapat ia dulang. Pedagang dan preman di Monas, Tanah Abang, Ria-Rio, bantaran Ciliwung, kali ini Kalijodo. Semua gubernur merasakan, tahu, dan melihat mereka juga di sana, PNS memangnya dulu rajin?

· Memukul maling yang berkedok alim

Berbagai bidang maling dia hantam, mulai kelas coro di pasar, hingga kakap di gedung dewan dan kantornya sendiri. Maling penuh codet dan tatoo hingga berdasi dan berkata lemah lembut mengalahkan lembutnya Pak Beye pun kena ia serang.

· Pecat, bukan rotasi birokrasi

Parah dia ini, mendekati pilgub akan banyak bermanis-manis ke anak buah, eh malah ia pecat. Umumnya akan dirotasi, tahu lah istilah rotasi itu setoran agar kembali ke tempat yang lebih empuk dan enak, lha ini malah pecat, yang artinya menambah musuh dan perlawanan. Diam saja juga bisa kog, nyatanya bisa juga bekerja sejak lama begitu-begitu saja. Gak ada bedanya, selain membuat ia dimaki karena dinilai ganggu kesenangan pingpong, jalan-jalan jam kerja, mendapatkan upeti dan mark-up. Rugi bagi Ahok.

Ternyata pilihan itu yang telah ditentukan dan sekian lama masih dipakai, bukan buatan, namun memang model yang ia yakini paling pas dan tepat untuknya dan DKI. Untung rugi telah dicermati dan tetap saja dilakukan. Lanjutkan sepanjang demi kebaikan Jakarta dan Indonesia

Jangan Mimpi ... Koko Ahok !!!



Ko, jangan mimpi dong ko...

Singapura itu negeri tapir, juga banyak orang chinese-nya. Mereka komunis, ko... Masak Jakarta harus jadi negeri tapir..

Coba koko ganti DKI harus sejajar dengan Riyadh Saudi dalam 10 tahun.. Nahhh itu baru varokah koh... Atau seperti Doha di Qatar. Semua orang harus pake daster putih, lakinya berkerudung taplak meja kotak2 merah... Pasti koko akan dipuji2...

Koko kurang minum kopi nihhh.. Cari perbandingan gak Nassar to Nassar.. DKI kan mayoritas muslim, harus sama dengan kota yang mayoritas muslim juga... Ah, gimana sih ko... Inilah akibat pemimpinnya tapir, jadinya rujukannya negeri tapir juga..

Pokoknya ko Ahok salah. Salah. Titik. Gak pake koma.

Seperti kata pepatah ko, disini gunung disana gunung, ditengah2 pohon kamboja. Gua bingung, koko pun bingung, maksudnya apa coba ?

Koko kapan masuk Islam ? Semoga diberi hidayah ya..

surga. Ketik amis dan share, pasti masuk

Adil Terhadap Ahok



Dunia Hawa - Saya pernah menjadi bagian dari penghuni diskotek Stadium. Masuk Jumat dan keluar Senin pagi, adalah kebiasaan yang terus dilakukan berbulan2 lamanya. Stadium adalah diskotek 24 jam tanpa henti dan beroperasi 16 tahun lamanya.

Mau jenis narkoba apa saja disana ada, dan yang paling marak adalah ekstasi yang biasa disebut ineks atau cece. Selain itu prostitusi adalah hal yang biasa. Gadis2 muda mendaftar dari penjuru daerah untuk menjadi PSK kelas menengah. Mereka menawarkan dirinya dengan harga short time Rp. 200 ribu belum termasuk kamarnya.

Stadium adalah tempat tanpa hukum. Entah sudah berapa orang yang mati disana. Mulai dari overdosis sampai perkelahian. Tidak ada yang namanya Razia disana. Semua bebas, semua terasa aman.

Dan pada masa Ahok menjadi “Gubernur” definitif-lah Stadium bisa ditutup. Penutupan itu dipicu oleh tewasnya seorang Bripka karena overdosis.

Penutupan Stadium di kawasan Hayam Wuruk itu, menimbulkan kemarahan banyak pihak. Data2 dibeberkan ketua asosiasi hiburan malam, bahwa penutupan ini mengakibatkan pengangguran 300 karyawan. Belum lagi ancaman2 yang mencoba melemparkan kenapa diskotek ABCD tidak ditutup ? Kenapa hanya Stadium ?

Ketika mendengar Stadium ditutup, disitulah kekaguman saya pada Ahok muncul. Saya tahu bahwa di belakang Stadium banyak “orang kuat”nya mulai dari pengusaha sampai aparat. Dan keberanian Ahok menutupnya, adalah sebuah langkah maju bagi pemprov DKI bahwa mereka bisa sangat tegas, asal pimpinannya benar.

Yang saya pelajari, untuk menutup sebuah tempat yang sudah diberi izin dan dibekingin segitu lamanya, harus ada alasan kuat untuk menutupnya. Tidak bisa sembarangan, karena akan menuai tuntutan hukum kepada pemprov.

Kalijodo saja yang kelas menengah bawah bisa membeli pengacara, apalagi yang sekelas Alexis yang ketika sudah di dalam harus keluar uang minimal 5 juta rupiah. Penutupan Stadium dengan tewasnya seorang bripka adalah kerjasama pemprov dan kepolisian yang mempunyai kepentingan bersama. Tanpa ada “alasan kuat” siap2 aja pemprov DKI di tuntut karena sewenang2.

Jadi sulit sekali membandingkan Kalijodo dengan tempat hiburan malam yang ditengarai prostitusi seperti Alexis. Alasan yg paling kuat thd Kalijodo bukan di prostitusinya, tetapi karena mereka menempati Ruang Terbuka Hijau, tanah milik Pemprov DKI yang akan di gunakan sesuai fungsinya. Sedangkan Alexis dan tempat hiburan malam lainnya belum ada alasan yang kuat yang bisa dijadikan momen untuk mencabut ijinnya. Kecuali misalnya, seorang mati ketika sedang dipijet oleh seorang wanita uzbekistan yang bertubuh semampai dan bertangan kekar.

Harus dicari celahnya.

Nah, yang menarik adalah semua masalah itu dilempar ke Ahok. Mereka sama sekali tidak membahas polah Gubernur2 sebelumnya, “Kenapa tempat hiburan malam seperti itu terus mendapat ijin, bahkan seolah2 mereka itu mendapat payung dari Pemprov DKI ?”

Ahok itu membereskan banyak hal yang ditinggalkan. Dan itu harus satu demi satu, tidak bisa – cling – selesai semua. Dia mencari titik2 lemahnya dulu supaya bisa di eksekusi. Tetapi kalau masalah berani, dia pasti berani wong Stadium aja dia tutup. Itu menunjukkan dia sebenarnya ga kenal kompromi.

Ahok bukan Batman yang celana dalamnya di luar. Ahok juga gak suka kopi tapi mungkin suka tahu isi. Jangan terlalu berharap banyak padanya, tetapi meng-apreasiasi langkah2nya yang baik adalah bukti bahwa kita adalah manusia yang adil dalam berfikir. *menghilang di kegelapan tanpa sadar celana dalam tertinggal*

[denny siregar]

Baca juga :
Aji Mumpung Ala Gibran


Aji Mumpung Ala Gibran



Tahu diri. Begitulah pandangan saya tentang Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, ketika menonton Mata Najwa mallam ini.

Tidak banyak orang yang tahu diri, memposisikan dirinya dengan tepat, justru ketika semua kesempatan berada di depan matanya. Rata-rata orang menjadi serakah, bahkan ingin semua kesempatan itu diturunkan ke anaknya, kalau bisa dijadikan dinasti. “Mumpung bapak njabat lho, nak.. Kapan lagi kalau gak sekarang…”

Gibran malah jengah. Kejengahan itu dia ceritakan saat dia membuka usaha catering di Solo, pada waktu bapaknya menjabat sebagai walikota. Ia bahkan melarang marketingnya untuk mencari proyek catering di Pemkot.

Disaat kita biasanya mendengar jika proyek2 tertentu sudah dikuasai anak, saudara, istri, saudara istri sampe peliharaan istri pejabat, apa yang diakukan Gibran menjadi suatu anomali. Anomali karena kita berada di tengah kebiasaan sekian lama bentuk nepotisme di pemerintahan, mulai pusat sampe daerah, sehingga menjadi wajar kalau proyek tertentu dikuasai oleh keuarga pejabat.

Karena itu apa yang dilakukan Gibran mendapat apresiasi banyak orang. Ada sebuah kekaguman, sebuah ketidak-percayaan, bahkan sampai kesinisan menganggapnya hanya sebuah pencitraan.

Tapi Gibran jalan terus dibalik kejengahannya. Ia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang bapaknya yang begitu besar. Setidaknya, buat dia posisi bapaknya bukan hal yang harus dibanggakan, tapi malah menjadi beban. Ia sulit menjadi lebih besar dari bapaknya dan tidak akan pernah mencapai itu. Beruntung, ia tidak memperdulikan hal itu, dan menjadi dirinya sendiri. Ia tahu diri dan bangga dengan apa yg dilakukannya sendiri.

Berapa banyak dari kita yang bisa melakukan itu ?

Yang pasti tidak banyak. Nepotisme sudah menjadi budaya di negara kita. Jangankan pejabat, bahkan dunia keartisan saja dipenuhi nepotisme. Yah kalau ditanya di depan kamera biasanya bicaranya gini, “Terserah anak saya mau jadi apa, saya tidak ingin memaksanya untuk menjadi artis..” Tapi anaknya selalu didaftarin untuk ikut shooting iklan sambil menonjolkan wajahnya di depan agen.

Meskipun apa yang dilakukan Gibran sudah terlalu biasa di negara maju, tapi setidaknya bolehlah menjadi contoh kita di negara berkembang ini untuk malu menggunakan fasilitas yang ada untuk kita banggakan di depan orang lain. Kita sudah terlalu lama bangga dengan hasil dan jarang bangga dengan proses.

Seperti Superman.

Superman tidak pernah bangga terhadap hasil kerjanya menumpas kejahatan. Ia hanya bangga ketika berhasil memecahkan rekornya sendiri berlari dan melepas jas kemudian terbang dalam waktu sepersekian detik.

Meski pernah ada waktu, saking cepatnya, ia lupa pakai celana dalam dan burung2 di awan mengejar separuh dirinya yang melambai2 girang… Begini nih kalau ga pake ngopi, ngelantur jadinya.

[denny siregar]