Thursday, December 8, 2016

Penistaan Vs Penafsiran

DUNIA HAWA - Kehebohan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sebaiknya menjadi momentum bagi kita untuk menengok kembali apa sebenarnya penistaan agama? Bagaimana suatu tindakan dapat disebut sebagai penistaan? Lebih jauh dari itu, apa dampaknya bagi kehidupan beragama?

Amnesti Internasional pada tahun 2014 merilis sebuah laporan mengenai tema ini. Setidaknya ada 39 kasus penistaan agama dalam kurun waktu 2005-2014. Beberapa di antaranya cukup terekspos. Lia Eden, yang mengklaim diri sebagai pemimpin Tahta Suci; dan Tajul Muluk, yang mengatakan bahwa al-Qur’an yang sekarang dipakai oleh kaum muslim tidak lagi asli, adalah beberapa kasus yang cukup populer.


Selain itu ada beberapa kasus yang mungkin juga agak bermasalah. Seperti FX Marjana yang oleh PN Klaten dinyatakan bersalah karena mengatakan Islam sebagai agama yang suka konflik dan sekte-sektenya yang beragam merupakan buktinya. Atau Yusman Roy, yang memperkenalkan salat dengan bahasa Indonesia.

Hal-hal di atas perlu dibandingkan dengan apa yang sering berlaku dalam umat beragama. Apa yang, untuk sekian lama, dianggap wajar oleh pemeluk agama.

Sebagai contoh, umat Islam, sesuai petunjuk yang ada dalam al-Qur’an, menganggap kitab-kitab sebelumnya sudah alami perubaahan. Konsep ini sering diutarakan dalam berbagai ceramah dan kajian. Apakah penceramah-penceramah tersebut hendak dipidanakan? Apa bedanya dengan perkataan Tajul Muluk di atas?

Buku-buku sejarah kebudayaan Islam banyak mengupas cerita perang. Sebab umum dan sebab khusus perang. Perang untuk mempertahankan diri hingga perang penaklukan. Sejak jaman kenabian sampai masa kekhalifahan. Ditulis dengan cukup ilmiah.

Juga ada, buku karangan Syahrastani yang mengupas kemunculan sekte-sekte Islam berjudul al-Milal wa al-Nihal. Pertanyaannya, apakah pengarang-pengarang buku tersebut hendak dipidanakan karena ungkapkan fakta? Tentu saja tidak. Lantas, apa bedanya dengan FX Marjana di atas?

Ahli tafsir tersohor bernama al-Zamakhsyari berpendapat bahwa Muhammad muda tidak menyembah Tuhan sebagaimana yang ia sembah setelahnya. Menurutnya, Muhammad Saw baru bertauhid setelah diutus menjadi Nabi. Pendapat itu diutarakan ketika menafsirkan surat al-Kafirun dalam buku tafsirnya al-Kasysyaf.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada yang anggap pendapat al-Zamakhsyari sebagai penistaan ataupun penghinaan agama. Respon yang cukup pedas hanyalah cap “su’ul adab” (tidak beretika), seperti yang dikatakan oleh Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith.

Menurut saya, kasus-kasus penistaan tersebut hanyalah penafsiran. Penafsiran atas teks-teks keagamaan. Beberapa menafsirkan secara mainstream. Beberapa melakukannya secara kontroversial. Beberapa mungkin melakukannya dengan cara yang jauh "menyimpang". Tapi tetap saja, sulit untuk menganggapnya sebagai penistaan.

Mayoritas ulama membolehkan khutbah Jumat dengan bahasa Indonesia. Itulah contoh penafsiran. Tentu saja tidak masalah dan bukan penistaan. Yusman Roy menafsirkan bahwa dibolehkan salat dengan menggunakan bahasa Indonesia. Nasibnya? dia bermasalah dan (dianggap) bersalah. Adilkah?

Jadi, ini hanya soal apakah penafsiran Anda berlawanan dengan arus utama atau tidak. Kalau berlawanan, Anda terancam dianggap menista.

Selama ini, dua institusi yang menentukan Anda sesat atau tidak adalah Bakor Pakem (Badan Koordinasi Aliran Keagamaan dan Kepercayaan) dan MUI. Yang terakhir, meskipun institusi non-pemerintah, tapi memiliki otoritas yang lebih dibanding yang pertama.

Selain penafsiran atas teks, ini juga berkaitan dengan penafsiran atas batasan umum-khusus, eksternal-internal.

Penceramah agama yang sebut kitab suci agama lain sudah tidak asli, barangkali tidak dianggap menista karena melakukannya di kalangan internal. Pertanyannya, bagaimana memilah kategori internal dan eksternal?

Dalam bahasa hukum “di muka umum” itu apa batasnya? Apakah ceramah internal yang kemudian tersiar di “udara” masih bersifat khusus? Apakah sulit bagi umat agama lain untuk akses ceramah yang berisi hal-hal tersebut di Youtube, misalnya?

Yang demikian harus segera ditinjau kembali. Jangan sampai pasal penistaan agama berdampak buruk pada agama itu sendiri. Mungkin ada yang berdalih bahwa pasal ini justru melindungi agama. Betul, tapi hanya untuk agama mayoritas, itupun hanya dalam penafsiran arus utama.

Jika dibiarkan liar, penafsiran agama terancam alami kejumudan. Ia berjalan dengan sangat lambat. Ada perasaan tidak aman ketika seseorang menemukan “celah” penafsiran yang sedikit berbeda. Jika dibiarkan berlarut-larut, sulit ditemukan lagi perdebatan akademik yang memperkaya penafsiran.

Orang-orang yang saya sebut di atas adalah prisoners of conscience (tahanan nurani). Mereka yang miliki keyakinan tertentu, tidak melakukan kekerasan atau ajarkan kekerasan; tapi ditahan hanya karena dianggap menyimpang dari arus utama. Bukankah yang demikian harus diakhiri?

@miftakhur risal



Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Jakarta. Guru Madrasah. Menggemari kajian keagamaan, bahasa Arab, dan film.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment