Monday, September 5, 2016

Babi dan Agama Semit #4


Dunia Hawa - Ini lanjutan "kuliah virtual" tentang "Bab Perbabian" yang sempat tertunda. Sebelum baca postingan ini, silakan baca postingan-postinganku sebelumnya tentang makhluk bernama "babi" ini supaya kuliahnya nyambung ( bagian_1 , bagian_2 dan bagian_3 ). Seperti saya jelaskan sebelumnya, dalam konteks Timur Tengah, pengharaman babi ini yang sudah ada jauh sebelum Islam lahir di abad ke-7 M, lebih pada faktor ekonomis-ekologis, ketimbang teologis. 


Saya sendiri berpendapat bahwa "bahasa haram" itu berarti "sebuah larangan" lumrah yang bisa saja itu terkait dengan masalah-masalah sistem politik, sosial, budaya, tradisi, adat, ekonomi, ekologi, dan seterusnya, tidak melulu berkonotasi "teologi-keimanan." Dengan kata lain, pengharaman itu bisa karena faktor-faktor yang bersifat "profan-sekuler" bukan "agamis-sakral". 


Hanya saja mayoritas umat beragama (baik Muslim maupun non-Muslim) berpandangan bahwa bahasa "haram" itu selalu berdimensi "teologi-keagaman" yang memiliki implikasi "dosa-dosa spiritual" terhadap Tuhan (bukan "dosa-dosa sosial" terhadap alam dan manusia) serta berdampak pada "nasib" manusia kelak di alam akhirat. Padahal, dalam realitasnya, "bahasa haram" itu konteksnya bisa bermacam-macam, termasuk dalam urusan perbabian ini.   

Jelasnya, berdasarkan kajian-kajian antropologi-historis, pengharaman babi di sejumlah kawasan di Timur Tengah seperti peradaban Mesir Kuno maupun Mesopotamia (kini Irak) sangat terkait dengan persoalan ekonomi-ekologi: konservasi alam, subsistence system, kebutuhan terhadap makanan, efisiensi produksi daging, keperluan sumber-sumber protein, dlsb. 

Perlu diingat bahwa peternakan babi itu pernah menjadi "primadona" di Timur Tengah karena hewan ini merupakan sumber protein yang tinggi. Masyarakat Ur, Sumeria, para penduduk yang tinggal di pinggiran sungai Eufrat dan Tigris, misalnya mereka pernah mengternak babi dan mengonsumsi dagingnya. Tradisi mengternak dan mengembangbiakan babi ini masih berlanjut, khususnya di sejumlah masyarakat yang tinggal di daerah hutan-pegunungan seperti di pegunungan Zagros, Taurus, dan beberapa kawasan perbukitan Lebanon. Begitu pula di kawasan hutan di Iran dan Turki bagian timur. Sebagian penduduk Timur Tengah yang bukan pastoralis-nomadik juga masih mengternak babi. Jadi, hewan babi tidak 100% musnah dari Timur Tengah. 


Pengtabuan babi ini memiliki faktor dan konteks berbeda. Di Mesir Kuno, pengharaman itu karena terjadi "konflik" atau "rebutan makanan dan area" antara manusia dan babi. Maksudnya, penduduk yang cukup padat mendiami kawasan Lembah Nil yang gersang tanpa pohon itu berebut sumber-sumber makanan yang sama dengan babi. Makanan yang dimakan babi juga bisa dikonsumsi oleh manusia. Maka, daripada makanan (misalnya, makanan-makanan tumbuhan atau "plant foods" seperti gandum dan bahkan kurma seperti ditulis oleh sejarawan Roma, Pliny) yang jumlahnya terbatas itu diberikan pada babi yang boros membutuhkan banyak makanan, maka lebih baik dikonsumsi sendiri. 
Sebuah teks klasik dari Kerajaan Lama (istilah ini merujuk pada Millennium ketiga Sebelum Masehi dimana Mesir pertama kali mengalami puncak peradaban) misalnya dengan jelas menyebutkan bagaimana manusia dan babi berebut sumber-sumber makanan yang terbatas: "Babi-babi telah 'merampok' makanan-makanan manusia yang membuat mereka marah..." Sementara itu, dalam konteks peradaban Mesopotamia, merosotnya pupulasi babi karena banyak ladang-ladang irigasi tempat menanam gandum yang terkontaminasi oleh garam dalam waktu yang sangat panjang yang menyebabkan merosotnya Emperium Sumeria dan lenyapnya babi dari Mesopotamia dan menandai peradaban baru: Babilonia.

Lalu, kenapa Islam tiba-tiba atau ujug-ujug mengharamkan babi? Bersambung lagi aja deh...

Jabal Dhahran, Arabia


Prof. Sumanto al Qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment